Positivisme Dalam Ilmu-Ilmu Sosial

Positivisme yang menandai krisis pengetahuan Barat itu bahwasanya merupakan salah satu dari sekian banyak aliran filsafat Barat, dan aliran ini berkembang semenjak era ke-19 dengan perintisnya Auguste Comte*. Meski dalam beberapa segi positivisme mengandung kebaruan, pandangan ini bukan barang yang sama sekali baru, alasannya ialah sebelum Kant* sudah berkembang empirisme yang dalam beberapa segi bersesuaian dengan positivisme. Lebih tepatlah jikalau dipandang bahwa positivisme merupakan peruncingan trend sejarah pemikiran Barat modern yang telah mulai menyingsing semenjak ambruknya tatanan dunia Abad Pertengahan, melalui rasionalisme dan empirisme. Apa yang gres dalam positivisme ialah sorotan khususnya terhadap metodologi ilmu pengetahuan, bahkan sanggup dikatakan bahwa pandangan ini sangat menitikberatkan metodologi dalam refleksi filsafatnya.
Kalau dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih direfleksikan, dalam positivisme kedudukan pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunya metodologi yang berkembang secara meyakinkan semenjak Renaissance, dan tumbuh subur pada masa Aufklarung ialah metodologi ilmu-ilmu alam. Oleh alasannya ialah itu, positivisme menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan insan perihal kenyataan.
Kalau suatu “metodologi” berarti salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sahih perihal kenyataan, pergeseran kawasan pengetahuan oleh metodologi dalam positivisme ialah suatu penyempitan atau reduksi pengetahuan. Reduksi ini sudah terkandung dalam istilah “positif” yang telah disinggung di atas, yaitu “apa yang berdasarkan fakta objektif”. Dengan lebih tajam lagi, Comte* menjelaskan istilah ‘positif’ itu dengan membuat beberapa distingsi: antara ‘yang nyata’ (reel) dan yang khayal (chimerique), ‘yang pasti’ (certitude) dan ‘yang meragukan’ (indecision), ‘yang tepat’ (precis) dan ‘yang kabur’ (vague), ‘yang berguna’ (utile) dan ‘yang sia-sia’ (oiseux), serta ‘yang mengklaim mempunyai kesahihan relatif’ (relative) dan ‘yang mengklaim mempunyai kesahihan mutlak’ (absolut).

Dari keterangan Comte* itu terang bahwa positivisme melontarkan kritik metodologi terhadap suatu bentuk pengetahuan sistematis yang berkembang subur dalam Abad Pertengahan, yaitu metafisika. Kritik semacam itu sudah pernah dilontarkan oleh Kant* dalam Kritik der reinen Vernunft yang mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan metafisis tak sanggup dibuktikan secara indriawi. Akan tetapi, gres dalam positivisme, kritik metodologis itu telah sungguh-sungguh memisahkan ilmu pengetahuan dari metafisika dan filsafat. Dengan memberi patok-patok ‘yang faktual’ pada pengetahuan, positivisme mendasari ilmu-ilmu pengetahuan perihal fakta objektif. Jika faktanya ialah ‘gejala kehidupan material’, ilmu pengetahuannya ialah biologi. Jika fakta itu ‘benda-benda mati’, ilmunya fisika. Demikian juga banyak bidang kehidupan lain yang sanggup menjadi objek observasi empiris yang rigorous menjadi ilmu pengetahuan.

Antinomi-antinomi yang dibentuk Comte* di atas kemudian sanggup diterjemahkan ke dalam norma-norma metodologis sebagai berikut.
1) Semua ilmu pengetahuan harus terbukti lewat rasa-kepastian (sense of certainty) pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif (le reel)
2) Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa-kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode (la certitude)
3) Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang ibarat aturan (le precis)
4) Pengetahuan ilmiah harus sanggup dipergunakan secara teknis. Ilmu pengetahuan memungkinkan kontrol teknis atas proses-proses alam maupun sosial... kekuatan kontrol atas alam dan masyarakat sanggup dilipatgandakan hanya dengan mengakui asas-asas rasionalis, bukan melalui ekspansi buta dari riset empiris, melainkan melalui perkembangan dan penyatuan teori-teori (l’utile)
5) Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah tanggapan dan relatif, sesuai dengan ‘sifat relatif dan semangat positif’ (le relative)

Apa yang merupakan kasus serius yang menandai krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat bukanlah pandangan positivistis yang memang sesuai jikalau diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial. Comte* yang juga bapak pendiri sosiologi modern sudah merintis penerapan metode ilmiah ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial yang disebutnya sosiologi ini. Tujuannya bersifat praktis, yaitu atas dasar pengetahuan perihal ‘hukum-hukum’ yang mengatur masyarakat, mengadakan susunan masyarakat lebih sempurna. Dalam semboyan positivisme “savoir pour prevoir” (mengetahui untuk meramalkan) terkandung intensi untuk membuat rekayasa masyarakat (social-engineering), dalam sosiologi.

Gagasan Comte* perihal ilmu-ilmu positif yang mencapai puncaknya dalam sosiologi, ilmu ‘ilmiah’ yang menguasai segenap bidang kehidupan insan diteruskan dalam era ke-20 ini oleh Lingkungan Wina, dengan pendiri-pendirinya yang dikenal sebagai “positivisme logis”, “neo-positiviem”, atau “empirisme logis” yang sanggup disingkatkan sebagai berikut:
1) Mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
2) Menganggap pernyataan-pernyataan yang tak sanggup diverifikasikan secara empiris, mirip etika, estetika, agama, metafisika, sebagai nonsense
3) Berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan di dalam satu bahasa ilmiah yang universal (Einheitswissenschaft/Unified Science)
4) Memandang kiprah filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan

Ambisi positivisme untuk memadukan semua ilmu pengetahuan menjadi satu tampil dalam pernyataan seorang anggota kelompok cendekiawan ini, Victor Kraft, berikut ini. “Membangun kesatuan pengetahuan merupakan kiprah sejarah dari filsafat. Demikian pula Lingkungan Wina tidak melupakan kiprah itu. Orang tidak sanggup rahasia menyetujui suatu kesejajaran dari sistem-sistem konseptual dari fisika, biologi, psikologi, sosiologi dan ilmu-ilmu historis, seakan-akan ilmu-ilmu itu tak sanggup dibandingkan satu sama lain, dan seakan-akan dalam tiap-tiap ilmu-ilmu itu diucapkan bahasa yang berlainan satu sama lain... hukum-hukum dan konsep-konsep dari ilmu-ilmu khusus itu seharusnya termasuk di dalam satu sistem tunggal, tak sanggup begitu saja bersesuaian tanpa kaitan. Keduanya harus membentuk ilmu pengetahuan terpadu dengan sistem konseptual (satu bahasa bagi segala ilmu pengetahuan)”.

Kalau positivisme menerapkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial, pandangan ini beranggapan bahwa ilmu-ilmu sosial modern menganut tiga prinsip: bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai. Ketiga perkiraan positivistis ilmu-ilmu sosial ini oleh Anthony Giddens* dijelaskan sebagai berikut.
1) Prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam sanggup pribadi diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Gejala-gejala subjektivitas manusia, kepentingan maupun kehendak, tidak mengganggu objek observasi, yaitu tindakan sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia alamiah
2) Hasil-hasil riset sanggup dirumuskan dalam bentuk ‘hukum-hukum’ mirip dalam ilmu-ilmu alam
3) Ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus sanggup digunakan untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis. Ilmu-ilmu sosial, mirip ilmu-ilmu alam, bersifat bebas-nilai (value-free).


Positivisme dalam ilmu-ilmu sosial yang telah dijelaskan dalam beberapa alinea di atas bukanlah kasus yang sederhana dan menyangkut perjuangan pencarian metodologis yang tepat bagi ilmu-ilmu perihal insan dan masyarakat. Sementara ilmu-ilmu alam mengalami kemajuan linear lewat metodologi dan operasionalisasinya yang berhasil dalam teknologi modern, ilmu-ilmu sosial terus menelusuri kegelapan kenyataan sosial untuk menemukan metodologi yang layak sekaligus ketat untuk mengetahui kenyataan sosial. Prestasi yang dicapai ilmu-ilmu itu telah mendorong para teoretikus sosial untuk menerapkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial.

Apa yang kemudian menjadi kasus yang selalu menarik perhatian dalam diskusi-diskusi ilmu-ilmu sosial ialah soal objek observasinya yang berbeda dari objek ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan insan sebagai makhluk historis. Berbeda dari proses-proses alam yang sanggup diprediksi dan dikuasai secara teknis, proses-proses sosial terdiri dari tindakan-tindakan insan yang tak sanggup begitu saja diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis. Masih banyak pembedaan lain yang harus dilakukan biar masyarakat tidak begitu saja diperlakukan sebagai alam. Tanpa pembedaan radikal atas objeknya, positivisme pada taraf metodologis telah merancang kontrol atas masyarakat berdasarkan kontrol atas alam. Seorang teoretikus sosial Jerman terkemuka cukup umur ini, Jurgen Habermas*, mengatakan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial ini sebagai penerapan pengetahuan untuk mengontrol proses-proses alam (Verfugungswissen) pada masyarakat yang selayaknya diketahui dengan pengetahuan reflektif untuk saling pemahaman intersubjektif (Reflexionswissen). Oleh alasannya ialah hakikat ilmu pengetahuan tampak dari aplikasinya, positivisme pada taraf metodologis ini akan menghasilkan teknologi sosial pada taraf sosial, dan teknologi sosial pada gilirannya menjadi determinasi sosial dan dominasi (Herschafft). Di dalam sebuah teknokrasi total, peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’ disingkirkan. Yang terjadi di sini ialah objektivisme: subjek hanya bertugas menyalin fakta objektif yang diyakini sanggup dijelaskan berdasarkan mekanisme yang objektif. 


Download


Metode untuk Ilmu-Ilmu Sosial

Baca Juga
1. Auguste Comte, Biografi, Pemikiran, dan Karya
2. Immanuel Kant, Biografi, Pemikiran, dan Karya
3. Jurgen Habermas, Biografi, Pemikiran, dan Karya
4. Anthony Giddens, Biografi, Pemikiran, dan Karya

Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.

Belum ada Komentar untuk "Positivisme Dalam Ilmu-Ilmu Sosial"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel