Islam Dan Perspektif Nasionalisme

Teologi tentunya memainkan peranan dalam wacana wacana Islam berkenaan dengan wangsit negara-bangsa. Meski demikian, haruslah dicatat bahwa anggapan teologis bukan hanya merupakan satu-satunya faktor dalam perkembangan wacana ini. Sebagaimana diungkapkan oleh sejumlah literatur, sepertinya sejarah menceritakan kepada kita bahwa modernisasi* juga memainkan peranan dalam wacana ini. Meskipun modernisasi tidak mesti mewakili sesuatu yang mungkin dirasakan seorang Muslim sebagai bertentangan dengan Islam, sulit untuk meremehkan anggapan bahwa modernisasi*—tanpa memandang definisi kita terhadap istilah khusus ini—selalu dipandang sama dengan sekularisasi. Dalam konteks ini “agama sering menjadi bab langsung daripada duduk perkara publik, dan masih mungkin untuk menjadi salah satu concern yang dalam wacana basis individu daripada sosial (Marjoekelly, “Moeslim Nation-State”, hlm. 178)”.

Jelas hal di atas mengubah cara individu dalam mencicipi agama. Dalam konteks Islam, “Muslim yang modern atau yang sekuler”—karena kurangnya istilah yang lebih baik—cenderung melihat agama sebagai wewenang individu yang tidak mempunyai pengaruh pada setiap aspek kehidupan duniawi. Kalau kita meletakkannya dalam konteks wacana Islam dan negara-bangsa, persepsi terhadap politik secara umum atau negara secara khusus berubah secara sama. Dalam pandangan mereka, “tidak ada lagi wilayah untuk bab agama, negara menjadi bab dalam dirinya, dan agama seharusnya menjadi alat untuk memajukan bab tersebut dengan menyediakan legitimasi dan koreksi sosial melalui sistem nilai bersama” (Kerli, hlm. 178). Hal ini, sebagaimana dinyatakan Bellah, meskipun tidak sepenuhnya meliputi esensi agama, “semua mitos, magis, dan ritual ialah memesona”. Dan “Tuhan, jikalau tidak mati, hanyalah merupakan simbol bagi aspirasi tertinggi manusia” (Bellah, hlm. 147-148).

Semua argumen ini—yang mungkin hanya merupakan retorika belaka—tidak mempunyai akar nasionalisme yang muncul awal kala ke-20. Dengan lepasnya kolonialisme Barat atau Eropa, nasionalisme tumbuh di negara-negara dunia ketiga di mana sebetulnya semua negara Muslim berada. Perasaan gres semacam ini, cinta kepada tanah air, memperlihatkan dukungan keberanian bagi usaha kemerdekaan. Beberapa negara Muslim menyerupai di kawasan subur bulan sabit, mencoba untuk membangun kembali kesatuan Arab dalam satu negara tunggal. Namun tak ada gunanya. Negara-bangsa sudah berakar kuat. “Konsep negara bangsa yang sekuler berdasarkan model Eropa,” tulis Margorie Kelly, “sudah terlalu mapan”.

Sebagaimana digambarkan dalam istilah “negara-bangsa” semacam itu, konstruksi negara ini tidak sanggup dipisahkan dari ideologi nasionalisme atau ideal nasional. Anthony D. Smith dengan ringkas mengkarakteristikkan ideologi yang disebut ideologi nasionalisme atau ideal nasional sebagai “sebuah keyakinan bahwa semua orang yang mempunyai sejarah dan budaya yang umum haruslah otonom, bersatu, dan berbeda di dalam tanah air mereka yang dikenali” (Nationalism in the Twentith Century, hlm. 2). Namun hal yang terpenting dari ideal nasional terletak dalam persepsi bahwa “manusia benar-benar dan secara alamiah terbagi ke dalam komunitas sejarah dan budaya yang berbeda-beda, yang disebut bangsa. Masing-masing bangsa berbeda dan unik. Masing-masing mempunyai donasi tersendiri untuk membuat keseluruhan keluarga bangsa-bangsa. Masing-masing bangsa mendefinisikan identitas para anggotanya alasannya ialah kebudayaan khusus yang mereka miliki mencetak para individunya” (hlm. 2).

Namun, hal yang diidealkan oleh sebuah bangsa lebih dari sekedar visi di atas. Menurut Smith, “ia juga memerlukan jenis solidaritas dan kegiatan politik tertentu”. Dalam konteks inilah hal yang diidealkan oleh sebuah bangsa pada balasannya membimbing kepada nasionalisme. Hal tersebut juga dikaitkan dengan solidaritas untuk mempunyai sebuah wilayah. Di sini bukanlah “wilayah apa saja, namun tanah sejarah: tanah dari generasi yang lalu, tanah yang melihat berkembangnya kecerdasan sebuah bangsa”. Mereka yang berpegang pada sudut pandang semacam itu, nasionalis, “oleh alasannya ialah itu, dipaksa untuk ambil bab dalam politik ke dalam usaha untuk memperoleh pemerintahan dan kekuasaan sendiri di tanah airnya” (hlm. 3).

Tugas untuk memahami reaksi apa yang mungkin muncul dari komunitas Muslim terhadap ideal bangsa semacam itu tidaklah begitu sulit. Meskipun Islam mengakui keanekaragaman bangsa dan suku, semua spektrum nasionalisme sepertinya berlawanan dengan kenyataan bahwa Islam tidak mengakui adanya batasan teritorial. Biarkanlah sendirian, berbuat sendiri untuk sebuah tanah sejarah. Hal ini melawan semacam pandangan bahwa beberapa pemikir dan pelopor Muslim di dunia Islam mendukung keyakinan wacana Islam sebagai basis bagi negara yang berlawanan dengan negara para nasionalis—sebuah usaha yang tidak hanya didasarkan atas pertimbangan teologis namun juga realitas dari bangunan negara nasionalis.

Sumber
Bahtiar Effendi. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta


Download

Belum ada Komentar untuk "Islam Dan Perspektif Nasionalisme"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel