Alfred Ayer Dan Positivisme Logis

Alfred Jules Ayer (1910-1989) berguru filologi klasik dan filsafat di Oxford. Sesudah studinya selesai, ia berkunjung pada universitas di Wina dan sekembalinya di Inggris diangkat sebagai dosen di Oxford. Waktu Perang Dunia II ia masuk tentara Inggris dan ditugaskan terutama pada dinas intelijen militer. Seusai perang ia diangkat sebagai profesor pada Universitas London (1946-1959) dan akhirnya diundang menjadi profesor logika di Universitas Oxford.
Pada umur masih muda sekali, yaitu 25 tahun, ia menerbitkan Language, Truth dan Logic (1936), mungkin buku filsafat yang menarik paling banyak perhatian dalam filsafat Inggris era ke-20. Pendirian yang dikemukakan buku ini dengan cara agak radikal, bisanya disebut positivism logis. Suatu nama lain yang lazim juga yakni neopositivisme. Sebetulnya pandangan Ayer dalam buku ini bukan suatu hal gres dalam filsafat era ke-20.
Untuk sebagian besar isi buku ini sesuai dengan fatwa neopositivisme yang dilancarkan oleh Lingkungan Wina (Der Wiener Kreis). Di atas sudah dikatakan bahwa untuk beberapa waktu Ayer pernah berguru di Wina. Tujuan kunjungannya ke ibukota Austria itu justru untuk berkenalan secara pribadi pemikiran para anggota Lingkungan Wina dan melalui bukunya ia mengintrodusir cara berpikir positivism logis di Inggris. Serta merta ajarannya disambut sebagai suatu pandangan filosofis yang penting. Rupanya pendekatan ini dianggap amat cocok dengan perjuangan yang telah dilakukan oleh Moore* dan Russell* untuk membuat klarifikasi dan ketelitian di bidang filsafat. Dalam pada itu efek Lingkungan Wina atas pemikiran Ayer dilarang dilebih-lebihkan. Positivism logis Ayer sesungguhnya tidak lain daripada suatu percobaan untuk mengaitkan analisis logis Russell* dan tradisi empiris Inggris (terutama Hume). Dan ia yakin bahwa apa yang dicarinya sudah dihasilkan dengan baik oleh Lingkungan Wina.

Para pengikut Lingkungan Wina di satu pihak menaruh antusiasme besar untuk ilmu pengetahuan dan matematika dan di lain pihak mengambil perilaku negatif yang sama besar terhadap metafisika. Usaha mereka yang utama yakni memilih berarti tidaknya ucapan-ucapan kita. Mereka tidak menghiraukan kebenaran suatu ucapan. Itulah kiprah ilmu pengetahuan. Sebagai filsuf mereka hanya memperhatikan makna ucapan-ucapan. Bagi mereka pertanyaan pokok adalah: bagaimana sanggup ditentukan suatu norma yang sanggup membedakan ucapan-ucapan yang bermakna dari ucapan-ucapan yang tidak bermakna? Untuk itu mereka merumuskan apa yang dinamakan prinsip verifikasi. Tetapi ternyata mereka mengalami banyak kesulitan dalam mencari perumusan yang memadai.

Ayer mengambil alih jadwal neopositivisme ini. Dalam bukunya ia merumuskan prinsip verifikasi sebagai berikut: We say that sentence is factually significant to any given person, if, and only if, he know what observations would lead him, under certain conditions, to accep the proposition as being true, or reject it as being false. If, on the other hand, the putative proposition is of such a character that the assumption of its truth, or falsehood, is consistent with any assumption whatsoever concerning the nature of his future experience, then, as far as he concerned, it is, if not a tautology, a mere pseudo-proposition. The sentence expressing it may be emotionally significant to him; but it is not literally significant. Kami mencoba menandakan maksudnya. Pertama-tama harus diinsafi dengan baik bahwa prinsip verifikasi bermaksud memilih makna suatu ucapan, bukan kebenarannya. Suatu ucapan yang bermakna bisa benar atau salah. Orang yang menyampaikan “Kota Balikpapan terletak di pulau Jawa” atau “Palembang yakni ibukota Republik Indonesia” mengucapkan suatu kalimat yang tidak benar, mengucapkan suatu kalimat yang tidak benar, tetapi kalimat itu bermakna, lantaran ketidakbenarannya sanggup ditetapkan. Tetapi bagaimana halnya kalau dikatakan umpamanya, “Hari ini cuaca lebih anggun daripada di luar?” Ucapan terakhir ini tidak bermakna lantaran sama sekali tidak diketahui kepada apa yang ditunjukkannya. Tidak ada observasi apa pun yang juga membuat ucapan itu benar atau tidak benar. Ucapan itu tetap tidak bermakna, bagaimanapun juga pengalaman kita (tentang cuaca, misalnya) kini dan dimasa mendatang. Jadi, berdasarkan prinsip verifikasi ini ucapan jenis mana yang bermakna? Menurut Ayer hanya bermakna suatu ucapan yang merupakan observation-statement artinya pernyataan yang menyangkut realitas inderawi; dengan kata lain, suatu ucapan yang dilakukan berdasarkan observasi, atau sekurang-kurangnya memiliki kekerabatan dengan observasi. Supaya sebuah ucapan memiliki makna, perlulah kita sanggup menunjuk kepada suatu hal empiris yang membuat ucapan itu benar atau tidak benar. Ucapan ibarat contohnya “Keranjang itu berisi 30 buah mangga” gampang sanggup diverifikasi. Oleh karenanya kini kita mengerti lebih baik nama “positivism logis” : perlu suatu fakta atau data empiris semoga ucapan-ucapan kita boleh dianggap bermakna.

Disamping ucapan-ucapan yang berdasarkan suatu data empiris, hanya ada satu jenis ucapan yang bermakna, yaitu ucapan-ucapan matematika dan logika. Misalnya: “Separuh 14 sama dengan 3 ditambah 4”, “Segi tiga yakni gambar yang dibuat oleh tiga garis lurus yang saling memotong”. Ucapan-ucapan semacam ini tidak menyampaikan sesuatu ihwal realitas inderawi dan kesudahannya tidak sanggup diverifikasi atas dasar pengalaman. Untuk memilih benar tidaknya ucapan-ucapan itu kita seperti tidak meninggalkan cakrawala Bahasa. Makna ucapan-ucapan itu hanya tergantung pada makna simbol-simbol yang digunakan. Kepada ucapan-ucapan serupa itu Ayer dan neopositivisme-neopositivis lain memberi nama tautology.

Tentu saja, Ayer harus menggunakan adanya batas-batas yang berlaku untuk prinsip-prinsip verifikasi. Tidak perlu bahwa suatu ucapan sanggup diverifikasi secara langsung, tetapi cukuplah kalau verifikasinya sanggup dilakukan secara tidak langsung, misalnya, melalui kesaksian orang yang sanggup dipercaya. Ayer mendapatkan pembatasan ini, sebab—kalau tidak—semua ucapan ihwal masa lampau menjadi tidak bermakna. Dengan perkataan lain, pembatasan ini perlu, supaya ilmu sejarah mungkin. Ucapan ibarat “Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945” selalu sanggup diverifikasikan, juga kalau nanti sehabis seratus tahun tidak ada lagi orang yang menyaksikan insiden bersejarah itu dengan mata dan kepala sendiri. Supaya suatu ucapan bermakna, tidak perlu ucapan itu sanggup diverifikasi faktual, sudah cukuplah kalau verifikasi itu mungkin secara prinsipial saja. Ucapan ibarat “Ada kehidupan di atas planet Saturnus” tidak atau belum sanggup diverifikasi, tetapi benar bahwa ucapan itu bermakna, lantaran kita tahu apa yang harus dibuat untuk memverifikasinya, biarpun barangkali kita tidak bisa melaksanakannya. Akhirnya tidak perlu juga suatu aturan umum ibarat “Logam yang dipanaskan akan memuai” tidak akan bermakna. Karena pembatasan-pembatasan semacam itu Ayer hati-hati dalam merumuskan prinsip verifikasi dan hanya berkata: If he knows what observations would lead him, under certain conditions.

Kiranya sudah terperinci bahwa prinsip verifikasi ini memiliki konsekuensi-konsekuensi yang tidak kecil. Orang yang mendapatkan prinsip ini harus mendapatkan juga bahwa ucapan-ucapan metafisika, teologi, adat dan estetika tidak bermakna. Ucapan-ucapan ibarat “Dunia diciptakan Tuhan”, “Barang milik orang lain harus dikembalikan”, “Lukisan ini bermutu tinggi” tidak berarti, lantaran tidak sanggup diverifikasi. Dan pada umumnya semua kalimat yang mengungkapkan suatu nilai tidak bermakna. Ayer berkata bahwa ucapan-ucapan semacam itu barangkali secara emosional memiliki arti untuk orang yang bersangkutan, tetapi tidak menunjukkan pengenalan ihwal realitas. Atau dengan perkataan lain: a statement which is not relevant to any experience… has no factual content. Buku Ayer menyebabkan imbas begitu mengejutkan dalam dunia filsafat Inggris justru lantaran tesisnya bahwa proposisi-proposisi metafisika tidak bermakna. Jalan ke arah kesimpulan itu sesungguhnya sudah diratakan oleh kritik Moore* dan Russel* atas idealism. Tetapi kita telah melihat juga bahwa filsafat Russell masih mengandung unsur-unsur metafisis. Dari lantaran itu buku Ayer sanggup dipandang sebagai suatu radikalisasi terhadap filsafat Russell*.

Dalam edisi kedua bukunya, yang terbit pada tahun 1946, Ayer menambah sebuah prakata yang mengubah sedikit (tetapi tidak menarik kembali) beberapa tesis penting dalam edisi pertama. Ia mencoba merumuskan prinsip verifikasi dengan cara lebih teliti, melihat kritik yang telah dikemukakan terhadap perumusan yang pertama. Tetapi kemudian ia mengakui bahwa perumusan ini pun tidak memadai dan suatu perumusan yang tepat mustahil diberikan. Dalam filsafat Inggris banyak diskusi timbul sehubungan dengan kesulitan-kesulitan sekitar prinsip verifikasi. Di sini beberapa di antara kesulitan-kesulitan itu hanya disebut saja, sambil melewati segala seluk beluknya.  Misalnya, sanggup ditanyakan apa sebabnya pengalaman yang diandaikan oleh prinsip verifikasi harus disamakan dengan pengalaman inderawi? Apakah pengalaman tidak harus diperluas sehingga mencakup pengalaman jenis lain juga? Berikutnya, bagaimana sanggup dipastikan bahwa apa yang diverifikasi oleh saya berlaku juga untuk orang lain dan sebaliknya, misalnya, dalam proposisi ibarat “saya merasa panas?” Tetapi terutama prinsip verifikasi menghadapi kesulitan yang ibarat dengan yang telah dialami oleh atomisme logis, yaitu apakah prinsip verifikasi sendiri memiliki makna, lantaran tidak sanggup diverifikasi dan tentu juga tidak merupakan tautology.


Sesudah bukunya yang pertama Ayer menulis lebih banyak lagi. Lingkup minatnya menjadi lebih luas dan argumentasinya lebih bernuansa. Tetapi tidak sanggup disangkal bahwa pemikirannya menyatakan suatu kontinuitas yang mencolok. Kontinuitas itu yakni suatu empirisme yang berakar besar lengan berkuasa dalam tradisi filsafat Inggris. Barangkali buku yang paling penting sesudah Language, Truth and logic adalah The Problem of Knowledge (1957). Di sini ia membicarakan problem-problem yang menyangkut skeptisisme filosofis. Secara khusus ia memeriksa argumen-argumen skeptisisme di tiga bidang: persepsi, ingatan, dan kemungkinan untuk mengenal orang lain.

Di antara buku-buku lain yang ditulis Ayer boleh disebut: The Foundations of Empirical Knowledge (1940); The Origins of Pragmatism (1968), Russell and Moore, The Analytical Heritage (1971); Russel (1972); Probability and Evidence (1972); The Central Problems of Philosophy (1973); Philosophy in the 20th Century (1982). Selain itu ia menulis banyak artikel yang sebagian dikumpulkan menjadi buku. Ia juga melukiskan riwayat hidupnya (sampai umur 36 tahun) dalam buku yang berjudul Part of my Life (1977), kemudian dengan More of My Life (1984).


Download di Sini


Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.

Belum ada Komentar untuk "Alfred Ayer Dan Positivisme Logis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel