Ambiguitas. Batas Berpikir

Apakah pemikiran mempunyai batas? Apa batasan berpikir? Banyak sekali alternatif tanggapan dari pertanyaan tersebut yang beragam, sangat beragam. Bukankah keberagaman tanggapan dari satu pertanyaan tersebut pun merupakan sebuah kode bahwa inilah bentuk keterbatasan? Cobalah kita berlari ke tanggapan dari agama, barangkali inilah tanggapan yang terkesan valid, menenangkan dan juga pasti, jadi yang tidak terbatas ialah agama? Yang absolut? Bukankah selama ini kita mengenal agama sebagai serangkaian batasan-batasan dalam berperilaku ataupun dalam berpikir? Bukan sebaliknya. Tidak untuk mengesampingkan agama, ataupun meremehkan kepastian tanggapan darinya, tapi coba kita tunda dulu sementara, alasannya kalau sudah agama yang menjawab maka berhentilah semuanya, puas ataupun tidak itulah kepercayaan ya demikian adanya. Padahal bisa jadi agama pun mengajarkan ketidakterbatasan, kebebasan dan realitivisme sehingga dulu banyak bermunculan pemikir besar dari kalangan muslim yang mengusung pelita ilmu sampai semangat tersebut ditularkan bagi pencerahan barat.
Pertanyaan tersebut memang cukup menggelisahkan, tapi tidak perlu gelisah betulan, meminjam istilah goresan pena sebelumnya perihal fenomenologi Huserl, seolah-olah, seakan-akan gelisah, padahal tidak, tapi juga bukan berarti tidak serius, tapi seolah-olah. Pulang Jum'at, rebus pisang plus kopi hitam menunggu, mari kita jawab pertanyaan tersebut. Kali ini kita akan mencoba menemukan jawabannya lewat rujukan fenomenologi Merleu Ponty*, seorang filsuf dari Prancis. Sesuai dengan tema judul di atas, Merleu Ponty* ialah seorang filsuf dengan ciri khas pemikiran fenomenologisnya perihal konsep realitas yang ambigu.

Ambiguitas (Inggris; ambiguity) mempunyai definisi kedwiartian, dengan makna bahwa dunia di mana kita hidup atau realitas yang kita alami tidak pernah sanggup kita reduksi ke dalam satu arti saja. Realitas tersebut berliku-liku dan mempunyai banyak  dimensi. Jikalau kita memusatkan analisa atau pikiran pada satu dimensi di antara banyak dimensi tersebut, maka dimensi-dimensi yang lain tinggal dalam kegelapan. Kaprikornus setiap perjuangan reduktif selalu penuh dengan resiko pengabaian sisi atau wilayah yang lain. Demikian, jikalau kita mulai berpikir maka bersama-sama kita tidak akan pernah tahu di mana pemikiran kita tersebut akan berakhir, wilayah realitas selalu menampakkan hal-hal yang gres mengiringi ketidaktahuan kita yang terus-menerus terhadap kehidupan, maka berpikir tidak akan pernah mengenal kata final, puncak ataupun selesai sebagaimana perintah agama untuk berguru dari mulai lahir sampai meninggal nanti. Kesimpulan kita sementara, realitas itu tidak terbatas, multidimensi, sementara pikiran kitalah yang selalu terbatas dalam memahaminya. Apa betul begitu? Mari kita lanjutkan...

Baca Juga

Pemikiran apa pun bentuknya entah itu science, tafsir atau apa pun tidak akan pernah mencapai suatu pengetahuan yang absolut. Kaprikornus tidak benar jikalau kita memutlakan kebenaran suatu ilmu, ilmu pengetahuan akan terus dan selalu berkembang mengiringi realitas yang semakin kompleks. Dengan demikian, proses dialektika yang berlangsung dalam sejarah pun tidak akan pernah mencapai titik akhir, sebagaimana orang menyampaikan titik selesai sejarah, namun sehabis klasik orang mengenal modern ternyata masih ada postmodern...dan seterusnya. Kecuali memang Tuhan menutupnya dengan kiamat.

Dengannya, bersama-sama tidak akan pernah suatu pemikiran mencapai status sistem, tidak akan pernah suatu pengetahuan mencapai status ilmu alasannya ilmu ialah pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Ilmu pengetahuan ialah universum, rangkaian general atau universal dari semua realitas tahu manusia, namun yang kita kenal ketika ini ilmu ialah bentuk lain dari one dimension man di atas. Kenapa ? Ya itulah keterbatasan, batas pemikiran dan kemampuan manusia, sehingga perjuangan pemikiran atau rasionalitas pengetahuan apa pun secara prinsipil tidak akan pernah selesai dan alasannya itu dengan tak kunjung berhenti maka kita harus terus menerus berusaha mencari dan memahami realitas kembali dan kembali.

Dalam pandangan Merleu Ponty*, kebenaran tidak pernah definitif dan mutlak (absolut). Berfilsafat ialah bertanya. Filsuf bukanlah orang yang tahu, melainkan orang yang bersama-sama tidak tahu, tetapi yang ingin mencari tahu. Ambiguitas pemikiran Merleu Ponty tampak pula sejauh seluruh filsafatnya merupakan suatu konfrontasi tetap dengan dua anutan ekstrim yang memainkan peranan amat besar dalam sejarah pemikiran modern yaitu realisme dan idealisme atau objektivisme dan subjektivisme. Sekalipun realisme dan idealisme merupakan dua pendirian yang sama sekali bertentangan, kedua-duanya mengandaikan hal yang sama, yaitu bahwa realitas sanggup dipahami secara tuntas. Tapi justru pengandaian itulah yang ditolak oleh Merleu Ponty*. Menurutnya pemikiran kita tidak pernah mengerti realitas dengan tuntas.

Keabsolutan atau kemutlakan serta ketidakterbatasan pemikiran insan itu tidakkan pernah ada, nonsense atau omong kosong, yang ada ialah ketidakterbatasan realitas. Demikian insan berpikir perihal realitas melalui apa yang dinamakan persepsi atau penglihatan atau juga pengamatan mereka terhadap dunia yang kemudian menjadi wilayah privat yang kita namakan pengalaman. 


Download di Sini

Baca Juga
1. Maurice Merleau-Ponty. Biografi dan Karya
2. Pemikiran Filosofis Maurice Merleau-Ponty
3. Merleau-Ponty. Persepsi dan Tubuh
4. Merleau-Ponty dan Fenomenologi
5. Merleau-Ponty. Bahasa

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Ambiguitas. Batas Berpikir"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel