Download Makalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kekerasan
Kekerasan merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara ekspresi yang mencerminkan pada tindakan aksi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang sanggup dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas sanggup diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu sanggup pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini
B.     Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) ialah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 wacana Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT ialah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk bahaya untuk melaksanakan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan aturan dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar korban KDRT ialah kaum perempuan (istri) dan pelakunya ialah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT ialah orang yang mempunyai korelasi darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya masalah KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban alasannya ialah terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem aturan yang belum dipahami. Padahal proteksi oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa kondusif terhadap korban serta menindak pelakunya.
C.     Kekerasan dalam Rumah Tangga ditinjau dari Perspektif Sosiologi Hukum
Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) ialah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 wacana Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT ialah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk bahaya untuk melaksanakan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan aturan dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar korban KDRT ialah kaum perempuan (istri) dan pelakunya ialah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT ialah orang yang mempunyai korelasi darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya masalah KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban alasannya ialah terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem aturan yang belum dipahami. Padahal proteksi oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa kondusif terhadap korban serta menindak pelakunya.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi jadwal bersama dalam beberapa dekade terakhir. Fakta membuktikan bahwa KDRT memperlihatkan imbas negatif yang cukup besar bagi perempuan sebagai korban. World Health Organization (WHO) dalam World Report pertamanya mengenai “Kekerasan dan Kesehatan” di tahun 2002, menemukan bahwa antara 40 sampai 70 persen perempuan yang meninggal alasannya ialah pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri. Laporan Khusus dari PBB mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan telah mendefinisikan KDRT dalam bingkai jender sebagai ”kekerasan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga dengan sasaran utama terhadap perempuan dikarenakan peranannya dalam lingkup tersebut; atau kekerasan yang dimaksudkan untuk memperlihatkan tanggapan eksklusif dan negatif pada perempuan dalam lingkup rumah tangga.” 
Signifikansi memakai jender sebagai basis analisa dalam permasalahan ini yaitu untuk mendorong terjadinya perubahan paradigma terhadap KDRT dengan obeservasi sebagai berikut, “Daripada menanyakan kenapa pihak laki-laki memukul, terdapat tendensi untuk bertanya kenapa pihak perempuan berdiam diri”  Analisa jender mendorong kita tidak hanya menanyakan mengapa laki-laki melaksanakan kekerasan, tetapi juga menanyakan kenapa kekerasan terhadap perempuan terjadi dan diterima oleh banyak masyarakat. Merestrukturisasi pertanyaan tesebut merupakan hal penting dalam melaksanakan pembaharuan hukum, khususnya dari perspektif keadilan dan hak asasi insan (HAM). Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif jender ialah untuk memperlihatkan apresiasi bahwa akar persoalan dari kekerasan tersebut terletak pada kekuasaan korelasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh pria. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan khususnya terhadap perempuan oleh pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya, terkadang juga menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan. Meskipun kesadaran terhadap pengalaman kekerasan terhadap perempuan berlangsung setiap saat, fenomena KDRT terhadap perempuan diidentikkan dengan sifat permasalahan ruang privat. Dari perspektif tersebut, kekerasan menyerupai terlihat sebagai suatu tanggung jawab pribadi dan perempuan diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab baik itu untuk memperbaiki situasi yang gotong royong didikte oleh norma-norma sosial atau berbagi metode yang sanggup diterima dari penderitaan yang tak terlihat.

Pemahaman dasar terhadap KDRT sebagai informasi pribadi telah membatasi luasnya solusi aturan untuk secara aktif mengatasi persoalan tersebut. Di sebagian besar masyarakat, KDRT belum diterima sebagai suatu bentuk kejahatan. Bagaimanapun juga, sebagai suatu hasil advokasi kaum feminis dalam lingkup HAM internasional, tanggung jawab sosial terhadap KDRT secara sedikit demi sedikit telah diakui sebagian besar negara di dunia.
Kekerasan dalam rumah tangga seringkali memakai paksaan yang agresif untuk membuat korelasi kekuasaan di dalam keluarga, di mana perempuan diajarkan dan dikondisikan untuk mendapatkan status yang rendah terhadap dirinya sendiri. KDRT seolah-olah memperlihatkan bahwa perempuan lebih baik hidup di bawah belas kasih pria. Hal ini juga membuat pria, dengan harga diri yang rendah, menghancurkan perasaan perempuan dan martabatnya alasannya ialah mereka merasa tidak bisa untuk mengatasi seorang perempuan yang sanggup berpikir dan bertindak sebagai insan yang bebas dengan aliran dirinya sendiri. Sebagaimana pemerkosaan, pemukulan terhadap istri menjadi hal umum dan menjadi suatu keadaan yang serba sulit bagi perempuan di setiap bangsa, kasta, kelas, agama maupun wilayah.
Pada tingkat internasional, kekerasan terhadap perempuan telah dilihat sebagai suatu bingkai kejahatan terhadap hak dan kebebasan dasar perempuan serta perusakan dan pencabutan kebebasan mereka terhadap hak-hak yang menempel pada dirinya. Hal ini menjadi sebuah tantangan dalam pencapaian persamaan hak, pengembangan dan kedamaian yang diakui dalam Nairobi Forward-looking Strategis for the Advancement of Women, yang merekomendasikan satu perangkat tindakan untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan. Rekomendasi tersebut dibebankan kepada Pemerintah sebagai kewajiban aturan dan moral untuk menghilangkan KDRT melalui kombinasi aneka macam langkah serius.

KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat internasional telah membuat standar aturan yang efektif dan khusus memperlihatkan perhatian terhadap KDRT. Tindakan untuk memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan di dalam konvensi HAM internasional maupun regional yang mempunyai sifat aturan mengikat terhadap negara yang telah meratifikasinya. Dokumen HAM Internasional tersebut meliputi, Universal Declaration of Human Rights (“UDHR”), the International Covenant on Civil and Political Rights(“ICCPR”), dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights(“ICESCR”) yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, di mana para korban dari KDRT sanggup menggugat negaranya masing-masing. 
Berbagai pertistiwa kekerasan dalam rumah tangga telah memperlihatkan bahwa negara telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban. Maka negara sanggup dikenakan hukuman bila negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Perlu di ketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( PKDRT ) yang terdapat di dalam undang-undang No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga ialah “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama Perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, Seksual, Psikilogis, atau Penelantaran Rumah Tangga, Yang menpunyai bahaya untuk melaksanakan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan Hukum dalam lingkungan rumah tangga” ( Pasal 1 ayat 1 ).
Dalam Pasal 5 UU No 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa setiap orang dihentikan melaksanakan kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap orang dalam lingkup suatu Rumah Tangga melaksanakan kekerasan menyerupai :
1.      Kekerasan Fisik, yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
2.      Kekerasan Psikis yang menimbulkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemammpuan untuk bertindak,rasa tidak berdaya dan lain-lain.
3.      Kekerasan Seksual yang berupa pemaksaan seksual dengan cara yang tidak masuk akal baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersil atau tujuan tertentu.
4.      Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana berdasarkan Hukum di wajibkan atasnya untuk memperlihatkan kehidupan yang layak atas rumah tangga nya sendiri.
Bagi korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang sanggup di tuntut ke pada pelakunya antara lain:
a.                     Perlindungan dari pihak keluarga, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Advokad,Lembaga sosial atau pihak lainnya maupun atas penetapan perintah proteksi dari Pengadilan.
b.                     Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
c.                      Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasian Korban.
d.                     Pendampingan oleh pekerja sosial atau forum dukungan hukum.
e.                     Pelayanan bimbingan Rohani.
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa mengenalkan aturan ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan aneka macam pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan wacana masuknya suatu instrumen aturan yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.

Arena sosial itu sendiri mempunyai hakekat adanya kapasitas untuk membuat aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan efek dari perkembangan dunia global ketika ini.
Hukum tidak sanggup dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat. Undang-undang dibuat hanya untuk mengatur korelasi masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara.
Bahwa dengan ditetapkannya aneka macam perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban.
Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya sanggup menilai dengan lebih bijak mengenai langkah lain yang patut diambil untuk sanggup membuat keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada jadinya sanggup berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

D.    Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
Faktor-faktor yang menimbulkan kekerasan kerap terjadi dalam rumah tangga selama ini ialah dikarenakan kuatnya dorongan maskulinitas tradisional, yang menimbulkan kebanyakan laki-laki terjerat dalam konstruksi sosial masyarakat yang patriarki. Pria yang terjerat dalam konstruksi sosial patriarki ini kerap tidak berpengaruh menanggung rasa aib atas kegagalannya, menanggung beban sosial yang dirasakan berat. Dalam konstruksi masyarakat patriarki, beban sosial laki-laki ialah harus tampil kuat, jantan, bisa secara ekonomi dan bentuk-bentuk maskulinitas tradisional lainnya. Tidak heran bila kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terus saja terjadi, pelakunya kebanyakan pria, yang mayoritas dalam korelasi rumah tangga. Sementara dari pihak perempuan yang kebanyakan menjadi korban biasanya enggan melaporkan tindakan ini atau menutup rapat masalah yang dialaminya. Dengan demikian untuk mencegah masalah KDRT semakin meningkat, diharapkan keseimbangan tugas kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan. Jika semua ini berjalan baik maka kekerasan dan beban konstruksi sosial bisa ditanggung bersama, dan pada jadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga bisa diminimalkan.

























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Isu  Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam pandangan sosiologi aturan menggambarkan bahwa mengenalkan aturan ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan aneka macam pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation(Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan wacana masuknya suatu instrumen aturan yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.
2.        Dengan diundangkannya UU PKDRT, yaitu bahwa instrumen aturan yang melarang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, akan sanggup efektif untuk  penghapuskan, atau setidaknya mengurangi, terjadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, bila didukung dengan budaya aturan masyarakat yang menempatkan perempuan pada korelasi kekuasaan yang setara dengan laki-laki.
3.      Adanya proteksi Hukum pada masyarakat terhadap kekerasan dalam Rumah Tangga.
4.      Terbentuknya jalinan baik dari masyarakat terhadap Pemerintah.
5.       Undang-undang yang berkenaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT ) memerlukan waktu baik bagi Pemerintah untuk mensosialisasikan undang-undan tersebut maupun bagi masyarakat. apa lagi Suami dalam Pimpinan Rumah Tangga merasa berkuasa terhadap keluarganya dan dari kaum perempuan merasa ada pembatasan norma agama yang harus di jalanin untuk berhadapan dengan suami sebagai kepala rumah tangga nya sendiri. Pada hal dalam rumah tangga tersebut ada Hak dan Kewajiban masing-masing yang di atur oleh Agama. Dari aneka macam hasil penelitian maupun laporan masalah dari lembaga-lembaga yang perduli terhadap perempuan membuktikan korban kekerasan dalam rumah tangga yang terus meningkat ini. Secara yuridis kesadaran dari semua pihat baik secara nasional maupun internasional suudah harus di realisasikan melalui sarana hukum.

B.     Saran
C.      
DAFTAR PUSTAKA


Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.

Belum ada Komentar untuk "Download Makalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel