Peter L. Berger; Momen Eksternalisasi, Munculnya Kesadaran Modern Dan Aspek-Aspeknya

Triad Berger* dimulai dengan momen eksternalisasi sebagai tesis dalam proses dialektis fenomen modernisasi. Itulah momen kesadaran yang tercurah ke dalam kenyataan. Pada tahap ini kita bicara mengenai kesadaran modern. Dalam wawasan historis kita sanggup menyampaikan bahwa semenjak Renaissance masa ke-16, dan memuncak dengan Aufklarung masa ke-18, dalam masyarakat Barat muncul pengambilan jarak epistemis tersebut di atas, dan apa yang disebut Max Weber* sebagai disenchantment of the world—yang sanggup kita terjemahkan sebagai “hilangnya pesona dunia”. Lingkungan lahiriah tidak lagi mengepung dengan kekuatan-kekuatan gaibnya yang seram sekaligus mempesona. Lingkungan itu kini itu kini dihadapi sebagai suatu dunia material atau objek belaka.

Sering kali dijelaskan bahwa kesadaran modern muncul di Eropa dengan inovasi subjektivitas dan gerakan rasionalisme yang kemudian ditanggapi dengan empirisme. Tokoh yang besar peranannya di sini ialah Descartes*. Dalam ungkapan masyhurnya, “Cogito ergo sum”, dirumuskan bentuk kesadaran yang gres itu. Pertama, bahwa “aku” ini ialah suatu subjek yang menghadapi alam lahiriah. Dalam arti inilah lingkungan batiniah bukan hanya dibedakan, melainkan juga dipisahkan dari lingkungan lahiriah. Kedua, bahwa pengetahuanku mengenai kenyataan itu hasil pemikiranku sendiri dan bukan diturunkan dari tradisi atau wahyu. Cogito ialah sebuah keyakinan yang sangat fundamental pada rasionalitas manusia, melebihi segala tafsiran dogmatis yang sudah ada. Karena itu, Descartes* melandasi suatu bentuk kesadaran yang memahami kenyataan sebagai hasil perumusan rasional, atau rasionalisme. Meskipun menyangkal beberapa aspek rasionalitas, empirisme tetap meneguhkan bahwa insan ialah subjek pengetahuan, hanya kini pengetahuan didasarkan pada observasi dan pengalaman. Penemuan subjectum membalikkan sentra kenyataan. Bukannya lingkungan batiniah harus mengikuti keadaan dengan lingkungan lahiriahnya, melainkan yang pertama harus menyesuaikan yang terakhir dengan norma-normanya. Kosmosentrisme bermetamorfosis antroposentrisme.


Berpangkal dari subjectum ini, muncul beberapa aspek kesadaran modern lain yang biasanya disebut dengan beberapa istilah, yaitu progres, individuasi, emansipasi, dan sekularisasi. Yang pertama, progres atau kemajuan, ialah suatu kesadaran waktu yang khas dalam modernitas. Masyarakat modern sadar bahwa waktu merupakan sebuah arus yang tak sanggup diulang. Kekinian itu unik dan begitu lewat sekejap menjadi kesilaman; artinya, ia lenyap ke belakang. Waktu mempunyai nilai intrinsik yang tak terulangi. Karena itu, kita sanggup mengisi waktu mengandung potensi kreatif, alasannya ialah melalui waktu tersebut insan menghasilkan peristiwa-peristiwa khas. Jika demikian, suatu seri waktu tidak sekedar berisi rentetan insiden tanpa arah. Setiap ketika ialah potensi kreatif, maka harus merupakan perbaikan atas ketika yang sebelumnya. Dengan kata lain, kekinian merupakan peningkatan kualitatif kelampauan dalam rangka lebih meningkatkannya dalam kenantian. Dalam arti inilah waktu dihayati sebagai sebuah garis lurus menuju kemajuan. Daur waktu yang menandai kesadaran pra-modern dipatahkan. Tidak ada lagi repetisi dan imitasi. Yang ada kreasi. Meminjam ungkapan Berger* dalam Imperative Heretic, nasib atau fatum sudah diubah menjadi pilihan dan kesempatan.

Subjectum berarti juga bahwa individu lahir ke dalam kenyataan. Individu membebaskan diri dari identitas-identitas kolektifnya, bahkan menjadi kontra-posisi kolektivitas. Proses yang kemudian disebut “individuasi” ini meliputi kesadaran diri pada pihak individu bahwa dirinya berbeda dari masyarakatnya. Dia itu otonom, dalam arti menghasilkan nomos (hukum)-nya sendiri (auto). Demikianlah dalam pedoman Locke*, Hobbes*, dan Rousseau, ditegaskan lebih radikal lagi bahwa nomos masyarakat bukan berasal dari dunia-sana, bukan pula dari alam, melainkan ciptaan individu-individu otonom—suatu “alam kedua”. Kelahiran individu yang dalam konteks historis Barat ditandai oleh mekarnya lapisan borjuasi diiringi dengan munculnya kesadaran akan hak-hak universal insan yang bersifat asasi. Kesadaran akan hak-hak ini menampilkan individuasi itu pada aras politis, yaitu pada aras objektivasi dalam triad Berger.

Tersirat di atas bahwa individuasi tolong-menolong sebuah emansipasi, aspek lain lagi dari subjectum. Emansipasi ialah sebuah kesadaran akan pembatasan-pembatasan dan kendala-kendala yang dihadapi oleh suatu subjek dalam mengeksternalisasikan diri, maka emansipasi mengandaikan kritik. Kesadaran semacam ini muncul hanya jikalau subjectum itu berjarak dengan kenyataan di luarnya dan menyadarinya sebagai ciptaannya sendiri. Demikianlah, di masa ke-18 emansipasi muncul ketika tradisi disangsikan statusnya sebagai fatum dari atas yang justru menjadi hambatan bagi subjek manusiawi untuk maju. Di masa ke-19, aspek-aspek voluntaristis dari pedoman Marx muda memberi isi gres pada kesadaran emansipasi. Kesadaran ternyata berkaitan dengan eksistensi, yaitu dengan kedudukan dan cara hidup insan dalam sebuah struktur sosial. Kalau demikian, individuasi hanya dimungkinkan pada kelas sosial tertentu, yaitu borjuasi. Maka, emansipasi muncul jikalau kesadaran bukan hanya menyadari kaitannya dengan eksistensi, melainkan mendorong praktek untuk mengubah mengubah keberadaan itu menjadi lebih adil. Pada akhirnya, emansipasi sanggup dikembalikan kepada pembentukan kenyataan sosial berdasarkan kriteria-kriteria dalam diri subjectum itu, harapan-harapan normatifnya akan keadilan. Struktur, yaitu lingkungan lahiriah sosial, diubahsuaikan (melalui praksis revolusioner) dengan kesadaran, yaitu lingkungan batiniah atau subjectum itu.

Akhirnya, aspek subjectum yang lain ialah sekularisasi. Di sini sekularisasi diartikan sebagai bentuk kesadaran yang membedakan atau bahkan memisahkan antara yang sakral dan yang profan. Dengan disenchantment of the world, masyarakat modern menghadapi lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya sebagai “peristiwa-peristiwa dari dunia-sini”. Dunia-sini itu otonom dalam arti tidak diintervensi oleh kekuatan-kekuatan gila dari dunia-sana. Otonomi ini pun dihasilkan oleh subjectum yang bukan hanya mempunyai intensi untuk mengetahui lingkungan lahiriahnya pada dirinya, melainkan juga cenderung mengemansipasi diri. Berger menjelaskan bahwa istilah sekularisasi berafiliasi dengan gerakan-gerakan historis untuk membebaskan diri dari dominasi agama dalam kenyataan sosial. Emansipasi di sini ialah disingkirkannya sektor-sektor sosio-kultural—dan kita juga sanggup menambahkan alam fisik—dari dominasi tafsiran-tafsiran dan simbol-simbol religius. Dengan desakralisasi itu dunia-sini menjadi medan kreativitas subjectum itu yang selama periode pra-modern dibatasi oleh dikte-dikte agama. Dengan hilangnya ruang hidup bagi alam gaib, kekuasaan juga hilang sifat gaibnya.

Aspek-aspek kesadaran modern di atas inilah yang berada pada momen eksternalisasi dalam triad Berger*. Kesadaran jenis ini sudah mengalihkan orientasi insan dari keterpesonaannya pada dunia supra-indriawi ke arah dunia indriawi, dari kontemplasi alam ke transformasi alam, dan dari determinasi tradisi ke transformasi sosial. Teror kekuatan-kekuatan mitologis telah kehilangan wilayah operasinya lantaran kekuatan-kekuatan rasional sudah mengadakan eksorsisme (pengusiran roh-roh) dalam ruang otonom, alam dan masyarakat. Sampai di sini, aspek-aspek kesadaran yang semula tampil sebagai negativitas—yaitu kritik atas bentuk-bentuk kesadaran pramodern—pada gilirannya bermetamorfosis positivitas: bukan hanya tercurah, melainkan juga mengejawantah menjadi praksis objektif. Itulah momen objektivasi dalam triad Berger yang akan dibahas berikutnya. 


Download


Peter L. Berger; Momen Objektivasi, Pranata-Pranata Modern

Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.


Baca Juga
1. Peter L. Berger. Biografi
2. Peter L. Berger. Refleksi Atas Interaksi Kesadaran dan Struktur dalam Modernisasi
3. Peter L. Berger. Momen Objektivasi, Pranata-Pranata Modern 
4. Peter L. Berger. The Sacred Canopy
5. Peter L. Berger. Pembentukan Realitas Secara Sosial
6. Peter L. Berger. Konstruksi Realitas Secara Sosial
7. Peter L. Berger. Masyarakat Sebagai Realitas Subjektif
8. Peter L. Berger. Masyarakat Sebagai Realitas Objektif
9. Peter L. Berger. Modernisasi Sebagai Pembangunan Alam Artifisial
10. Peter L. Berger. Konstruksi Realitas Secara Sosial dan Legitimasinya
11. Peter L. Berger. Momen Internalisasi yang Susah Payah
12. Peter L. Berger. Perkawinan
13. Pokok Bahasan Sosiologi
14. Mirror On The Wall. Gambaran Realitas Sosial yang Terdistorsi

Belum ada Komentar untuk "Peter L. Berger; Momen Eksternalisasi, Munculnya Kesadaran Modern Dan Aspek-Aspeknya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel