Makalah Qiraatul Qur'an

A.    Pengertian Qira’atul Qur’an
Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu al-Qur’an, tetapi tidak banyak orang tertarik kepadanya, keculali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang mengakibatkan hal itu, diantaranya yaitu ilmu ini tidak bekerjasama pribadi dengan kehidupan dan muamalah insan sehari-hari.
Ilmu ini sangat rumit untuk dipelajari lantaran banyak hal yang harus dikuasai, antara lain penguasaan bahasa Arab secara mendalam, pengusaan ilmu ini sangat berjasa dalam menggali, menjaga, dan mengajarkan banyak sekali cara membaca al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah.
Secar etimologi kata qiraah merupakan bentuk masdar (kata dasar) dari kata qara-a yang berarti membaca. Sedangkan secara terminologi qiraat ialah: suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan imam qiraat lainnya dalam membaca al-Qur’an, baik perbedaan dala  hal pengucapan huruf-huruf maupun pengucapan keadaan-keadaanya.[1]
Dalam buku lainnya dijelaskan. Qiraat secara etimologi berarti “bacaan”. Sedangkan secara teminologi umumnya berarti “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qurra’ 9ahli bacaan al-Qur’an) yang berbeda dengan  yang lainnya dalam pengucapan, periwayatan dan metodenya”. Walaupun merupakan sisi bacaan al-Qur’an, qiraat berimplikasi pada makna dan penafsiran yang harus dipertanggungjawabkan. Itulah sebabnya, banyak terjadi perbedaan diantara imam qurra’.[2]
            Para imam qiraat menyandarkan jalur sanad riwayat qiraat mereka kepada Nabi melalui para sahabat yang masyur di bidang qiraat. Diantara para sahabat yang termasyur dibidang ini yaitu Ubay ibn Ka’ab, Ali ibn abi Thalib, Zaid ibn Tsabit, Ibnu Mas’ud, bubuk Musa al-Asy’ary, dan lain-lainnya. Dari sahabat-sahabat Nabi inilah para tabi’in di sentra kota-kota besar mempelajari qiraat dan kemudian mengembangkannya di tempat mereka masing.
            Menurut Az-zarqani, al-qira’at yaitu :
“Madzhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuk-bentuk.”
Shihabuddin al-Qusthalani
Qira’at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para jago Qira’at (tentang cara mengucapkan lapal-lapal Al-Quran)seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, I’rob,  hazf, isbat, fashl, washl, yang di peroleh dengan cara periwayatan.
Jadi dari defenisi yang di kemukakan oleh Al-Dimiyathi dan Al-Qusthalani di atas tanpak bahwa Qira’at  Al-Quran itu di peroleh melalui mendengar langsungdari bacaan Nabi SAW, atau sebagai mana di ucapakan oleh para sahabat di hadapan Nabi SAW, lalui ia men taqrir kannya.
Ibn Al-Jazari
Qira’at yaitu pengetahuan perihal cara-cara melapalkan kalimat-kalimat Al-Quran dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya.
Mana’Khalil Al-Qattan
Qira’at yaitu jamak dari Qira’ah yang berarti bacaan,dan ia yaitu masdar dari qara’a berdasarkan istilah ilmiyah Qira’at yaitu salah satu mashab atau (alirannya)pengucapan Alquran yang di pilih oleh salah seorang imam qara’a sebagai suatu mashab yang berbeda dengan mashab lainnya
Menurut Az-zarkasyi :
“Qira’at yaitu perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, menyerupai takhfif (meringankan) tatsqil (memberatkan) atau yang lainnya.”
            Muhammad Ali Ash-Shabuny memperlihatkan definisi qiraat sebagai berikut:
            “Qiraat yaitu suatu mazhab cara pelafalan al-Qur’an yang dianut oleh seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang besambung kepada Rasulullah”.[3]
            Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ).

B.     Macam-Macam Qira’atul Qur’an
a.      Qira’ah Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada final periode ke-2 hijrah, dan di bukukan pada final periode ke-3 hijrah di Baghdad, oleh spesialis qira’at berjulukan Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mensugesti makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mensugesti makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .

b.      Qira’ah Syazzad
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini sanggup diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama setuju tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai klarifikasi terhadap qira’at yang populer diakui kegunaannya.
Beberapa teladan qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
            Ditinjau dari kualitas sanadnya, berdasarkan sebagian ulama, secara umum qiraat itu terbagi menjadi tiga macam:
1.      Qiraat Mutawatir
Yakni qiraat yang sanadnya mutawatir. Para ulama memasukkan qiraat al-sab’I (qiraat tujuh) ke dalam kelompok ini. Qiraat tujuh yang dimaksudkan disini yaitu qiraah yang dinisbatkan kepada para imam qiraah yang berjumlah tujuh orang. Mereka adalah: Abu ‘Amru ibn ‘Ala (w. 154 H), Ibn Katsir (w. 261 H), Nafi’ ibn ‘Abdirrahman ibn abi Nu’aim (w.197 H), Ibn ‘amir (w. 118 H), ‘Ashim ibn abi al-Nujud (w. 128 H), Hamzah ibn Hubaid ibn ‘Ammarah al-Ziyat (w. 156 H), dan Kisa’I (w. 189).


2.      Qiraat Ahad
Yakni qiraat yang meskipun sanadnya shahih namun ia berstatus ahad. Para ulama mengelompokkan tiga imam qiraat kedalam kelompok ini, yaitu: Abu Ja’far Yazid ibn al-Qa’qa’ (w. 132 H), Ya’qub ibn Ishak al-Hadhramy (w. 205 H), dan khalifah Hisyam (w. 229  H). Penggabungan antara qiraat tujuh diatas dengan qiraat ini selanjutnya dikenal dengan sebutan al-qiraat al-‘asyar (qiraat yang sepuluh).
3.      Qiraat Syaz
Yakni qiraat yang jalur sanadnya dipandang dhaif (lemah), sehingga ia tidak bisa dijadikan pegangan dalam membaca al_qur’an. Qiraat yang syaz ini tidak dibenarkan digunakan dalam shalat maupun diluar shalat, lantaran pada hakikatnya ia bukan al-Qur’an. berdasarkan para ulama, selain dari qiraat sepulauh diatas maka termasuk kedalam qiraat syaz menyerupai qiraat al-Yazidy, al-Hasan, al-A’masy, Ibn Jarir, dan lain-lain.
Para ulama memutuskan banyak sekali criteria yang mereka pakai untuk mendapatkan keabsahan suatu qiraat. Dalam hal ini mereka memutuskan tiga persyaratan untuk qiraat yang shahih, yaitu:
Pertama: Qiraat tersebut harus sesuai dengan salah satu kaedah bahasa Arab.
Kedua: Harus sesuai dengan salah satu mushaf Usmany walaupun hanya secara tersirat. Karena sahabat telah bersungguh-sungguh dalam menulis mushaf Usmany yang sesuai dengan pengetahuan mereka perihal bahasa qiraat.
Ketiga: Qiraat itu harus shahih sanadnya, lantaran ia merupakan sunnah yang diikuti sehingga harus shahih riwayatnya.
Dengan demikian, bila ketga persyaratan diatas terpenuhi maka qiraat tersebut yaitu qiraat yang shahih. Namun bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat tersebut dinamakan yang lemah, syaz atau bathil.[4]

C.    Perkembangan Qira’atul Qur’an
Qira’at bahu-membahu sudah dikenal pada masa Nabi Muhammad namun pada masa itu qira’at belum dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu. Pada permulaan periode pertama hijriah pada masa tabi’in, muncullah seorang ulama yang konsen terhadap kasus qira’at secara tepat lantaran keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang bangun sendiri sehinggga mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan jago qira’at yang diikuti dan dipercaya[5]
Sebagaimana di ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat perihal waktu mulai di turunkannya qira’at, yaitu ada yang menyampaikan qira’at mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an. Ada juga yang menyampaikan qira’at mulai di turunkan di Madinah sehabis insiden Hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya.
Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar yang kuat, namun dua pendapat itu sanggup kita kompromikan, bahwa qira’at memang mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an, akan tetapi saat di Mekah qira’at belum begitu di butuhkan  lantaran belum adanya perbedaan dialek, hanya menggunakan satu lahjah yaitu Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam dari banyak sekali qabilah yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda.
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan perihal masa kodifikasi ilmu qira’at berarti membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Untuk mengurai kasus ini ada beberapa pembahasan yang patut dikemukakan di sini yaitu :
1.      Qira’at Pada Masa Nabi
Perlu dikemukakan disini bahwa bangsa Arab yaitu bangsa yang mempunyai puak-puak atau kabilah-kabilah yang terpencar di beberapa tempat di semenanjung Arabia. Kabilah-kabilah tersebut ada yang bertempat tinggal di perkampungan yaitu di sebelah Timur Jazirah Arabiyah dan adapula yang bertempat tinggal di perkotaan menyerupai tempat sebelah Barat Jazirah Arabiyah yang mencakup Mekah, Madinah dan sekitarnya. Mereka yang tinggal di perkampungan menyerupai suku Tamim, Qais, Sa’d dan lainnya mempunyai tradisi dan dialek tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai tradisi dan dialek atau gaya bicara yang berbeda pula.
Dialek yang dianut suku pedalaman cukup beragam, menyerupai : Imâlah, atau mengucapkan karakter ‘a menjadi karakter ‘ê’ menyerupai Satê. Orang dari suku Badui, lantaran ingin meringkas perkataan kerap melipat karakter menyerupai mengucapkan dua karakter menjadi satu karakter yang dikenal dengan sebutan “Idghâm”.
Ibnu al-Jazari menambahkan dari apa yang dikatakan Ibnu Qutaibah perihal bentuk-bentuk dialek suku-suku Arab:
Sebagian kabilah membaca lafazh : ( عَلَيْهِمْ و فِيْهِمْ ) yang berkasrah Ha’,  dengan men-dlammah-kan Ha’, suku lain membaca : ( عَلَيْهِمُوْ و مِنْهُمُوْ )(sementara lainnya men-sukun-kan Mim), satu kabilah membaca : ( قَدْ أَفْلَحَ . قُلْ أُوْحِيَ . وَخَلَوْا إِلَى ) dengan membaca “naql” ( mengalihkan harakat hamzah kepada karakter mati sebelumnya, sementara suku lainnya tidak membaca demikian). Satu kabilah membaca : ( مُوْسَى ، وعِيْسَى ، و دُنْيَا )  dengan Imalah ( karakter “a” dibaca “ê”) . Ada yang membaca : خَبِيْرًا بَصِيْرًا dengan membaca tarqîq (menipiskan) suara Ro’nya. Ada juga yang membaca : الصَّلَاةُ , الطَّلَاقُ  dengan menebalkan suara lamnya.”
Jibril memerintahkan kepada nabi untuk membacakan Al-Qur’an dengan satu karakter atau satu macam bacaan, nabi pribadi naik banding kepada malaikat Jibril supaya keharusan itu diperingan lagi. Ternyata Allah melalui malaikat Jibril memperlihatkan dispensasi (rukhshah) kepada nabi hingga tujuh karakter atau macam bacaan. Hadis berikut ini menjelaskan hal tersebut:
عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِى غِفَارٍ - قَالَ - فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ. فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ جَاءَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَحْرُفٍ. فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ جَاءَهُ الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا. (رواه مسلم)[10]
Artinya: “Nabi Muhammad berada di genangan air milik Bani Ghifar. Datanglah malaikat Jibril dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu supaya umatmu membaca Al-Qur’an dengan satu huruf.” Nabi berkata : “aku meminta ampun dan tunjangan kepadaNya, umatku tidak bisa untuk itu”. Kemudian malaikat Jibril tiba kedua kali dan menyampaikan bahwa Allah memerintahkan menyerupai diatas dengan dua huruf. Lalu nabi menjawab menyerupai diatas pula, bahwa umatnya tidak bisa untuk itu. Lalu malaikat Jibril tiba ketiga kali, kemudian keempat kali, kemudian pada risikonya malaikat Jibril menyampaikan bahwa Allah memperlihatkan dispensasi hingga tujuh huruf.  Huruf manapun yang mereka baca, mereka sudah benar.”
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan “Sab’atu Ahruf” sebagaimana yang tertera dalam hadis di atas. Mereka berbeda pendapat perihal arti huruf, arti bilangan tujuh, apakah berarti bilangan yang niscaya atau mempunyai arti banyak.  Berikut ini pendapat para ulama perihal makna Sab’atu Ahruf :
a. Sebagian ulama beropini bahwa yang dimaksud dengan tujuh karakter yaitu tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Pendapat ini terbagi lagi menjadi dua bagian:
1. Sebagian ulama menyampaikan bahwa ketujuh bahasa itu tersebar di seluruh Al-Qur’an. Di antara ulama yang beropini demikian yaitu Abû ‘Ubaid, Ahmad bin Yahyâ, Tsa’lab, dan masih banyak yang lainnya.[12] Menurut pendapat ini, Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw. dengan tujuh bahasa kabilah Arab dan ketujuh bahasa inilah yang dianggap sebagai bahasa Arab paling fashih di antara sekian banyak bahasa kabilah Arab lainnya, yaitu bahasa Quraisy, Hudzail, Tamîm, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, dan Yaman Namun ada juga yang menyebutkan bahwa ketujuh bahasa kabilah yang dimaksud yaitu Quraisy, Hudzail, Tamîm, Azd, Hawâzin, Rabî’ah, dan Sa’ad bin Bakr.[14]
2. Pendapat ulama yang menyebutkan bahwa perbedaan tujuh bahasa yang terdapat di dalam Al-Qur’an  terkumpul dalam sebuah lafal. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Jarîr al-Thabari. Al-Thabari menyandarkan pendapatnya pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya mengenai perselisihan yang pernah terjadi antara ‘Umar bin al-Khaththâb dengan Hisyâm bin Hakîm perihal qira’at Al-Qur’an.
b. Pendapat yang menyampaikan bahwa yang dimaksud sab’atu ahruf yaitu tujuh wajah lafal kalimat yang berbeda, namun mempunyai makna yang hampir sama. Pendapat ini diungkapkan oleh kebanyakan para ulama fikih dan hadis, menyerupai Sufyan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Wahb, Ibnu ‘Abd al-Barr, dan al-Thahawi. Pendapat ini didasarkan pada beberapa riwayat hadis, di antaranya yaitu hadis berikut:[17]
ورَوَى وَرَقَاء عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيْحٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ أُبَي بْنِ كَعْبٍ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ {لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا} : لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَمْهِلُونَا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَخِّرُونَا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا ارْقُبُونَا
Artinya: “Waraqâ’ telah meriwayatkan dari Ibnu Abî Najîh, dari Mujâhid, dari Ibnu ‘Abbâs, dari Ubai bin Ka’b bahwa dia telah membaca ayat lilladzîna âmanû unzhurûnâ (dengan beberapa versi bacaan sebagai berikut): lilladzîna âmanû amhilûnâ, lilladzîna âmanû akhkhirûnâ, lilladzîna âmanû urqubûnâ.”
c. Sebagian ulama menyampaikan yang dimaksud dengan tujuh karakter yaitu tujuh segi, yaitu: amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (ancaman), wa’îd (janji), jadal (perdebatan), qashash (cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halâl, harâm, muhkam, mutasyâbih, dan amtsâl.
d. yang dimaksud dengan tujuh karakter dalam kajian ilmu tafsir ialah  tujuh macam bacaan yang diajarkan Rasulullah terjadi dimasa kenabian tersebut lantaran al-qur’an memang diturunkan dalam tujuh bacaan. Tetapi tidak berarti bahwa setiap kata dalam al-qur’an sanggup dibaca sebanyak tujuh bacaan yang berbeda. Kaprikornus yang dimaksud dengan al-qur’an diturunkan dengan tujuh karakter ialah memberi kode kepada ummat bahwa mereka diberi kelonggaran untuk membaca al-qur’an sesuai dengan bacaan yang gampang bagi mereka.[6]
e. Sebagian ulama ada yang beropini bahwa bilangan tujuh itu tidak sanggup diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh itu hanya sebagai simbol kesempurnaan berdasarkan kebiasaan masyarakat Arab.[20]
f. Pendapat sebagian ulama menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan tujuh karakter tersebut yaitu Qira’at Sab’ah.
Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai pengetian Sab’atu Ahruf sebagaimana tertera di dalam hadis Muslim di atas, namun yang terang makna yang tersirat dalam hadis tersebut sanggup dirumuskan sebagai berikut:
Pertama: Bahwa Allah swt. memperbolehkan kepada umat nabi Muhammad saw. dalam hal membaca Al-Qur’an dengan banyak sekali macam bacaan. Bacaan manapun yang mereka pilih yaitu benar.
Kedua: Semua bacaan tersebut betul-betul telah diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad.
Ketiga: Tujuan diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh karakter yaitu dalam rangka memperlihatkan dispensasi kepada umatnya nabi Muhammad dalam membaca Al-Qur’an mengingat latar belakang budaya dan struktur masyarakat yang beragam.
Setelah nabi Muhammad diberikan dispensasi oleh Allah untuk membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf, nabi mengajarkan kepada para sahabat dengan ragam bacaan. Sehingga pernah terjadi kesalah pahaman diantara mereka dan pernah mereka saling menyalahkan yang lainnya bila terjadi perbedaan bacaan, bahkan diantara mereka ada yang sempat tertegun dan tak mempercayai bahwa hal itu terjadi pada Al-Qur’an. Namun nabi memperlihatkan klarifikasi kepada mereka tentang  pokok persoalan, sehingga mereka sanggup memahaminya. Pengajaran nabi kepada para sahabatnya dengan bermacam-macam bacaan terus berlangsung hingga nabi meninggal. Para sahabat yang mendapatkan pelajaran Al-Qur’an dari nabi terus memegang bacaan mereka dan mengajarkan cara pembacaan tersebut kepada para murid-murid mereka.
2.      Qira’at Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah nabi Muhammad meninggal, para sahabat nabi melanjutkan tradisi yang telah dirintis oleh nabi yaitu mengajarkan Al-Qur’an kepada para murid-murid mereka. Ada diantara mereka yang masih tetap di Madinah dan Mekah mengajarkan Al-Qur’an kepada murid-murid mereka, menyerupai sahabat Ubay bin Ka’b (w 30 H), Utsmân bin ‘Affân (w 35 H), Zaid bin Tsâbit (w 45 H), Abû Hurairah (w 59 H), ‘Abdullâh bin ‘Ayyâsy (w 64 H), ‘Abdullâh bin ‘Abbâs (w 68 H), ‘Abdullâh bin al-Saib al-Makhzumi (w 68 H). Namun diantara sahabat nabi ada yang keluar dari Madinah untuk berjuang bersama yang lain. Dengan berkembangnya Islam ke negeri lain, terutama pada masa Abû Bakar dan ‘Umar bin Khaththâb, dibutuhkan tenaga yang mengajarkan aliran Islam kepada penduduk setempat.
Diantara sahabat nabi yang mempunyai tugas dalam penyebaran Al-Qur’an di negeri lain menyerupai negeri Iraq yaitu ‘Abdullah bin Mas’ûd (w 32 H)  yang diperintahkan oleh sahabat ‘Umar bin Khaththâb untuk mengajar Al-Qur’an  di negeri Kufah.  Di Iraq juga ada  sahabat ‘Alî bin Abî THâlib (w 40 H), Abû Mûsâ al-Asy’ari (w 44 H) yang ditempatkan di kota Basrah. Sementara sahabat yang ditempatkan di Syria atau Syam yaitu Mua’dz bin Jabal (w 18 H) yang mengajarkan Al-Qur’an di Palestina. ‘Ubadah bin SHamit al-Anshâri (w 34 H) mengajarkan Al-Qur’an di kota Himsh di Syam, dan sahabat Abû al-Darda’ (w 32 H) mengajarkan di Damaskus. Merekalah yang sangat berperan dalam penyebaran qira’at di negeri-negeri tersebut diatas.[23]
Perlu disinggung disini bahwa pengajaran qira’at oleh para sahabat kepada murid-murid mereka yaitu berdasarkan cara bacaan yang mereka dapatkan dari nabi. Bacaan mereka berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam pengajaran “al-Ahruf as-Sab’ah” sebagaimana dijelaskan diatas.
Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi’in yang juga berperan dalam penyebaran Ilmu Qira’at di negeri-negeri tersebut. Hasilnya yaitu munculnya generasi gres dalam bidang Qira’at.
3.      Munculnya Komunitas Ahli Qira’at
Hasil yang didapatkan dari acara pengajaran Al-Qur’an dari generasi sahabat dan Tabi’in yaitu munculnya komunitas jago Qira’at pada setiap negeri Islam. Ibnu al-Jazari dalam kitabnya “Al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr”  menyebutkan perihal komunitas tersebut. Ibnu al-Jazari menyebut komunitas jago Qira’at di negeri-negeri Islam  tersebut sebagai berikut :
Madinah : Ibnu al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, Sulaimân bin Yasar, ‘Atha’ bin Yasar, Mu’adz bin al-Hârits, ‘Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibnu Syihâb az-Zuhri, Muslim bin Jundab, Zaid bin Aslam.
Mekah : ‘Ubaid bin ‘Umair, ‘Atha’, THawus, Mujâhid bin Jabr, ‘Ikrimah, Ibnu Abî Mulaikah.
Kufah : ‘Alqamah, al-Aswad bin Yazîd, Musruq bin al-Ajda’, ‘Abidah, ‘Amr bin Syurahbil, dan lain lain.
Basrah : Amir bin Abd al-Qais, Abu al-“Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Âshim, Nashr bin ‘Âshim, Yahya bin Ya’mur dan lain lainnya.
4.      Kodifikasi Ilmu Qira’at
Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan banyak sekali macam ilmu keislaman, menyerupai ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan periode kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at.
Sebagian ulama muta’akhirîn beropini bahwa yang pertama kali menuliskan buku tentang  ilmu qira’at yaitu Yahyâ bin Ya’mar, jago qira’at dari Bashrah. Kemudian di susul oleh beberapa imam qurrâ’, diantaranya yaitu :
Abdullah bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Mashâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al-‘Irâq.
Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî Al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
 Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H)
Abû ‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
Hârûn bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
Abdul Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
 Ya’qûb bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
 Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ’ât.[24]
Menurut Ibnu al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab yaitu Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama jago qira’at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah).[25]
Agaknya penulisan qira’at pada periode ini hanya menghimpun riwayat yang hingga kepada mereka, tanpa menyeleksi perawi atau materi qira’at.
Kemudian pada periode ketiga Hijriyah acara penulisan qira’at semakin marak. Diantara mereka yaitu : Ahmad bin Jubair al-Makki (w 258 H) yang menghimpun bacaan Imam Lima, Ismâ’îl bin Ishâq  al-Maliki ( w 282 H)  yang menghimpun 20 bacaan Imam, Ibnu Jarir al-THabari (w 310 H) yang menghimpun bacaan lebih dari 20 Imam, dan lain lainnya. Setelah itu acara penulisan Ilmu Qira’at semakin meningkat dari tahun ke tahun dan dari periode ke abad.
5.      Terbentuknya Qira’at Sab’ah
Banyaknya qira’at yang tersebar di banyak negeri Islam mengakibatkan munculnya rasa kegalauan pada banyak kalangan, terutama kalangan awam. Hal inilah yang mengakibatkan sebagian jago qira’at menciptakan rambu-rambu yang bisa menyeleksi qira’at mana saja yang patut bisa dianggap shahîh. Rambu-rambu yang dimaksud yaitu pertama : harus mutawâtir, masyhur dikalangan jago qira’at. Kedua : harus sesuai denga rasm Utsmâni dan ketiga : harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab.[26]
Dari sinilah kemudian muncul prakarsa Abû Bakar Ahmad bin Mûsâ al-Baghdâdi  Ibnu Mujâhid (w 324 H) untuk  menyederhanakan bacaan pada Imam–imam yang paling besar lengan berkuasa pada setiap negeri Islam. Lalu dilipilihlah Tujuh Imam yang bisa mewakili bacaan pada setiap negeri Islam. Mereka yang terpilih yaitu :
1. Dari Madinah : Imam Nâfi’ bin Abî Nu’aim al-Ashfihâni (w 127 H)
2. Dari Mekah : ‘Abdullâh bin Katsîr al-Makki (w. 120 H)
3. Dari Bashrah : Abû ‘Amr al-Bashri (w 153 H)
4. Dari Syam : ‘Abdullâh bin ‘Amir al-Syâmi (w. 118 H)
5. Dari Kufah : terpilih tiga Imam yaitu : ‘Âshim bin Abî al-Najud (w. 127 H), Hamzah bin Habib al-Zayyat (w 156 H) , dan ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w 189 H).
Pemilihan ketujuh Imam tersebut berdasarkan kriteria yang sangat ketat. Kriteria tersebut disebutkan sendiri oleh Ibnu Mujâhid dalam kitabnya “ al-Sab’ah” yaitu : harus jago dalam bidang qira’at, mengetahui qira’at yang masyhur dan yang syâdz, tahu perihal periwayatan, dan tahu perihal seluk beluk bahasa Arab. Ibnu Mujâhid berkata :
Diantara para jago Al-Qur’an ada yang tahu perihal seluk beluk I’râb, qira’at, bahasa, mengerti perihal arti dari masing-masing kalimat, tahu perihal qira’at yang syâdz, bisa memperlihatkan evaluasi kepada riwayat-riwayat. Inilah Imam yang patut didatangi oleh para penghafal Al-Qur’an pada setiap negeri kaum muslimin.”[27]
Bacaan imam-imam tersebut dikumpulkan oleh Ibnu Mujâhid pada kitabnya yang populer yaitu “Al-Sab’ah”. Sebagaimana setiap prakarsa yang gres ada yang pro dan ada yang kontra. Mereka yang pro terhadap gagasan Ibnu Mujâhid mengikuti jejak Ibnu Mujâhid dengan cara menghimpun bacaan Imam Tujuh dari banyak sekali riwayat dan memperlihatkan klarifikasi (hujjah) terhadap setiap fenomena qira’at yang diriwayatkan dari tujuh imam tersebut. Sedangkan para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa Qiraat Sab’ah yaitu sab’atu ahruf  yang di kehendaki oleh hadis. Oleh lantaran itu berdasarkan Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra yaitu Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibnu Khawalaih, Ibnu Zanjalah, Makki Ibnu Abi Thâlib al-Qaisyi dan lain sebagainya.[28]

6.      Penyederhanaan Perawi Imam Qira’at Sab’ah
Pada kitab “al-Sab’ah” Ibnu Mujâhid masih menyertakan banyak perawi dari setiap Imam dari Imam Tujuh. Kemudian pada periode berikutnya, muncul spesialis qira’at kenamaan dari Andalus yang berjulukan Utsmân bin Sa’id, Abû ‘Amr al-Dânî  (w. 444 H) menyederhanakan para perawi dari setiap Imam Qira’at Tujuh menjadi dua pada setiap Imam. Al-Dânî beropini bahwa adanya dua rawi pada setiap Imam lebih memudahkan menghafal materi qira’at dari masing-masing Imam. Dan dua rawi pada setiap Imam sudah bisa mewakili para rawi dari setiap Imam. Penyederhanaan rawi menjadi dua rawi dari setiap Imam bisa kita lihat pada  kitabnya “al-Taisir”. Rawi-rawi yang disebut oleh al-Dânî untuk setiap Imam yaitu sebagai berikut :
Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
Qunbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu Katsîr
Al-Dûrî (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Abû ‘Amr
Hisyâm (w. 245 H) dan Ibnu Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu ‘Âmir
Syu’bah (w. 193 H) dan Hafsh (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âshim
Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.[29]
Apa yang ditetapkan oleh Imam al-Dânî ternyata mendapatkan perhatian yang demikian besar dari para jago qira’at pada masa setelah al-Dânî. Hal tersebut bisa dilihat dari kemunculan imam Al-Syâthibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira’at Sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan “Syâthibiyyah”. Syair-syair Syâthibiyyah ini telah menggugah banyak jago qira’at untuk mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâthibiyyah ini lebih dari lima puluh kitab. Nazham al-Syâthibiyyah ini merupakan karya terbesar imam al-Syâthibi dalam bidang ilmu qira’at. Sampai kini nazham ini dijadikan sebagai referensi utama bagi umat Islam di dunia  yang ingin mendalami ilmu qira’at.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Secar etimologi kata qiraah merupakan bentuk masdar (kata dasar) dari kata qara-a yang berarti membaca. Sedangkan secara terminologi qiraat ialah: suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan imam qiraat lainnya dalam membaca al-Qur’an, baik perbedaan dala  hal pengucapan huruf-huruf maupun pengucapan keadaan-keadaanya.
2.      Macam-macam qiraat terbagi menjadi dua yaitu:
a.       Qiraat sab’ah
b.      Qiraat syazzad
Ditinjau dari kualitas sanad tebagi menjadi tiga yaitu:
a.       Qiraat Mutawatir
b.      Qiraat Ahad
c.       Qiraat Syaz
3.      Perkembanga Qiraatul Qur’an terbagi menjadi enam periode yaitu:
a.       Pada masa Nabi.
b.      Pada masa Sahabat dan tabi’in.
c.       Munculnya komunitas jago qiraat.
d.      Kodifikasi ilmu qiraat.
e.       Terbentuknya qiraat sab’ah.
f.       penyederhanaan perawi imam qiraat sab’ah.

B.     Saran-Saran
1.      Makalah Ulumul Qur’an ini diperlukan menjadi masukan dan materi pemanis dalam memahami perkara-perkara Qira’atul Qur’an.  Penulis juga mengharapkan makalah ini sanggup dikembangkan oleh para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an, Banda Aceh: Pena, 2005.

Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an, Banda Aceh: Pena, 2012.
Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Baidan, Nashruddin,  Wawasan Baru Ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.




[1]  Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an, (Banda Aceh: Pena, 2005), hal. 87.
[2]  Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hal.134.
[3] Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an, (Banda Aceh: Pena, 2012), hal. 101.
[4]  Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an,… hal. 105-107.
[5]  Manna al-Qattan, Mabaahitsu fi ulumil a-Qur’an, trj Aunnur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2006), hal. 212.
[6]  Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 65

Belum ada Komentar untuk "Makalah Qiraatul Qur'an"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel