Seruan Menuju Ilmu Sosial Profetik
Hal yang menjadi kegelisahan intelektual kalangan ilmuwan muslim sejatinya berkisar pada pencarian kemungkinan integrasi Islam dan ilmu pengetahuan, terutama ilmu sosial. Tak heran jikalau sebagian di antaranya menggagas “ilmu sosial profetik” yang diyakini bisa menunjukkan panduan pada transformasi masyarakat “menuju keinginan sosio-etiknya”. Islam dalam hal ini bisa menjadi contoh nilai bagi upaya pencarian ilmu sosial profetik. Tentu saja, nilai itu diderivasi dari misi Islam yang bersifat universal yakni “humanisasi [emansipasi], liberasi, dan transendensi” sebagaimana tafsir atas surah Ali ‘Imran [3] ayat 110. Gagasan ilmu sosial profetik rupanya juga diilhami oleh kupasan Muhammad Iqbal terhadap insiden mi’raj Nabi Muhammad SAW. bagi Iqbal, alih-alih menentukan ketenteraman di sisi Allah, Nabi justru menentukan kembali ke bumi menggerakkan perubahan sosial dan mengubah jalannya sejarah.
Sepintas gagasan wacana ilmu sosial profetik tersebut ibarat menggemakan perspektif ilmu sosial kritis dari Mazhab Frankfurt*, terutama pada soal humanisasi dan liberasi. Humanisasi merupakan ikhtiar memosisikan insan sebagai yang sentral di tengah gelombang proses sosial yang cenderung mereduksi kemanusiaan. Sementara itu, liberasi yaitu proses membebaskan insan dari tirani kemiskinan, penindasan, penghisapan, dan seterusnya. Yang membedakannya dengan ilmu sosial kritis, ilmu sosial profetik membubuhkan dimensi transendensi, yakni kesadaran transendental terhadap hakikat (fitrah) kemanusiaan di tengah aneka macam kemelut yang melanda umat manusia.
Bertautan dengan ikhtiar rumusan ilmu sosial profetik itulah, Kuntowijoyo secara konsisten menekankan urgensi transformasi sosial. Penting dicatat, ia memakai terma “transformasi sosial” ketimbang “perubahan sosial” apalagi “revolusi sosial”. Barangkali terma “perubahan sosial” terlalu generik dalam mengilustrasikan proses pergeseran yang tengah berlangsung dalam masyarakat, namun cenderung tak mempunyai arah yang jelas. Sementara itu, terma “revolusi sosial” cenderung berasosiasi pada proses penjebolan tatanan sosial yang kerap kali memakan ongkos sosial yang mahal. Sebaliknya, “transformasi sosial” merupakan terma yang tak sekedar mendeskripsikan proses pergeseran atau gerak perubahan masyarakat, tetapi juga mempunyai arah yang terang menuju tatanan masyarakat yang lebih baik.
Proses transformasi sosial itu tentu bukan berlangsung seketika, melainkan melewati sejumlah fase (tahapan) tertentu. Bermula dari teologi (nilai Islam yang bersifat normatif), lantas diterjemahkan ke dalam filsafat sosial dan teori sosial yang memandu proses perubahan sosial. Menurut Kuntowijoyo, perubahan sosial muskil bisa diarahkan tanpa kehadiran teori sosial. Dalam konteks umat Islam, tantangannya yaitu mentransformasikan Islam normatif menjadi Islam teoritik. Pada ketika yang bersamaan, umat Islam mesti mentransformasikan nilai-nilai Islam yang subjektif menjadi objektif. Dengan kata lain, yang harus dilakukan yaitu objektivasi nilai-nilai Islam.
Di samping itu, proses transformasi sosial hanya akan memberi kemaslahatan jikalau dilambari oleh nilai-nilai etik dan keagamaan. Tak aneh, Kuntowijoyo menampik pandangan positivistik wacana sekularisasi* yang cenderung menggusur pandangan keagamaan bertautan dengan keputusan yang mengatur kehidupan sosial. Dalam perspektif Islam nilai-nilai keagamaan tidaklah terasing, melainkan justru meliputi aneka macam dimensi kehidupan sosial. Menurut Kuntowijoyo, keinginan penting Islam yaitu transformasi sosial dan kultural. Ini mengandaikan adanya reaktualisasi nilai-nilai keislaman yang tak hanya terbatas pada transformasi perilaku, tetapi, yang lebih esensial yaitu mengejawantahkan dalam praksis perubahan. Dengan demikian, proses transformasi itu dimulai dari perumusan filsafat sosial yang diderivasi dari teologi Islam kemudian menjadi teori sosial, sebelum pada kesannya diwujudkan ke dalam praksis perubahan.
Di titik itulah, Islam mempunyai tugas penting tak hanya dalam produksi pengetahuan, tetapi juga memberi landasan ontologis*, epistemologis* dan aksiologis* bagi ilmu pengetahuan. Jika pandangan Kuntowijoyo disimak lebih cermat, maka dimensi aksiologis* memperoleh bobot yang penting meski tanpa menafikan dimensi lainnya. Sebagai bab dari semangat kebangkitan Islam, Kuntowijoyo menggarisbawahi pentingnya historiografi Islam sekaligus pendidikan sejarah Islam. Ironisnya, sementara para sejarawan Barat telah berupaya melihat dan menulis sejarah masyarakat Muslim, kaum Muslim sendiri justru jarang menyadari sejarah mereka. Kuntowijoyo juga mengkritik kecenderungan historiografi nasionalistik yang gagal mengapresiasi warisan atau tradisi sendiri. Historiografi Islam yang dimaksudkan Kuntowijoyo tentu bukanlah yang berwawasan sempit atau sekedar mengagungkan Islam semata, melainkan menghadapkan Islam dengan dunia yang luas. Pandangan Kuntowijoyo ini sejalan dengan pendekatan Victor Lieberman yang mengkaji sejarah awal Asia Tenggara dengan menempatkannya dalam jejaring global yang kompleks ketimbang semata-mata dipahami dalam dinamika internal masing-masing negara.
Sumber
Budi Irawanto dalam Kuntowijoyo. 2017. Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Download
Sepintas gagasan wacana ilmu sosial profetik tersebut ibarat menggemakan perspektif ilmu sosial kritis dari Mazhab Frankfurt*, terutama pada soal humanisasi dan liberasi. Humanisasi merupakan ikhtiar memosisikan insan sebagai yang sentral di tengah gelombang proses sosial yang cenderung mereduksi kemanusiaan. Sementara itu, liberasi yaitu proses membebaskan insan dari tirani kemiskinan, penindasan, penghisapan, dan seterusnya. Yang membedakannya dengan ilmu sosial kritis, ilmu sosial profetik membubuhkan dimensi transendensi, yakni kesadaran transendental terhadap hakikat (fitrah) kemanusiaan di tengah aneka macam kemelut yang melanda umat manusia.
Bertautan dengan ikhtiar rumusan ilmu sosial profetik itulah, Kuntowijoyo secara konsisten menekankan urgensi transformasi sosial. Penting dicatat, ia memakai terma “transformasi sosial” ketimbang “perubahan sosial” apalagi “revolusi sosial”. Barangkali terma “perubahan sosial” terlalu generik dalam mengilustrasikan proses pergeseran yang tengah berlangsung dalam masyarakat, namun cenderung tak mempunyai arah yang jelas. Sementara itu, terma “revolusi sosial” cenderung berasosiasi pada proses penjebolan tatanan sosial yang kerap kali memakan ongkos sosial yang mahal. Sebaliknya, “transformasi sosial” merupakan terma yang tak sekedar mendeskripsikan proses pergeseran atau gerak perubahan masyarakat, tetapi juga mempunyai arah yang terang menuju tatanan masyarakat yang lebih baik.
Proses transformasi sosial itu tentu bukan berlangsung seketika, melainkan melewati sejumlah fase (tahapan) tertentu. Bermula dari teologi (nilai Islam yang bersifat normatif), lantas diterjemahkan ke dalam filsafat sosial dan teori sosial yang memandu proses perubahan sosial. Menurut Kuntowijoyo, perubahan sosial muskil bisa diarahkan tanpa kehadiran teori sosial. Dalam konteks umat Islam, tantangannya yaitu mentransformasikan Islam normatif menjadi Islam teoritik. Pada ketika yang bersamaan, umat Islam mesti mentransformasikan nilai-nilai Islam yang subjektif menjadi objektif. Dengan kata lain, yang harus dilakukan yaitu objektivasi nilai-nilai Islam.
Di samping itu, proses transformasi sosial hanya akan memberi kemaslahatan jikalau dilambari oleh nilai-nilai etik dan keagamaan. Tak aneh, Kuntowijoyo menampik pandangan positivistik wacana sekularisasi* yang cenderung menggusur pandangan keagamaan bertautan dengan keputusan yang mengatur kehidupan sosial. Dalam perspektif Islam nilai-nilai keagamaan tidaklah terasing, melainkan justru meliputi aneka macam dimensi kehidupan sosial. Menurut Kuntowijoyo, keinginan penting Islam yaitu transformasi sosial dan kultural. Ini mengandaikan adanya reaktualisasi nilai-nilai keislaman yang tak hanya terbatas pada transformasi perilaku, tetapi, yang lebih esensial yaitu mengejawantahkan dalam praksis perubahan. Dengan demikian, proses transformasi itu dimulai dari perumusan filsafat sosial yang diderivasi dari teologi Islam kemudian menjadi teori sosial, sebelum pada kesannya diwujudkan ke dalam praksis perubahan.
Di titik itulah, Islam mempunyai tugas penting tak hanya dalam produksi pengetahuan, tetapi juga memberi landasan ontologis*, epistemologis* dan aksiologis* bagi ilmu pengetahuan. Jika pandangan Kuntowijoyo disimak lebih cermat, maka dimensi aksiologis* memperoleh bobot yang penting meski tanpa menafikan dimensi lainnya. Sebagai bab dari semangat kebangkitan Islam, Kuntowijoyo menggarisbawahi pentingnya historiografi Islam sekaligus pendidikan sejarah Islam. Ironisnya, sementara para sejarawan Barat telah berupaya melihat dan menulis sejarah masyarakat Muslim, kaum Muslim sendiri justru jarang menyadari sejarah mereka. Kuntowijoyo juga mengkritik kecenderungan historiografi nasionalistik yang gagal mengapresiasi warisan atau tradisi sendiri. Historiografi Islam yang dimaksudkan Kuntowijoyo tentu bukanlah yang berwawasan sempit atau sekedar mengagungkan Islam semata, melainkan menghadapkan Islam dengan dunia yang luas. Pandangan Kuntowijoyo ini sejalan dengan pendekatan Victor Lieberman yang mengkaji sejarah awal Asia Tenggara dengan menempatkannya dalam jejaring global yang kompleks ketimbang semata-mata dipahami dalam dinamika internal masing-masing negara.
Sumber
Budi Irawanto dalam Kuntowijoyo. 2017. Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Download
Belum ada Komentar untuk "Seruan Menuju Ilmu Sosial Profetik"
Posting Komentar