Sayid Husein Nasr. Karya Dan Pemikiran
Menjelang revolusi Iran, Nasr berada di Amerika Serikat. Ia tetapkan untuk tidak kembali ke Iran dan menetap di Amerika Serikat. Kemudian ia mengajar di banyak sekali Universitas, mirip Temple University, Philadelphia, dan akibatnya di George Washington University, Washington D.C. Selain mengajar, Nasr juga menulis lebih dari selusin buku, antara lain: Three Sage Moslems (Tiga Muslim Yang Bijak), Ideals and Realities in Islam (Cita-Cita dan Realitas dalam Islam), An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Suatu Pengantar Ajaran Kosmologi Islam), Science and Civilization in Islam (Sains dan Peradaban dalam Islam), Sufi Essays (Esai ihwal sufi), An Anotated Bibliography of Islamic Science (Bibliografi Beranotasi Sains Islam), Man and Nature (Manusia dan Alam), The Spiritual Crisis of Modern Man (Krisis Spiritual Manusia Modern), Islam and the Plight of Modern Man (Islam dan Kegelisahan Manusia Modern), Islamic Science: An Illustrated Study (Sains Islam: Sebuah Studi Bergambar), The Transcendent Theosophy of Sad rad-Din as-Shirazi (Teosofi Transenden Sadruddin Syirazi), Islamic Arts and Spirituality (Seni Islam dan Spiritualitas), Need for Sacred Science (Kebutuhan terhadap Sains Kudus), Islamic Life and Thought (Kehidupan dan Pemikiran Islam), Knowledge and the Sacred (Pengetahuan dan Kekudusan), The Islamic Philosophy of Science (Filsafat Ilmu Pengetahuan Islam), dan Traditional Islam in the Modern World (Islam Tradisional di Dunia Modern). Sebagian dari buku-bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Seperti terlihat dari karya-karyanya, pemikiran Nasr sangat kompleks dan multidimensional. Ia bisa membahas banyak sekali topik, mulai dari sains dan filsafat Islam, sufisme, perenialisme, hingga kepada masalah-masalah yang dihadapi insan dan peradaban modern. Menyimak pemikirannya ihwal konformitas Islam dengan dunia modern, sebagian andal memasukkan Nasr ke dalam pemikir “neo-modernis” muslim. Nasr yakin Islam dengan abjad universal dan perenialnya bisa menjawab tantangan dan krisis dunia modern. Masih dalam kerangka neo-modernisme Islam, ia yaitu pengkritik tajam Barat, sementara berusaha menggali dan membangkitkan warisan pemikiran Islam.
Pada dikala yang sama, Nasr dengan penuh semangat mengkritik pemikir-pemikir modernis muslim mirip Jamaludin al-Afgani*, Muhammad Abduh*, Ahmad Khan, atau Sayid Ameer Ali* (1849-1928), pengarang buku The Spirit of Islam, 1922. Menurutnya, tokoh-tokoh ini yaitu penyebar westernisme dan sekularisme di dunia muslim. Mereka yaitu orang-orang yang mengecilkan atau bahkan menolak unsur-unsur anutan dan warisan pemikiran Islam yang mereka pandang tidak sesuai dengan pemikiran dan perkembangan modern.
Memandang kritiknya terhadap modernisme Islam, Nasr boleh dikatakan sebagai seorang pemikir “neo-modernis”. Modernisme gres Nasr mengambil bentuk serta menghidupkan kembali Islam “tradisional”. Dalam kerangka ini, Nasr memahami “tradisionalisme Islam” sebagai kepenganutan yang teguh pada “tradisi” yang suci dan mengandung budi perenial (abadi). Lebih terperinci ia menjelaskan bahwa muslim tradisional yaitu muslim yang: (1) mendapatkan Al-Qur’an sepenuhnya sebagai firman Allah SWT, baik dalam isi maupun bentuk; (2) mengakui al-Kutub as-Sittah (enam kitab kumpulan hadist standar); (3) mengandung tasawuf atau tarekat sebagai dimensi batin dan jantung pematuhan Islam; dan (4) selalu berangkat dari realisme sesuai dengan norma-norma Islam dalam segi politik.
Melihat pemikirannya ihwal tradisionalisme Islam dan keyakinannya mengenai kemampuan Islam menjawab tantangan dunia modern, Nasr bisa juga digolongkan ke dalam kelompok pemikir “neo-tradisionalis”.
Dunia modern dalam pengamatan Nasr, ditandai oleh kecemasan terhadap ancaman perang, krisis ekologi, dan polusi udara dan air. Masalah paling akut yang dihadapi insan modern bukan muncul dari situasi underdevelopment (keterbelakangan), tetapi justru dari overdevelopment (keterlalumajuan). Lebih dari itu, semua problem dan krisis peradaban modern berakar pada polusi jiwa insan yang muncul begitu insan Barat mengambil alih tugas ketuhanan di muka bumi dengan menyingkirkan dimensi Illahi dari kehidupannya. Manusia modern mencoba “hidup dengan roti semata”, “membunuh” Tuhan, dan menyatakan independensinya dari kehidupan akherat. Mereka melaksanakan desakralisasi alam untuk kemudian mengeksploitasinya secara sewenang-wenang. Nasr memandang insan modern memperlakukan alam mirip memperlakukan pelacur, mengambil kepuasan dari alam tanpa rasa tanggung jawab apa pun.
Di tengah krisis insan dan peradaban modern Barat, kaum muslimin di banyak sekali wilayah dunia Islam, berdasarkan Nasr, terpilah menjadi dua kelompok, (1) mereka yang terjebak dalam krisis dunia modern lantaran mengikuti contoh Barat secara sembrono, (2) mereka yang tetap setia kepada nilai-nilai tradisional Islam. Kelompok yang terakhir ini masih mengamalkan ibadah dan ritual agama, berpegang pada aturan Tuhan (syariat), dan menghormati ulama serta para wali.
Menurut Nasr, salah satu alasannya kemunduran kehidupan internal kaum muslimin yaitu penghancuran tasawuf dan tarekat sufi oleh gerakan-gerakan rasionalisme puritan, mirip gerakan Wahabi di Arab Saudi dan Ahlulhadis di India. Di sini Nasr berbeda pendapat dari kalangan sarjana muslim lain, yang justru menganggap tasawuf dan tarekat sebagai penyebab kemunduran kaum muslim. Nasr beropini amat positif ihwal peranan sufisme dalam sejarah Islam. Menurut Nasr, dengan menolak sufisme dan mengkambinghitamkannya sebagai penyebab kemunduran umat, maka Islam akan tereduksi hingga yang tersisa hanyalah keyakinan fikih kaku, yang pada gilirannya juga tidak berdaya menghadapi serangan bertubi-tubi intelektual Barat.
Bagi Nasr, sufisme mirip jiwa yang menghidupkan tubuh. Sufisme meniupkan semangat ke dalam seluruh struktur Islam, baik dalam manifestasi sosial maupun intelektual. Tarekat sufi dalam skala besar memainkan imbas berpengaruh atas seluruh struktur masyarakat muslim. Selain itu terdapat kelompok-kelompok sekunder yang bekerjasama dengan tarekat, mirip kelompok petani, pengrajin, dan cowok (futuwwah). Nasr akibatnya berkesimpulan, banyak sekali gosip dalam sejarah Islam tidak bisa dipecahkan tanpa memperhitungkan tugas yang dimainkan sufisme.
Dengan pandangan yang positif terhadap sufisme, tidak heran kalau Nasr beropini bahwa sufisme sanggup menjadi tanggapan atas krisis spiritual insan modern, khususnya di dunia Barat. Menurutnya, sufisme sanggup mempengaruhi Barat melalui tiga upaya: (1) mempraktekkan sufisme secara aktif, (2) menyajikan Islam secara lebih menarik sehingga orang sanggup menemukan praktek-praktek sufisme yang benar, dan (3) memfungsikan sufisme sebagai alat untuk kebangkitan spiritualisme.
Karena merupakan tradisi hidup yang kaya dengan khazanah keyakinan metafisis dan kosmologis, maka sufisme sanggup menghidupkan kembali banyak aspek kehidupan rohani Barat yang tengah dilanda krisis.
Menurut Nasr, pencarian spiritualitas dan gaib bersifat perenial (abadi) dan ini merupakan kewajaran serta kebutuhan alami manusia. Bahkan sufisme itu sendiri mengandung nasihat dan budi yang berlaku perenial. Inilah yang menjadi titik tolak gagasannya ihwal perenialisme. Akan tetapi, ia mengingatkan, perenialisme sufisme itu harus dijalankan dalam kerangka eksoterisme (syariat) Islam lantaran mempraktekkan esoterisme tanpa eksoterisme mirip menanam pohon di awang-awang. Nasr berkesimpulan, hanya dengan mendapatkan dan menjalankan syariat, seseorang sanggup menelusuri “jalan” (tarekat) secara benar sehingga mencapai kebenaran sejati (hakikat).
Download
Sumber
Suplemen Ensiklopedi Islam Diterbitkan Oleh PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta Tahun 1996
Baca Juga
Sayid Husein Nasr. Sekilas Biografi
Seperti terlihat dari karya-karyanya, pemikiran Nasr sangat kompleks dan multidimensional. Ia bisa membahas banyak sekali topik, mulai dari sains dan filsafat Islam, sufisme, perenialisme, hingga kepada masalah-masalah yang dihadapi insan dan peradaban modern. Menyimak pemikirannya ihwal konformitas Islam dengan dunia modern, sebagian andal memasukkan Nasr ke dalam pemikir “neo-modernis” muslim. Nasr yakin Islam dengan abjad universal dan perenialnya bisa menjawab tantangan dan krisis dunia modern. Masih dalam kerangka neo-modernisme Islam, ia yaitu pengkritik tajam Barat, sementara berusaha menggali dan membangkitkan warisan pemikiran Islam.
Pada dikala yang sama, Nasr dengan penuh semangat mengkritik pemikir-pemikir modernis muslim mirip Jamaludin al-Afgani*, Muhammad Abduh*, Ahmad Khan, atau Sayid Ameer Ali* (1849-1928), pengarang buku The Spirit of Islam, 1922. Menurutnya, tokoh-tokoh ini yaitu penyebar westernisme dan sekularisme di dunia muslim. Mereka yaitu orang-orang yang mengecilkan atau bahkan menolak unsur-unsur anutan dan warisan pemikiran Islam yang mereka pandang tidak sesuai dengan pemikiran dan perkembangan modern.
Memandang kritiknya terhadap modernisme Islam, Nasr boleh dikatakan sebagai seorang pemikir “neo-modernis”. Modernisme gres Nasr mengambil bentuk serta menghidupkan kembali Islam “tradisional”. Dalam kerangka ini, Nasr memahami “tradisionalisme Islam” sebagai kepenganutan yang teguh pada “tradisi” yang suci dan mengandung budi perenial (abadi). Lebih terperinci ia menjelaskan bahwa muslim tradisional yaitu muslim yang: (1) mendapatkan Al-Qur’an sepenuhnya sebagai firman Allah SWT, baik dalam isi maupun bentuk; (2) mengakui al-Kutub as-Sittah (enam kitab kumpulan hadist standar); (3) mengandung tasawuf atau tarekat sebagai dimensi batin dan jantung pematuhan Islam; dan (4) selalu berangkat dari realisme sesuai dengan norma-norma Islam dalam segi politik.
Melihat pemikirannya ihwal tradisionalisme Islam dan keyakinannya mengenai kemampuan Islam menjawab tantangan dunia modern, Nasr bisa juga digolongkan ke dalam kelompok pemikir “neo-tradisionalis”.
Dunia modern dalam pengamatan Nasr, ditandai oleh kecemasan terhadap ancaman perang, krisis ekologi, dan polusi udara dan air. Masalah paling akut yang dihadapi insan modern bukan muncul dari situasi underdevelopment (keterbelakangan), tetapi justru dari overdevelopment (keterlalumajuan). Lebih dari itu, semua problem dan krisis peradaban modern berakar pada polusi jiwa insan yang muncul begitu insan Barat mengambil alih tugas ketuhanan di muka bumi dengan menyingkirkan dimensi Illahi dari kehidupannya. Manusia modern mencoba “hidup dengan roti semata”, “membunuh” Tuhan, dan menyatakan independensinya dari kehidupan akherat. Mereka melaksanakan desakralisasi alam untuk kemudian mengeksploitasinya secara sewenang-wenang. Nasr memandang insan modern memperlakukan alam mirip memperlakukan pelacur, mengambil kepuasan dari alam tanpa rasa tanggung jawab apa pun.
Di tengah krisis insan dan peradaban modern Barat, kaum muslimin di banyak sekali wilayah dunia Islam, berdasarkan Nasr, terpilah menjadi dua kelompok, (1) mereka yang terjebak dalam krisis dunia modern lantaran mengikuti contoh Barat secara sembrono, (2) mereka yang tetap setia kepada nilai-nilai tradisional Islam. Kelompok yang terakhir ini masih mengamalkan ibadah dan ritual agama, berpegang pada aturan Tuhan (syariat), dan menghormati ulama serta para wali.
Menurut Nasr, salah satu alasannya kemunduran kehidupan internal kaum muslimin yaitu penghancuran tasawuf dan tarekat sufi oleh gerakan-gerakan rasionalisme puritan, mirip gerakan Wahabi di Arab Saudi dan Ahlulhadis di India. Di sini Nasr berbeda pendapat dari kalangan sarjana muslim lain, yang justru menganggap tasawuf dan tarekat sebagai penyebab kemunduran kaum muslim. Nasr beropini amat positif ihwal peranan sufisme dalam sejarah Islam. Menurut Nasr, dengan menolak sufisme dan mengkambinghitamkannya sebagai penyebab kemunduran umat, maka Islam akan tereduksi hingga yang tersisa hanyalah keyakinan fikih kaku, yang pada gilirannya juga tidak berdaya menghadapi serangan bertubi-tubi intelektual Barat.
Bagi Nasr, sufisme mirip jiwa yang menghidupkan tubuh. Sufisme meniupkan semangat ke dalam seluruh struktur Islam, baik dalam manifestasi sosial maupun intelektual. Tarekat sufi dalam skala besar memainkan imbas berpengaruh atas seluruh struktur masyarakat muslim. Selain itu terdapat kelompok-kelompok sekunder yang bekerjasama dengan tarekat, mirip kelompok petani, pengrajin, dan cowok (futuwwah). Nasr akibatnya berkesimpulan, banyak sekali gosip dalam sejarah Islam tidak bisa dipecahkan tanpa memperhitungkan tugas yang dimainkan sufisme.
Dengan pandangan yang positif terhadap sufisme, tidak heran kalau Nasr beropini bahwa sufisme sanggup menjadi tanggapan atas krisis spiritual insan modern, khususnya di dunia Barat. Menurutnya, sufisme sanggup mempengaruhi Barat melalui tiga upaya: (1) mempraktekkan sufisme secara aktif, (2) menyajikan Islam secara lebih menarik sehingga orang sanggup menemukan praktek-praktek sufisme yang benar, dan (3) memfungsikan sufisme sebagai alat untuk kebangkitan spiritualisme.
Karena merupakan tradisi hidup yang kaya dengan khazanah keyakinan metafisis dan kosmologis, maka sufisme sanggup menghidupkan kembali banyak aspek kehidupan rohani Barat yang tengah dilanda krisis.
Menurut Nasr, pencarian spiritualitas dan gaib bersifat perenial (abadi) dan ini merupakan kewajaran serta kebutuhan alami manusia. Bahkan sufisme itu sendiri mengandung nasihat dan budi yang berlaku perenial. Inilah yang menjadi titik tolak gagasannya ihwal perenialisme. Akan tetapi, ia mengingatkan, perenialisme sufisme itu harus dijalankan dalam kerangka eksoterisme (syariat) Islam lantaran mempraktekkan esoterisme tanpa eksoterisme mirip menanam pohon di awang-awang. Nasr berkesimpulan, hanya dengan mendapatkan dan menjalankan syariat, seseorang sanggup menelusuri “jalan” (tarekat) secara benar sehingga mencapai kebenaran sejati (hakikat).
Download
Sumber
Suplemen Ensiklopedi Islam Diterbitkan Oleh PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta Tahun 1996
Baca Juga
Sayid Husein Nasr. Sekilas Biografi
Belum ada Komentar untuk "Sayid Husein Nasr. Karya Dan Pemikiran"
Posting Komentar