Karl Raimund Popper. Filsafat Politik Dan Sosial
Dalam buku-bukunya Masyarakat terbuka dan para musuhnya dan Kemiskinan historisisme Popper menyajikan pemikirannya di bidang politik dan sosial. Seperti sudah dikatakan di sebelumnya, dalam karya-karya ini ia menerapkan gagasan-gagasannya perihal metode ilmiah pada ilmu pengetahuan sosial. Untuk mengerti isi buku-buku ini dihentikan dilupakan konteks historisnya, yaitu pengalaman Popper selaku orang Yahudi berhadapan dengan nasional-sosialisme Hitler. Dalam uraian perihal riwayat hidupnya, sudah kita dengar bahwa kedua buku ini ditulis di kawasan pengasingan Popper di Selandia Baru, saat Perang Dunia II masih berkecamuk dan penghabisannya belum jelas.
Dalam edisinya tahun 1957 buku Kemiskinan historisisme dipersembahkan “In memoriam jumlah tak terbilang manusia, laki-laki dan wanita, dari semua keyakinan, bangsa, dan ras, yang menjadi korban dari kepercayaan fasistis dan komunistis akan hukum-hukum tak terelakkan yang berdasarkan suratan nasib historis”.
Bagi Popper historisisme ialah filsafat sejarah yang diandaikan oleh banyak pandangan totaliter perihal masyarakat, menyerupai contohnya fasisme dan komunisme. Historisisme beropini bahwa sejarah dan masyarakat berkembang dengan cara mutlak perlu dan kalau kita mengetahui aturan yang memilih sejarah, kita sanggup meramalkan juga jalannya sejarah di masa mendatang. Popper mengakui bahwa adanya perubahan dalam masyarakat tidak sanggup disangkal. Dan tentu saja perubahan serupa itu sering kali berlangsung berdasarkan tendensi tertentu. Tetapi kemiskinan historisisme menjadi nyata, kalau ia tidak melihat bergantungnya tendensi pada keadaan-keadaan kasatmata yang menandai suatu zaman. Suatu perubahan—dan juga tendensi yang tampak di dalamnya—selalu bertumpu pada keadaan-keadaan yang terdapat pada waktu tertentu. Kalau keadaan-keadaan itu menjadi lain, tendensi bersangkutan akan berubah juga. Apa lagi, di samping mengandaikan suatu tendensi yang mutlak perlu, historisisme beranggapan pula bahwa suatu tendensi dalam sejarah selalu harus dinilai positif. Orang yang tidak mendapatkan tendensi itu harus dicap “ketinggalan zaman”. Yang gres (perubahan, revolusi) selalu merupakan yang terbaik. Nah, inilah suatu optimisme naif. Dan pandangan ini menjadi biang keladi dari begitu banyak kekejaman dan penganiayaan yang berlangsung dalam sejarah.
Kalau Popper menolak setiap bentuk pemerintahan yang totaliter, berdasarkan beliau bentuk macam apakah yang harus diwujudkan? Ia menjawab: the open society, masyarakat terbuka. Dengan penuh keyakinan ia menjelaskan bahwa dari sudut logis dan ilmiah tata negara yang paling cocok ialah masyarakat terbuka atau demokrasi. Dalam bentuk negara serupa itu setiap warga negara berhak mengemukakan kritik dan mengusulkan pemecahan bagi problem-problem yang dihadapi; dan politik pemerintah akan dijalankan dengan memanfaatkan kritik itu. Sebagaimana dalam filsafat ilmu pengetahuan ia menganggap kritik sebagai upaya yang paling harmonis semoga ilmu pengetahuan sanggup maju, demikian pun di bidang politik ia menganggap kritik sebagai jalan yang paling tepat untuk menghasilkan susunan kemasyarakatan yang memadai, artinya susunan kemasyarakatan di mana kebebasan terjamin secara optimal.
Bagi Popper pernyataan yang paling penting di bidang filsafat politik bukanlah “Siapa yang harus memerintah?” Memang di waktu lampau banyak filsafat politik berkisar pada pertanyaan itu dan telah diberikan majemuk jawaban: orang yang paling bijaksana, orang yang paling baik, mayoritas, kaum proletar. Popper melihat sebagai pernyataan pokok dalam filsafat politik: How can minimize misrule? (bagaimana sanggup kita kurangi terjadinya pemerintahan yang salah?). Baik dalam arti mencegah timbulnya pemerintahan buruk di masa depan, maupun dalam arti mengurangi konsekuensi-konsekuensi negatif dari pemerintahan buruk di masa sekarang. Cara pemerintahan tepat tidak pernah akan tercapai, kata Popper (yang dengan demikian menolak teori-teori utopistis perihal masyarakat tepat di masa depan menyerupai contohnya marxisme). Yang harus diusahakan ialah sedapat mungkin mengoreksi dan menyingkirkan ketidaksempurnaan yang kita alami dalam masyarakat. Dalam konteks ini sanggup dimengerti juga bahwa Popper menentang setiap pendekatan holistik di bidang politik dan sosial. Dengan pendekatan holistik dimaksudkannya suatu perubahan yang mau menangani sekaligus kehidupan politik sebagai keseluruhan, contohnya melalui jalan revolusi. Menurut Popper, tidak pernah sanggup dipastikan bahwa sehabis keadaan akan lebih baik (apa lagi sempurna!), dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Sambal menolak pendekatan holistik, Popper sendiri mendukung apa yang disebutnya (dengan suatu istilah yang kurang sedap kedengarannya di pendengaran para filsuf modern) piecemeal social enginnering, yaitu secara sistematis memperbaiki hidup sosial dan politik secara kecil-kecilan, sedikit demi sedikit.
Akhirnya sepatah kata perihal mereka yang oleh Popper dipandang sebagai musuh masyarakat terbuka. Buku Masyarakat terbuka dan para musuhnya seluruhnya diisi dengan analisis mengenai dan kritik atas tiga filsuf besar di bidang filsafat politik, yaitu Plato*, Hegel*, dan Marx*. Tiga filusuf tersebut dianggap sebagai perintis totalitarianisme dalam filsafat politik. Analisis dan kritik Karl Popper ini menjadikan banyak diskusi, khususnya sejauh menyangkut Plato*. Banyak mahir sejarah Yunani beropini bahwa pendirian Popper ini tidak sesuai dengan pengetahuan historis kita perihal Plato* dan filsafatnya. Tetapi dalam hal ini catatan Bryan Magee pantas diberi perhatian, sejauh ia menekankan bahwa buku Popper tersebut teristimewa mengesankan alasannya ialah berisikan suatu pembelaan terhadap demokrasi dengan argumentasi amat kaya dan penuh gairah. Seandainya interpretasi historis oleh Popper sebagian (ataupun seluruhnya) salah, namun buku tersebut tetap bernilai sebagai kritik tajam atas setiap bentuk pemerintahan totaliter.
Download di Sini
Sumber.
Bertens. Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia
Baca Juga
1. Karl Raimund Popper. Biografi dan Karya
2. Mendekati Kebenaran Bersama Karl Raimund Popper
3. Karl Raimund Popper. Masalah Demarkasi
4. Karl Raimund Popper. Pandangan perihal Dunia 3
Bagi Popper historisisme ialah filsafat sejarah yang diandaikan oleh banyak pandangan totaliter perihal masyarakat, menyerupai contohnya fasisme dan komunisme. Historisisme beropini bahwa sejarah dan masyarakat berkembang dengan cara mutlak perlu dan kalau kita mengetahui aturan yang memilih sejarah, kita sanggup meramalkan juga jalannya sejarah di masa mendatang. Popper mengakui bahwa adanya perubahan dalam masyarakat tidak sanggup disangkal. Dan tentu saja perubahan serupa itu sering kali berlangsung berdasarkan tendensi tertentu. Tetapi kemiskinan historisisme menjadi nyata, kalau ia tidak melihat bergantungnya tendensi pada keadaan-keadaan kasatmata yang menandai suatu zaman. Suatu perubahan—dan juga tendensi yang tampak di dalamnya—selalu bertumpu pada keadaan-keadaan yang terdapat pada waktu tertentu. Kalau keadaan-keadaan itu menjadi lain, tendensi bersangkutan akan berubah juga. Apa lagi, di samping mengandaikan suatu tendensi yang mutlak perlu, historisisme beranggapan pula bahwa suatu tendensi dalam sejarah selalu harus dinilai positif. Orang yang tidak mendapatkan tendensi itu harus dicap “ketinggalan zaman”. Yang gres (perubahan, revolusi) selalu merupakan yang terbaik. Nah, inilah suatu optimisme naif. Dan pandangan ini menjadi biang keladi dari begitu banyak kekejaman dan penganiayaan yang berlangsung dalam sejarah.
Kalau Popper menolak setiap bentuk pemerintahan yang totaliter, berdasarkan beliau bentuk macam apakah yang harus diwujudkan? Ia menjawab: the open society, masyarakat terbuka. Dengan penuh keyakinan ia menjelaskan bahwa dari sudut logis dan ilmiah tata negara yang paling cocok ialah masyarakat terbuka atau demokrasi. Dalam bentuk negara serupa itu setiap warga negara berhak mengemukakan kritik dan mengusulkan pemecahan bagi problem-problem yang dihadapi; dan politik pemerintah akan dijalankan dengan memanfaatkan kritik itu. Sebagaimana dalam filsafat ilmu pengetahuan ia menganggap kritik sebagai upaya yang paling harmonis semoga ilmu pengetahuan sanggup maju, demikian pun di bidang politik ia menganggap kritik sebagai jalan yang paling tepat untuk menghasilkan susunan kemasyarakatan yang memadai, artinya susunan kemasyarakatan di mana kebebasan terjamin secara optimal.
Bagi Popper pernyataan yang paling penting di bidang filsafat politik bukanlah “Siapa yang harus memerintah?” Memang di waktu lampau banyak filsafat politik berkisar pada pertanyaan itu dan telah diberikan majemuk jawaban: orang yang paling bijaksana, orang yang paling baik, mayoritas, kaum proletar. Popper melihat sebagai pernyataan pokok dalam filsafat politik: How can minimize misrule? (bagaimana sanggup kita kurangi terjadinya pemerintahan yang salah?). Baik dalam arti mencegah timbulnya pemerintahan buruk di masa depan, maupun dalam arti mengurangi konsekuensi-konsekuensi negatif dari pemerintahan buruk di masa sekarang. Cara pemerintahan tepat tidak pernah akan tercapai, kata Popper (yang dengan demikian menolak teori-teori utopistis perihal masyarakat tepat di masa depan menyerupai contohnya marxisme). Yang harus diusahakan ialah sedapat mungkin mengoreksi dan menyingkirkan ketidaksempurnaan yang kita alami dalam masyarakat. Dalam konteks ini sanggup dimengerti juga bahwa Popper menentang setiap pendekatan holistik di bidang politik dan sosial. Dengan pendekatan holistik dimaksudkannya suatu perubahan yang mau menangani sekaligus kehidupan politik sebagai keseluruhan, contohnya melalui jalan revolusi. Menurut Popper, tidak pernah sanggup dipastikan bahwa sehabis keadaan akan lebih baik (apa lagi sempurna!), dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Sambal menolak pendekatan holistik, Popper sendiri mendukung apa yang disebutnya (dengan suatu istilah yang kurang sedap kedengarannya di pendengaran para filsuf modern) piecemeal social enginnering, yaitu secara sistematis memperbaiki hidup sosial dan politik secara kecil-kecilan, sedikit demi sedikit.
Akhirnya sepatah kata perihal mereka yang oleh Popper dipandang sebagai musuh masyarakat terbuka. Buku Masyarakat terbuka dan para musuhnya seluruhnya diisi dengan analisis mengenai dan kritik atas tiga filsuf besar di bidang filsafat politik, yaitu Plato*, Hegel*, dan Marx*. Tiga filusuf tersebut dianggap sebagai perintis totalitarianisme dalam filsafat politik. Analisis dan kritik Karl Popper ini menjadikan banyak diskusi, khususnya sejauh menyangkut Plato*. Banyak mahir sejarah Yunani beropini bahwa pendirian Popper ini tidak sesuai dengan pengetahuan historis kita perihal Plato* dan filsafatnya. Tetapi dalam hal ini catatan Bryan Magee pantas diberi perhatian, sejauh ia menekankan bahwa buku Popper tersebut teristimewa mengesankan alasannya ialah berisikan suatu pembelaan terhadap demokrasi dengan argumentasi amat kaya dan penuh gairah. Seandainya interpretasi historis oleh Popper sebagian (ataupun seluruhnya) salah, namun buku tersebut tetap bernilai sebagai kritik tajam atas setiap bentuk pemerintahan totaliter.
Download di Sini
Sumber.
Bertens. Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia
Baca Juga
1. Karl Raimund Popper. Biografi dan Karya
2. Mendekati Kebenaran Bersama Karl Raimund Popper
3. Karl Raimund Popper. Masalah Demarkasi
4. Karl Raimund Popper. Pandangan perihal Dunia 3
Belum ada Komentar untuk "Karl Raimund Popper. Filsafat Politik Dan Sosial"
Posting Komentar