Ibnu Thufail. Anutan Filsafat

Pola Filsafatnya
Secara filosofis, karya Ibnu Thufail, Hayy Ibnu Yaqzan, merupakan pemaparan yang andal ihwal teori Ibnu Thufail mengenai pengetahuan, yang berupaya menyelaraskan Aristoteles* dengan Neo-Platonis pada satu pihak, dan Al-Ghazali* dengan Ibnu Bajjah* pada pihak lain. Al-Ghazali* sangat kritis dan dogmatis terhadap rasionalismenya Aristoteles*, sedangkan Ibnu Bajjah* ialah pengikut sejati Aristoteles*. Ibnu Thufail mengikuti jalan tengah, menjembatani jurang pemisah antara kedua pihak itu. Sebagai seorang rasionalis, dia memihak Ibnu Bajjah* dalam melawan Al-Ghazali* dan mengubah tasawuf menjadi rasionalisme. Sebagai spesialis tasawuf, dia memihak Al-Ghazali* dalam melawan Ibnu Bajjah* dan mengubah rasionalisme menjadi tasawuf.


Ekstase merupakan bentuk tertinggi pengetahuan, tetapi jalan menuju pengetahuan semacam itu diperlicin dengan pengembangan nalar, diikuti dengan pemurnian jiwa melalui praktik kezuhudan. Metode Al-Ghazali* dan Ibnu Thufail sebagiannya sama. Akan tetapi, tidak menyerupai Al-Ghazali, ekstase Ibnu Thufail ditandai dengan suatu tekanan Neo-Platonik. Al-Ghazali*, yang setia pada perilaku teologis mistisnya, menganggap ekstase sebagai sarana untuk melihat Tuhan, tetapi bagi Ibnu Thufail, sang filsuf, visi indah mengungkapkan kecerdikan aktif dan rangkaian alasannya ialah Neo-Platonik hingga ke unsur-unsurnya dan kembali lagi kepada dirinya.

Selain itu, rujukan filsafat yang ditawarkan oleh Ibnu Thufail ialah proses untuk mencapai tujuan. Apakah proses itu benar dan baik atau tidak? Hal itu terlihat dari tujuan yang hendak dicapai. Sebagai hasil goresan pena Nadhim Al-Jisr dalam buku Qissat Al-Iman yang dikutip Ahmad Hanafi, menyebutkan bahwa Ibnu Thufail hendak mengemukakan kebenaran dengan banyak sekali tujuan yang hendak dicapai yang menyelaraskan filsafat dengan syara’. Tujuan tersebut sebagai berikut.
1) Urutan-urutan tangga makrifat (pengetahuan) yang ditempuh oleh akal, dimulai dari objek-objek indriawi yang khusus hingga pada pikiran-pikiran universal.
2) Tanpa pengajaran dan petunjuk, kecerdikan insan bisa mengetahui wujud Tuhan, yaitu melalui tanda-tandanya pada makhluk-Nya, dan menegakkan dalil-dalil atas wujud-Nya itu.
3) Akal insan sanggup mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu saat hendak menggambarkan ke-azali-an mutlak, tidak-akhir-an, zaman, qadim, huduts (baru) dan hal-hal lain yang sejenis.
4) Baik kecerdikan menguatkan qadim-nya alam atau kebaharuannya, kelanjutan dari kepercayaan tersebut ialah satu, yaitu adanya Tuhan.
5) Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui dasar-dasar keutamaan dan dasar-dasar sopan santun yang bersifat amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan diri dengan keutamaan dasar sopan santun tersebut. Di samping itu, dia menundukkan impian tubuh pada aturan pikiran, tanpa melalaikan hak badan, atau meninggalkannya sama sekali.
6) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh syariat Islam, dan yang diketahui oleh daypikir yang berupa kebenaran, kebaikan, dan keindahan sanggup bertemu keduanya dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi.
7) Pokok dari semua pesan yang tersirat ialah hal-hal yang telah ditetapkan oleh syara’, yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain berdasarkan kesanggupan akalnya, tanpa membuka kebenaran dan belakang layar filsafat kepada mereka. Juga pokok pangkal segala kebaikan ialah menetapi batas-batas syara’ dan meninggalkan pendalaman sesuatu.

Risalah Hayy ibn Yaqzan berisi banyak sekali rumus filsafat yang disampaikan dengan lambang Hayy ibn Yaqzan sebagai lambang kecerdikan pikiran, sedangkan teman-temannya (Absal, Salaman, masyarakat, pen.) melambangkan selera, syahwat, perasaan marah, dan watak lainnya yang lazim ada pada manusia. Diskusi antara Hayy ibn Yaqzan dan teman-temannya melambangkan kontradiksi antara kecerdikan pikiran dan selera syahwat. Kisah tersebut bertujuan menyesuaikan filsafat dengan agama dan menyesuaikan kecerdikan pikiran dengan aturan syari’at dan klarifikasi mengenai jalan yang ditempuh oleh para filsuf Islam yang menganut aliran Neoplatonisme. Nama Hayy ibn Yaqzan itu bermakna: Hayyu, melambangkan kecerdikan manusia, sedangkan Yaqzan melambangkan Tuhan.

Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Ibnu Thufail. Riwayat Hidup
2. Ibnu Thufail. Karya Filsafat
3. Ibnu Thufail. Tentang Tuhan dan Kekekalan Alam 
4. Ibnu Thufail. Tentang Materi dan Jiwa

Belum ada Komentar untuk "Ibnu Thufail. Anutan Filsafat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel