Disorganisasi (Disintegrasi) Dan Reorganisasi (Reintegrasi)

Organisasi merupakan artikulasi dari bagian-bagian yang merupakan suatu kesatuan fungsional. Tubuh manusia, misalnya, terdiri dari bagian-bagian yang masing-masing memiliki fungsi dalam rangka hidupnya seluruh badan insan sebagai suatu kesatuan. Apabila seseorang sedang sakit, bisa dikatakan salah satu belahan tubuhnya tidak sanggup berfungsi sebagaimana mestinya. Jadi, secara keseluruhan bagian-bagian badan insan tadi merupakan keserasian yang fungsional.

Demikian halnya kehidupan dalam sebuah kota, misalnya, merupakan suatu organisasi tersendiri. Ada kegiatan membersihkan kota pada waktu-waktu tertentu, jalan raya untuk keperluan transpor, restoran, daerah rekreasi, sekolah, rumah penduduk, dan seterusnya. Apabila salah satu belahan kota tadi tidak berfungsi, timbullah ketidakserasian. Misalnya saja, kalau ada jalan yang ditutup sebab rusak berat, lantas akan timbul kemacetan. Maka, dapatlah dikatakan bahwa disorganisasi yaitu suatu keadaan di mana tidak ada keserasian pada bagian-bagian dari suatu kebulatan.

Kriteria terjadinya diorganisasi antara lain terletak pada perkara apakah organisasi tersebut berfungsi secara semestinya atau tidak. Dalam masyarakat disorganisasi sering kali dihubungkan dengan moral, yaitu anggapan-anggapan perihal apa yang baik dan apa yang buruk. Pemogokan buruh contohnya dianggap oleh golongan konservatif sebagai perbuatan tidak baik, padahal pemogokan tersebut bisa jadi merupakan sarana penyerasi antara hak dan kewajiban.


Suatu disorganisasi atau disintegrasi mungkin sanggup dirumuskan sebagai suatu proses berpudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat sebab perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sementara itu, reorganisasi atau reintegrasi yaitu suatu proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai gres biar harmonis dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan.

Tahap reorganisasi dilaksanakan apabila norma-norma dan nilai-nilai yang gres telah melembaga (institutionalized) dalam diri warga masyarakat. Berhasil atau tidaknya proses pelembagaan (institutionalization) tersebut dalam masyarakat mengikuti pola sebagai berikut, yaitu apabila efektivitas menanam kecil, sedang kekuatan menentang besar, kemungkinan suksesnya proses pelembagaan menjadi kecil atau bahkan hilang sama sekali. Sebaliknya apabila efektivitas menanam besar dan kekuatan menentang masyarakat kecil, jalannya proses pelembagaan menjadi lancar. Berdasarkan hubungan timbal balik antara kedua faktor yang kuat positif dan negatif itu, orang sanggup menambah kelancaran proses pelembagaan dengan memperbesar efektivitas menanam dan atau mengurangi kekuatan menentang masyarakat.

Perlu pula diperhatikan bahwa penggunaan kekerasan untuk mengurangi kekuatan menentang masyarakat biasanya malah memperbesar kekuatan tersebut. Mungkin saja kekuatan menentang tersebut tidak muncul keluar, namun meresap ke dalam jiwa dalam bentuk dendam dan benci. Perasaan-perasaan demikian juga penghambat proses pembangunan.

Di samping efek positif dan negatif itu, ada pula efek dari faktor ketiga, yaitu faktor kecepatan menanam. Artinya yaitu panjang pendeknya jangka waktu menanam itu dilakukan dan dibutuhkan memperlihatkan hasil. Semakin tergesa-gesa orang berusaha menanam dan semakin cepat pula mengharapkan hasilnya, semakin tipis imbas pelembagaan dalam masyarakat. Sebaliknya makin hening orang berusaha menanam dan makin cukup waktu yang diperhitungkan untuk menyebabkan hasil dari usahanya, semakin besar hasilnya.

Gambaran mengenai disorganisasi dan reorganisasi
Pada masyarakat-masyarakat tradisional, kegiatan seseorang sepenuhnya berada di bawah kepentingan masyarakatnya. Segala sesuatu didasarkan pada tradisi dan setiap perjuangan mengubah satu unsur saja, itu berarti bahwa sedang ada perjuangan untuk mengubah struktur masyarakat seluruhnya. Struktur dianggap sesuatu yang suci, tak sanggup diubah-ubah dengan drastis dan berjalan lambat sekali. Perubahan dari suatu masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat yang modern akan menjadikan pula perubahan dalam jiwa setiap anggota masyarakat tersebut.

Apabila disorganisasi terjadi dengan sangat cepat, contohnya sebab meletusnya revolusi, maka mungkin akan timbul hal-hal yang sukar untuk dikendalikan. Dengan demikian, reorganisasi tidak sanggup terjadi dengan cepat sebab terlebih dahulu harus mengikuti keadaan dengan masyarakat. Kemungkinan akan terjadi suatu keadaan di mana norma-norma usang sudah hilang sebab disorganisasi tadi, sedangkan norma-norma gres belum terbentuk. Keadaan tersebut merupakan keadaan krisis dalam masyarakat. Pada keadaan demikian dijumpai suatu anomie, yaitu suatu keadaan di mana tak ada pegangan terhadap apa yang baik dan apa yang jelek sehingga anggota-anggota masyarakat tidak bisa mengukur tindakan-tindakannya sebab batas-batas tidak ada. Anomie mungkin pula terjadi pada waktu suatu disorganisasi meningkat ke tahap reorganisasi.

Ketidaksersian perubahan-perubahan dan ketertinggalan budaya (cultural lag)
Ada unsur-unsur yang dengan cepat berubah, tetapi ada pula unsur-unsur yang sukar untuk berubah. Biasanya unsur-unsur kebudayaan kebendaan lebih gampang berubah daripada unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Apabila terdapat unsur-unsur yang tidak memiliki hubungan yang erat, tak ada perkara mengenai tidak adanya keseimbangan laju perubahan-perubahan. Misalnya, suatu perubahan dalam cara bertani, tidak begitu kuat terhadap tarian-tarian tradisional. Akan tetapi, sistem pendidikan belum dewasa memiliki hubungan yang bersahabat dengan dipekerjakannya tenaga-tenaga perempuan pada industri.

Apabila dalam hal ini terjadi ketidakserasian, kemungkinan akan terjadi kegoyahan dalam hubungan antara unsur-unsur tersebut di atas sehingga keserasian masyarakat terganggu. Misalnya pertambahan penduduk yang cepat harus diikuti pula dengan penambahan jumlah petugas keamanan. Atau pertambahan jumlah sekolah-sekolah harus diikuti pula dengan penambahan lapangan kerja. Ketidakserasian unsur-unsur tersebut akan berakibat ketidakserasian dalam masyarakat.

Suatu teori yang populer dalam sosiologi mengenai perubahan dalam masyarakat yaitu teori ketertinggalan budaya (cultural lag*) dari William F. Ogburn*. Teori tersebut mulai dengan kenyataan bahwa pertumbuhan kebudayaan tidak selalu sama cepatnya dalam keseluruhan menyerupai diuraikan sebelumnya, tetapi ada belahan yang tumbuh cepat, sedangkan ada belahan lain yang tumbuhnya lambat. Perbedaan taraf kemajuan dari banyak sekali belahan dalam kebudayaan dari suatu masyarakat dinamakan cultural lag* (artinya ketertinggalan kebudayaan).

Pengertian ketertinggalan sanggup digunakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu pertama sebagai jangka waktu tertentu antara terjadinya dan diterimanya inovasi baru. Arti kedua digunakan untuk menunjuk pada tertinggalnya suatu unsur tertentu terhadap unsur lainya yang bersahabat hubungannya, menyerupai referensi di atas. Ketertinggalan yang mencolok yaitu tertinggalnya alam pikiran dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, yang dijumpai terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang menyerupai Indonesia.

Dalam mengatasi semua hal di atas memang tidaklah mudah, paling tidak alam pikiran insan harus mengalami perubahan terlebih dahulu, yaitu dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran modern. Alam pikiran yang modern ditandai oleh beberapa hal contohnya sifatnya yang terbuka terhadap pengalaman gres serta terbuka pula bagi pembaharuan dan pembaruan. Di sinilah pendidikan memperoleh posisi menentukan; semakin terdidik seseorang semakin terbuka dan semakin luas daya pikirannya. 


Download di Sini

Belum ada Komentar untuk "Disorganisasi (Disintegrasi) Dan Reorganisasi (Reintegrasi)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel