Corak Kesadaran Modern
Modernisasi yakni Westernisasi. Ungkapan ini terlalu simplistik, jika tidak mau dianggap sentimentil. Lebih dari itu, memang tidak sedikit interpretasi telah diberikan untuk menjelaskan fenomena perubahan-perubahan besar di bidang sosial, ekonomi, kultural, politis dan ideologis yang bisa diperdengarkan dengan istilah modernisasi. Sungguhpun demikian, modernisasi memang tak sanggup dicerabut dari konteks historisnya yang terjadi di Barat. Bertolak dari sana, gelombang raksasa ini membuat pola-pola perubahan substantif dan kreatif, hasil sintesis dari faktor-faktor eksogen dan endogen dalam masyarakat di penggalan bumi yang lain. Tanpa menyempitkan modernisasi ke dalam pasangan kategori-kategori Barat-Timur, Eropa-Asia, dunia pertama-dunia ketiga, tampil ke hadapan kita modernisasi sebagai proses-proses manusiawi dengan status yang cukup universal. Di sini kita mendekati modernisasi dari sorotan filsafat dan kebudayaan.
Upaya-upaya pendekatan filosofis dan kebudayaan terhadap fenomena ini bukan hanya menghasilkan klarifikasi formal terhadap dimensi sosial perubahan ini, melainkan juga mengatakan interpretasi formal wacana insan sebagai pelaku perubahan itu. Van Peursen, misalnya, mencoba memetakan perubahan-perubahan itu ke dalam tiga kategori pola: kebudayaan mitis, kebudayaan ontologis, dan kebudayaan fungsional. Tidak jauh berbeda pendekatan Pitirim Sorokin* yang memetakannya juga ke dalam tiga pola: kebudayaan ideasional, kebudayaan campuran, dan kebudayaan indriawi, yang ketiganya dalam proses historisnya bersifat sirkuler. Sebelum peta ini ditawarkan, bahkan Auguste Comte* telah menempatkan perubahan-perubahan itu dalam garis lurus yang juga tiga tahap: kebudayaan religius, kebudayaan metafisik, dan kebudayaan positif. Peta kebudayaan ini lebih mengacu kepada pandangan dunia yang merupakan landasan sistem sosio-kultural daripada mengacu kepada faktor-faktor material yang mendasari ekonomi, contohnya pada peta evolusi sosial Marxis. Dengan pendekatan ini, di samping diperoleh klarifikasi wacana ‘apa’ dan ‘bagaimana’nya masyarakat modern itu, juga tersirat klarifikasi wacana ‘siapa’ insan modern itu.
Dengan memanfaatkan hasil studi antropologi, sosiologi, teologi, dan filsafat kebudayaan, akan diperoleh karakteristik yang menandai kesadaran insan modern.
Dengan demikian, kita menghadapkan insan modern dengan insan pramodern tanpa memberi batas-batas historis yang tegas. Corak-corak kesadaran yang terungkap dari studi tersebut lebih menunjuk kepada suatu proses daripada esensi yang dialami dalam kesadaran insan itu sendiri, yaitu individuasi, distansi, progres, rasionalisasi, dan sekularisasi.
Orang masih sanggup mendiskusikan status determinatif antara proses kesadaran dan proses institusional, tetapi dalam proses historisnya kedua proses tersebut tidak saling mengekslusifkan dalam kategori-kategori basis material dan superstruktur kesadaran. Sebagai corak kesadaran kasatmata dan faktual, karakteristik di atas memang menandai insan modern. Dengan menempatkan dalam kelima proses ini, pertama-tama insan modern sanggup dipahami sebagai ‘makhluk’ yang tersentak dari keterpukauannya terhadap alam, sehingga ‘mental partisipasi’ yang membenamkan insan ke dalam proses-proses kosmos menjadi perilaku distansi. Manusia mengalami keretakan dari kosmosnya. Proses ‘menjadi sadar’ ini merayap terus menghasilkan proses-proses lain. “Alam yang bernyawa” dibunuhnya dalam proses desakralisasi dan berlanjut pada tercerainya pranata-pranata sosial dari simbol-simbol religius lewat proses sekularisasi. Dari santunan entitas-entitas kolektifnya, muncullah individu yang bereksistensi melalui proses individuasi. Manusia bukan lagi menghuni ‘ruang sosio-mitis’, melainkan muncungul melampaui masyarakat dan roda tradisinya. Terhadap waktu sirkuler yang menempatkan insan dalam ritme-ritme yang refetitif, proses kesadaran melerai bulat itu dan merentangkannya menjadi waktu yang linear. Di hadapan insan alternatif-alternatif sanggup diciptakan. Manusia menghayati sejarahnya sebagai perubahan-perubahan unik yang mengarah kepada progres. Seluruhnya ini pada gilirannya sanggup diasalkan pada proses mendasar kesadaran insan sendiri yang mengalihkan kemampuan naluriahnya ke arah rasio lewat proses rasionalisasi.
Dengan memperhatikan corak-corak kesadaran modern di atas, studi interpretatif wacana perubahan-perubahan itu bukan hanya mencoba merumuskan status kasatmata insan modern, melainkan lebih mencoba memperlihatkan secara komparatif situasi sebelumnya. Dari sini tampil ke hadapan kita wajah gres modernisasi, bukan hanya sebagai perubahan-perubahan institusional, melainkan lebih sebagai perubahan-perubahan kesadaran. Dengan terang gres ini, modernisasi tampak sebagai peralihan ‘dari’ situasi yang lebih primer, partisipatif, determinatif, dan tertutup ‘ke’ situasi yang lebih sekunder, distantif, kreatif, dan terbuka. Dalam pengertian ini modernisasi sanggup dipahami sebagai proses pembebasan, suatu proses yang bergerak menuju penyempurnaannya.
Terminologi ‘pembebasan’, betapapun kerapnya digunakan dalam banyak sekali disiplin remaja ini, sebenarnya bukan tanpa perbedaan ‘isi’. Dapat disarankan di sini setidaknya ada dua pemahaman mendasar mengenai makna pembebasan yang kedua-duanya berfokus pada manusia, yaitu pembebasan interior dan pembebasan eksterior. Yang pertama mengacu kepada pembebasan kesadaran batiniah insan dari unsur-unsur eksteriornya yang temporer, sedang yang terakhir mengacu kepada pembebasan insan dari situasi primernya yang determinatif, partisipatif, dan tertutup. Dalam arti tertentu, yang pertama lebih bersifat metafisik, sedangkan yang kedua lebih empiris. Dengan menempatkannya dalam pasangan kategori Barat-Timur, yang pertama tampil secara mayoritas di dalam nilai-nilai yang diperjuangkan dalam budaya Timur dan yang terakhir lebih mewarnai pergumulan nilai-nilai di dunia Barat dan kebudayaan modern pada umumnya. Karena perealisasian historisnya, konsep modernisasi yang kita pahami remaja ini lebih mengacu kepada yang terakhir dan ini akan kita lihat sebagai konsep yang kurang memadai.
Download
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Upaya-upaya pendekatan filosofis dan kebudayaan terhadap fenomena ini bukan hanya menghasilkan klarifikasi formal terhadap dimensi sosial perubahan ini, melainkan juga mengatakan interpretasi formal wacana insan sebagai pelaku perubahan itu. Van Peursen, misalnya, mencoba memetakan perubahan-perubahan itu ke dalam tiga kategori pola: kebudayaan mitis, kebudayaan ontologis, dan kebudayaan fungsional. Tidak jauh berbeda pendekatan Pitirim Sorokin* yang memetakannya juga ke dalam tiga pola: kebudayaan ideasional, kebudayaan campuran, dan kebudayaan indriawi, yang ketiganya dalam proses historisnya bersifat sirkuler. Sebelum peta ini ditawarkan, bahkan Auguste Comte* telah menempatkan perubahan-perubahan itu dalam garis lurus yang juga tiga tahap: kebudayaan religius, kebudayaan metafisik, dan kebudayaan positif. Peta kebudayaan ini lebih mengacu kepada pandangan dunia yang merupakan landasan sistem sosio-kultural daripada mengacu kepada faktor-faktor material yang mendasari ekonomi, contohnya pada peta evolusi sosial Marxis. Dengan pendekatan ini, di samping diperoleh klarifikasi wacana ‘apa’ dan ‘bagaimana’nya masyarakat modern itu, juga tersirat klarifikasi wacana ‘siapa’ insan modern itu.
Dengan memanfaatkan hasil studi antropologi, sosiologi, teologi, dan filsafat kebudayaan, akan diperoleh karakteristik yang menandai kesadaran insan modern.
Orang masih sanggup mendiskusikan status determinatif antara proses kesadaran dan proses institusional, tetapi dalam proses historisnya kedua proses tersebut tidak saling mengekslusifkan dalam kategori-kategori basis material dan superstruktur kesadaran. Sebagai corak kesadaran kasatmata dan faktual, karakteristik di atas memang menandai insan modern. Dengan menempatkan dalam kelima proses ini, pertama-tama insan modern sanggup dipahami sebagai ‘makhluk’ yang tersentak dari keterpukauannya terhadap alam, sehingga ‘mental partisipasi’ yang membenamkan insan ke dalam proses-proses kosmos menjadi perilaku distansi. Manusia mengalami keretakan dari kosmosnya. Proses ‘menjadi sadar’ ini merayap terus menghasilkan proses-proses lain. “Alam yang bernyawa” dibunuhnya dalam proses desakralisasi dan berlanjut pada tercerainya pranata-pranata sosial dari simbol-simbol religius lewat proses sekularisasi. Dari santunan entitas-entitas kolektifnya, muncullah individu yang bereksistensi melalui proses individuasi. Manusia bukan lagi menghuni ‘ruang sosio-mitis’, melainkan muncungul melampaui masyarakat dan roda tradisinya. Terhadap waktu sirkuler yang menempatkan insan dalam ritme-ritme yang refetitif, proses kesadaran melerai bulat itu dan merentangkannya menjadi waktu yang linear. Di hadapan insan alternatif-alternatif sanggup diciptakan. Manusia menghayati sejarahnya sebagai perubahan-perubahan unik yang mengarah kepada progres. Seluruhnya ini pada gilirannya sanggup diasalkan pada proses mendasar kesadaran insan sendiri yang mengalihkan kemampuan naluriahnya ke arah rasio lewat proses rasionalisasi.
Dengan memperhatikan corak-corak kesadaran modern di atas, studi interpretatif wacana perubahan-perubahan itu bukan hanya mencoba merumuskan status kasatmata insan modern, melainkan lebih mencoba memperlihatkan secara komparatif situasi sebelumnya. Dari sini tampil ke hadapan kita wajah gres modernisasi, bukan hanya sebagai perubahan-perubahan institusional, melainkan lebih sebagai perubahan-perubahan kesadaran. Dengan terang gres ini, modernisasi tampak sebagai peralihan ‘dari’ situasi yang lebih primer, partisipatif, determinatif, dan tertutup ‘ke’ situasi yang lebih sekunder, distantif, kreatif, dan terbuka. Dalam pengertian ini modernisasi sanggup dipahami sebagai proses pembebasan, suatu proses yang bergerak menuju penyempurnaannya.
Terminologi ‘pembebasan’, betapapun kerapnya digunakan dalam banyak sekali disiplin remaja ini, sebenarnya bukan tanpa perbedaan ‘isi’. Dapat disarankan di sini setidaknya ada dua pemahaman mendasar mengenai makna pembebasan yang kedua-duanya berfokus pada manusia, yaitu pembebasan interior dan pembebasan eksterior. Yang pertama mengacu kepada pembebasan kesadaran batiniah insan dari unsur-unsur eksteriornya yang temporer, sedang yang terakhir mengacu kepada pembebasan insan dari situasi primernya yang determinatif, partisipatif, dan tertutup. Dalam arti tertentu, yang pertama lebih bersifat metafisik, sedangkan yang kedua lebih empiris. Dengan menempatkannya dalam pasangan kategori Barat-Timur, yang pertama tampil secara mayoritas di dalam nilai-nilai yang diperjuangkan dalam budaya Timur dan yang terakhir lebih mewarnai pergumulan nilai-nilai di dunia Barat dan kebudayaan modern pada umumnya. Karena perealisasian historisnya, konsep modernisasi yang kita pahami remaja ini lebih mengacu kepada yang terakhir dan ini akan kita lihat sebagai konsep yang kurang memadai.
Download
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Belum ada Komentar untuk "Corak Kesadaran Modern"
Posting Komentar