Firthjof Schuon. Karya Dan Pemikiran

Sebagian besar karya Schuon ditulis dalam bahasa Prancis dan sebagian lagi dalam bahasa Jerman. Karya-karya tersebut sudah banyak diterjemahkan ke banyak sekali bahasa, terutama bahasa Inggris. Subjek yang ditulis dan digelutinya yakni bidang keagamaan, mulai dari agama Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan Islam, hingga tradisi keagamaan Indian serta agama orang Jepang, Shinto. Schuon juga mempunyai pola dan cara khas dalam menjelaskan subjek-subjek tersebut. Berbeda dari banyak sarjana Barat, yang menganut pola pikir ilmiah dengan menekankan aspek empiris (eksoteris) agama hingga makna doktrin atau simbol agama tersebut sering kali “kurang berbicara”, Schuon justru memulainya dari makna metafisis (esoteris) suatu agama dan kemudian merinci kekhasannya dibandingkan dengan agama lain (yang menjadi aspek eksoterisnya).
Oleh alasannya yakni itu, Schuon mengklaim bahwa tulisannya perihal agama tidak bersifat ekslusif. Sayid Husein Nasr*, pemikir Islam kontemporer yang menganut pemikirannya, menyatakan bahwa karya Schuon mempunyai ciri esensial, universal, dan komprehensif. Bahasa yang dipakai dalam tulisannya pun banyak bersifat simbolis dan dialektis, tetapi penuh kedalaman makna. Maka dari itu, tulisannya sulit dipahami oleh awam dan para pemula. Untuk memahami pesan-pesan yang dilontarkannya, seseorang memerlukan kesiapan intelektual maupun emosional dan membuang praduga-praduga.

Gaung dari tulisannya mengundang banyak komentar dari para ahli. Thomas Stearns Eliot (peraih Nobel sastra 1948 dari Inggris; 1888-1965) menulis mengenai buku Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Mencari Titik Temu Agama-Agama), “Saya tidak menemukan karya yang lebih mengesankan dalam studi perbandingan mengenai agama Timur dan Barat”. Schuon bisa menginterpretasikan anutan (tradisi) Timur terhadap dunia masa kini. Huston Smith, spesialis agama dari Amerika Serikat, memberi komentar perihal Schuon, “Dia berpikir cemerlang, bisa memadukan agama dan intelektualitas, seimbang dalam pendalaman serta penghayatan, dan menjadi teladan bagi zaman kita. Saya tahu tidak seorang pun sanggup mengungguli kepiawaiannya”.

Khusus mengenai Islam, hingga tahun 1994 Schuon telah menghasilkan sekurang-kurangnya tiga karya penting dan satu karya yang dipandang sebagai paradigma dalam obrolan antaragama.
(1) Understanding Islam (edisi Indonesia: Memahami Islam, diterbitkan oleh Penerbit Pustaka, Bandung). Buku ini yakni karya terpenting yang pernah ditulis oleh seorang Barat perihal Islam dan diterima secara luas oleh kaum muslimin sendiri. Buku ini berbicara perihal makna Islam, Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW, dan perihal “jalan” –yang sebagian besar menjelaskan tradisi Islam, termasuk tasawuf.

(2) Dimensions of Islam (Dimensi Islam). Buku kedua ini menekankan segi metafisis dan esoteris Islam, mencakup bidang-bidang metafisika, kosmologi, dan tafsir Al-Qur’an serta hadis.

(3) Islam and the Perenial Philosophy (edisi Indonesia: Islam dan Filsafat Perenial, Penerbit Mizan, Bandung). Karya ini berkenaan dengan persoalan keislaman dalam diskursus (penalaran) metafisis, teologis, dan eksatologis. Di antara tema keislaman yang dibahas di dalam buku ini ialah perbedaan Suni-Syiah, perihal sunah (amalan-amalan tradisonal) Rasulullah SAW dan Al-Qur’an suci yang menjadi faktor penentu bagi gaya rohani dan mentalitas kaum muslimin, serta perihal masalah-masalah rumit mengenai teologi Asy’ariah.

(4) The Tanscendent Unity of Religions (edisi Indonesia: Mencari Titik Temu Agama-Agama, diterbitkan oleh Yayasan Obor, Jakarta). Pada prinsipnya buku ini mengemukakan tesis Schuon mengenai perbedaan antara hakikat dan perwujudan, yakni unsur esoteris lawan eksoteris suatu agama. Garis pemisah antara yang esoteris dan yang eksoteris tersebut tidak dibagi secara vertikal atas perwujudan histori dari agama-agama: agama Hindu dari Agama Buddha atau agama Nasrani dari agama Islam, dan seterusnya. Sebaliknya, garis pemisah tadi bersifat horizontal dan hanya ditarik satu kali untuk membelah banyak sekali agama yang ada di kurun sejarah. Di atas garis itu terletak paham esoterisme, sedangkan di bawahnya paham eksoterisme. Ini pokok pemikiran Schuon perihal agama (atau agama-agama) yakni kesatuan moral, teologis, dan metafisis. Karena sifatnya adikodrati, maka tidak seorang pun bisa menjelaskannya dalam nada yang sama.

Menurut Schuon, ada tiga cara pandang untuk mendekati agama: pendekatan filosofis, teologis, dan metafisis. Banyak orang menyamakan pendekatan filosofis dengan metafisis, atau menganggap metafisika hanya sebagai salah satu cabang filsafat. Menurutnya, pendapat ini keliru. Filsafat didasarkan pada daypikir (yang merupakan kemampuan dasar setiap pribadi manusia), sedangkan metafisika semata-mata berlandaskan intelek. Menurutnya, “Dalam jiwa ada sesuatu yang ‘tidak diciptakan’ dan ‘tidak sanggup diciptakan’, yakni intelek”. Pengetahuan intelektual murni berada di luar jangkauan pribadi insan alasannya yakni hakikatnya adiindividual, universal, atau ilahi, dan alasannya yakni didasarkan pada intelegensi murni yang pribadi dan tidak memerlukan pembahasan.

Pengetahuan tersebut bukan saja jauh melampaui penalaran, melainkan bahkan jauh melampaui iman kepercayaan dalam arti biasa. Dengan kata lain, pengetahuan intelektual khususnya juga melampaui sudut pandang teologis, yang jauh lebih tinggi dari sudut pandang filosofis. Yang membedakan pandangan metafisis dari pandangan filosofis yakni bahwa pandangan metafisis bersifat simbolis dan deskriptif, dalam arti memakai cara-cara rasional sebagai simbol untuk menjelaskan atau menerjemahkan pengetahuan yang mempunyai taraf kepastian yang lebih besar daripada pengetahuan indriawi. Adapun filsafat—yang bukannya tanpa alasan disebut ancillia theologiae (hamba teologi)—tidak lebih dari apa yang diutarakannya. Bila filsafat memakai daypikir untuk memecahkan suatu keraguan, ini justru menerangkan bahwa ia bertitik tolak dari suatu keraguan yang sedang dipecahkannya. Suatu rumusan metafisis pada hakikatnya selalu bertitik tolak dari sesuatu yang sudah terperinci dan niscaya secara intelektual. Sesuatu yang sudah terperinci dan niscaya itu disampaikan secara simbolis atau dialektis kepada mereka yang bisa mendapatkan atau menangkapnya, dengan maksud untuk menghidupkan pengetahuan yang terpendam, tidak disadari, dan bahkan tersimpan infinit dalam dirinya.

Sebagai contoh, ketiga cara pandang tersebut sanggup kita terapkan pada konsep perihal “Tuhan”. Filsafat, sejauh tidak menolak sama sekali adanya Tuhan, berusaha menerangkan adanya Tuhan dengan banyak sekali macam argumen.

Dengan kata lain, sudut pandang filosofis berusaha menerangkan apakah Tuhan itu “ada” atau “tidak ada”, seakan-akan kebijaksanaan budi, yang bergotong-royong hanya suatu mediator dan bukan sumber pengetahuan adikodrati, sanggup menawarkan pembuktian. Sebaliknya, teologi tidak mau merepotkan diri untuk menerangkan adanya Tuhan—bahkan bersedia mengakui bahwa hal itu mustahil dibuktikan—melainkan mendasarkan diri pada keyakinan. Harus ditambah di sini bahwa nilai “iman” tidak sanggup diturunkan menjadi sekadar persoalan keyakinan belaka, alasannya yakni dalam tradisi Islam dan Nasrani ada “iman yang bisa memindahkan gunung”, dan sudah terperinci bahwa keyakinan religius yang biasa tidak mempunyai kemampuan menyerupai itu. Akhirnya, metafisika tidak mempersoalkan lagi persoalan “pembuktian” atau “keyakinan”, melainkan pribadi mencari bukti, yaitu bukti intelektual yang mengandung kepastian mutlak. Namun, dalam situasi kehidupan umat insan sekarang, bukti semacam itu hanya bisa dipahami oleh sekelumit elite spiritual.  Dapat ditambahkan bahwa agama-agama mengandung dan mewariskan pengetahuan intelektual ini dibalik tabir banyak sekali simbol dogmatis dan aneka ragam ibadahnya.

Download


Sumber
Suplemen Ensiklopedi Islam Diterbitkan Oleh PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta Tahun 1996 


Baca Juga
Firthjof Schuon. Biografi Pemikiran

Belum ada Komentar untuk "Firthjof Schuon. Karya Dan Pemikiran"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel