Jean-Paul Sartre

Riwayat hidup dan karyanya
Jean-Paul Sartre lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya perwira angkatan maritim Prancis dan ibunya, Anne-Marie Schweitzer, anak bungsu dan satu-satunya anak wanita dari Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sastra Jerman di tempat Alsace. Ayahnya meninggal dua tahun setelah kelahiran Jean-Paul dan ibu bersama anaknya pulang ke rumah ayahnya, Charles Schweitzer, di Meudon. Sesudah empat tahun, mereka pindah ke Paris.

Dalam buku Les Mots (1964) (Kata-kata), yang oleh banyak kritisi dianggap sebagai salah satu karya puncak dalam karya literer Sartre, ia menyodorkan suatu analisa tajam perihal masa anaknya, yang pada hakikatnya bersikap amat negatif terhadap periode dalam hidupnya itu. Yang niscaya ialah bahwa kakeknya, Charles Schweitzer, memegang peranan besar sekali dalam membesarkan Jean-Paul dan membuatkan bakatnya sebagai pengarang. Kakeknya itu sebetulnya beragama Kristen Protestan, tetapi ia menyetujui bahwa anak-anaknya dididik dalam agama istrinya, Louise Guillemin, yaitu agama Kristen Katolik. Jean-Paul juga dibaptis dan dibesarkan secara Katolik.

Tetapi berdasarkan kesaksiannya dalam Kata-kata, kakeknya menertawakan segala sesuatu yang bersifat religius dan neneknya dalam hati kecilnya bersikap agnostisis. Ia sendiri mengakui sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Allah semenjak usia dua belas tahun. Kesusastraan menjadi suatu agama gres bagi dia. Sartre bercerita bahwa pada usia delapan atau sembilan tahun ia mengambil keputusan menjadi seorang pengarang besar; dan bagi ia pada waktu itu “besar” yaitu pengarang yang misunderstood, yang salah dipahami oleh sidang pembaca. Suatu kehidupan yang dibaktikan kepada kesusastraan—demikian harapannya—akan menyelamatkan dia. Tetapi ia memerlukan waktu cukup usang hingga kesannya ditemukannya bahwa dalam kepercayaan itu pun ia keliru.

Sampai umur sepuluh tahun empat bulan (periode yang digambarkan dalam Kata-kata) anak yang sangat pintar itu diberi pengajaran di rumah. Selama itu ia hidup di tengah-tengah orang-orang dewasa, tanpa adik, tanpa teman sebaya. Dunianya yaitu perpustakaan kakeknya. Dapat dimengerti bahwa dengan masuk sekolah suatu dunia sama sekali gres terbuka bagi dia. Ia diterima di Lycee Henri IV di Paris, tetapi tahun berikutnya ibunya menikah lagi dan mereka pindah ke La Rochelle. Sesudah beberapa tahun ia disekolahkan lagi di Paris, yaitu Lycee Louis-le-Grand. Pada tahun 1924 ia sempat masuk di Ecole normale superieure, yang sudah kita kenal sebagai salah satu akademi tinggi yang paling selektif dan paling terkemuka di Prancis. Untuk ujian Agregation ia satu kali jatuh, tetapi tahun berikutnya, tahun 1929, ia berhasil meraih Agregation de philosophie sebagai nomor satu.

Sekitar tahun 1929 Sartre berkenalan dengan Simone de Beauvoir*, mahasiswi filsafat di Universitas Sorbonne. Pertemuan itu menjadi titik tolak persahabatan bersahabat sepanjang hidup mereka. Tetapi mereka menolak untuk menikah, alasannya yaitu perkawinan oleh mereka—kata Simone de Beauvoir*—dianggap sebagai suatu forum borjuis saja. Otobiografi yang ditulis oleh Simone de Beauvoir* (tiga jilid) merupakan suatu sumber penting untuk mengikuti perkembangan intelektual Sartre.

Sebagai mahasiswa dan guru muda Sartre termasuk golongan intelektual yang berhaluan kiri. Objek kritiknya terutama kaum borjuis dengan norma-norma dan tradisinya. Di bidang filsafat, Sartre dan kawan-kawannya menyerang idealisme dan setiap pemujaan terhadap “hidup batin”. Mereka mengkritik profesor-profesor mereka di universitas yang berpretensi sanggup mencapai perubahan-perubahan kemasyarakatan hanya dengan ide-ide dan koreksi terhadap ide-ide. Kritik ini tentunya dipengaruhi oleh pengalaman sekitar Perang Dunia I dan revolusi di Rusia. Di kemudian hari Sartre akan menyampaikan bahwa pada waktu itu ia menyadari bahwa filsafat yang dicarinya sebetulnya sudah ada, yaitu Marxisme. Ia memang membaca beberapa karya Karl Marx*, tetapi—diakuinya kemudian—belum masuk sungguh-sungguh dalam alam pikiran ini.

Sejak tahun 1931 Sartre mengajar sebagai guru filsafat di beberapa Lycees, berturut-turut di Le Havre, Laon, dan Paris. Pada waktu itu ia mulai berkenalan dengan fenomenologi Husserl* dan tahun 1933-1934 ia menerima kesempatan untuk mempelajari lebih mendalam aliran filsafat ini pada “Lembaga Prancis” di Berlin. Sekembalinya di Le Havre ia menulis suatu artikel panjang berjudul La transcendence de I’ego (1936) (Transendensi Ego) sebagai sekedar hasil studinya di Berlin. Sejak semula ia menafsirkan fenomenologi Husserl* dalam arti realistis: bagi ia filsafat ini merupakan suatu sarana untuk mengungkapkan realitas dan pengalaman yang konkret. Bidang pertama di mana Sartre mulai menerapkan pemikiran fenomenologis yaitu psikologi, khususnya kasus fantasi dan emosi. Ia menulis buku-buku kecil berjudul L’imagination (1936) (Imajinasi), Esquisse d’une theorie des emotions (1939) (Garis-garis besar suatu teori perihal emosi-emosi) dan L’imaginaire (1940) (Yang imajiner). Dalam karangan-karangan ini kita sudah menemui beberapa tema yang akan diolah lagi dalam filsafatnya nanti.

Dalam periode yang sama Sartre mulai kariernya sebagai sastrawan. Salah satu karya sastra yang paling penting yaitu novelnya yang pertama berjudul La Nausee (1938) (Rasa muak). Di sini dengan lebih terang kita menemui sejumlah tema yang akan kembali dalam filsafatnya nanti. Ia juga mulai terjun dalam kritik kesenian. Berbagai majalah memuat karangan-karangannya perihal kesusastraan maupun seni rupa.

Setelah studinya selesai Sartre sudah memenuhi wajib militer (1929-1931). Ketika Perang Dunia II pecah, ia dipanggil lagi masuk ketentaraan. Karena tugasnya pada dinas meteorologi, ia memiliki waktu luang untuk membaca dan menulis. Dari Juni 1940 hingga April 1941 ia ditahan di Jerman sebagai tahanan perang. Dalam tahanan ia menulis dan menyutradarai sebuah drama yang mengisahkan insiden Natal, tetapi sebetulnya mengecam pendudukan Palestina oleh tentara Roma, yang bagi penonton budiman cukup terang bahwa apa yang dimaksudkannya sesungguhnya pendudukan Prancis oleh tentara Jerman. Pengalaman ini membuka mata Sartre bagi drama sebagai media ekspresi.

Waktu Perang Dunia II terbitlah karya filsafat besar berjudul L’etre et le neant. Essai d’ontologie phenomenologique (1943) (Ada dan ketiadaan. Percobaan suatu ontologi fenomenologis). Dengan buku ini Sartre menjadi filsuf ternama dan segera dianggap sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Buku ini mengalami sukses besar setelah Perang Dunia II, juga di luar Prancis. Salah satu tanda kepopuleran Sartre yaitu suksesnya buku kecil yang berjulukan L’existensialisme est un humanisme (1946) (Eksistensialisme yaitu suatu humanisme). Buku kecil ini memuat ceramah di mana Sartre berusaha menyingkatkan pemikirannya pada waktu itu dan membela eksistensialisme terhadap keberatan-keberatan yang telah dikemukakan antara lain oleh kaum komunis.

Pada waktu itu Sartre sudah berhenti sebagai guru, alasannya yaitu ia sanggup hidup dari penghasilannya sebagai pengarang. Ia juga sanggup mewujudkan suatu harapan usang dengan mendirikan sebuah majalah baru, Les Temps Modernes (1945) (Zaman-zaman modern). M. Merleu-Ponty* dan S. de Beauvoir* antara lain termasuk dewan redaksi. Majalah berhaluan kiri ini berusaha memperlihatkan balasan perihal semua insiden dan perkembangan penting di bidang kultural dan politik. Sebagai sastrawan Sartre menerbitkan banyak karya sandiwara, antara lain, Les monches (1943) (Lalat-lalat), Huis clos (1945) (Pintu tertutup), Morts sans sepulture (1946) (Orang mati yang tidak dikubur), La putain respectueuse (1946) (Pelacur terhormat), Les mains sales (1948) (Tangan kotor), Le diable et le bon Dieu (1951) (Setan dan Tuhan Allah), Les sequestres d’Altona (1960) (Tahanan-tahanan dari Altona). Suatu seri novel dengan judul bersama Les chemins d ela liberte (Jalan-jalan kebebasan) terbit dalam tiga jilid (1944, 1945, 1949); jilid keempat yang tadinya direncanakan ternyata tidak terselesaikan.

Ditinjau dari segi filsafat, 1960 merupakan tahun yang penting dalam karier Sartre. Dalam tahun itu diterbitkan karya filosofis besar dengan judul Critique de la raison dialectique (Kritik atas rasio dialektis). Buku ini dimaksudkan sebagai jilid pertama dari suatu karya lebih luas, tetapi jilid kedua tidak pernah terbit, sekalipun kita ketahui bahwa sekurang-kurangnya dua cuilan sudah diselesaikan tidak usang setelah jilid pertama. Dalam edisi Prancis Kritik atas rasio dialektis didahului oleh karangan yang berjudul Questions de methode (Persoalan-persoalan menyangkut metode) di mana diusahakan suatu konfrontasi antara eksistensialisme dengan Marxisme (tahun 1957 karangan ini sudah terbit dalam Les temps modernes dan sebelumnya dalam bentuk singkat dalam sebuah majalah Polandia).

Di sini kita tidak meneropongi secara khusus minat Sartre terhadap film, yang berdasarkan Kata-kata sudah ada padanya semenjak kecil. Ia menulis beberapa skenario film (antara lain perihal kehidupan Sigmund Freud*), tetapi hanya satu direalisasikan menjadi film. Sartre menulis juga beberapa analisa perihal sastrawan-sastrawan besar. Yang pantas disebut di sini yaitu Baudelaire (1947), Saint Genet. Comedien et martyr (1952) (Santo Genet. Pemain komedi dan martir) dan L’idiot de la famille. Gustave Flaubert de 1821 a 1857 (Si konyol dari keluarga. Gustave Flaubert dari tahun 1821 hingga 1857) jilid I dan II, 1971; jilid III, 1972). Karya terakhir ini sebetulnya direncanakan dalam empat jilid, tetapi jilid IV tidak terselesaikan. Namun demikian, karya ini tetap merupakan karya Sartre paling besar dan meliputi tidak kurang dari 2.812 halaman.

Pada tahun 1964 Sartre dipilih sebagai pemenang Hadiah Nobel cuilan kesusastraan. Tetapi ia menolak dan dengan itu membiarkan lewat laba finansial yang tidak sedikit. Menerima hadiah itu—demikian pendapatnya—akan mengurangi kebebasannya, lantaran dengan itu ia akan dimasukkan dalam suatu golongan tertentu, yaitu golongan borjuis atau kapitalis. Kegiatannya sebagai pengarang akan dibekukan. Karena alasan yang sama—katanya—ia akan menolak juga Hadiah Lenin, seandainya diberikan oleh Uni Soviet. Selaku pengarang ia ingin tetap mempertahankan posisinya yang independen di tengah blok-blok sosial-politik yang ada pada waktu itu.

Dalam politik dalam negeri Prancis dan politik internasional yang penuh pergolakan itu Sartre tidak segan melibatkan diri, setidak-tidaknya setelah Perang Dunia II. Pendiriannya selalu berhaluan kiri dan penuh simpati dengan partai-partai kiri, tetapi perlu ditekankan bahwa tidak pernah ia menjadi anggota partai komunis. Biarpun ia mengagumi sistem pemerintahan komunis Uni Soviet, tanpa ragu-ragu ia juga mengecam perkembangan yang dianggap kurang masuk akal ibarat Stalinisme dan penyerbuan Hongaria (1956) serta Cekoslovakia (1968) oleh tentara Rusia. Karena simpatinya bagi gerakan komunis, ia sanggup mengunjungi beberapa tempat yang dikala itu masih sulit dimasuki orang Eropa Barat, ibarat Uni Soviet, Republik Rakyat Cina, dan Kuba. Ketika pada final 1950-an duduk masalah Aljazair menjadi kasus amat emosional di Prancis, nama Sartre sering terdengar dalam konteks itu. Tahun 1960 ia memprakarsai “Manifesto 121 cendekiawan” di mana dinyatakan bahwa prajurit-prajurit Prancis berhak menolak kalau dikirim ke Aljazair. Ia juga membela sahabatnya, Prancis Jeanson*, dikala orang muda itu terlibat dalam membantu F.L.N., organisasi terlarang di Prancis yang memperjuangkan kemerdekaan Aljazair. Salah satu insiden yang dramatis yaitu ledakan bom yang dipasangkan di rumah oleh O.A.S., organisasi golongan kanan yang memperjuangkan komplotan permanen antara Prancis dan Aljazair. Sartre selamat lantaran tidak di rumah dan untuk beberapa waktu ia harus menyembunyikan diri.

Pada tahun 1966 ia mengambil cuilan dalam Internasional Tribunal against war crimes in Vietnam yang telah didirikan oleh filsuf tersohor Inggris, Lord Bertrand Russell. Maksud forum pengadilan itu yaitu menyelidiki kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan tentara Amerika Serikat di Vietnam dengan memakai norma-norma yang sama yang telah diciptakan oleh negara-negara demokratis untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan perang Nazi Jerman dalam pengadilan Nuremberg tahun 1946.

Ketika “revolusi mahasiswa” pecah di Paris pada bulan Mei 1968, Sartre mengikuti peristiwa-peristiwa yang berlangsung dengan perhatian besar dan turut mengecam tindakan-tindakan polisi Prancis yang dinilai terlalu kejam. Dalam sebuah majalah mingguan dimuat wawancara yang dilakukan Sartre dengan pemimpin mahasiswa, Daniel Cohn-Bendit, di mana ia memberi kesan seperti ia filsuf yang sudah tua, sanggup mencar ilmu banyak dari mahasiswa muda itu (Le nouvel observateur 20.5.68). Pada tanggal 20 Mei 1968 ia tiba ke Universitas Sorbonne yang diduduki oleh mahasiswa, guna menyatakan dukungannya dan mengimbau orang muda di sana untuk menghancurkan universitas dalam bentuknya yang lama.


Beberapa tahun kemudian (1973) ia mengambil inisiatif untuk menerbitkan surat kabar baru. Bersama dengan suatu staf yang terdiri dari orang-orang berhaluan kiri, ia mulai menerbitkan harian—harian non-kapitalistis, katanya—yang akan memperjuangkan kepentingan kaum buruh. Nama yang dipilih yaitu Liberation (Pembebasan). Surat kabar ini tidak memuat iklan, yang dianggap sebagai kebiasaan kapitalistis. Dan semua karyawan menerima honor yang sama: dari montir mesin hingga dewan redaksi. Tetapi, lantaran kesulitan-kesulitan finansial harian ini sering merana dan beberapa kali harus berhenti untuk sementara.

Banyak artikel yang ditulis Sartre perihal politik, kesusastraan, dan pokok-pokok lain (kebanyakan pernah dimuat dalam majalah Les temps modernes) telah dikumpulkan dalam seri buku yang diberi judul Situations (Situasi-situasi). Seluruh seri meliputi sepuluh jilid (1947-1975).

Ketika ia mencapai usia 70 tahun (1975), insiden itu diperingati oleh banyak majalah dan media lainnya. Suatu wawancara panjang dengan Sartre disajikan oleh majalah Le nouvel observateur. Ia mengakui bahwa semenjak dua tahun ia mengidap banyak sekali penyakit. Kakinya merasa sakit kalau berjalan lebih dari satu kilometer; dan yang paling berat, matanya semakin kabur hingga hampir buta. Membaca dan menulis mustahil lagi: “kegiatan saya sebagai pengarang sudah musnah sama sekali”. Perayaan hari ulang tahun ke-70 itu menjadi semacam pamitan umum. Ia meninggal lima tahun kemudian tanggal 15 April 1980, setelah sebulan dirawat di rumah sakit.

Riwayat hidup ini kiranya cukup memberi kesan perihal kegiatan Sartre yang meliputi banyak bidang. Dia yaitu pengarang novel, pengarang drama dan skenario film, kritikus sastra, filsuf, dan pemikir politik. Tidak sanggup diragukan bahwa Sartre yaitu salah seorang pengarang paling terkemuka dalam kala ke-20.
 

Baca Juga
1. Jean-Paul Sartre. Kebebasan
2. Jean-Paul Sartre. Relasi Antarmanusia
3. Eksistensialisme Jean-Paul Sartre 
4. Aliran Filsafat. Eksistensialisme

Sumber
Bertens. K. 2001. Filsafat Barat Kontemporer; Prancis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta


Download

Belum ada Komentar untuk "Jean-Paul Sartre"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel