Tantangan Postmodernitas Terhadap Islam

Akademisi Cambridge, Akbar Ahmed (1992; 1999), sudah menawarkan beberapa pemaparan komprehensif perihal akhir besar postmodernitas (sebagai sebuah kondisi sosial) terhadap orang Islam di seluruh dunia. Secara khusus ia menyoroti perihal cara masuknya TV dan bentuk-bentuk mass media lainnya ke dalam rumah-rumah orang Islam yang sudah menawarkan kepada mereka gambaran dan nilai yang mungkin dua puluh tahun hal itu masih tidak mungkin. Ia menekankan sentralitas Islam dalam dimensi sosial (sosial dimension) dan kekhususannya dalam keluarga. Sejak permulaan Era Modern, keluarga dinilai sebagai satu area kehidupan sosial orang Islam yang relatif tidak banyak masalah. Sekarang bahkan keluarga sekalipun, tidak peduli di belahan dunia mana pun, terbuka pada hiruk-pikuknya gaya hidup, nilai, citra, dan komoditas. Pemeliharaan keyakinan dengan mengasingkan wilayah keluarga tidak lagi tampak sebagai taktik yang bodoh.

Ahmed melemparkan perasaan kerapuhan keluarga—sebagai daerah suci yang ada di dalam diri—yang dirasakan baru-baru ini, sebagai latar belakang bagi permainan ketegangan politik yang lebih usang tapi cukup akut untuk masa kini ini antara Muslim secara umum dikuasai dan negara-negara Barat. Berbicara mengenai “sense of apocalypse (kesadaran perihal wahyu penyingkapan)” di antara Muslim di seluruh dunia, Ahmed mengingatkan pengeboman Irak, Sudan dan Afganistan, sebagaimana juga penderitaan orang-orang Islam di tangan orang-orang Nasrani di Kosovo dan orang-orang Yahudi di Israel. Setelah mendapatkan penderitaan dan kebingungan emosional, keluarga yang sudah terkepung ini juga mengalami penderitaan fisik akhir perang yang menciptakan putus asa. Penyebab permasalahan dari kedua kasus di atas dirasakan berada di luar komunitas kepercayaan agama namun memerlukan respons dari dalam. Pertanyaannya ialah apa yang diharapkan untuk merespons problem di atas secara efektif?

Bagi Bassam Tibi (1988), seorang sosiolog Jerman asal Arab Libanon, baik problem maupun solusinya semuanya berada di rumah. Seperti Ahmed ia melihat keputusasaan akhir keterbelakangan ini memicu ketidakpuasan di seluruh negara yang secara umum dikuasai berpenduduk Muslim. Namun tanpa cara apa pun yang mendasari kebijakan Amerika dan Eropa yang menghukum Irak sebagai contoh, atau derma penuh Amerika kepada Israel dalam aksinya menghancurkan Muslim Arab, atau menghilangkan penyebab ekonomi dalam ketidaksetaraan semakin global, ia menemukan bahwa penyebab ketidakpuasan itu tolong-menolong ada dalam komunitas Muslim sendiri. Dengan demikian, ia melampaui Ahmed untuk menganalisis kondisi-kondisi budaya yang menimbulkan pembagian kemakmuran “Utara/Selatan”. Tibi (1988) berpendapat, bahwa negara-negara Muslim di Timur Tengah dan Amerika Utara masih harus menjalani diferensiasi internal dari subsistem sosial (sebagaimana digambarkan oleh Niklas Luhmann*) yang mengizinkan keleluasaan bagi pedoman yang benar-benar kritis dan independen. Diferensiasi subsistem semacam itu, kata dia, penting bagi kemajuan teknologi dari masyarakat yang sangat maju ekonominya di Barat dan di Timur. Tibi benar-benar menemukan derma yang lebih jauh bagi argumennya dalam analisis sejarah Tayeb Tisini terhadap kerajaan Islam kala pertengahan, terhadap imbas bahwa pembangunan menuju ekonomi “tinggal landas” dari perdagangan menuju ekonomi industri telah ditinggalkan ketika karya-karya filsafat dari Ibnu Sinna*, Ibn Rusyd*, Al-Farabi*, Ibn Tufayl* dan yang lainnya disingkirkan dan pedoman ilmiah mulai stagnan (Tisini dalam Tibi 1988:134). Diferensiasi yang muncul pertama kali dalam subsistem ilmu pengetahuan, agama, politik pada ketika itu dihalang-halangi.

Dalam gaung analisis Tibi yang tidak sadar dan aneh, pembuatan film dari Iran, Ziba Mirhosseini baru-baru ini menggambarkan pengalamannya sebagai seorang feminis dan progresif di Iran sebelum dan setelah revolusi 1979. Justru alasannya ialah kekuatan ulama ditegakkan di dalam negara, ia mengatakan, politik menjadi terdiferensiasi dari ranah agama: “... Segera setelah Anda mendapati (ulama) dalam posisi kekuasaan, mereka harus sanggup menjawab dan mereka tidak lagi sanggup memakai retorika Islam dalam menghadapi politik nyata... dan hal yang menarik di Iran ialah bahwa penciptaan republik Islami menjadikan pembagian antara politik dan agama yang, saya pikir, selalu eksis dalam Islam, di negara-negara Muslim, namun tidak dalam level ideologi”.

Sebagaimana dikatakan Tibi, Iran, sebuah masyarakat yang kompleks di final era modern, sepertinya sangat sulit menuju diferensiasi subsistem sosial; Penerapan lembaga-lembaga agama-politik yang relatif tidak sanggup didiferensiasi menyingkapkan masalah-masalah yang berkaitan dengan penerapan konsep kekuasaan dari masyarakat yang tidak begitu kompleks dalam sebuah masyarakat modern.

Isu-isu filosofis yang dimunculkan oleh Tibi kemudian diambil oleh pemikir Iran yang terkenal, Abdulkarim Soroush, lagi, dengan concern untuk menguji kembali cara-cara bagaimana ilham-ilham agama, sebagaimana diwujudkan dalam aturan agama, sanggup diciptakan untuk merespons keadaan darurat dari kehidupan modern ini. Untuk melaksanakan hal ini, Soroush eksklusif melangkah pada isu: dalam pengertian apa hukum-hukum dalam syari’ah—apa pun jenis hukumnya—harus dipahami sebagai harapan Tuhan yang sebenarnya? Kemudian apa pula landasan keilmuan bagi kita untuk melaksanakan penerjemahan harapan Tuhan tersebut? Ia beropini bahwa untuk menegakkan landasan bagi pengertian tunggal dan autoritatif itu tidak mungkin. Isu epistemologis ini selanjutnya membawa Soroush kepada isu-isu etis (sebagaimana hal ini juga terjadi pada para humanis Barat): dikarenakan pemahaman yang bermacam-macam (multiple interpretations) atas kebenaran itu tidak sanggup dihindari, masing-masing kapasitas individual dalam mendapatkan suatu pembenaran perlu dilindungi sehingga kesejahteraan spiritual dan kesalehan sosial mereka bisa tetap diwujudkan dengan baik. Hal ini memerlukan institusi sosial yang sanggup mendukung kebebasan individu.

Sebuah analisis interpretatif yang lebih bernuansa sosiologis dan antropologis dalam praktik keberagaman Islam sudah dilakukan oleh seorang Aljazair, Muhammad Arkoun. Dengan pandangan yang menggambarkan interaksinya dengan tokoh postmodern, Arkoun berupaya untuk mendekonstruksi pedoman ortodoks, dan memahami pedoman tersebut dengan dikaitkan dengan konteks sosial suatu tempat, di mana pedoman ortodoks bisa mengerahkan kekuatan untuk menyokong keberadaan mereka. Di sini, kesan kekerabatan antara institusi insan (yakni pemahaman terhadap aturan dan langkah yang dilakukan sesuai dengan pemahaman tersebut) dan inspirasi ke-Tuhanan menjadi sangat lemah dan firman Tuhan sepertinya larut ke dalam pemahaman insan atas inspirasi tersebut.

Sumber
Julia Day Howell. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta


Download

Belum ada Komentar untuk "Tantangan Postmodernitas Terhadap Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel