Friedrich Nietzsche. The Death Of God

“Tuhan sudah mati” (bahasa Jerman: “Gott Ist Tot”) yaitu sebuah ungkapan yang banyak dikutip dari Friedrich Nietzsche. Ungkapan ini pertama kali muncul dalam The Gay Science, seksi 108 (New Struggles), dalam seksi 125 (The Madman), dan untuk ketiga kalinya dalam seksi 343 (The Meaning of Our Cheerfulness). Juga muncul dalam buku klasik Nietzsche Also Sprach Zarathustra.
Dalam konteks ini, “Tuhan sudah mati” dilarang ditanggapi secara harfiah, bahwa “Tuhan sekarang secara fisik sudah mati”; atau sebaliknya, inilah cara Nietzsche menyampaikan bahwa gagasan perihal Tuhan tidak lagi bisa untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Nietzsche mengakui krisis yang diwakili oleh kematian Tuhan bagi pertimbangan-pertimbangan moral yang ada, lantaran “Ketika seseorang melepaskan keyakinan Kristen, ia mencabut hak terhadap moralitas Katolik dari bawah kakinya.
Moralitas ini sama sekali tidaklah terbukti dengan sendirinya. Dengan menghancurkan sebuah konsep utama dari kekristenan, keyakinan kepada Tuhan, orang menghancurkan keseluruhannya: tak ada suatu pun yang tinggal di tangannya.” Inilah sebabnya mengapa di dalam The Madman si orang aneh berbicara bukannya kepada orang, melainkan kepada kaum ateis—masalahnya ialah bagaimana mempertahankan sistem nilai apa pun di tengah ketiadaan tatanan ilahi.

Kematian Tuhan yaitu sebuah cara untuk menyampaikan bahwa insan tidak lagi bisa memercayai tatanan kosmis apa pun yang ibarat itu lantaran mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik, tetapi juga kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri—kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu aturan moral yang objektif dan universal, yang mengikat semua individu. Cara ini membawa pada nihilisme, dan inilah yang diusahakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.

Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui) kematian ini lantaran ketakutan atau angst (kecemasan) mereka yang paling terdalam. Karena itu, dikala kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan merajalela, ibarat halnya dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak insan yaitu aturan di dalam dirinya sendiri-apa pun boleh dan semuanya diizinkan. Inilah sebagian alasan mengapa Nietzsche menganggap kekristenan nihilistik. Bagi Nietzsche, nihilisme yaitu konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik mana pun, lantaran semua idealisme menderita kelemahan yang sama ibarat moralitas. Kristen—yakni tidak mempunyai “dasar” untuk membangun di atasnya. Karena itu, ia menggambarkan dirinya sebagai ‘manusia bawah tanah’ (subterranean man) yang sedang bekerja, yang menggali dan menambang dan menggangsir.

Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang kasatmata bagi insan tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan pada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif insan untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan orang Kristen, dengan perintah-perintah dan larangan-larangannya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya, sehingga insan boleh berhenti mengalihkan mata mereka kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. Pengakuan bahwa “Tuhan sudah mati” yaitu bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini yaitu kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif—suatu kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk mendapatkan beban masa lampau. Nietzsche memakai metafora maritim yang terbuka, yang sanggup menggairahkan dan menakutkan. Orang-orang yang kesannya mencar ilmu untuk membuat kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu tahap yang gres dalam keberadaan manusia, sang Ubermensch. ‘Tuhan sudah mati’ yaitu motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, ‘evaluasi terhadap semua nilai’.

Meskipun Nietzsche menempatkan ungkapan “Tuhan sudah Mati” ke verbal seorang “gila” dalam The Gay Science, ia juga memakai ungkapan ini dalam suaranya sendiri dalam seksi 108 dan 343 dari buku yang sama. Dalam ucapan si orang gila, orang itu digambarkan berlari-lari di pasar sambil berseru-seru, “Tuhan sudah mati! Tuhan tetap mati!” ia membangkitkan rasa geli pada beberapa orang. Namun, tak seorang pun menanggapinya dengan serius. Namun tak seorang pun menanggapinya dengan serius. Dengan rasa frustrasi si orang aneh menghantamkan lenteranya di tanah sambil berteriak keras-keras bahwa ia tiba terlalu dini. Orang belum sanggup menyadari bahwa mereka telah membunuh Tuhan.

Sebelum buku itu, Nietzsche juga telah menulis “Tuhan sudah mati: tetapi lantaran cara manusia, mungkin masih ada di gua-gua selama ribuan tahun di mana bayang-bayang Tuhan masih akan kelihatan. Dan kita masih harus memusnahkan bayang-bayang-Nya juga. “Si tokoh protagonis dalam Also Sprach Zarathustra juga mengucapkan kata-kata tersebut, dan berkomentar kepada dirinya sendiri sesudah mengunjungi seorang pertapa yang, setiap harinya, menyanyikan nyanyian dan hidup untuk memuliakan tuhannya.

‘Dan apakah yang dilakukan si orang suci ini di hutan?’ tanya Zarathustra. Si orang suci menjawab: ‘aku membuat nyanyian dan menyanyikannya; dan dikala saya membuat nyanyian, saya tertawa, menangis dan bersenandung; jadi dengan melaksanakan semua itu saya memuji Tuhan. Dengan bernyanyi, menangis, tertawa, dan bersenandung saya memuji ilahi yang yaitu tuhanku. Tetapi apa yang engkau bawa kepada kami sebagai hadiah? Ketika Zarathustra mendengar kata-kata ini ia mengucapkan selamat berpisah dan berkata: ‘Apa yang sanggup kumiliki untuk kuberikan kepadamu? Tapi biarkanlah saya pergi dengan segera biar saya tidak mengambil sesuatu daripadamu!’ Dan kemudian mereka berpisah, si orang bau tanah dan lelaki itu, sambil tertawa ibarat dua anak lelaki tertawa.

Tetapi dikala Zarathustra sendirian, ia berbicara kepada dirinya sendiri, ‘Mungkinkah itu? Si orang suci di hutan ini belum mendengar apa-apa perihal hal ini, bahwa Tuhan sudah mati! Ketika menemukan dalam sebuah nyanyian gereja karya Martin Luther apa yang digambarkan oleh Hegel* sebagai kata-kata yang kejam, ungkapan yang keji, yakni Tuhan sudah mati, Hegel* barangkali yaitu filsuf besar pertama yang menyebarkan tema perihal kematian Tuhan. Menurut Hegel*, bagi suatu bentuk pengalaman, Tuhan sudah mati. Sambil mengomentari Critique pertama Kant*, Heinrich Heine berbicara perihal Tuhan yang sedang sekarat. Heine memengaruhi Nietzsche. Sejak Heine dan Nietzsche, ungkapan kematian Tuhan menjadi populer.

Sebuah laporan utama majalah Time (8 April 1966) perihal agama di Amerika mempertanyakan, “Apakah Tuhan sudah mati?” Terbitan ini kemudian menjadi salah satu edisi Time yang paling kontroversial. Sampul majalah Time 8 April 1966 dan artikel yang menyertainya mengenai suatu gerakan dalam teologi Amerika yang muncul pada tahun 1960-an, dikenal sebagai “kematian Tuhan”. Gerakan Kematian Tuhan kadang kala secara teknis disebut sebagai “teotanatologi”.

Tokoh penganjur utama teologi ini antara lain yaitu Gabriel Vahanian, Paul van Buren, William Hamilton dan Thomas J.J. Altizer, serta rabi Yahudi Richard Rubenstein. Pada 1961, buku Vahanian The Death of God (Kematian Tuhan) diterbitkan. Vahanian beropini bahwa budaya sekuler yang modern telah kehilangan semua rasa perihal yang suci, tidak mempunyai makna sakramental apa pun, tidak mempunyai tujuan transendental ataupun rasa bahwa hidup insan dipelihara oleh Tuhan. Ia menyimpulkan bahwa bagi pikiran modern “Tuhan sudah Mati”, tetapi ia tidak memaksudkan bahwa Tuhan tidak ada lagi. Dalam visi Vahanian, insan membutuhkan suatu budaya pasca-Kristen dan pasca-modern yang telah ditransformasikan, untuk membuat suatu pengalaman yang gres perihal yang ilahi.

Baik van Buren maupun Hamilton sama-sama setuju bahwa konsep transendensi telah kehilangan tempatnya yang bermakna dalam pikiran modern. Menurut norma-norma fatwa modern kontemporer, Tuhan sudah mati. Dalam menanggapi keruntuhan transendensi ini, van Buren dan Hamilton menyampaikan masyarakat sekuler pilihan perihal Yesus sebagai insan pola yang bertindak dalam cinta kasih. Perjumpaan dengan Kristus dari keyakinan akan terbuka dalam sebuah komunitas gereja.

Altizer menyampaikan sebuah teologi radikal perihal kematian Tuhan yang meminjam dari gagasan-gagasan William Blake, fatwa Hegelian dan gagasan Nietzschean. Ia mengonsepsikan teologi sebagai suatu bentuk puisi dikala imanensi (kehadiran) Tuhan sanggup dijumpai dalam komunitas-komunitas iman. Namun demikian, ia tidak lagi mendapatkan kemungkinan untuk mengukuhkan keyakinan terhadap Tuhan yang transenden. Bagi Altizer, Tuhan telah bermetamorfosis di dalam Kristus dan telah memancarkan ruhnya yang imanen yang tetap ada di dalam dunia meskipun Yesus telah mati.


Rubenstein mewakili sisi radikal dari fatwa Yahudi yang bergumul melalui efek Holocaust. Dalam pengertian teknis ia mengatakan, menurut Kabbalah, bahwa Tuhan telah “mati” dalam membuat dunia. Namun demikian, bagi budaya Yahudi modern, ia beropini bahwa kematian Tuhan terjadi di Auschwitz. Dalam karya Rubenstein, kita mustahil lagi percaya kepada Allah dari perjanjian Abrahamik. Ia merasa bahwa satu-satunya kemungkinan yang tersisa bagi orang Yahudi yaitu menjadi orang kafir, atau membuat makna mereka sendiri.

“Die e morto” (Tuhan sudah mati, bahasa Italia) yaitu sebuah judul dari sebuah nyanyian Italia terkenal yang ditulis oleh pengarang lagu Francesco Guccini yang menjadi hit bagi grup band Italia Nomadi pada 1965. Jembatan dari lagu Elton John tahun 1972, “Levon”, dengan liriknya karya Bernie Taupin mengandung kata-kata yang berbunyi “New York Times menyampaikan Tuhan sudah mati”. Band terkenal MTVmo Sense Fail menyebutkan bahwa mereka ingin mati “Seperti Tuhan di sampul waktu” dalam salah satu lagu mereka.

“Mungkin ia menyelinap keluar dari dunia, dan sekarang ada di suatu daerah lain, ibarat jiwa seorang yang telah mati. Mungkin ia hanyalah sebuah mimpi... Tuhan sudah mati.” Jean-Paul Sartre*, Nietzsche: “Tuhan sudah mati” Tuhan: “Nietzsche sudah mati” (sebuah banyolan terkenal yang sering ditemukan dicoret-coretkan di dinding, khususnya di kota-kota universitas. Variannya: “Tuhan sudah mati, Nietzsche sudah mati dan saya sendiri merasa agak tidak lezat badan.”)


Download di Sini


Sumber.

Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik sampai Postmodern”. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.

Baca Juga
1. Friedrich Nietzsche. Biografi
2. Friedrich Nietzsche. Culture, Power, Truth
3. Jejak Filsafat Friedrich Nietzsche
4. Friedrich Nietzsche. Mazhab Nihilisme
5. Friedrich Nietzsche
6. Friedrich Nietzsche. Kehendak untuk Berkuasa
7. Friedrich Nietzsche. Moralitas Budak dan Moralitas Tuan

Belum ada Komentar untuk "Friedrich Nietzsche. The Death Of God"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel