Ibnu Thufail. Ihwal Bahan Dan Jiwa
Jiwa, dalam tahap awal, bukanlah tabula rasa, atau papan tulis kosong. Imaji Tuhan telah tersirat di dalamnya semenjak awal, tetapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih, tanpa prasangka. Keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial, sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan di balik kelahiran tiba-tiba Hayy di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai, pengalaman, inteleksi, dan ekstase memainkan tugas mereka dengan bebas secara berurutan dalam menawarkan visi yang jernih perihal kebenaran yang menempel pada jiwa. Bukan hanya disiplin jiwa, melainkan juga pendidikan semua indra dan akal, yang dibutuhkan untuk mendapat visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan budi (Kant*), pada satu pihak, dan kesesuaian antara budi dan intuisi pada pihak lain, membentuk esensi epistemologis Ibnu Thufail.
Setelah mendidik indra dan budi serta memerhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Thufail berpaling pada disiplin jiwa, yang membawa pada ekstase, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini kebenaran tidak lagi dicapai melalui proses deduksi atau induksi, tetapi sanggup dilihat secara pribadi dan intuitif melalui cahaya yang ada di dalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami “apa yang tidak pernah dilihat mata, atau didengar telinga, atau dirasakan hati orang mana pun”. Tahap ekstase tidak terkatakan atau terlukiskan alasannya ialah lingkup kata-kata terbatas pada apa yang sanggup dilihat, didengar, atau dirasa. Esensi Tuhan, yang merupakan cahaya suci, hanya sanggup dilihat melalui cahaya di dalam esensi itu sendiri, yang masuk ke dalam esensi itu melalui pendidikan yang sempurna atas indra, akal, serta jiwa. Oleh lantaran itu, pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya ialah sama.
Selain mendasarkan pendapatnya pada Plotinus, Ibnu Thufail mengambil argumen Aristoteles* bahwa bahan ialah prinsip individuasi dan bahwa entitas-entitas intelektual, menyerupai bentuk-bentuk Plato*, memiliki aritmetika yang problematis sebagai sejenis asas pemakaian yang bertentangan dengan penyatuan pemikiran, pemikir, dan objek fatwa oleh Aristoteles*. Ia setuju bahwa pikiran ialah apa yang diketahui pikiran itu, tetapi berkenaan dengan hal-hal yang intelektual, tidak ada kesatuan atau perbedaan. Ibnu Thufail juga membuatkan gagasan bahwa alam intelektual (nous) ialah “satu atau banyak” yang bertentangan dengan pencarian Plotinus sendiri terhadap pengilahian jiwa, tetapi lebih menyukai tujuan Plato* yang lebih sederhana, homoiosis theoi “sejauh hal ini mungkin”, dengan menggaungkan syarat-syarat yang dipakai oleh Plato*. Ibnu Thufail bersandar pula pada gagasan Ibnu Bajjah* perihal rekonsiliasi keabadian Ibnu Sina* (dan Al-Ghazali*) dengan hilangnya individualitas dalam jiwa tak mewujud atau jiwa ekstatik, yang sepertinya dituntut oleh argumen intelektualis Plato* bagi keabadian dan oleh tema sufi perihal fana, abolisi diri. Menurutnya, pelaku ekstase hanya melampaui kediriannya. Akan tetapi, dalam melaksanakan demikian, apa yang ia tinggalkan ialah keterbatasan-keterbatasan ego, bukan kesadaran akan individualitas.
Masih berdasarkan Lee E. Goodman, yang diambil Ibnu Thufail dari Ibnu Bajjah ialah gagasan perihal kekerabatan antara jiwa yang berusaha untuk melepaskan diri dari materi, suatu kekerabatan yang tidak meniadakan individualitas mereka. Semua jiwa tersebut ialah anggota dari keseluruhan yang kontinu, tetapi fakta itu tidak meleburkan mereka dengan Tuhan dan melenyapkan kesadaran yang di dalamnya kebahagiaan mereka terwujud.
Semua yang disumbangkan Ibnu Thufail pada tema dan argumen Ibnu Bajjah ialah gambaran perihal komunitas jiwa yang abadi (tidak mati), yang di sini menjadi bab dari makrifat Hayy ibn Yaqzan, pertemuan pribadi pertamanya dengan wujud-wujud lain yang tidak hanya menyerupai dirinya, menyerupai benda-benda langit, tetapi dari jenisnya sendiri.
Dengan kata lain, bahan dan jiwa sanggup dibedakan, tetapi tidak selalu menyatu—ia bersifat fungsional semata. Dengan tegas, Ibnu Thufail mengungkapkan bahwa di sini pun sebuah esensi terbebas dari materi, bukan esensi yang sama dengan yang telah ia lihat—tetapi bukan yang lain. Hanya wujud ini yang memiliki tujuh puluh ribu wajah. Dalam setiap wajah terdapat tujuh puluh ribu mulut; di setiap verbal ada tujuh puluh ribu lidah, dan pengecap itu tidak henti-hentinya memuji, mengagungkan, dan menyucikan wujud Yang Esa, Haq (hlm. 152-153). Demikianlah kekerabatan bahan dan jiwa—meminjam istilah Plotinian yang diadopsi Ibnu Thufail—sebagai kerangka metafisiknya bahwa semua wujud ada lantaran partisipasi dalam realitas, kesatuan, dan kebaikan Tuhan.
Demikian lintasan sejarah Ibnu Thufail yang hingga ketika ini efek karyanya terhadap generasi berikutnya di Barat begitu besar sehingga karya tersebut dianggap sebagai “salah satu buku yang paling mengagumkan dari Zaman Pertengahan”. Bahkan, karya itu disamakan dengan Arabian Nights. Metodenya bersifat filosofis sekaligus mistis. Selanjutnya, pengembang dan pelanjut karya ini dilakukan oleh murid Ibnu Thufail, Abu Ishaq Al-Bitruji dan Abu Al-Walid ibn Rusyd* ialah yang paling menonjol. Dia berada di barisan depan dalam bidang astronomi melalui al-Bitruji yang teorinya perihal “gerakan-spiral” (harkat laulabi) menandai “puncak gerakan Muslim anti-Plotinus”, Dalam bidang filsafat, pengobatan dan aturan dilanjutkan oleh Ibnu Rusyd*.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Ibnu Thufail. Riwayat Hidup
2. Ibnu Thufail. Karya Filsafat
3. Ibnu Thufail. Pemikiran Filsafat
4. Ibnu Thufail. Tentang Tuhan dan Kekekalan Alam
Setelah mendidik indra dan budi serta memerhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Thufail berpaling pada disiplin jiwa, yang membawa pada ekstase, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini kebenaran tidak lagi dicapai melalui proses deduksi atau induksi, tetapi sanggup dilihat secara pribadi dan intuitif melalui cahaya yang ada di dalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami “apa yang tidak pernah dilihat mata, atau didengar telinga, atau dirasakan hati orang mana pun”. Tahap ekstase tidak terkatakan atau terlukiskan alasannya ialah lingkup kata-kata terbatas pada apa yang sanggup dilihat, didengar, atau dirasa. Esensi Tuhan, yang merupakan cahaya suci, hanya sanggup dilihat melalui cahaya di dalam esensi itu sendiri, yang masuk ke dalam esensi itu melalui pendidikan yang sempurna atas indra, akal, serta jiwa. Oleh lantaran itu, pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya ialah sama.
Selain mendasarkan pendapatnya pada Plotinus, Ibnu Thufail mengambil argumen Aristoteles* bahwa bahan ialah prinsip individuasi dan bahwa entitas-entitas intelektual, menyerupai bentuk-bentuk Plato*, memiliki aritmetika yang problematis sebagai sejenis asas pemakaian yang bertentangan dengan penyatuan pemikiran, pemikir, dan objek fatwa oleh Aristoteles*. Ia setuju bahwa pikiran ialah apa yang diketahui pikiran itu, tetapi berkenaan dengan hal-hal yang intelektual, tidak ada kesatuan atau perbedaan. Ibnu Thufail juga membuatkan gagasan bahwa alam intelektual (nous) ialah “satu atau banyak” yang bertentangan dengan pencarian Plotinus sendiri terhadap pengilahian jiwa, tetapi lebih menyukai tujuan Plato* yang lebih sederhana, homoiosis theoi “sejauh hal ini mungkin”, dengan menggaungkan syarat-syarat yang dipakai oleh Plato*. Ibnu Thufail bersandar pula pada gagasan Ibnu Bajjah* perihal rekonsiliasi keabadian Ibnu Sina* (dan Al-Ghazali*) dengan hilangnya individualitas dalam jiwa tak mewujud atau jiwa ekstatik, yang sepertinya dituntut oleh argumen intelektualis Plato* bagi keabadian dan oleh tema sufi perihal fana, abolisi diri. Menurutnya, pelaku ekstase hanya melampaui kediriannya. Akan tetapi, dalam melaksanakan demikian, apa yang ia tinggalkan ialah keterbatasan-keterbatasan ego, bukan kesadaran akan individualitas.
Masih berdasarkan Lee E. Goodman, yang diambil Ibnu Thufail dari Ibnu Bajjah ialah gagasan perihal kekerabatan antara jiwa yang berusaha untuk melepaskan diri dari materi, suatu kekerabatan yang tidak meniadakan individualitas mereka. Semua jiwa tersebut ialah anggota dari keseluruhan yang kontinu, tetapi fakta itu tidak meleburkan mereka dengan Tuhan dan melenyapkan kesadaran yang di dalamnya kebahagiaan mereka terwujud.
Semua yang disumbangkan Ibnu Thufail pada tema dan argumen Ibnu Bajjah ialah gambaran perihal komunitas jiwa yang abadi (tidak mati), yang di sini menjadi bab dari makrifat Hayy ibn Yaqzan, pertemuan pribadi pertamanya dengan wujud-wujud lain yang tidak hanya menyerupai dirinya, menyerupai benda-benda langit, tetapi dari jenisnya sendiri.
Dengan kata lain, bahan dan jiwa sanggup dibedakan, tetapi tidak selalu menyatu—ia bersifat fungsional semata. Dengan tegas, Ibnu Thufail mengungkapkan bahwa di sini pun sebuah esensi terbebas dari materi, bukan esensi yang sama dengan yang telah ia lihat—tetapi bukan yang lain. Hanya wujud ini yang memiliki tujuh puluh ribu wajah. Dalam setiap wajah terdapat tujuh puluh ribu mulut; di setiap verbal ada tujuh puluh ribu lidah, dan pengecap itu tidak henti-hentinya memuji, mengagungkan, dan menyucikan wujud Yang Esa, Haq (hlm. 152-153). Demikianlah kekerabatan bahan dan jiwa—meminjam istilah Plotinian yang diadopsi Ibnu Thufail—sebagai kerangka metafisiknya bahwa semua wujud ada lantaran partisipasi dalam realitas, kesatuan, dan kebaikan Tuhan.
Demikian lintasan sejarah Ibnu Thufail yang hingga ketika ini efek karyanya terhadap generasi berikutnya di Barat begitu besar sehingga karya tersebut dianggap sebagai “salah satu buku yang paling mengagumkan dari Zaman Pertengahan”. Bahkan, karya itu disamakan dengan Arabian Nights. Metodenya bersifat filosofis sekaligus mistis. Selanjutnya, pengembang dan pelanjut karya ini dilakukan oleh murid Ibnu Thufail, Abu Ishaq Al-Bitruji dan Abu Al-Walid ibn Rusyd* ialah yang paling menonjol. Dia berada di barisan depan dalam bidang astronomi melalui al-Bitruji yang teorinya perihal “gerakan-spiral” (harkat laulabi) menandai “puncak gerakan Muslim anti-Plotinus”, Dalam bidang filsafat, pengobatan dan aturan dilanjutkan oleh Ibnu Rusyd*.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Ibnu Thufail. Riwayat Hidup
2. Ibnu Thufail. Karya Filsafat
3. Ibnu Thufail. Pemikiran Filsafat
4. Ibnu Thufail. Tentang Tuhan dan Kekekalan Alam
Belum ada Komentar untuk "Ibnu Thufail. Ihwal Bahan Dan Jiwa"
Posting Komentar