Makalah Pengertian Peminangan, Mahar Dan Kafa’Ah Dalam Pembelajaran Fiqh Munakahat
A. Peminangan
1. Pengertian Peminangan
Meminang artinya menyatakan undangan untuk menikah dari seorang pria kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai.[1]
Khitbah atau yang dalam bahasa melayu disebut "Peminangan". ialah bahasa arab yang secara sederhana diartikan dengan: penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Kata Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan. Ulama' fikih mendifinisikannya dengan menyatakan harapan pihak pria kepada pihak perempuan tertentu untuk mengawininya dan pihak perempuan menyebarluaskan isu peminangan ini Dan terdapat pula dalam ucapan Nabi sebagaimana terdapat dalam sabda ia dalam hadits dari Jabir berdasarkan riwayat Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya:
"Bila salah seorang di antara kau meminang seorang perempuan, bila ia bisa melihatnya yang mendorongnya untuk menikah maka lakukanlah".
Peminangan itu disyari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya kesepakatan nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat..
2. Hukum Peminangan.
Dalam al-Qur'an dan hadits banyak Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara terperinci dan terarah adanya perintah atau larangan melaksanakan peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al qur'an maupun dalam hadist nabi. Oleh lantaran itu, dalam memutuskan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya ialah mubah. Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiriy yang menyampaikan hukumnya ialah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatanya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam peminangan itu.
3. Hikmah Disyari'atkan Peminangan
Adapun pesan yang tersirat dari adanya syariat peminangan ialah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sehabis itu, lantaran dengan peminangan itu kedua belah pihak sanggup saling mengenal. Hal ini sanggup disimak dari sepotong hadis Nabi al-Mughiroh bin al-Syu'bah berdasarkan yang dikeluarkan al-Tirmizi dan al-Nasa'i yang berbunyi:
"Bahwa nabi berkata kepada seseorang yang telah meminag seseorang perempuan: "melihatlah kepadanya lantaran yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan".
4. Syarat-Syarat Peminangan
a. Mustahsinah
Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa tawaran kepada pihak laki yang akan meminang seorang perempuan semoga ia meneliti dahulu perempuan yang akan dipinangnya tersebut. Adapun syarat-syarat dari mustasina itu sendiri sebagai berikut :
· Wanita yang akan dipinang itu telah diteliti wacana keluarganya, etika dan agamanya
· Wanita yang dipinang ialah perempuan yang memiliki keturunan dan memiliki sifat kasih sayang.
· Wanita yang dipinang itu memiliki hubungan darah yang jauh dengan pria yang meminang. Agama melarang seorang pria menikahi seorang winita yang sangat bersahabat hubungan darahnya.
b. Syarat Lazimah
Yang dimaksud dengan syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sahnya peminangan tergantung pada adanya syarat-syarat lazimah tersebut. Yang termasuk dalam syarat lazimah antara lain :
· Wanita yang tidak dalam pinangan orang lain atau sedang dalam pinangan akan tetapi orang yang meminangnya melepaskan hak pinangannya.
· Wanita yang dipinang hendaklah perempuan yang halal untuk dinikahi dalam artian perempuan tersebut bukanlah menjadi mahram dari pria yang meminangnya.
5. Hukum melihat perempuan yang akan dipinang
Sebagian ulama menyampaikan bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh saja. Mereka beralasan kepada hadits Rasulullah SAW. Berikut ini:
اِذَاخَطَبَ اَحَدُكُمْ اِمْرَأَةً فَلاَ جُنَاحُ عَلَيْهِ اَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا اِذَا كَانَ اِنَّمَا يَنْظُرُ اِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ وَ اِنْ
(تَعْلَمُ (رواه أحمد كَا نَتْ لاَ
Artinya:
“Apabila salah seorang diantara kau meminang seorang perempuan maka tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu atau tidak.”(Riwayat Ahmad).
Ada pula sebagian ulama yang beropini bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu hukumnya sunat. Melihat calon istri untuk mengetahui penampilan dan kecantikannya, dipandang perlu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang senang dan sekaligus menghindari penyesalan setelah menikah. Mughirah bin Syu’ban telah meminang perempuan. Kemudian Rasulullah bertanya “ Apakah engkau telah melihatnya?” Mughirah menjawab “Belum”. Rasulullah saw bersabda:
اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى اَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَ (رواه النسا عى وابن ماجه والتر مذي(
Artinya:
“Amat-amatilah perempuan itu, lantaran hal itu akan lebih membawa kepada kedamaian dan kedekatan kamu.” ( HR. Nasa’i, ibnu Majah dan Tarmidzi).
Mengenai batas-batas kebolehan melihat cuilan badan perempuan yang dipinang, para ulama berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama bahwa yang boleh dilihat ialah wajah dan dua telapak tangan, lantaran dengan demikian akan sanggup diketahui kehalusan badan dan kecantikan wajahnya. Sedang berdasarkan Abu Hanifah bahwa yang diperbolehkan ialah melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki.[2]
B. Mahar
1. Pengertian Mahar
Yang dimaksud dengan mahar ialah maskawin, yaitu suatu derma dari pihak pria kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki, walaupun mahar ini bukan termasuk syarat atau rukun nikah. Mahar dalam suatu pernikahan dianggap penting, lantaran selain memang diwajibkan oleh agama, ia juga merupakan tanda kesungguhan dan penghargaan dari pihak pria sebagai calon suami kepada calon istrinya. Allah SWT berfirman:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kau nikahi) sebagai derma dengan penuh kerelaan. Kemudian bila mereka menyerahkan kepada kau sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) derma itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Maskawin itu menjadi milik sepenuhnya si istri. Suami tidak memiliki hak apapun atas harta maskawin itu. Sebagaimana juga tidak berhak atas harta benda si Istri. Apabila si istri merelakannya kepada suami hal itu tidak mengapa.
Cara pembayaran maskawin sanggup dilakukan dengan dua cara, pertama, pembayaran dilakukan secara tunai (cash) dan kedua pembayaran dilakukan di hari kemudian (utang, credit). Dalam masalah mahar yang dibayar di kemudian hari, mahar boleh disebutkan kuantitas dan kualitasnya dalam kesepakatan perkawinan, juga kuantitas dan kualitas boleh tidak disebutkan.
2. Macam-Macam Mahar
Mahar dibagi dalam 2 macam:
a. Mahar musamma ialah mahar yang bentuk dan jumlahnya ditetapkan dalam sighal kesepakatan nikah. Mahar ini bisa dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan dengan persetujuan kedua belah pihak.
b. Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan jumlah yang diterima keluarga pihak isteri, lantaran pada waktu ijab kabul jumlah dan bentuk mahar belum ditetapkan.
Pemberian mahar terutama didasarkan kepada nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Karena Islam menyerahkan duduk kasus ini kepada masing-masing sesuai dengan kemampuan dan budbahasa yang berlaku di dalam masyarakat, dengan syarat tidak berbentuk sesuatu yang mendatangkan mudharat, membahayakan atau berasal dari perjuangan yang haram.
Banyak hadits Nabi saw yang mengambarkan aneka ragam bentuk mahar yang diberikan pihak laki-laki. Antara lain:
تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتَمٍ مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخاري(
“Nikahlah engkau walaupun (maharnya) berupa cincin dari besi.”( HR. Bukhari)
لَوْ اَنَّ رَجُلاً اَعْطَى اِمْرَأَةً صَدَاقًا مِلْءَ يَدَيْهِ طَعَامًا كَا نَتْ لَهُ حَلاَلاً (رواه احمد و ابوداود(
”Seandainya seorang pria menunjukkan masakan sepenuh tangannya saja sebagai mahar seorang perempuan, maka perempuan itu halal baginya.”(HR. Ahmad dan Abu Daud).
3. Adapun syarat-syarat mahar ialah
1. Benda yang suci, atau pekerjaaan yang bermanfaat.
2. Milik suami.
3. Ada manfaatnya.
4. Sanggup menyerahkan, mahar tidak sah dengan benda yang sedang dirampasorang dan tidak sanggup menyerahkannya.
5. Dapat diketahui sifat dan jumlahnya.
C. Kafa’ah
1. Pengertian Kafa’ah
Menurut bahasa kafa’ah berarti serupa, seimbang atau serasi. Menurut istilah ialah keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami baik dalam kedudukan, status sosial, etika maupun kekayaannya sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan.
Kalau kita melihat pada Quran ditinjau dari segi insaniyahnya, insan itu sama ibarat tersebut pada surat Al-Hujarat ayat 13:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya:
”Hai manusia, Sesungguhnya Kami membuat kau dari seorang pria dan seorang perempuan dan mengakibatkan kau berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kau saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kau disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai aturan kafa’ah dalam pernikahan
a. Menurut ibnu Hazm kafa’ah tidak dijadikan pertimbangan dalam melangsungkan pernikahan. Muslim mana pun selama bukan pezina berhak menikah dengan muslimah manapun selama bukan pezinah.
b. Menurut Mahdzab Malikiyah beranggapan bahwa kafa’ah harus dijadikan pertimbangan dalam pernikahan. Yang dimaksud kafa’ah disini berdasarkan Malikiyah ialah untuk istiqamah dalam menjalankan pedoman agama dan akhlak. Unsur-unsur lainnya, ibarat kekayaan, keturunan, dan sebagainya tidak dijadikan pertimbangan.
c. Menurut jumhur ulama bahwa kafa’ah dalam pernikahan sangat penting. Unsur kafa’ah tidak hanya terbatas pada istiqamah dan akhlak, tetapi juga kafa’ah dalam unsur nasab, kemerdekaan, usaha, kekayaan dan kesejahteraan.
2. Ukuran-ukuran kafa’ah
a. Dilihat dari segi agama
Orang Islam yang kawin dengan orang yang bukan Islam dianggap tidak sekufu, yakni tidak sepadan.
b. Dilihat dari segi Iffah
Iffah artinya terpelihara dari segala yang haram dalam pergaulan. Maka bukan dianggap kufu bagi orang yang dari keturunan baik-baik, kawin dengan orang yang dari keturunan penzina, walaupun masih seagama. Sesuai dengan firman Allah swt dalam QS. AN-Nur ayat 2.
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( wur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ( ôpkô¶uø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
Artinya: “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh pria yang berzina atau pria musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membaca makalah wacana peminangan dan kafa’ah ini, ada beberapa poin penting yang sanggup kita ambil. Setidaknya ialah sebagai berikut:
• Peminangan ialah proses pernyataan ingin membina rumah tangga antara dua orang, lelaki dan perempuan, yang dilakukan sebelum pernikahan. Baik melalui wali ataupun secara langsung dan hukumnya mengubah berdasarkan kebanyakan pendapat ulama.
• Hikmah dari pinangan ialah wadah perkenalan dan penguat ikatan dalam memulai kehidupan gres dengan menikah.
• Peminangan ada dua macam, secara pribadi maupun tidak langsung. Pembagian ini tergantung keadaan orang yang dipinang.
Mahar ialah maskawin, yaitu suatu derma dari pihak pria kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki, Kufu berarti sama, sederajad, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam perkawinan yaitu: pria sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajad dalam etika serta kekayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, Sulaiman. 2009. Fiqih Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Zainudin, Djedjen dan Mundzier Suparta. 2007. Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI. Semarang: Karya Toha Putra .
Mubarak. Jaih. 2002. Modifikasi Hukum Islam studi wacana Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sobari, Asep, dkk. 2008. Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid II. Jakarta: Al-I’Ishom
Belum ada Komentar untuk "Makalah Pengertian Peminangan, Mahar Dan Kafa’Ah Dalam Pembelajaran Fiqh Munakahat"
Posting Komentar