Tipologi Filsafat Al-Ghazali

Agak sulit dan pelik untuk menempatkan Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam alasannya memerlukan kajian secara mendalam dalam memetakan karya-karya Al-Ghazali. Di samping itu, Al-Ghazali tidak menganggap dirinya sebagai filsuf dan tidak suka dianggap sebagai filsuf. Fakta yang menarik ialah bahwa para pemikir Nasrani Abad Pertengahan, yang membaca karyanya Maqashid Al-Falasifah—sebuah paparan argumentatif dan objektif ihwal tema-tema filosofis penting pada zamannya—menganggapnya sebagai seorang filsuf, menyerupai halnya Ibnu Sina* dan Ibnu Rusyd*. Hal ini tidak berarti bahwa Al-Ghazali mempelajari dan mengasimilasikan filsafat secara mendalam sebagaimana terlihat dari daya tarik teoretis dan kekuatan strukturnya, tetapi juga menjadikan kita percaya bahwa filsafat kuat tidak eksklusif atas pemikiran tasawufnya.
Lebih jauh, meskipun Al-Ghazali—yang intinya ialah teolog, sufi, dan faqih—menyerang keras filsafat dengan berusaha memperlihatkan kontradiksi-kontradiksi, tasawuf dan teologinya dilarang dianggap sekedar akidah simpel dan religius, mengingat keduanya memiliki kedalaman teoretis yang mengesankan. Selain itu, kitab Tahafut Al-Falasifah merupakan bentuk konkret Al-Ghazali dalam memahami filsafat. Karya lainnya yang lebih monumental yang bisa menggabungkan ilmu fiqh, kalam, ilmu filsafat dan tasawuf, yaitu Ihya Ulum Ad-Din (4 jilid).

Atas dasar karya-karya tersebut, Al-Ghazali layak disebut filsuf. Hal ini terbukti sehabis AL-Ghazali wafat, Ibnu Rusyd mengkritik filsafat Al-Ghazali. Sebuah akreditasi yang tidak diakui secara eksklusif bahwa Al-Ghazali ialah filsuf.

Untuk melihat filsafat Al-Ghazali, perlu diketahui hal-hal apa saja yang dikritisi oleh Al-Ghazali. Dengan demikian, kita sanggup memulai dan tahu filsafat Al-Ghazali sekaligus sanggup memetakan tipikal filsafat yang dikehendakinya.

Setelah menganalisis paham atau pemikiran yang ada dalam filsafat, baik yang berasal dari imbas Yunani maupun orisinalitas dari para filsuf Muslim. Al-Ghazali memperlihatkan pemetaan masalah, sekaligus memperlihatkan ulasan terhadap problem tersebut, yaitu:
(1) Alam itu azali
(2) Alam itu abadi
(3) Allah SWT ialah pencipta alam dan alam ialah ciptaan-Nya
(4) Menetapkan adanya Pencipta
(5) Membangun argumen untuk memperlihatkan kemustahilan adanya dua Tuhan
(6) Menafikan (meniadakan) sifat-sifat Tuhan
(7) Substansi Al-Awwal (Tuhan) bukanlah jenis (genus) dan bukan pula diferensia
(8) Al-Awwal (Tuhan) ialah wujud yang simpel tanpa esensi
(9) Al-Awwal (Tuhan) bukan tubuh
(10) Adanya masa dan meniadakan pencipta alam
(11) Al-Awwal (Tuhan) mengetahui selain diri-Nya
(12) Dia (Tuhan) mengetahui substansi-Nya
(13) Al-Awwal (Tuhan) tidak mengetahui juz’iyyat (yang juz’il individual/partikular)
(14) Langit ialah awan yang bergerak dengan iradah (kehendak)
(15) Memberikan keterangan ihwal tujuan yang menggerakkan langit
(16) Jiwa-jiwa langit mengetahui semua juz’iyyat (semua yang juz’i/individual/partikular)
(17) Kemustahilan terjadinya bencana luar biasa
(18) Jiwa insan ialah substansi yang berdiri dengan dirinya sendirinya, bukan dengan tubuh, dan bukan pula dengan aksiden
(19) Kemustahilan fananya jiwa-jiwa manusia
(20) Mengingkari kebangkitan tubuh-tubuh manusia, untuk mencicipi kesenangan jasmaniah di nirwana dan kepedihan jasmani di negara

Dengan segala kemampuan daya nalarnya, Al-Ghazali membatalkan pendapat-pendapat pada nomor-nomor: (1), (2), (6), (7), (8), (13), (15), (16), (17), dan (20); memandang lemah argumen-argumen mereka pada nomor-nomor: (4), (5), (9), (11), (12), (14), (18), dan (19); dan menyatakan bahwa pendapat nomor (3) bukan pendapat mereka yang sebenarnya. Seharusnya, mereka beropini menyerupai pada nomor (10). Pada final bukunya, Tahaful Al-Falasifah Al-Ghazali mengkafirkan paham nomor (1), yaitu pendapat bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past), paham nomor (13), yaitu pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang yuz’i/individual/partikular) dan paham nomor (20), yaitu paham yang mengingkari adanya kebangkitan badan di hari akhirat. Itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, berdasarkan Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran. Adapun paham-paham yang lain apabila dianut, tidak membawa pada kekafiran, meskipun paham-paham itu tidak benar atau tidak kuat argumentasinya/dalilnya.

Secara khusus, ia beropini bahwa para filsuf menjadi kafir alasannya tiga masalah: “Kekekalan dunia (tesis khas Aristoteles*); ketidakmungkinan Tuhan mengetahui hal-hal partikular (tesis yang dipegang kuat-kuat oleh Ibnu Sina*); dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani dan mortalitas jiwa individu, teori naturalistis yang tidak melulu Aristoteles*. Ketiga problem ini cukup untuk mentransformasikan tugas filosofis menjadi teori yang berpotensi merusak. Sekalipun para filsuf terbesar pada umumnya tidak sanggup dituduh kafir (Al-Ghazali 1928: 6-7), doktrin-doktrin mereka menggiring orang “menolak detail-detail agama dan kredo, dan memercayai bahwa semua itu ialah aturan dan karya buatan manusia” (Al-Ghazali, 1928:5).

Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Al-Ghazali. Riwayat Hidup
2. Al-Ghazali. Karya Filsafat
3. Al-Ghazali. Pemikiran Filsafat
4. Al-Ghazali. Paham Qadim-nya Alam 
5. Al-Ghazali. Paham Bahwa Tuhan Tidak Mengetahui Juz'iyyat
6. Al-Ghazali. Paham Kebangkitan Jasmani
7. Al-Ghazali. Metafisika
8. Al-Ghazali. Klasifikasi Ilmu

Belum ada Komentar untuk "Tipologi Filsafat Al-Ghazali"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel