Michel Foucault. Sejarah Kegilaan
Kita sudah melihat bahwa Foucault mempunyai keahlian sebagai sejarawan. Dan itu suatu hal yang jarang terlihat antara filsuf-filsuf. Kebanyakan filsuf yang berbicara perihal sejarah amatir saja dalam ilmu sejarah. Tetapi buku Kegilaan dan "Unreason". Sejarah Kegilaan dalam Zaman Klasik tidak merupakan sebuah buku sejarah dalam arti yang biasa. Lebih cocok dari "sejarah" yakni istilah "arkeologi", ibarat dikemudian hari digunakan oleh Foucault dan akan dibicarakan lagi di bawah ini. Dalam Sejarah Kegilaan (1963), yang sudah kita kenal sebagai abreviasi dan edisi murah dari disertasinya, istilah itu muncul sepintas lalu. Dalam kata pengantar buku itu, setelah menyampaikan bahwa pada final kala ke-18 obrolan antara kegilaan dan rasio sudah terputus, Foucault melanjutkan: "Bahasa psikiatri, yang merupakan monolog rasio perihal kegilaan, didasarkan hanya pada keheningan semacam itu. Saya tidak berusaha melukiskan sejarah bahasa psikiatri itu, melainkan terutama arkeologi keheningan itu". Kutipan ini menunjukkan inti aktivitas Foucault dalam desertasinya. Ia ingin menunjukkan bahwa selama Zaman Klasik kegilaan dipisahkan dari dan dilawankan dengan rasio.
Kegilaan menjadi deraison (Inggris: unreason), keadaan tanpa rasio. Keheningan dalam kutipan tadi menunjuk kepada terputusnya obrolan antara rasio dan kegilaan itu. Yang dimaksud dengan Zaman Klasik ialah periode yang mencakup paruh kedua kala ke-17 dan kala ke-18 hingga kira-kira Revolusi Prancis. Periode itu memang menerima paling banyak perhatian, tetapi bukunya diawali dengan tinjauan perihal Renaissance dan diakhiri dengan sepatah kata perihal perubahan sehabis Zaman Klasik. Dengan demikian, uraian selanjutnya sanggup dibagi atas tiga bagian, tetapi dengan pengertian bahwa bab kedua merupakan pokok pembicaraan yang bergotong-royong dalam buku Foucault.
Renaissance
Pada final Abad Pertengahan di Eropa Barat hampir tidak ada lagi penderita kusta. Tempat-tempat mereka ditampung dulu menjadi kosong. Perbaikan ini sebagian besar dicapai justru lantaran mereka disendirikan dari masyarakat. Tetapi, kata Foucault, gambaran perihal orang yang dikeluarkan dari masyarakat akan tinggal dan arti pengisolasian itu sendiri akan tinggal pula dan akan diwujudkan kembali sehabis dua atau tiga kala lagi. Orang kusta hilang, namun struktur-struktur untuk menangani beliau tetap tinggal. Kegilaan akan menjadi mahir waris penyakit kusta. Akan tetapi marilah kita memandang lebih dahulu bagaimana keadaan orang gila dalam zaman Renaissance.
Salah satu tanda-tanda yang amat mengherankan dalam Renaisance yakni stulifera nafis atau Narrenschiff: kapal yang membawa orang-orang gila. Pada kala ke-15 kita melihat kapal-kapal melewati sungai-sungai dan terusan-terusan dari Rheinland (Jerman) dan Flandria (Belgia), penuh dengan orang gila. Pada waktu yang sama tema ini banyak muncul pula dalam kesusastraan dan ikonografi (pada pelukis Belanda Jeroen Bosch umpamanya. Waktu itu orang gila tidak dikurung. Mereka sering diusir dari kota (mungkin lantaran mereka tiba dari kawasan lain), tetapi di luar kota mereka boleh bergerak secara bebas. Agar jangan hingga mereka pulang, orang-orang itu dititipkan kepada rombongan peziarah atau pedagang. Atau digunakan juga kapal-kapal yang disebut tadi. Pertimbangan di belakang praktek itu ialah semoga orang-orang gila itu tidak lagi akan mengganggu masyarakat. Tetapi tanda-tanda ini jauh lebih kompleks. Pasti ada arti simbolis juga. Air tidak saja membawa ke kawasan jauh tetapi membersihkan juga. Lagi pula, dengan berlayar, orang gila menuju ke suatu dunia lain dan bila ia turun dari kapal, ia tiba dari dunia lain. Bagaimanapun juga, dalam sejarah Eropa cukup usang terdapat perkaitan erat antara air dan kegilaan pada taraf imaginasi.
Kegilaan dan orang gila menjadi tema penting dalam kesusastraan dan kesenian dari kira-kira pertengahan kala ke-15 hingga pertengahan kala ke-17. Misalnya dalam cerita-cerita kosmis dan cerita-cerita moral. Kegilaan dianggap akrab dengan kebahagiaan dan kebenaran; lebih akrab dengan rasio daripada rasio itu sendiri. Kegilaan menjadi cermin yang mencopot kedok dari pengetahuan semu dengan segala pretensi dan ilusinya. Dalam zaman ini contohnya Erasmus menulis Laus stultitiae (Pujian pada Kegilaan)
Serentak juga Renaissance mengungkapkan ketakutannya terhadap kegilaan, di samping merasa terpesona lantaran pengetahuan misterius yang dinyatakan oleh kegilaan. Bagi penyair-penyair dan filsuf-filsuf humanistis, kegilaan dikaitkan dengan insan itu sendiri; kegilaan tidak tiba dari luar tetapi bersarang di dalam manusia. Kegilaan mempunyai suatu segi tragis, ibarat juga ada suatu segi kosmis, yaitu korelasi dengan alam semesta. Foucault mempelajari seluruh suasana ini dengan antara lain menganalisa kesusastraan zaman itu, khususnya Cervantes (Don Quixote) dan Shakespeare (terutama Macbeth dan King Lear)
Zaman Klasik
Sekitar pertengahan kala ke-17 kesadaran kritis sudah mencapai kepenuhannya dan dengan itu lahirlah zaman rasio. Kira-kira seabad sehabis menghilangnya "kapal orang-orang gila", kita menyaksikan munculnya "hospital orang-orang gila". Kegilaan dipertentangkan dengan rasio. Manusia sanggup menjadi gila, tetapi mustahil bahwa fatwa itu sendiri kurang waras. Bagi Descartes* kegilaan termasuk kekeliruan, bersama dengan mimpi dan bentuk-bentuk kekeliruan lainnya. Tetapi bertentangan dengan mimpi dan ilusi, kegilaan tidak sanggup diatasi dengan nampaknya kebenaran; kegilaan hanya sanggup disingkirkan oleh subjek yang menyangsikan. Kegilaan dikeluarkan dari kehidupan intelektual; kegilaan diberi status unreason; kegilaan disamakan dengan keadaan tanpa rasio. Dan balasannya kegilaan disuruh bungkam.
Pandangan gres perihal kegilaan ini disertai dengan penanganan gres pada taraf kemasyarakatan: orang gila dikurung . Simbol bagi perkembangan ini yakni didirikannya Hospital general di Paris oleh raja Prancis pada tahun 1656. Hospital ini bukan suatu instansi kesehatan, melainkan instansi yang menyangkut tata tertib. Bukan saja orang-orang gila diinternir di sana, tetapi hospital ibarat itu menampung semua unsur yang mengganggu tata tertib dalam masyarakat: pemalas, pengemis, gelandangan, dan narapidana. Pendeknya, semua orang yang mengacaukan taraf rasionalitas; semua orang yang tidak berguna. Foucault menghitung bahwa sehabis beberapa waktu satu persen dari seluruh penduduk kota Paris dikurung dengan cara demikian. Hal itu sanggup dimengerti, bila kita ketahui perihal krisis ekonomi yang melanda Prancis pada kala ke-17. Hospital merupakan jawaban pemerintah Prancis atas krisis tersebut. Semua yang dikurung tentu kehilangan kebebasan mereka, tetapi sebagai ganti kesejahteraan mereka dijamin oleh negara. Hospital-hospital semacam itu timbul dimana-mana di Prancis. Di negara-negara lain kita melihat lembaga-lembaga yang sejenis: workhouses di Inggris dan Zuchthauser di Jerman.
Tempat orang kusta dari Abad Pertengahan, dalam Zaman Klasik dihuni oleh orang terlantar yang merupakan sumber ketidakteraturan dalam masyarakat dan orang gila termasuk mereka itu. Maka dalam hospital-hospital itu orang-orang yang dikurung diwajibkan bekerja. Pekerjaan pada waktu itu tidak begitu dilihat sebagai suatu perjuangan produktif, tetapi terutama sebagai suatu kewajiban moral. Ditarik suatu garis pemisah tajam antara pekerjaan dan kelengahan. Jika dalam Renaissance kegilaan masih dikaitkan dengan suatu realitas fantastis dan luar-duniawi, maka dalam Zaman Klasik kegilaan dinilai sebagai ketidakgunaan sosial dan dieksekusi lantaran alasan-alasan etis.
Itu tidak berarti bahwa ilmu kedokteran dalam zaman itu tidak berurusan dengan kegilaan. Seorang dokter contohnya umumnya memilih apakah orang gila dikurung dalam hospital atau tidak. Ada beberapa forum yang secara ekslusif menangani orang gila. Ada juga pengobatan bagi sekurang-kurangnya beberapa jenis kegilaan. Tetapi hal itu dilarang ditafsirkan sebagai permulaan perilaku modern terhadap penyakit jiwa. Sebaliknya, perilaku dokter terhadap kegilaan pada waktu itu hanya melanjutkan praktek Renaissance dan Abad Pertengahan. Yang gres bagi Zaman Klasik ialah bahwa kegilaan dilihat sebagai unreason dan balasannya ditangani dengan pengurungan. Berhubungan dengan itu kita melihat pula bahwa kegilaan sering ditafsirkan sebagai kemunduran ke taraf binatang. Orang gila yang "ganas" dipasung atau diikat bagaikan hewan buas. Tidak jarang orang gila dipertontonkan juga untuk khalayak ramai; di Paris dan London pada hari Minggu masyarakat berbondong-bondong ke kawasan orang gila dipamerkan, sebagaimana cukup umur ini orang mengunjungi kebun binatang. Dalam zaman Renaissance orang gila juga dipandang sebagai binatang; tetapi dalam hal itu Renaisance melihat tanda bahwa orang gila termasuk suatu dunia "di seberang", suatu dunia lain. Bagi Zaman Klasik persamaan orang gila dengan hewan menunjukkan bahwa mereka terpisah dari rasio. Statusnya selaku hewan dipandang semata-mata negatif: sebagai bukti bahwa ia tidak lagi suatu makhluk yang berasio. Banyak dongeng pada waktu itu perihal orang gila dalam kurungan yang sanggup menahan kelaparan, kedinginan, atau nyeri secara mengherankan, menunjukkan kepada hal yang sama. Orang-orang gila ternyata termasuk taraf lain dari manusia, yaitu taraf binatang. Karena alasan itu pula mereka tidak begitu menarik perhatian ilmu kedokteran, tetapi terutama harus dijinakkan dan diperlakukan dengan kejam.
Dari didirikannya Hospital general di Paris dan lembaga-lembaga sejenis di Inggris dan Jerman sekitar pertengahan kala ke-17, para sejarawan biasanya menyimpulkan bahwa Zaman Klasik belum mengerti hakikat kegilaan. Foucault tidak baiklah dengan pandangan itu. Orang yang menyampaikan demikian mengandaikan bahwa kita kini ini mempunyai pengertian yang benar perihal kegilaan, sedangkan zaman-zaman terdahulu belum mencapai pengertian itu. Mengenai Zaman Klasik, buktinya ialah-orang berpikir-bahwa orang gila masih dikurung bersama narapidana dan unsur asosial lainnya. Seolah-olah kegilaan merupakan suatu paham yang awet dan tak terubahkan, yang harus menunggu hingga zaman untuk akhirnya ditemukan. Pada kenyataannya pengurungan yang dipraktekan dalam Zaman Klasik berasal dari suatu pandangan yang sama sekali koheren, yaitu kegilaan sebagai unreason, di samping bentuk-bentuk unreason lainnya. Seluruh pandangan ini didasarkan pada kekuasaan rasio. Praktek pengurungan yang berlangsung selama kira-kira satu setengah kala itu tidak berasal dari kekeliruan atau cara berpikir yang masih kabur, tetapi merupakan konsekuensi logis dari sistem fatwa (episteme, kata Foucalut dengan meminjam sebuah kata Yunani) yang menandai Zaman Klasik. Bagi Foucault, pandangan kita kini perihal kegilaan (atau penyakit jiwa) merupakan juga buah hasil suatu sistem fatwa yang tertentu.
Periode Pascaklasik
Sebagaimana Zaman Klasik mulai dengan suatu insiden simbolis, yaitu didirikannya Hospital general (1656), demikian pula zaman ini berakhir dengan suatu insiden lain, yaitu dilepaskannya orang-orang gila dari hospital Bicotre (Paris) oleh Philippe Pinel tahun 1790. Ketika ditanyai "Apakah Anda sendiri gila, lantaran mau melepaskan binatang-binatang macam itu dari rantai mereka?", Pinel menjawab dengan tenang: "Saudara, saya yakin orang-orang ini menjadi ibarat itu lantaran udara segar dan kebebasan telah dirampas dari mereka". Dimana-mana pada waktu itu kita mendengar protes terhadap keadaan bahwa orang-orang gila dikurung bersama narapidana. Tidak selalu lantaran alasan perikemanusiaan terhadap orang-orang gila, sering kali juga lantaran rasa kasihan dengan orang-orang narapidana yang diganggu dengan rupa-rupa cara oleh orang-orang yang kurang waras dan kadang kala berbahaya itu. Bersamaan dengan Pinel di Paris, Samuel Tuke (pemimpin jemaat Quakers di York) "membebaskan" orang-orang gila di Inggris. Tetapi "pembebasan" dari kurungan di penjara itu tidak berarti bahwa orang-orang gila dikembalikan ke dalam masyarakat; mereka ditampung dalam rumah-rumah yang disediakan khusus bagi mereka. Dengan demikian telah lahir asylum (asil) atau kawasan penampungan untuk orang-orang gila (The Retreat yakni nama untuk rumah yang didirikan Tuke).
Dipindahkannya orang gila ke asylum merupakan langkah penting menuju penanganan kegilaan oleh ilmu kedokteran. Tetapi Pinel dan Tuke bukan dokter atau psikiater. Foucault tidak baiklah dengan begitu banyak pengarang yang memandang perbuatan Pinel yang termasyur itu sebagai permulaan pengobatan modern terhadap pasien-pasien psikiatris. Memang benar, Foucault menyampaikan juga bahwa pada final kala ke-18 kegilaan menjadi "penyakit jiwa", tetapi tidak eksklusif dengan Pinel dan Tuke. Jadi, masih ada sebuah mata rantai yang dilarang dilewati, yaitu moralitas. Sesudah Zaman Klasik selesai, oleh Pinel dan kawan-kawannya kegilaan ditempatkan dalam konteks moral. Orang gila telah menyimpang dari keadaan kodrati yang wajar. Kegilaan dilihat sebagai salah satu konsekuensi yang menyertai kemajuan: orang beradab lebih gampang menjadi gila lantaran semakin menjauhkan diri dari alam kodrati. Antara suku-suku primitif yang masih akrab dengan alam kodrat, tidak terdapat orang gila. Pendirian ini diperkukuh lantaran pada waktu itu jumlah orang-orang gila semakin besar. Pada tahun 1780 dengan tiba-tiba muncul panik besar di antara rakyat Paris lantaran mereka menduga bahwa kegilaan akan "menular" dari hospital-hospital ke seluruh kota; sampai-sampai ada pikiran mau memperabukan gedung-gedung Bicetre.
Jika sepanjang Zaman Klasik kegilaan dipertentangkan dengan unreason, maka pada final kala ke-18 kegilaan mulai dipertentangkan dengan moralitas yang semestinya. Tempat-tempat penampungan orang gila menjadi lembaga-lembaga pedagogis; penghuni-penghuninya dianggap sebagai bawah umur yang harus diliputi dengan suasana kekeluargaan. Orang-orang gila harus mencar ilmu menunduk pada Hukum Moral. Tuke di Inggris memakai agama untuk itu, sedangkan Pinel menolak agama, lantaran berdasarkan beliau membawa ke halusinasi. Juga ketakutan merupakan suatu cara yang penting untuk mencapai tujuan yang sama; suatu ketakutan yang berasal dari hati nurani orang yang bersangkutan supaya ia tidak melanggar hukum. Dengan demikian asylum menjadi semacam forum yuridis di mana orang dituduh serta diadili dan hanya sanggup keluar jikalau ia menyesal.
Dan bagaimana fungsi dokter? Dalam suasana moral ini dokter seakan berperan sebagai hakim. Ia menerima suatu kuasa yang hampir magis. Pasien harus berdiam diri terhadap dia. Bila pada kala ke-19 positivisme telah meresapi ilmu kedokteran dan psikiatri (seperti juga seluruh wilayah ilmiah lain), dokter tetap mempertahankan status yang diwarisinya dari konteks moral itu. Di mata pasien, dokter menjadi "tukang sihir". Pasien begitu saja tunduk pada kemauannya yang magis dan pada ilmu yang dianggapnya semacam kepandaian bertenung. "Apa yang kita sebut 'praktek psikiatris' merupakan suatu strategi moral yang berasal dari final kala ke-18, disimpan dalam ritus-ritus yang menandai kehidupan dalam asylum dan diselubungi dengan mitos-mitos positivisme". Dalam perkembangan kemudian peranan Freud cukup penting. Tentu saja, dalam cara memandang psikoanalisanya ia masih terjerat dalam suasana fatwa positivistis. Tetapi ia yakni orang pertama yang memperhatikan korelasi antara dokter dan pasiennya. Ia tetapkan keheningan pasien; pasien diajak bicara. Ia menghentikan observasi ibarat dipraktekan dalam asylum: pasien tidak lagi menjadi objek di bawah tatapan sang dokter. Pasien tidak lagi dihukum. Tetapi dilain pihak Freud membuatkan gambaran dokter sebagai orang yang mempunyai kekuasaan kuasi-magis. Struktur-struktur yang dibuat Pinel dan Tuke dalam asylum, oleh Freud dialihkan pada dokter. Dalam arti tertentu ia membebaskan pasien dari asylum, tetapi tidak membebaskannya dari hal yang paling hakiki, yaitu alienasi, lantaran alienasi itu diejawantahkan oleh dokter sendiri. Kesimpulan Foucault perihal psikoanalisa: "...psikoanalisa tidak sanggup untuk mendengarkan suara-suara unreason atau membaca tanda sandi dari orang gila. Psikoanalisa sanggup membongkar seluk-beluk beberapa bentuk kegilaan; tetapi tetap tinggal absurd terhadap pekerjaan unreason yang otonom itu. Psikoanalisa tidak sanggup membebaskan, mentranskripsikan, apa lagi menerangkan, apa yang bersifat hakiki dalam pekerjaan itu".
Download di Sini
Sumber
Bertens, Kees. 2001. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta. Gramedia
Baca Juga
1. Michel Foucault. Biografi dan Karya
2. Strukturalisme dan Epistemologi. Michel Foucault
3. Michel Foucault. Arkeologi Pengetahuan
4. Michel Foucault. Pemikiran perihal Kuasa
5. Strukturalisme dan Poststrukturalisme
Renaissance
Pada final Abad Pertengahan di Eropa Barat hampir tidak ada lagi penderita kusta. Tempat-tempat mereka ditampung dulu menjadi kosong. Perbaikan ini sebagian besar dicapai justru lantaran mereka disendirikan dari masyarakat. Tetapi, kata Foucault, gambaran perihal orang yang dikeluarkan dari masyarakat akan tinggal dan arti pengisolasian itu sendiri akan tinggal pula dan akan diwujudkan kembali sehabis dua atau tiga kala lagi. Orang kusta hilang, namun struktur-struktur untuk menangani beliau tetap tinggal. Kegilaan akan menjadi mahir waris penyakit kusta. Akan tetapi marilah kita memandang lebih dahulu bagaimana keadaan orang gila dalam zaman Renaissance.
Salah satu tanda-tanda yang amat mengherankan dalam Renaisance yakni stulifera nafis atau Narrenschiff: kapal yang membawa orang-orang gila. Pada kala ke-15 kita melihat kapal-kapal melewati sungai-sungai dan terusan-terusan dari Rheinland (Jerman) dan Flandria (Belgia), penuh dengan orang gila. Pada waktu yang sama tema ini banyak muncul pula dalam kesusastraan dan ikonografi (pada pelukis Belanda Jeroen Bosch umpamanya. Waktu itu orang gila tidak dikurung. Mereka sering diusir dari kota (mungkin lantaran mereka tiba dari kawasan lain), tetapi di luar kota mereka boleh bergerak secara bebas. Agar jangan hingga mereka pulang, orang-orang itu dititipkan kepada rombongan peziarah atau pedagang. Atau digunakan juga kapal-kapal yang disebut tadi. Pertimbangan di belakang praktek itu ialah semoga orang-orang gila itu tidak lagi akan mengganggu masyarakat. Tetapi tanda-tanda ini jauh lebih kompleks. Pasti ada arti simbolis juga. Air tidak saja membawa ke kawasan jauh tetapi membersihkan juga. Lagi pula, dengan berlayar, orang gila menuju ke suatu dunia lain dan bila ia turun dari kapal, ia tiba dari dunia lain. Bagaimanapun juga, dalam sejarah Eropa cukup usang terdapat perkaitan erat antara air dan kegilaan pada taraf imaginasi.
Kegilaan dan orang gila menjadi tema penting dalam kesusastraan dan kesenian dari kira-kira pertengahan kala ke-15 hingga pertengahan kala ke-17. Misalnya dalam cerita-cerita kosmis dan cerita-cerita moral. Kegilaan dianggap akrab dengan kebahagiaan dan kebenaran; lebih akrab dengan rasio daripada rasio itu sendiri. Kegilaan menjadi cermin yang mencopot kedok dari pengetahuan semu dengan segala pretensi dan ilusinya. Dalam zaman ini contohnya Erasmus menulis Laus stultitiae (Pujian pada Kegilaan)
Serentak juga Renaissance mengungkapkan ketakutannya terhadap kegilaan, di samping merasa terpesona lantaran pengetahuan misterius yang dinyatakan oleh kegilaan. Bagi penyair-penyair dan filsuf-filsuf humanistis, kegilaan dikaitkan dengan insan itu sendiri; kegilaan tidak tiba dari luar tetapi bersarang di dalam manusia. Kegilaan mempunyai suatu segi tragis, ibarat juga ada suatu segi kosmis, yaitu korelasi dengan alam semesta. Foucault mempelajari seluruh suasana ini dengan antara lain menganalisa kesusastraan zaman itu, khususnya Cervantes (Don Quixote) dan Shakespeare (terutama Macbeth dan King Lear)
Zaman Klasik
Sekitar pertengahan kala ke-17 kesadaran kritis sudah mencapai kepenuhannya dan dengan itu lahirlah zaman rasio. Kira-kira seabad sehabis menghilangnya "kapal orang-orang gila", kita menyaksikan munculnya "hospital orang-orang gila". Kegilaan dipertentangkan dengan rasio. Manusia sanggup menjadi gila, tetapi mustahil bahwa fatwa itu sendiri kurang waras. Bagi Descartes* kegilaan termasuk kekeliruan, bersama dengan mimpi dan bentuk-bentuk kekeliruan lainnya. Tetapi bertentangan dengan mimpi dan ilusi, kegilaan tidak sanggup diatasi dengan nampaknya kebenaran; kegilaan hanya sanggup disingkirkan oleh subjek yang menyangsikan. Kegilaan dikeluarkan dari kehidupan intelektual; kegilaan diberi status unreason; kegilaan disamakan dengan keadaan tanpa rasio. Dan balasannya kegilaan disuruh bungkam.
Pandangan gres perihal kegilaan ini disertai dengan penanganan gres pada taraf kemasyarakatan: orang gila dikurung . Simbol bagi perkembangan ini yakni didirikannya Hospital general di Paris oleh raja Prancis pada tahun 1656. Hospital ini bukan suatu instansi kesehatan, melainkan instansi yang menyangkut tata tertib. Bukan saja orang-orang gila diinternir di sana, tetapi hospital ibarat itu menampung semua unsur yang mengganggu tata tertib dalam masyarakat: pemalas, pengemis, gelandangan, dan narapidana. Pendeknya, semua orang yang mengacaukan taraf rasionalitas; semua orang yang tidak berguna. Foucault menghitung bahwa sehabis beberapa waktu satu persen dari seluruh penduduk kota Paris dikurung dengan cara demikian. Hal itu sanggup dimengerti, bila kita ketahui perihal krisis ekonomi yang melanda Prancis pada kala ke-17. Hospital merupakan jawaban pemerintah Prancis atas krisis tersebut. Semua yang dikurung tentu kehilangan kebebasan mereka, tetapi sebagai ganti kesejahteraan mereka dijamin oleh negara. Hospital-hospital semacam itu timbul dimana-mana di Prancis. Di negara-negara lain kita melihat lembaga-lembaga yang sejenis: workhouses di Inggris dan Zuchthauser di Jerman.
Tempat orang kusta dari Abad Pertengahan, dalam Zaman Klasik dihuni oleh orang terlantar yang merupakan sumber ketidakteraturan dalam masyarakat dan orang gila termasuk mereka itu. Maka dalam hospital-hospital itu orang-orang yang dikurung diwajibkan bekerja. Pekerjaan pada waktu itu tidak begitu dilihat sebagai suatu perjuangan produktif, tetapi terutama sebagai suatu kewajiban moral. Ditarik suatu garis pemisah tajam antara pekerjaan dan kelengahan. Jika dalam Renaissance kegilaan masih dikaitkan dengan suatu realitas fantastis dan luar-duniawi, maka dalam Zaman Klasik kegilaan dinilai sebagai ketidakgunaan sosial dan dieksekusi lantaran alasan-alasan etis.
Itu tidak berarti bahwa ilmu kedokteran dalam zaman itu tidak berurusan dengan kegilaan. Seorang dokter contohnya umumnya memilih apakah orang gila dikurung dalam hospital atau tidak. Ada beberapa forum yang secara ekslusif menangani orang gila. Ada juga pengobatan bagi sekurang-kurangnya beberapa jenis kegilaan. Tetapi hal itu dilarang ditafsirkan sebagai permulaan perilaku modern terhadap penyakit jiwa. Sebaliknya, perilaku dokter terhadap kegilaan pada waktu itu hanya melanjutkan praktek Renaissance dan Abad Pertengahan. Yang gres bagi Zaman Klasik ialah bahwa kegilaan dilihat sebagai unreason dan balasannya ditangani dengan pengurungan. Berhubungan dengan itu kita melihat pula bahwa kegilaan sering ditafsirkan sebagai kemunduran ke taraf binatang. Orang gila yang "ganas" dipasung atau diikat bagaikan hewan buas. Tidak jarang orang gila dipertontonkan juga untuk khalayak ramai; di Paris dan London pada hari Minggu masyarakat berbondong-bondong ke kawasan orang gila dipamerkan, sebagaimana cukup umur ini orang mengunjungi kebun binatang. Dalam zaman Renaissance orang gila juga dipandang sebagai binatang; tetapi dalam hal itu Renaisance melihat tanda bahwa orang gila termasuk suatu dunia "di seberang", suatu dunia lain. Bagi Zaman Klasik persamaan orang gila dengan hewan menunjukkan bahwa mereka terpisah dari rasio. Statusnya selaku hewan dipandang semata-mata negatif: sebagai bukti bahwa ia tidak lagi suatu makhluk yang berasio. Banyak dongeng pada waktu itu perihal orang gila dalam kurungan yang sanggup menahan kelaparan, kedinginan, atau nyeri secara mengherankan, menunjukkan kepada hal yang sama. Orang-orang gila ternyata termasuk taraf lain dari manusia, yaitu taraf binatang. Karena alasan itu pula mereka tidak begitu menarik perhatian ilmu kedokteran, tetapi terutama harus dijinakkan dan diperlakukan dengan kejam.
Dari didirikannya Hospital general di Paris dan lembaga-lembaga sejenis di Inggris dan Jerman sekitar pertengahan kala ke-17, para sejarawan biasanya menyimpulkan bahwa Zaman Klasik belum mengerti hakikat kegilaan. Foucault tidak baiklah dengan pandangan itu. Orang yang menyampaikan demikian mengandaikan bahwa kita kini ini mempunyai pengertian yang benar perihal kegilaan, sedangkan zaman-zaman terdahulu belum mencapai pengertian itu. Mengenai Zaman Klasik, buktinya ialah-orang berpikir-bahwa orang gila masih dikurung bersama narapidana dan unsur asosial lainnya. Seolah-olah kegilaan merupakan suatu paham yang awet dan tak terubahkan, yang harus menunggu hingga zaman untuk akhirnya ditemukan. Pada kenyataannya pengurungan yang dipraktekan dalam Zaman Klasik berasal dari suatu pandangan yang sama sekali koheren, yaitu kegilaan sebagai unreason, di samping bentuk-bentuk unreason lainnya. Seluruh pandangan ini didasarkan pada kekuasaan rasio. Praktek pengurungan yang berlangsung selama kira-kira satu setengah kala itu tidak berasal dari kekeliruan atau cara berpikir yang masih kabur, tetapi merupakan konsekuensi logis dari sistem fatwa (episteme, kata Foucalut dengan meminjam sebuah kata Yunani) yang menandai Zaman Klasik. Bagi Foucault, pandangan kita kini perihal kegilaan (atau penyakit jiwa) merupakan juga buah hasil suatu sistem fatwa yang tertentu.
Periode Pascaklasik
Sebagaimana Zaman Klasik mulai dengan suatu insiden simbolis, yaitu didirikannya Hospital general (1656), demikian pula zaman ini berakhir dengan suatu insiden lain, yaitu dilepaskannya orang-orang gila dari hospital Bicotre (Paris) oleh Philippe Pinel tahun 1790. Ketika ditanyai "Apakah Anda sendiri gila, lantaran mau melepaskan binatang-binatang macam itu dari rantai mereka?", Pinel menjawab dengan tenang: "Saudara, saya yakin orang-orang ini menjadi ibarat itu lantaran udara segar dan kebebasan telah dirampas dari mereka". Dimana-mana pada waktu itu kita mendengar protes terhadap keadaan bahwa orang-orang gila dikurung bersama narapidana. Tidak selalu lantaran alasan perikemanusiaan terhadap orang-orang gila, sering kali juga lantaran rasa kasihan dengan orang-orang narapidana yang diganggu dengan rupa-rupa cara oleh orang-orang yang kurang waras dan kadang kala berbahaya itu. Bersamaan dengan Pinel di Paris, Samuel Tuke (pemimpin jemaat Quakers di York) "membebaskan" orang-orang gila di Inggris. Tetapi "pembebasan" dari kurungan di penjara itu tidak berarti bahwa orang-orang gila dikembalikan ke dalam masyarakat; mereka ditampung dalam rumah-rumah yang disediakan khusus bagi mereka. Dengan demikian telah lahir asylum (asil) atau kawasan penampungan untuk orang-orang gila (The Retreat yakni nama untuk rumah yang didirikan Tuke).
Dipindahkannya orang gila ke asylum merupakan langkah penting menuju penanganan kegilaan oleh ilmu kedokteran. Tetapi Pinel dan Tuke bukan dokter atau psikiater. Foucault tidak baiklah dengan begitu banyak pengarang yang memandang perbuatan Pinel yang termasyur itu sebagai permulaan pengobatan modern terhadap pasien-pasien psikiatris. Memang benar, Foucault menyampaikan juga bahwa pada final kala ke-18 kegilaan menjadi "penyakit jiwa", tetapi tidak eksklusif dengan Pinel dan Tuke. Jadi, masih ada sebuah mata rantai yang dilarang dilewati, yaitu moralitas. Sesudah Zaman Klasik selesai, oleh Pinel dan kawan-kawannya kegilaan ditempatkan dalam konteks moral. Orang gila telah menyimpang dari keadaan kodrati yang wajar. Kegilaan dilihat sebagai salah satu konsekuensi yang menyertai kemajuan: orang beradab lebih gampang menjadi gila lantaran semakin menjauhkan diri dari alam kodrati. Antara suku-suku primitif yang masih akrab dengan alam kodrat, tidak terdapat orang gila. Pendirian ini diperkukuh lantaran pada waktu itu jumlah orang-orang gila semakin besar. Pada tahun 1780 dengan tiba-tiba muncul panik besar di antara rakyat Paris lantaran mereka menduga bahwa kegilaan akan "menular" dari hospital-hospital ke seluruh kota; sampai-sampai ada pikiran mau memperabukan gedung-gedung Bicetre.
Jika sepanjang Zaman Klasik kegilaan dipertentangkan dengan unreason, maka pada final kala ke-18 kegilaan mulai dipertentangkan dengan moralitas yang semestinya. Tempat-tempat penampungan orang gila menjadi lembaga-lembaga pedagogis; penghuni-penghuninya dianggap sebagai bawah umur yang harus diliputi dengan suasana kekeluargaan. Orang-orang gila harus mencar ilmu menunduk pada Hukum Moral. Tuke di Inggris memakai agama untuk itu, sedangkan Pinel menolak agama, lantaran berdasarkan beliau membawa ke halusinasi. Juga ketakutan merupakan suatu cara yang penting untuk mencapai tujuan yang sama; suatu ketakutan yang berasal dari hati nurani orang yang bersangkutan supaya ia tidak melanggar hukum. Dengan demikian asylum menjadi semacam forum yuridis di mana orang dituduh serta diadili dan hanya sanggup keluar jikalau ia menyesal.
Dan bagaimana fungsi dokter? Dalam suasana moral ini dokter seakan berperan sebagai hakim. Ia menerima suatu kuasa yang hampir magis. Pasien harus berdiam diri terhadap dia. Bila pada kala ke-19 positivisme telah meresapi ilmu kedokteran dan psikiatri (seperti juga seluruh wilayah ilmiah lain), dokter tetap mempertahankan status yang diwarisinya dari konteks moral itu. Di mata pasien, dokter menjadi "tukang sihir". Pasien begitu saja tunduk pada kemauannya yang magis dan pada ilmu yang dianggapnya semacam kepandaian bertenung. "Apa yang kita sebut 'praktek psikiatris' merupakan suatu strategi moral yang berasal dari final kala ke-18, disimpan dalam ritus-ritus yang menandai kehidupan dalam asylum dan diselubungi dengan mitos-mitos positivisme". Dalam perkembangan kemudian peranan Freud cukup penting. Tentu saja, dalam cara memandang psikoanalisanya ia masih terjerat dalam suasana fatwa positivistis. Tetapi ia yakni orang pertama yang memperhatikan korelasi antara dokter dan pasiennya. Ia tetapkan keheningan pasien; pasien diajak bicara. Ia menghentikan observasi ibarat dipraktekan dalam asylum: pasien tidak lagi menjadi objek di bawah tatapan sang dokter. Pasien tidak lagi dihukum. Tetapi dilain pihak Freud membuatkan gambaran dokter sebagai orang yang mempunyai kekuasaan kuasi-magis. Struktur-struktur yang dibuat Pinel dan Tuke dalam asylum, oleh Freud dialihkan pada dokter. Dalam arti tertentu ia membebaskan pasien dari asylum, tetapi tidak membebaskannya dari hal yang paling hakiki, yaitu alienasi, lantaran alienasi itu diejawantahkan oleh dokter sendiri. Kesimpulan Foucault perihal psikoanalisa: "...psikoanalisa tidak sanggup untuk mendengarkan suara-suara unreason atau membaca tanda sandi dari orang gila. Psikoanalisa sanggup membongkar seluk-beluk beberapa bentuk kegilaan; tetapi tetap tinggal absurd terhadap pekerjaan unreason yang otonom itu. Psikoanalisa tidak sanggup membebaskan, mentranskripsikan, apa lagi menerangkan, apa yang bersifat hakiki dalam pekerjaan itu".
Download di Sini
Sumber
Bertens, Kees. 2001. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta. Gramedia
Baca Juga
1. Michel Foucault. Biografi dan Karya
2. Strukturalisme dan Epistemologi. Michel Foucault
3. Michel Foucault. Arkeologi Pengetahuan
4. Michel Foucault. Pemikiran perihal Kuasa
5. Strukturalisme dan Poststrukturalisme
Belum ada Komentar untuk "Michel Foucault. Sejarah Kegilaan"
Posting Komentar