Martabat Insan Dalam Islam

Manusia diyakini sebagai makhluk yang paling mulia, lantaran Tuhan menciptakannya bukan untuk main-main tetapi untuk mengemban kiprah yang sangat berat lebih dari sekedar sebagai wakil-Nya di bumi. Untuk tujuan ini Dia melimpahkan kepadanya pengetahuan untuk mencipta, contohnya: potensi untuk menyebarkan konsep-konsep di mana dia bebas menentukan perbuatan-perbuatannya sendiri dan merencanakan cara untuk mencapai tujuannya. Al-Qur’an menyatakan pengetahuan ini dalam kemampuan untuk menamai sesuatu, yang hanya insan di antara semua makhluk yang dianugerahi kemampuan ini oleh Tuhan. “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat kemudian berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jikalau kau memang orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka sesudah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan padamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui diam-diam langit dan bumi dan mengetahui apa yang kau lahirkan dan apa yang kau sembunyikan?” (QS. Al-Baqarah: 31-33).

“The vicegerency” berarti bahwa insan berhak menentukan apa yang dia inginkan atau tidak ingin dilakukan, dan kekuatan untuk menyadari kehendaknya. Kemudian dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Tuhan. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an bahwa segala sesuatu di bumi ini diciptakan untuk insan “Dia-lah Allah, yang mengakibatkan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah: 29), dan kemampuan insan dalam mendengar dan melihat ditujukan Tuhan untuk mengujinya, “Sesungguhnya Kami telah membuat insan dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), lantaran itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat” (QS. Al-Insan: 1).

Apakah derajat yang paling mulia ini benar-benar dimiliki oleh setiap manusia? Apakah setiap individu mempunyai martabat sebagai manusia? Secara umum kitab suci menjamin martabat seluruh umat manusia. Yang mana disebutkan, “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang tepat atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al-Isra’: 70). Berdasarkan pernyataan ini, setiap insan harus mendapat perlakuan yang sama. Ketika Nabi Muhammad mengabaikan seorang rakyat jelata yang buta di Mekkah lantaran dia sibuk melayani kepentingan orang-orang terkemuka, Tuhan menegurnya. Dia mengingatkannya biar tidak memberi perhatian kepada orang-orang dengan golongan yang lebih tinggi dari apa yang dilakukannya terhadap orang dengan golongan lebih rendah. “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, dikarenakan telah tiba seorang buta kepadanya. Tahukah kau barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin) mendapat pengajaran, kemudian pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kau melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang tiba kepadamu dengan bersegera (untuk mendapat pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kau mengabaikannya” (QS. ‘Abasa: 1-10).

Martabat insan sesungguhnya yaitu sesuatu yang diwariskan pada waktu penciptaannya. Setiap individu mempunyai hak untuk hidup dengan bebas. Tak seorang pun berhak mengambil hidup seseorang, kecuali untuk alasan yang dibenarkan oleh hukum. “Dan janganlah kau membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar” (QS. Al-An’am: 64). Juga adanya larangan melaksanakan perbudakan lantaran menyembah kepada selain Tuhan yaitu dilarang. “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita mengakibatkan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah” (QS. Ali Imran: 64).

Karena setiap insan berhak mendapat hak dan kewajiban yang dibebankan kepadanya, paling tidak ada dua kelompok yang membahas ihwal hal tersebut yaitu para jago agama (Mutakallimun*) dan juga para jago hukum. Ahli agamanya tampaknya menaruh perhatian pada kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia. Mereka tidak mengetahui hak apa pun yang didapatkan oleh insan kecuali yang oleh kaum Mu’tazillah* disebut sebagai kesepakatan dan ancaman, (al-wa’d wa’l-wa’ide), misalnya pahala dan eksekusi yang akan didapatkan insan di darul abadi atas hal yang telah mereka lakukan di kehidupan duniawi. Mereka tidak membahas apa pun yang berafiliasi hak dalam kehidupan ini.

Alasan yang mendasari ketiadaan ini tampaknya yaitu bahwa mereka berpikir ihwal kekerabatan insan dengan Tuhan. Dalam hal ini yaitu masuk akal ihwal tidak diberikannya hak kepada manusia, lantaran hal ini mengesankan adanya kewajiban Tuhan, suatu hal yang ditolak oleh orang yang beriman. Memang benar bahwa semua jago agama oke terhadap konsep pahala dan dosa, tetapi hanya kaum Mu’tazillah* yang beropini bahwa Tuhan diberi kewajiban memberi pahala kepada barang siapa yang berbuat kebaikan dan menghukum yang melaksanakan kejahatan.

Menurut para jago hukum, insan yaitu menyerupai seorang wakil untuk suatu tindakan yang sesuai dengan undang-undang. Wakil ini harus memenuhi syarat untuk mempunyai kemampuan melaksanakan tindakan yang legal (ahliyyaal-ada’) yang mengharuskannya bertanggungjawab terhadap perbuatannya. Dalam hal ini insan digambarkan sebagai objek dari suatu kiprah keagamaan (mukallaf), suatu keadaan fundamental di mana kemampuan logika dan pemahaman terhadap wacana keagamaan (aqilan yafwan al-khitab). Tujuan selesai dari kiprah ini yaitu bahwa wakil tersebut mematuhi dan menjalankan apa yang diperintahkan.

Karena wakil yang mengemban kewajiban ini haruslah seseorang (al-shakhs), aturan Islam membicarakan ihwal menjadi seseorang atau seorang eksklusif (shakhsiyya) yang diberi hak dan kewajiban. Mengenai insan sebagai seorang pribadi, M.A. Al-Zarqa’ menulis dalam bukunya Al-Fiqh al-Islami fi Thawbih al-Jadi, “dalil aturan mengindikasikan bahwa ‘seseorang’ telah dianggap ada semenjak terjadinya pembuahan sperma dalam rahim ibu dengan syarat bahwa sperma tersebut hidup meskipun hanya secara dugaan”. Oleh lantaran itu, insan telah dianggap ada semenjak terjadinya proses pembuahan.

Seorang eksklusif ini hanya berakhir dengan selesai hidup tetapi bahwasanya masih ada, yang berarti bahwa kewajiban yang sah dan perhitungannya masih dianggap berlaku sesudah beberapa ketika hingga dimungkinkan dilunasi hak-haknya. Maka, seorang nelayan yang meninggal sesudah memasang jala berhak mempunyai ikan yang tertangkap di jaring tersebut, mewariskan kepada jago warisnya.

Hukum juga mengatur ihwal kapasitas kewajiban legal dan hak-hak (ahliyya al-wujub) yang berarti bahwa setiap insan terhadap keputusan ihwal aturan menjadi manusia. Seorang idiot tidak bisa melaksanakan tindakan hukum, tapi dia berhak mendapat jaminan hukum, menyerupai kepemilikan dan warisan. Begitu juga dengan anak-anak di bawah umur. Jaminan tersebut yaitu semacam hak untuk setiap manusia, tanpa mempermasalahkan kemampuannya untuk melaksanakan tindakan hukum, yaitu indikasi yang sangat terang bahwa Islam mengakui persamaan derajat setiap individu.

Tetapi ada tingkatan-tingkatan status setiap insan berdasarkan pilihan-pilihannya masing-masing. Ada yang paling mulia di antara semua makhluk yang paling mulia, yaitu barang siapa yang melaksanakan tugasnya dengan cara yang paling benar, atqakum; tapi ada juga yang berstatus paling rendah, asfal safilin, yaitu mereka yang disamakan dengan hewan ternak, bahkan lebih buruk. Hal ini dikarenakan mereka tidak memakai dengan benar anugerah yang telah dilimpahkan kepada mereka untuk mempertimbangkan dengan benar apa yang seharusnya mereka lakukan atau tidak. Pandangan yang pantas ini masuk akal bagi insan lantaran diciptakan semata-mata untuk mengabdi kepada Tuhan, “Dan Aku tidak membuat jin dan insan melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Al-Dhariyat: 56).

Sumber
Machasin. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta


Download

Belum ada Komentar untuk "Martabat Insan Dalam Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel