Teori Emanasi

Emanasi yaitu teori filsafat yang menjelaskan bahwa segala yang ada memancar dari zat yang satu. Kata emanasi berasal dari bahasa Inggris, emanation, yang berarti “memancar”. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan sebutan al-faid.

Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Plotinus (205-270), filsuf Yunani. Awalnya, Plotinus tidak ingin membentuk aliran filsafat sendiri, melainkan ingin memperdalam filosofi Plato* (filsuf Yunani, 427-347 SM) yang dipelajarinya. Tetapi kemudian fatwa filsafatnya menggoda para filsuf berikutnya. lantaran filsafatnya merupakan pengembangan dari filsafat Plato*, maka fatwa filsafatnya dinamakan Neo-Platonisme.


Filsafat emanasi Plotinus menjelaskan asal mula penciptaan alam yang terjadi dengan cara memancar atau melimpah dari Yang Asal atau Yang Esa. Yang Asal itu yaitu satu dan tidak ada kontradiksi di dalamnya; tidak sanggup dikenal lantaran tidak ada ukuran untuk membandingkannya; permulaan dan lantaran yang pertama dari segala yang ada. Karena memancar dari Yang Asal, alam ini terang merupakan potongan dari-Nya. Kalau Yang Asal itu yaitu Tuhan, berarti alam menjadi potongan dari Tuhan atau lebih tepat dikatakan berada dalam Tuhan, namun sama sekali tidak sanggup dikatakan bahwa Tuhan berada dalam alam. Makin jauh yang mengalir itu dari asalnya, makin tak tepat wujudnya. Demikian pula keadaan alam yang memancar dari Yang Asal. Akan tetapi, berdasarkan Plotinus, emanasi alam dari yang asal itu jangan dipahami sebagai suatu bencana yang berlaku dalam dimensi ruang dan waktu. Sebab ruang dan waktu terletak pada tingkat yang terbawah dari emanasi. Ruang dan waktu itu yaitu pengertian dalam keduniawian.

Dalam fatwa Plotinus, dari Yang Esa memancar akal. Selanjutnya, dari nalar memancar jiwa dunia dan dari jiwa dunia memancar bahan dunia.

Di dunia Islam, fatwa emanasi ini pertama kali dibawa oleh al-Farabi* (870-950), filsuf Islam terkemuka. Al-Farabi* mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak sanggup timbul dari Yang Esa (Tuhan) dengan filsafat emanasi. Tuhan diyakini sebagai Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna, dan tidak berhajat pada apa pun.

Proses emanasi yang dimaksudkan al-Farabi* yaitu bahwa Tuhan sebagai “akal” berpikir perihal diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul wujud lain, yaitu nalar pertama yang sekaligus merupakan wujud kedua lantaran wujud pertama yaitu Tuhan itu sendiri. Seterusnya nalar pertama atau wujud kedua ini bertafakur (berpikir) perihal Tuhan sehingga dari pikiran itu memancar nalar kedua sekaligus sebagai wujud ketiga. Selain bertafakur perihal Tuhan, nalar pertama ini juga bertafakur perihal dirinya sehingga timbul langit pertama.

Selanjutnya, nalar kedua (wujud ketiga), sebagai halnya nalar pertama, berpikir perihal Tuhan dan perihal dirinya. Dari pemikiran ini memancar nalar ketiga (wujud keempat), dan dari pemikirannya perihal dirinya lahirlah alam bintang. Dari nalar ketiga (wujud keempat), lantaran memikirkan Tuhan memancar nalar keempat (wujud kelima), dan lantaran memikirkan dirinya sendiri, memancar planet Saturnus. Akal keempat memikirkan Tuhan sehingga memancar nalar kelima (wujud keenam), dan pemikiran perihal dirinya memancarkan planet Yupiter. Pemikiran nalar kelima perihal Tuhan melahirkan nalar keenam (wujud ketujuh), dan pemikirannya akan dirinya memancarkan planet Mars.

Proses pemikiran perihal Tuhan dan perihal dirinya berlanjut secara berurut, dari nalar keenam (wujud ketujuh) memancar nalar ketujuh (wujud kedelapan) dan Matahari. Akal ketujuh (wujud kedelapan) memancar nalar kedelapan (wujud kesembilan) dan planet Venus. Akal kedelapan melahirkan nalar kesembilan (wujud kesepuluh) dan planet Merkurius. Akal kesembilan mewujudkan nalar kesepuluh (wujud kesebelas) dan Bulan.

Pemikiran nalar kesepuluh (wujud kesebelas), walaupun masih memikirkan Tuhan, tidak lagi memancar akal-akal yang lain. Pemikiran nalar kesepuluh sudah terlalu lemah untuk sanggup mewujudkan nalar lain. Akan tetapi, dari memikirkan dirinya sendiri, memancar Bumi dan jiwa, serta bahan pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur alam, yaitu api, udara, air, dan tanah.

Dengan teori emanasi, al-Farabi* berusaha memurnikan paham tauhid umat Islam. Kalau golongan Muktazilah berupaya memelihara kemurnian tauhid dengan jalan pembatalan sifat-sifat Tuhan (nafyu as-sifat), maka al-Farabi* berupaya lebih dari itu. ia tidak saja menafikan sifat-sifat Tuhan, tetapi juga menafikan arti banyak dalam diri Tuhan melalui teori emanasi. Dalam teorinya, disimpulkan bahwa yang menjadi objek pemikiran Tuhan harus satu, yaitu diri-Nya sendiri dan dari pemikiran itu timbullah wujud lain, yaitu alam semesta.

Dari filsafat emanasinya ini, al-Farabi* hingga pada kesimpulan bahwa alam ini kadim (kekal), maksudnya, tidak mempunyai permulaan dalam waktu lantaran alam ini tidak terjadi secara berangsur-angsur, melainkan sekaligus dengan tidak berwaktu. Karena itu, berdasarkan al-Farabi*, yang kekal itu bukan hanya Tuhan, melainkan juga ciptaan-Nya. Alasannya, Tuhan membuat alam ini bukan dari sesuatu yang tidak ada, melainkan dari yang ada. Penciptaan dari yang tidak ada yaitu suatu han yang mustahil.

Selain al-Farabi*, filsuf muslim lain yang mengemukakan teori emanasi yaitu Ibnu Sina* (980-1037). Menurutnya, dari Tuhan memancar nalar pertama, dan dari nalar pertama memancar nalar kedua dan langit pertama. Demikian seterusnya hingga terwujud akan kesepuluh dan Bumi. Lalu dari nalar kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah Bulan. Akal pertama, berdasarkan Ibnu Sina*, yaitu malaikat tertinggi dan nalar kesepuluh yaitu Jibril.


Bedanya dengan al-Farabi*, Ibnu Sina* menambahkan bahwa nalar pertama mempunyai dua sifat, yaitu sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Tuhan, dan sifat mungkin wujudnya ditinjau dari hakikat dirinya. Karena mempunyai dua sifat, nalar pertama mempunyai tiga objek pemikiran, yaitu Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya, dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Pemikiran nalar pertama perihal Tuhan mewujudkan nalar kedua (wujud ketiga). Pemikiran perihal dirinya sebagai wajib wujudnya memancarkan jiwa-jiwa, dan pemikiran perihal dirinya sebagai mungkin wujudnya melahirkan langit-langit.

Dengan teori emanasi ini, Ibnu Sina* menyimpulkan bahwa penciptaan merupakan pancaran yang berlangsung secara terus-menerus dari kodrat Tuhan. Oleh lantaran itu, suatu entitas (satuan yang berwujud) tidak selamanya mempunyai sifat wujud lantaran semata-mata beliau diciptakan, tetapi entitas itu harus selalu mencari sifat wujud tersebut.

Sebagai implikasi dari teorinya itu, Ibnu Sina* beropini bahwa jiwa insan memancar dari nalar kesepuluh yang juga disebut dengan nalar aktif, kemudian masuk ke dalam janin (embrio) dikala badan sudah siap untuk menerimanya. Jiwa itu akan kembali kepada nalar aktif sehabis meninggalkan badan manakala ia telah mencapai tingkatan jiwa suci (an-nafs al-qudsiyyah) yang diperoleh insan melalui latihan batin. Jika jiwa insan berhasil mencapai tingkatan jiwa suci, maka jiwa itu akan kembali bersatu dengan nalar aktif dan mencicipi kebahagiaan yang abadi di akhirat. Sebaliknya, kalau tidak sanggup mencapai tingkatan jiwa suci, ia akan mencicipi kesengsaraan selamanya di alam abadi nanti.

Sumber
Suplemen Ensiklopedi Islam Diterbitkan Oleh PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta Tahun 1996


Download

Belum ada Komentar untuk "Teori Emanasi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel