Aristoteles. Fisika

Objek fisika
Dalam fisikanya Aristoteles mempelajari gerak impulsif benda-benda jasmani. Sebab ada dua macam gerak yang harus dibedakan: gerak lantaran kekerasan (misalnya watu yang dilemparkan orang) dan gerak impulsif berdasarkan kodrat (batu yang dilepaskan menuju ke bawah atau jatuh). Objek penyelidikan Arsitoteles dalam fisika hanyalah gerak jenis kedua saja. Tetapi bila Aristoteles menyampaikan bahwa menyidik gerak (kinesis) maksudnya lebih luas daripada kesan yang ditampilkan oleh kata Indonesia “gerak”. Oleh Arsitoteles gerak disamakan dengan perubahan pada umumnya, sedangkan bagi kita “gerak” hanya memperlihatkan satu macam perubahan saja, yaitu perubahan lokal atau perubahan berdasarkan tempat.

Agar maksud Aristoteles dengan gerak menjadi lebih jelas, marilah kita memandang kasus-kasus berikut ini. Pertama-tama mungkin bahwa suatu hal menjadi sesuatu yang lain. Itulah gerak substansial: dari satu substansi menjadi substansi yang lain. Misalnya, seekor anjing mati (dari makhluk yang hidup menjadi bangkai). Lalu mungkin bahwa suatu hal menjadi lain.

Itulah gerak aksidental, artinya perubahan yang menyangkut salah satu aspek saja. Gerak aksidental sanggup berlangsung dengan banyak sekali cara. Kita boleh menyebut tiga cara. Pertama-tama ada gerak lokal yang sudah disebut di atas. Misalnya, meja yang tadinya di daerah A berpindah ke daerah B. kemudian, ada gerak kualitatif; artinya suatu kualitas atau ciri menjadi lain. Misalnya, kertas putih menjadi kuning. Akhirnya ada gerak kuantitatif. Misalnya, pohon kecil bermetamorfosis besar. Menurut Aristoteles semua masalah itu termasuk objek penyelidikan fisika dan semua macam perubahan itu ditunjukkan dengan nama kinesis atau “gerak”.

Analisis mengenai gerak
Kita sudah melihat bahwa Parmenides menciptakan gerak menjadi problem dalam filsafat Yunani. Menurut dia, gerak—dan perubahan pada umumnya—tidak mungkin. “Yang ada itu ada” dan “yang tidak ada tidak ada”, tidak terdapat kemungkinan yang ketiga. Akibatnya, “menjadi” (gerak atau perubahan) harus dianggap mustahil. Filsuf-filsuf generasi berikutnya tidak menyampaikan bahwa argumentasi Parmenides* salah, tetapi mereka juga tidak rela mengingkari adanya gerak. Sebagai perjuangan untuk memecahkan duduk kasus ini, mereka meninggalkan prinsip Parmenides* bahwa realitas bersifat satu dan mengartikan gerak sebagai penggabungan yang berlain-lainan dari sejumlah unsur tertentu yang masing-masing tak terubahkan. Dengan demikian mereka menyamakan perubahan pada umumnya dengan satu jenis perubahan saja, yaitu perubahan lokal. Buat Aristoteles, pemecahan ini tidak memadai. Dengan menganalisis gerak, ia mau menjelaskan bahwa perubahan lokal hanya merupakan satu jenis perubahan saja dan kesannya bahwa perubahan tidak sanggup dijabarkan kepada perubahan lokal.

Agar mengerti analisis Aristoteles mengenai gerak, marilah kita berpangkal dari suatu contoh, yaitu “air hambar menjadi panas”. Gerak berlangsung antara dua hal berlawanan, panas dan dingin. Dan ada  hal ketiga lagi, lantaran dalam referensi kita bukan hambar yang menjadi panas, tetapi ada sesuatu yang dahulu hambar dan kemudian menjadi panas, yaitu air. Dengan demikian kita sanggup mengerti bahwa dalam setiap perubahan ada tiga faktor yang memiliki peranan: keadaan/ciri yang dahulu; keadaan/ciri yang baru; suatu substratum atau ganjal yang tetap. Dalam insiden air hambar menjadi panas, mula-mula air memiliki ciri “panas”; sementara itu air tetap tinggal dingin. Analisis ini menuntut bahwa kita mengemukakan suatu perbedaan yang tidak diperhatikan oleh Parmenides, yaitu perbedaan antara “aktual” dan “potensial”, antara “aktus” dan “potensi”. Dalam fase pertama dari proses perubahan, ciri “panas” belum ada secara aktual; artinya, dalam fase pertama ini air belum panas sungguh-sungguh.  Baru dalam fase kedua air memiliki ciri “panas” secara kasatmata sebagai hasil perubahan. Tetapi di lain pihak boleh dikatakan bahwa dalam fase pertama ciri “panas” sudah terdapat pada air secara potensial. Dengan “potensial” dimaksudkan bahwa dalam fase pertama air sudah memiliki kemampuan atau potensi untuk menjadi panas. Dalam fase pertama ciri “panas” sudah terdapat pada air sebagai kemungkinan atau kemampuan. Kita sanggup menyampaikan bahwa dalam fase pertama air (yang berdasarkan aktusnya masih dingin) sudah panas, biarpun hanya berdasarkan potensi saja. Mengapa perbedaan itu penting? Perbedaan antara “aktual” dan “potensial” itu mengizinkan Aristoteles untuk mengartikan gerak/perubahan. Gerak itu tidak lain daripada peralihan dari potensi ke aktus. Sesuatu yang potensial menjadi aktual: itulah proses yang berlangsung dalam gerak. Parmenides* hanya membedakan “yang ada” dan “yang tidak ada”. Ia tidak membedakan “yang ada berdasarkan potensi” dan “yang ada berdasarkan aktus”. Dari lantaran itu, Parmenides mengalami kesulitan yang tidak sanggup diatasi, bila ia mau menyidik gerak. Dengan membedakan potensi dan aktus, Aristoteles berhasil mengartikan gerak. Potensi dinamakan Aristoteles dengan kata Yunani dynamis dan aktus dinamakan entelekheia.

Berhubungan akrab dengan aktus dan potensi, Aristoteles membedakan juga “bentuk” (eidos atau morphe) dan “materi” (hyle). Untuk mengerti maksudnya, kita boleh membayangkan seorang pemahat yang mengukir sepotong kayu menjadi patung. Jika pekerjaan sudah selesai, maka kayu telah menerima bentuk gres (patung). Tetapi terlebih dahulu kayu itu memiliki bentuk lain (sebatang pohon berupa silinder umpamanya). Dan memang benar bahwa dihentikan tidak kayu selalu harus memiliki bentuk tertentu. Demikian pun “materi” selalu memiliki “bentuk” tertentu. “Materi” dan “bentuk” merupakan dua konsep (pengertian) yang korelatif: yang satu menunjuk kepada yang lain, sehingga materi tidak pernah lepas dari bentuk tertentu. Di sini harus dicatat lagi bahwa Arsitoteles memahami “materi” dalam arti lain daripada yang biasa. Suatu benda yang terdiri dari materi dan bentuk, sanggup menjadi “materi” yang mendapatkan suatu bentuk lain lagi. Misalnya, sebuah patung ( kayu yang memiliki rupa patung ini) sanggup menjadi “materi” terhadap bentuk lain, warna merah umpamanya. Patung yang telah mendapatkan bentuk gres itu sanggup menjadi “materi” lagi untuk mendapatkan bentuk lain, dan seterusnya. Karena itulah kita juga sanggup merumuskan perubahan dengan menggunakan istilah-istilah “materi” dan “bentuk”. Contoh yang diberikan di atas mengenai air hambar yang menjadi panas sanggup diterangkan dengan cara berikut ini. Air merupakan “materi” yang menerima “bentuk” gres (yaitu panas). Dalam fase pertama dari proses perubahan, materi (air) sudah memiliki potensi untuk mendapatkan bentuk itu (panas). Baru dalam fase kedua potensi itu menjadi aktus, lantaran ciri panas menjadi sesuatu yang benar-benar “membentuk” air itu.

Analisis mengenai perubahan yang terurai di atas berpangkal dari referensi yang meliputi perubahan aksidental: air yang berciri begini menjadi air yang berciri begitu. Tetapi bagaimana halnya, bila air bukan saja menjadi lain, melainkan menjadi sesuatu yang lain (air menjadi udara umpamanya)? Itulah perubahan substansial, lantaran perubahan menjadikan bahwa satu substansi menjadi substansi lain. Misalnya, seekor anjing mati. Dari makhluk yang hidup, anjing bermetamorfosis bangkai atau makhluk yang tidak hidup. Aristoteles beropini bahwa analisis di atas berlaku bagi tiap-tiap perubahan, termasuk juga perubahan substansial. Perubahan ini pula meliputi tiga faktor: keadaan yang dahulu (anjing), keadaan yang gres (bangkai), dan semacam substratum tetap. Substratum tetap ialah materi. Tetapi materi ini tidak merupakan suatu benda, sebagaimana air dalam referensi tadi. Materi ini ialah materi yang paling fundamental, yang merupakan potensi belaka. Aristoteles menamakannya “materi pertama” (“materi prima” berdasarkan terminologi Skolastik Abad Pertengahan). Materi pertama selalu memiliki salah satu bentuk dan tidak pernah sanggup dilepaskan dari segala bentuk. Karena adanya materi ini kita sanggup mengerti perubahan. Perubahan yang terjadi bila seekor anjing mati, harus dimengerti sebagai berikut: materi yang mula-mula memiliki bentuk ini (anjing), kemudian memperoleh bentuk lain (bangkai). Dalam fase pertama proses perubahan, materi sudah memiliki potensi untuk mendapatkan bentuk gres itu. Perubahan tidaklah lain daripada peralihan dari potensi ini ke aktus.

Keempat penyebab
Menurut Aristoteles kiprah ilmu pengetahuan ialah mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Kekurangan utama pada filsuf-filsuf yang terdahulu sudah menyidik alam, ialah bahwa mereka tidak mengusut semua penyebab. Aristoteles beropini bahwa tiap-tiap insiden memiliki empat penyebab yang semua harus disebut, bila kita hendak mengartikan insiden itu. Itu berlaku baik bagi insiden alam maupun bagi insiden yang disebabkan oleh manusia. Walaupun fisika Aristoteles hanya berbicara wacana kejadian-kejadian alamiah saja, namun kami akan menjelaskan keempat penyebab itu dengan suatu referensi mengenai perbuatan manusia, lantaran referensi semacam itu kiranya paling cocok untuk menjelaskan maksudnya. Dua penyebab menentukan insiden dari luar dan lantaran itu bersifat lahiriah. Dua penyebab lain bersifat intern. Kedua penyebab intern bekerjsama sudah disebut, saat kita menguraikan analisis Aristoteles mengenai perubahan.

Untuk mengartikan suatu kejadian, keempat penyebab berikut ini harus dibedakan.
(1) Penyebab efisien (“efficient cause”): inilah faktor yang menjalankan kejadian. Misalnya, tukang kayu yang menciptakan sebuah kursi.
(2) Penyebab final (“final cause”): inilah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya, dingklik dibuat supaya orang sanggup duduk di atasnya.
(3) Penyebab material (“material cause”): inilah materi dari mana benda dibuat. Misalnya, dingklik dibuat dari kayu.
(4) Penyebab formal (“formal cause”): inilah bentuk yang menyusun bahan. Misalnya, bentuk “kursi” ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi sebuah kursi.

Aristoteles memaksudkan bahwa dengan itu ia memperlihatkan daftar lengkap yang memuat semua faktor yang sanggup mengakibatkan suatu kejadian. Dalam setiap insiden keempat penyebab itu sanggup dibedakan, paling sedikit secara logis. Demikian halnya dengan kejadian-kejadian alamiah, di mana bentuk dan tujuan secara real sama, tetapi secara logis sanggup dibedakan (lihat di bawah). Dan justru kejadian-kejadian alamiahlah yang merupakan objek ilmu fisika.

Buat kita orang modern, kata “penyebab” selalu sama artinya dengan penyebab lahiriah, sehingga bagi kita tidak ada penyebab lain daripada penyebab efisien dan penyebab final. Tetapi Aristoteles tidak merasa puas dengan dua faktor lahiriah saja. Buat beliau juga kedua faktor yang menyusun suatu benda dari dalam—materi dan bentuk—harus diberi nama “penyebab”.

Physis
Dalam buku II dari Physica, Aristoteles membicarakan physis. Bahwa  physis memiliki kekerabatan akrab dengan objek penyelidikan fisika, sudah sanggup diperkirakan bila kita menginsafi bahwa nama fisika berasal dari physis. Apakah yang dimaksudkan dengan istilah ini? Istilah physis diturunkan dari kata kerja phyestai (tumbuh, lahir dari). Aristoteles menentukan kata ini untuk memperlihatkan prinsip perkembangan yang terdapat pada semua benda alamiah, bertentangan dengan benda-benda artifisial (buatan manusia, contohnya meja atau patung), yang tidak memiliki prinsip perkembangan sendiri. Oleh lantaran prinsip ini, berdasarkan perkataan Aristoteles, benda-benda alamiah memiliki sumber gerak atau membisu dalam diri sendiri. Maksudnya, pohon kecil tumbuh besar oleh lantaran physisnya dan pohon tetap tinggal pohon atau tetap mempertahankan identitasnya sebagai pohon, berkat physis itu. Kalau kita mencari suatu kata dalam bahasa Indonesia untuk menyalin istilah physis, maka sebaiknya kita menyampaikan “kodrat”.

Menurut Aristoteles, makhluk-makhluk yang boleh disebut fisis lantaran memiliki physis sendiri ialah binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan dan keempat anasir (air, tanah, udara, api). Dalam makhluk-makhluk ini physis meliputi baik bentuk maupun tujuan; atau dengan lain perkataan, dalam makhluk-makhluk ini physis merupakan penyebab formal dan sekaligus juga penyebab final. Dalam suatu arti tertentu physis juga merupakan penyebab efisien. Bentuk suatu pohon umpamanya menciptakan benda ini menjadi pohon yang sungguh-sungguh (penyebab formal) dan itulah juga tujuan yang dikejar oleh pohon itu (penyebab final). Dalam arti tertentu, itulah juga sumber yang menjadikan perkembangan itu (penyebab efisien).

Kadang-kadang Aristoteles mempergunakan istilah physis dalam arti yang lebih luas. Kalau begitu, kata physis tidak memperlihatkan suatu prinsip intern, melainkan keseluruhan makhluk-makhluk yang memiliki physis sebagai prinsip intern dan bekerja sama dengan cara selaras. Kalau digunakan dalam arti ini, kata physis sanggup disalin dalam bahasa Indonesia sebagai “alam”. Sebagaimana dalam bahasa Yunani, dalam bahasa-bahasa Barat modern pun kata yang sama digunakan untuk “kodrat” dan untuk “alam” (misalnya “nature” dalam bahasa Inggris).

Teleology
Dengan istilah “teleology” dimaksudkan pendirian bahwa dunia memiliki suatu tujuan yang berfungsi demikian rupa, sehingga perkembangan dunia sama sekali tergantung pada tujuan itu (telos=tujuan). Setelah diuraikan anggapannya mengenai physis, kita sanggup mengerti bahwa memang itulah pendirian Aristoteles. Di satu pihak tiap-tiap benda alamiah memiliki physis atau kodrat yang merupakan penyebab final. Itulah berarti bahwa tiap-tiap benda alamiah akan mencoba merealisasikan kodratnya (dan dengan tujuannya). Di lain pihak alam sebagai keseluruhan benda-benda alamiah—termasuk juga badan-badan jagat raya—bekerja sama secara harmonis. Peristiwa-peristiwa alam tidak terjadi kebetulan saja, tetapi alam semesta seolah-olah mengejar suatu tujuan. Bila Aristoteles menguraikan teleology ini, sering kali ia membandingkan alam semesta dengan seorang insan yang terpelajar budi. Ia menyampaikan misalnya: “Alam bertindak sebagai seorang tuan rumah yang baik, lantaran tidak membuang apa-apa yang sanggup digunakan lagi”. Dan : “Alam tidak menciptakan sesuatu pun dengan sia-sia saja dan tidak menciptakan sesuatu berlebihan”. Di daerah lain lagi: “Alam bertindak seolah-olah ia mengetahui konsekuensi perbuatannya”.

Teleology ini meliputi juga alam yang tidak hidup, yang terdiri dari keempat anasir (api, udara, air, tanah). Keempat anasir ini mengejar tujuan masing-masing: api dan udara membubung ke atas, sedangkan air dan tanah bergerak ke bawah. Aristoteles menyampaikan bahwa tiap-tiap anasir menuju ke “tempat kodratinya” (“locus naturalis” berdasarkan terminology Skolastik dalam Abad Pertengahan). Jika sebuah watu (yang terdiri dari tanah) sudah jatuh atau bila asap (yang terdiri dari api) sudah membubung, maka itu berarti bahwa anasir-anasir ini telah merealisasikan kodratnya.

Dengan pendapatnya mengenai teleology dalam dunia jasmani, Aristoteles mengritik anggapan Empedokles dan para Atomis. Buat mereka, beda-benda alam merupakan buah hasil dari pertemuan atau tubrukan yang kebetulan terjadi. Buat Aristoteles, anggapan itu tidak sanggup diterima. Alasannya memiliki kekerabatan akrab dengan bakatnya untuk observasi. Ia berpendirian bahwa persitiwa-peristiwa, yang selalu terjadi dengan cara yang sama, harus memiliki penyebab final. Mustahil menyampaikan bahwa peristiwa-peristiwa itu hanya kebetulan berlangsung dengan cara yang sama.

Susunan jagat raya
Menurut Aristoteles, kosmos seluruhnya terdiri dari dua wilayah yang sifatnya sangat berbeda. Di satu pihak terdapat wilayah sublunar (=di bawah bulan). Yang dimaksudkan dengannya tidak lain daripada bumi. Di lain pihak terdapat wilayah yang meliputi bulan, planet-planet, dan bintang-bintang. Aristoteles membantah pendapat bahwa jagat raya tidak memiliki batas. Menurut beliau jagat raya bersifat terbatas—dengan kata Inggris, “finite”—dan jagat raya yang terbatas itu berbentuk bola. Ia beranggapan juga bahwa jagat raya tidak memiliki permulaan dalam waktu dan kesannya kita sanggup menyimpulkan bahwa jagat raya tidak diciptakan. Akhirnya, ia beropini pula bahwa jagat raya ialah kekal, sehingga tidak mungkin memusnahkannya.

Bumi terdiri dari empat anasir: api, udara, tanah, dan air. Semua tubuh yang terdapat di bumi ini atau merupakan tubuh tunggal atau merupakan tubuh majemuk. Badan tunggal terdiri dari salah satu anasir dalam keadaan tak tercampur. Badan beragam di bentuk oleh dua anasir atau lebih. Kita sudah mendengar bahwa setiap anasir menuju ke daerah kodratinya. Gerak itu terjadi sebagai gerak garis lurus. Aristoteles mengartikan berat ringannya badan-badan atas dasar kecenderungan akan gerak itu. Api dan udara ialah ringan lantaran membubung ke atas, sedangkan tanah dan air ialah berat lantaran bergerak ke arah pusat bumi. Biarpun setiap anasir sama sekali terpisah dari anasir-anasir lain, namun Aristoteles mengakui kemungkinan bahwa satu anasir bermetamorfosis anasir lain. Sebagaimana jagat raya seluruhnya, bumi pun berbentuk bola. Salah satu bukti yang dikemukakan oleh Aristoteles ialah observasi pada kesempatan gerhana bulan, bahwa bayangan bumi yang diproyeksikan atas bulan selalu kelihatan berkeluk. Bumi tetap membisu dalam pusat jagat raya. Aristoteles mengkritik pendapat Pythagorean bahwa bumi ialah sebuah planet yang beredar sekeliling api sentral. Pendapat geosentris Aristoteles diambil alih oleh Ptolemaios dari Alexanderia yang mengumpulkan semua data astronomi Yunani menjadi citra dunia yang berlaku hingga zaman kopernikus.


Badan-badan jagat raya di luar bumi semua terdiri dari suatu anasir lain, anasir yang kelima, yaitu aether. Anasir ini tidak sanggup dimusnahkan dan juga tidak sanggup bermetamorfosis anasir lain. Gerak kodrati zat ini bukanya gerak garis lurus, melainkan gerak lingkaran. Dengan demikian berdasarkan anggapan Aristoteles jagat raya dibuat oleh beberapa bulat (“spheres”) yang terdiri dari aether dan masing-masing bulat pada revolusinya mengangkut badan-badan jagat raya (terdiri dari aether juga) yang menempel padanya. Lingkaran paling luar mengangkut bintang-bintang tetap. Di dalamnya terdapat lingkaran-lingkaran lain yang masing-masing mengangkut planet-planet dan bulan. Lingkaran paling luar mensugesti gerak dari lingkaran-lingkaran yang terletak di dalamnya, tetapi ia sendiri tidak dipengaruhi oleh gerak bulat lain. Demikian pun lingkaran-lingkaran lain mensugesti gerak bulat yang terletak dalam lingkungannya.

Berhubungan dengan teorinya mengenai gerak, dalam buku VII dan selesai dari physica Aristoteles menghidangkan pendiriannya yang masyur sekali wacana “Penggerak utama yang tidak bergerak”. Ia bertitik tolak dari prinsip bahwa segala sesuatu yang bergerak mendapatkan geraknya dari sesuatu yang lain. Buat Aristoteles sama sekali tidak mungkin bahwa suatu hal menggerakkan dirinya sendiri. Akan tetapi ia beropini juga bahwa penggerak-penggerak yang berjumlah tak berhingga sama-sama tidak mungkin pula. Sebab, kalau seandainya terdapat penggerak-penggerak berjumlah tak berhingga, maka gerak tidak akan pernah mulai berjalan. Oleh karenanya, Aristoteles menyimpulkan adanya “Penggerak Pertama yang tidak digerakkan”. Penggerak ini tidak memiliki bagian-bagian atau keluasan. Dengan lain perkataan, ia tidak bersifat badani. Kuasanya tidak berhingga pula. Karena jagat raya tidak sanggup dimusnahkan dan geraknya abadi, maka Penggerak Pertama pun harus dianggap abadi. Sudah nyata bahwa Penggerak ini ialah Allah. Penggerak Pertama yang tidak digerakkan menjadikan gerak dari penggagas pertama yang digerakkan, yakni bulat yang paling luar dengan bintang-bintang tetap. Lingkaran ini menyerahkan gerakannya kepada lingkaran-lingkaran lain. Pada gilirannya lingkaran-lingkaran itu mengakibatkan gerak yang terdapat di bumi, yaitu gerak berupa garis lurus dari keempat anasir. Dalam Physica, Aristoteles tidak menandakan cara Allah mengakibatkan gerak. Itu dibicarakan dalam cuilan Metaphysica yang membahas teologi.


Download di Sini


Sumber.

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta

Baca Juga
1. Aristoteles. Biografi
2. Aristoteles. Karya-karya
3. Aristoteles. Politik
4. Aristoteles. Psikologi
5. Aristoteles. Metafisika
6. Aristoteles. Logika
7. Aristoteles. Etika

Belum ada Komentar untuk "Aristoteles. Fisika"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel