Dilthey, Gadamer, Dan Hermeneutik Makna

Kekurangan fenomenologi, yaitu “absennya dialog” dalam penciptaan makna, dilengkapi dengan pendekatan ketiga: hermeneutik. Semula hermenutik yaitu “tafsir teks kitab suci”, tetapi kemudian Wilhelm Dilthey* memakainya sebagai metode bagi Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu kemanusiaan). Menurutnya, objek ilmu tersebut yaitu “ekspresi-kehidupan” (Lebensausserung), menyerupai konsep, tindakan, penghayatan (Erlebnis) manusia. Objek ini didekati dengan Verstehen (memahami). Verstehen muncul dari kepentingan simpel insan untuk mengkomunikasikan maksud masing-masing. Dalam masyarakat, maksud-maksud para individu telah menjadi jaringan otonom yang disebutnya “pikiran objektif” (objektif-ver Geist), contohnya hukum, negara, agama, adat, dan seterusnya. Pikiran objektif ini menjadi medium seorang peneliti untuk melakukan Verstehen atas “ekspresi-kehidupan” masyarakat. Menurut filsuf ini, Verstehen atas makna objektif itu dilakukan dengan re-living atau re-experiencing, yaitu mereproduksi makna sebagaimana dihayati oleh penciptanya. Misalnya, jikalau mau memahami maksud sebuah teks (misalnya, surat Luther), peneliti harus melukiskan seutuh-utuhnya maksud pengarang seperti peneliti mengalami peristiwa-peristiwa historis menyerupai yang dialami pengarang.

Meskipun berhasil memberi metode khas bagi ilmu-ilmu sosial, dengan konsep “reproduksi makna” itu hermeneutik Dilthey* belum bebas dari cacat saintisme dan objektivisme zaman Pencerahan. Kelemahan ini telah diperbaiki oleh Hans Georg Gadamer* dalam bukunya yang termasyhur, Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode). Gadamer* berusaha keras untuk mengatasi konsep pengetahuan ala Pencerahan yang masih dianut oleh ilmu-ilmu sosial modern.

Objektivisme dan saintsime yang masih menyelimuti Teori Tindakan, fenomenologi, dan Hermeneutik Dilthey*, dianggapnya merupakan akhir dari “eliminasi prasangka” semenjak Pencerahan. Proses tersebut berlangsung dalam rasio historis. Riset sejarah, misalnya, berusaha memahami tradisi secara objektif, yaitu tanpa prasangka. Kebenaran tradisi diuji di depan rasio dengan menyingkirkan elemen-elemen autoritas yang menempel di dalamnya. Gadamer* beropini bahwa eliminasi prasangka dalam riset historis dimungkinkan alasannya yaitu modernitas kita ini mengandung sebuah prasangka, yaitu prasangka bahwa prasangka harus diatasi. Sebab itu, logos atau rasio tidak hanya mengandung prasangka, namun juga dimungkinkan olehnya. Atas dasar rehabilitasi prasangka itu, Gadamer* kemudian berpendapat, bahwa dalam riset historis berlaku apa yang disebutnya Wirkungsgeschichte (sejarah efektif), yaitu kenyataan bahwa tindakan peneliti maupun pelaku sama-sama merupakan tindakan historis yang berada dalam kontiunitas sejarah, sampai riset menghasilkan imbas dalam sejarah. Jika demikian, objektivisme suatu riset belakang layar menyembunyikan keterlibatan historis. Karena itu, tak ada jalan lain dalam ilmu-ilmu sosial kecuali mengeksplisitkan Wirkungsgeschichte Bewusstein (kesadaran sejarah efektif). Ini berarti peneliti tidak lebih unggul dari pelaku, dan pengetahuan sejarah hanya mungkin dicapai lewat pemahaman hermeneutis timbal-balik.

Sementara fenomenologi cenderung bersifat transendental, alasannya yaitu mencari eidos (hakikat) universal dari fenomen, hermeneutik Gadamer* cenderung pada imanentisme epistemologis. Karena rasio tidak pernah sepi prasangka, pengetahuan tak pernah melampaui sejarah dan tradisi. Karena sejarah dan tradisi merupakan anyaman obrolan dan wawancara, pengetahuan tak pernah melampaui conversation that we are. Itu berarti bahwa kita yaitu bahasa atau, lebih tegas lagi, “teks” dan realitas berlangsung dalam bahasa. Pengaruh Heidegger yang menegaskan bahwa bahasa yaitu “rumah ada” sangat terperinci di sini. Dengan kesimpulan ini, hermeneutik Gadamer* menjadi hermeneutik ontologis. Hermeneutik dalah hakikat segala pemahaman, bukan hanya pemahaman dalam ilmu-ilmu sosial, melainkan juga ilmu-ilmu alam. Hermeneutik ontologis ini tak mengenal telos (tujuan) sejarah. Karena rasio historis selalu berubah sesuai konteks ruang dan waktu, tidak mungkin mengarahkannya kepada satu tujuan objektif, contohnya Kebenaran objektif. Yang berlangsung dalam sejarah yaitu kreativitas hermeneutik dan fusi horizon-horizon pengetahuan. Artinya, kebenaran itu lebih merupakan invention daripada discovery. Pada pokok ini, Gadamer* sejalan dengan banyak pemikir postmodern, dan menggiring kita kepada relativisme. 


Download


Sumber

Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.

Baca Juga
1. Wilhelm Dilthey. Biografi dan Karya
2. Filsafat Kehidupan Wilhelm Dilthey
3. Dilthey, Gadamer, dan Hermeneutika Makna
4. Sejarah Hermeneutik
5. Hans-George Gadamer
6. Hermeneutika Produktif Hans Georg Gadamer
7. Dilthey, Gadamer, dan Hermenutika
8. Hermeneutika dan Ilmu-ilmu Sosial

Belum ada Komentar untuk "Dilthey, Gadamer, Dan Hermeneutik Makna"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel