Perkembangan Penulisan Sejarah Di Indonesia

Perkembangan Penulisan Sejarah Di Indonesia



Setiap generasi menulis sejarahnya sendiri. Penulisan sejarah (historiografi) di Indonesia umumnya dibagi dalam tiga tahap perkembangan, yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historigrafi modern Indonesia.

Historiografi Tradisional


Historiografi tradisional ialah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa setelah masyarakat Indonesia sudah mengenal tulisan, baik pada zaman Hindu-Buddha maupun pada zaman Islam. Hasil goresan pena sejarah dan masa mi seringkali disebut sebagai naskah dan pada umumnya tidak disusun secara akademik-ilmiah. Mengapa? Karena seringkali data-data yang terdapat di dalamnya bercampur-baur antara mitos dan realitas. Sebagai contoh, dalam Babad TanahJawi, Pguambahan Senopati digambarkan sebagai orang/raja yang sakti mandraguna yang sanggup terbang dan berkeluarga dengan penguasa lelembut Laut Selatan, Ra Laut Kidul.



Selain Babad Tanah Jawi, contoh historiografi tradisional lainnya ialah Babad Kra ton, Babad Diponegoro, Hikayat Hang Tuali, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikaya t Salsilah Raja Perak, Hikaya t Tanah Hitu, dan Kronik Banjarmasin.

Di samping memuat ihwal tindakan manusia, naskah-naskah menyerupai mi juga ialah teogoni dan kosmogoni yang menunjukan kekuatan alam dan mempersonifikasikannya sebagai dewa. Bahkan sanggup dikatakan bahwa sejarah berjalan tanpa dipengaruhi atau ditentukan oleh agresi maupun motivasi manusia. Penggerak sejarah sendiri ialah kekuatan-kekuatan kosmis/alam semesta. Oleh alasannya itu, bukanlah hal guah jikalau hingga dengan tahun 1960-an banyak sejarawan yang tidak mau memakai naskah- naskah itu sebagai sumber atau acuan karya ilmiahnya. Secara garis besar historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri sebagai diberikut:

  1. Kebanyakan karya-karya tersebut berpengaruh dalam hal genealogi (silsilah) tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
  2. Bersifat primordial balk dan segi budaya maupun etnisitas.
  3. Bersifat melegitimasi suatu kekuasaan sehingga seringkali anakronistis.
  4. Penuh dengan mitos.
  5. Sumber-sumber datanya susah untuk ditelusuri kembali. Bahkan kadangkala tidak mungkin sanggup dibuktikan.

Meskipun demikian, beberapa sejarawan, baik Indonesia maupun asing, yang mereview ihwal masyarakat Indonesia menemukan bukti bahwa banyak hal yang ditulis dalam naskah-naskah tradisional itu terungkap pula dalam sumber-sumber sejarahlainnya. melaluiataubersamaini demikian mereka menganggap naskah tradisional atau historiografi tradisional sanggup pula dijadikan sumber atau pola sejarah akademik.

Historiografi Kolonial



Berbicara terkena perkembangan historiografi Indonesia tidak sanggup mengabaikan literarur historiografis yang dihasilkan oleh para sejarawan kolonial. Secara metodis, gotong royong karya-karya masa kolonial mi sudah termasuk kategori historiografi modern alasannya disusun secara ilmiah-akademik. Akan tetapi, alasannya penyusunannya ditujukan untuk membenarkan penguasaan bangsa mereka terhadap bangsa pribumi (Indonesia) maka beberapa pertimbangan ilmiahnya sanggup dikalahkan oleh kepentingan itu.

Sifat melegimitasi dan membenarkan penjajahan mereka nampak dalam tulisan—tulisan periode mi. melaluiataubersamaini sendirinya karya-karya mereka menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memarjinalkan orang-orang pribumi. Sebagai contoh, tokoh-tokoh pribumi menyerupai Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan Cut Nyak Dhien, disebut sebagai pemberontak sementara pahlawannya ialah orang Belanda.

Salah satu contoh historiografi masa kolonial yang cukup besar pengaruhnya terhadap penulisan buku asuh sejarah Indonesia ialah Geschiedenis van Neder landsche-Indie yang diedit oleh Stapel. Buku mi pertama kali terbit pada tahun 1939 dan terdiri dan atas enam jilid. Selain karya Stapel, buku lainnya ialah Koloniale Geshiedenis karya Collenbrander.

Sebenarnya, pada zaman kolonial sendiri sudah ada Koreksian terhadap karya-karya yang umumnya dilakukan dengan pendekatan eropasentris menyerupai di atas. Kritikan itu antara lain dilakukan oleh J.C. van Leur (1940), yang melaksanakan usaha penulisan sejarah Indonesia dengan perspektif baru. J.C. van Leur antara lain mengKoreksi pendapat Stapel dkk yang menyampaikan bahwa semenjak era ke-18 seluruh kepulauan Indonesia sudah dikuasai VOC. Menurutnya, pendapat itu tidak benar alasannya sampai.khir era ke-19 masih banyak kerajaan di kepulauan Indonesia yang masih merdeka dan berdaulat. Bahkan di bersahabat Batavia (Jawa) sendiri, yang nota bene menjadi sentra kekuatan VOC semenjak paruh awal era ke-17, Banten masih bangkit sebagai kerajaan yang berdaulat.

Salah sam ungkapan yang dikatakan Van Leur ialah “tidakboleh melihat kehidupan masyarakat spesialuntuk dan atas geladak kapal saja”. Artinya, tidakboleh menuliskan masyarakat Hindia spesialuntuk dan sudut penguasa saja dengan mengabaikan sumber-sumber pribumi sehingga peranan bangsa pribumi tidak nampak sementara yang ada spesialuntuklah acara bangsa Belanda di Hindia. Sayangnya, justru pendapat Stapel dkk yang tenar di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk para pejabatnya. Salah sam pendapat yang masih menempel pada sebagian masyarakat Indonesia ialah percaya bahwa bangsa Indonesia sudah dijajah bangsa Belanda selama 350 tahun. Artinya, dijajah semenjak tahun 1595 sewaktu Cornelis de Houtman berangkat dan negeri Belanda untuk mencari pulau rempah-rempah di Timur.

Historiografi Modern Indonesia



Sesudah kemerdekaan Indonesia, duduk kasus sejarah nasional menerima perhatian yang relatifbesar. Hal mi terutama unmk kepentingan pembelajaran di sekolah-sekolah, sekaligus untuk masukana pewarisan nilai-nilai usaha serta jati diri bangsa Indonesia. Semangat patriotisme itu direfleksikan antara lain dengan gerakan Indonesianisasi dalam aneka macam bidang, termasuk pendidikan. Istilahi stilah asing, khususnya istilah Belanda, mulai diindonesiakan, termasuk pelaj aran sejarah.

Sayangnya, gerakan mengindonesiakan sejarah Hindia Belanda yang belandasentris menjadi Sejarah Indonesia yang indonesiasentris tidak disertai oleh pengetahuan yang memadai ihwal ilmu sejarah. Akibatnya, yang terjadi bukannya menerbitkan buku sejarah Indonesia yang barn, tetapi Geschiedenis van Nederlandsch-Indiƫ versi barn dengan nama Sejarah Indonesia. Isinya sendiri spesialuntuk sekedar menukar tempat antara tokoh Belanda dengan tokoh Indonesia.

Jika pada Geschiedenis van NederlandschIndiĆ« tokoh-tokoh Belanda ialah pahiawan sementara orang pribumi sebagai penjahatnya, maka dalam sejarah Indonesia hasil indonesianisasi mi kedudukannya terbalik: tokoh—tokoh Indonesia menjadi pahlawannya sedangkan tokoh-tokoh Belanda menjadi penjahatnya. Anehnya, alur kisah dan panggungnya tetap sama. Gerakan penulisan sejarah yang indonesiasentris, menyerupai halnya yang terjadi di beberapa negara Asia yang gres merdeka, menerima kecaman yang cukup tajam. Sebagai contoh, seorang sejarawan Inggris berjulukan Bastin menilai penulisan sejarah nasional yang asiasentris tidak mungkin bias obyektif mabadunga tokoh-tokohnya harus berhadapan dengan mantan pen] aj ahnya. Di kalangan orang Indonesia sendiri, terutama yang mengerti sejarah, muncul pula keprihatinan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong para sejarawan dan para pengamat sejarah mengadakan “Kongres Sejarah Nasional” yang pertama pada tahun 1957. Berbagai duduk kasus yang berkaitan dengan sejarah dibicarakan dalam kongres tersebut, menyerupai duduk kasus periodisasi dankonsep-konsepkesejarahanlainnya.

Kemudian, dalam kongresnya yang kedua, yang namanya diubah menjadi “Seminar Nasional Sejarah”, dibicarakan rencana untuk menulis sebuah buku sejarah nasional dengan perspektif gres dengan cita-cita sanggup dijadikan semacam buku referensi. dengan perspektifbaru. Artinya, dalam penulisannya dibutuhkan tidak spesialuntuk sekedar mengubah pen’dekatan eropasentris menjadi indonesiasentris, tetapi juga menampilkan hal-hal yang gres yang sebelumnya belum sempat terungkap.

Salah satu cara yang hendak ditempuh ialah dengan meninggalkan cara penulisan sejarah konvensional (yang spesialuntuk mengandalkan naskah-naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif deskriptif etnosentris/l.edaerahan dan tema-tema penguasa dan politik. Sebagai gantinya, mereka mengharapkan penulisan sejarah kritis (struktural analitis) dengan pendekatan multi dimensional. Tekniknya dengan mempergunakan teori-teori ilmu-ilmu sosial untuk menunjukan kejadian-kejadian sejarah sesuai dengan dimensinya, dengan memakai sumber-sumber yang lebih bermacam-macam daripada masa-masa sebelumnya.
Sumber Pustakia: Gguaca Exact

Belum ada Komentar untuk "Perkembangan Penulisan Sejarah Di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel