Aristoteles. Psikologi

Karena Aristoteles membagi ilmu pengetahuan teoretis atas fisika, matematika, dan metafisika, maka psikologi bekerjsama tidak merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan tersendiri, melainkan terhitung dalam fisika. Objek penyelidikan psikologi meliputi hal-hal fisis atau alamiah. Tetapi ada bedanya pula. Psikologi hanya menyelidiki segolongan makhluk-makhluk fisis, yaitu makhluk-makhluk yang memiliki psyche (jiwa). 
Jiwa
Apakah maksud Aristoteles dengan psyche atau jiwa? Bagi kita, orang modern, kata jiwa hanya menyangkut insan saja. Tetapi bagi Aristoteles kata jiwa memiliki arti lebih luas. Ia menganggap jiwa sebagai prinsip hidup, sebagaimana sudah terdapat terdahulu pada Plato*. Itu berarti bahwa segala sesuatu yang hidup memiliki jiwa, baik tumbuh-tumbuhan maupun binatang-binatang dan manusia.

Dalam masa mudanya, anggapan Aristoteles wacana jiwa tidak berbeda banyak dengan dualism Plato*. Buktinya ialah dialog Eudemos. Fragmen-fragmen yang masih ada menyatakan bahwa dalam obrolan ini Arsitoteles menganut anutan mengenai pra-eksistensi jiwa dan beropini juga bahwa jiwa akan hidup terus sehabis maut manusia.

Tetapi dalam De anima ia mengemukakan pandangan yang sama sekali lain. Di sini kita menemukan pendapatnya yang matang dalam bidang psikologi. Jiwa dan tubuh dianggap sebagai dua aspek yang menyangkut satu substansi saja. Dua aspek ini memiliki kekerabatan satu sama lain sebagai “materi” dan “bentuk”. Sebagaimana semua makhluk fisis terdiri dari materi dan bentuk, demikian pun makhluk fisis yang memiliki psyche (jadi, makhluk yang hidup) terdiri dari materi dan bentuk. Badan ialah materi dan jiwa ialah bentuknya. Karena materi dan bentuk masing-masing memiliki peranan sebagai potensi dan aktus, kita sanggup menyampaikan juga bahwa tubuh ialah potensi, sedangkan jiwa berfungsi sebagai aktus. Dengan demikian kita sanggup mengerti definisi wacana jiwa yang diberikan dalam De anima. Aristoteles mendefinsikan jiwa sebagai “aktus (entelekheia) pertama dari suatu organis”. Ia menyampaikan “aktus pertama”, lantaran jiwa ialah aktus yang paling fundamental. Aktus ini menjadikan tubuh menjadi tubuh yang hidup. Semua aktus lain merupakan “aktus yang kedua”, yang berdasarkan aktus pertama tadi. Sebuah tumpuan kiranya sanggup menjelaskan maksudnya. Jika seekor kucing mengeong, itulah suatu aktualisasi; itu dilaksanakan oleh suatu aktus. Tetapi aktus yang terakhir ini merupakan “aktus yang kedua” terhadap suatu aktus yang pertama, yaitu aktus yang menciptakan kucing menjadi seekor kucing. Kucing tidak menjadi kucing lantaran aktus mengeong. Kucing ialah kucing lantaran jiwanya. Jiwa merupakan aktus pertama.

Kalau kita kini memandang teori Aristoteles wacana insan saja, kiranya sudah terang bahwa dengan anggapan wacana jiwa sebagai bentuk ia meninggalkan sama sekali dualism Plato*. Sebagaimana bentuk dan materi pada semua makhluk fisis ialah korelatif satu sama lain, sehingga yang satu mengandaikan yang lain agar bahu-membahu mengadakan makhluk bersangkutan, demikian pun pada insan jiwa dan tubuh merupakan dua aspek dari substansi yang sama yakni manusia. Pada insan tidak ada dua substansi, sebagaimana terdahulu dikatakan oleh Plato*; insan merupakan satu substansi saja. Dengan demikian, Aristoteles sangat menekankan kesatuan manusia. Tetapi anggapan wacana insan ini memiliki juga konsekuensi yang besar. Dapat dimengerti bahwa Aristoteles juga harus meninggalkan teori Plato wacana kebakaan jiwa. Karena jiwa sebagai bentuk sama sekali terarah kepada tubuh sebagai materi, sudah nyata bahwa jiwa tidak sanggup hidup terus tanpa materi. Itu berarti bahwa maut insan jiwanya binasa juga. Jiwa manusia, sebagaimana juga jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang, tidak bersifat baka.

Pengenalan indrawi
Potensi dan aktus memiliki peranan pula dalam cara Aristoteles mengartikan peranan indrawi. Menurut garis besarnya kita sanggup menyingkatkan pendapatnya sebagai berikut. Dalam proses pengenalan indrawi kita mendapatkan bentuk benda tanpa materinya. Aristoteles membandingkan insiden itu dengan sepotong lilin yang dicap dengan sebuah meterai. Lilin hanya mendapatkan bentuk materi saja, bukan materinya. Entah meterai terdiri dari besi atau emas, entah dari materi apa pun juga, selalu alhasil sama: lilin itu hanya mendapatkan bentuknya. Demikian juga dalam hal pengenalan indrawi kita mendapatkan bentuk benda-benda. Untuk mengerti maksud Arsitoteles, kita harus mengetahui bahwa berdasarkan beliau semua kualitas terdapat dalam benda-benda sendiri, menyerupai contohnya warna, bunyi, rasa, dan lain-lain. Warna merah suatu bunga dan sifat keras sebuah kerikil memang terdapat dalam bunga dan dalam batu. Semuanya itu merupakan “bentuk-bentuk” yang memilih materi (bunga atau batu). Sebagai tumpuan marilah kita mengambil warna. Menurut Aristoteles setiap warna merupakan gabungan dua warna berlawanan, yaitu putih dan hitam. Demikian juga warna merah merupakan gabungan putih dan hitam berdasarkan proporsi tertentu. Kalau saya mengamati bunga merah, berdasarkan Aristoteles gabungan yang sama yang terdapat dalam bunga dihasilkan juga dalam mata saya. Mata seperti menjadi merah. Tetapi mata tidak menjadi bunga. Itulah yang dimaksudkan Aristoteles, jikalau ia menyampaikan bahwa dalam pengenalan indrawi kita mendapatkan bentuk tanpa materi.

Akan tetapi, agar pengamatan warna sanggup dijalankan, salah satu syarat ialah bahwa mata sendiri tidak berwarna. Secara umum harus dikatakan bahwa organ indra yang mendapatkan suatu bentuk, dihentikan memiliki kualitas itu sendiri. Atau dengan lebih sempurna lagi harus dikatakan, organ indra itu dihentikan memiliki kualitas itu sendiri secara actual. Tetapi organ indra itu sudah memiliki kualitas bersangkutan secara potensial. Dengan itu kita hingga pada inti sari pengenalan indrawi berdasarkan anggapan Aristoteles. Pengenalan indrawi itu tidak lain daripada peralihan dari potensi ke aktus. Mengenal dengan indra berarti bahwa organ indra yang sudah secara potensial memiliki kualitas bersangkutan, kini mendapat kualitas itu secara aktual.

Pengenalan rasional
Dalam buku III dari De anima, Aristoteles membicarakan nus (rasio atau pemikiran). Biarpun jiwa, yang merupakan pokok pembicaraan karya ini, terdapat pada semua makhluk yang hidup, namun sudah nyata bahwa rasio itu khusus untuk insan saja. Bertentangan dengan panca indra, rasio tidak membatasi diri pada satu aspek saja. Dengan penglihatan contohnya kita hanya melihat warna. Dengan indera pendengaran kita hanya mendengar bunyi. Mustahillah melihat suara atau mendengar warna. Tetapi acara rasio tidak terbatas pada satu aspek saja yang terdapat dalam kenyataan. Rasio sanggup menangkap segala sesuatu yang ada. Objek rasio bersifat sama sekali umum. Oleh karenanya, Aristoteles menyampaikan bahwa rasio sanggup “menjadi” segala sesuatu.

Yang terdapat dalam pengenalan rasional sanggup dibandingkan dengan proses pengenalan indrawi. Sebagaimana dalam pengenalan indrawi suatu bentuk diterakan pada panca indra, demikianpun dalam pengenalan rasional suatu bentuk diterima oleh rasio. Tetapi bentuk yang terakhir ini tidak merupakan suatu bentuk indrawi (warna umpamanya), melainkan suatu bentuk intelektual. Apakah bentuk intelektual itu? Tidak lain daripada hakikat atau esensi suatu benda. Memahami segitiga berarti mendapatkan hakikatnya dalam rasio dan jikalau saya memahami baik segitiga maupun lingkaran, saya juga sanggup mengerti kekerabatan antara dua gambar ini.

Karena anggapan wacana pengenalan rasional ini, Aristoteles membedakan dua fungsi dalam rasio manusia. Di satu pihak terdapat “rasio pasif” (nus pathetikos; “intellectus possibilis” berdasarkan Skolastik Abad Pertengahan), alasannya rasio “menerima” esensi tadi. Tetapi di lain pihak Aristoteles menolak anutan Plato mengenai Ide-ide. Esensi-esensi tidak bangun sendiri. Dalam kenyataannya hanya ada benda-benda konkret. Itulah sebabnya Aristoteles harus memperlihatkan fungsi lain lagi kepada rasio. Rasio juga harus “melepaskan” esensi dari materi yang disajikan kepada panca indra. Misalnya, dengan membandingkan banyak segitiga yang pernah kita lihat atau raba, rasio harus membentuk esensi “segitiga”. Oleh para komentator Aristoteles dikemudian hari, rasio dalam arti yang terakhir ini disebut “rasio aktif” (nus poietikos: “intellectus agens” berdasarkan para filusuf Skolastik Abad Pertengahan). Aristoteles sendiri mengumpamakan rasio aktif dengan cahaya yang memungkinkan kita melihat warna. Cahaya menampilkan warna bagi kita dan tanpa perantaraan cahaya itu warna tidak sanggup dilihat. Demikian pun rasio aktif menampilkan esensi-esensi yang diterima oleh rasio pasif. Arsitoteles menyampaikan lagi bahwa rasio aktif itu “terpisah” dan “tak tercampur”. Itu berarti—seperti juga diakui oleh Aristoteles sendiri—bahwa rasio aktif ialah baka, sedangkan rasio pasif akan binasa bersama dengan maut tubuh.

Kalau rasio aktif bersifat baka, apakah Aristoteles toh beropini bahwa jiwa insan akan hidup terus, bertentangan dengan yang sudah dikatakan di atas? Apalagi, jikalau rasio aktif harus dianggap “terpisah”, boleh disimpulkan bahwa rasio aktif sudah ada sebelum individual hidup? Apakah Aristoteles juga mendapatkan semacam pra-eksistensi rasio, sebagaimana Plato telah mengajarkan pra-eksistensi jiwa? Pertanyaan-pertanyaan ini dan banyak pertanyaan lain lagi muncul berafiliasi dengan anggapan Arsitoteles wacana rasio aktif. Tetapi kita dihentikan melupakan bahwa Aristoteles berbicara wacana rasio aktif yang hanya dalam beberapa baris saja dan bahwa baris-baris itu pada umumnya kurang jelas sifatnya. Di tempat-tempat lain Aristoteles kerap kali menyampaikan bahwa jiwa tidak baka, sehingga perkataannya wacana rasio aktif dihentikan diinterpretasikan dalam arti ini. Kebakaan rasio aktif tidak menjadikan suatu kebakaan perorangan. Pra-eksistensi rasio aktif juga tentu dihentikan dimengerti sebagai pra-eksistensi perorangan. Tetapi lain daripada itu kita tidak bisa memilih sesuatu pun dengan pasti.

Dalam sejarah filsafat di kemudian hari banyak interpretasi telah diusahakan. Alexander dari Aprodisias, komentator Aristoteles yang populer yang hidup pada kurun ke-2 dan permulaan kurun ke-3 sehabis Masehi, beranggapan bahwa rasio aktif harus disamakan dengan rasio Allah.

Tetapi interpertasi ini tidak sanggup diterima lantaran Aristoteles sendiri menyampaikan bahwa dalam jiwa harus dibedakan rasio pasif dan rasio aktif. Lagi pula, interpretasi ini juga tidak sanggup dicocokkan dengan anutan Arsitoteles mengenai Allah yang terdapat dalam karya-karya lainnya. Juga pada komentator-komentator Arab pendirian Aristoteles wacana rasio ramai dipersoalkan. Yang populer ialah interpretasi dari filsuf yang berjulukan Ibn Rushd (Averroes) (1126-1198). Ia berusaha mengartikan pendapat Aristoteles wacana rasio dengan memakai prinsip-prinsip metafisikanya. Menurut Ibn Rushd, rasio pasif harus disamakan dengan rasio aktif; kedua rasio itu membentuk satu substansi rohani. Ia beranggapan juga bahwa rasio ialah milik bersama seluruh umat manusia. Anggapan ini disebut “monopsikisme” (ajaran mengenai satu jiwa). Dalam kalangan teolog-teolog Islam dan Katolik pendirian Ibd Rushd itu didiskusikan dengan hebat, lantaran ada konsekuensi-konsekuensi teologis yang tidak kecil. Bukan saja Ibn Rushd harus menyangkal bahwa jiwa perorangan bersifat baka, melainkan ia harus menarik kesimpulan pula bahwa pertanggungjawaban langsung tidak sanggup dibenarkan. Pada kurun ke-13  terutama Thomas Aquinas dengan keras membantah pendirian ini.

Download di Sini


Sumber.

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta

Baca Juga
1. Aristoteles. Biografi
2. Aristoteles. Karya-karya
3. Aristoteles. Politik
4. Aristoteles. Etika
5. Aristoteles. Metafisika
6. Aristoteles. Logika
7. Aristoteles. Fisika

Belum ada Komentar untuk "Aristoteles. Psikologi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel