Persoalan Kelas Sosial Dalam Masyarakat Muslim Di Indonesia
Kajian terhadap kelas menengah Muslim di Indonesia yang marak belakangan ini agaknya mempunyai kecenderungan melalaikan akar historis kelahirannya. Tanpa pemahaman historis, yang terjadi hanya kegagapan dalam memahami kelas menengah yang seolah-olah sebagai fenomena kemarin sore. Padahal fenomena kelas menengah itu hanya sanggup dipahami dalam pertautan maupun patahannya dengan apa yang terjadi di masa lalu.
Menurut Kuntowijoyo, kelas menengah Muslim di Indonesia sanggup dipilah ke dalam tiga golongan. Golongan pertama yang lazim disebut dengan santri merupakan Muslim yang berorientasi pada kebudayaan Islam. Golongan kedua terdiri dari Muslim yang berorientasi pada tradisi atau adat. Terakhir, golongan ketiga, yaitu Muslim yang berorientasi pada anutan sekuler Barat. Di antara ketiga golongan tersebut, berdasarkan Kuntowijoyo, golongan santri mempunyai sejarah yang panjang dan paling dinamis. Lazimnya golongan santri ini bermukim di akrab pusat kekuasaan (daerah ini di Jawa dikenal dengan sebutan “Kauman”) sekaligus menjadi tempat mereka menjalankan acara komersial dan perdagangan.
Secara historis, kelas menengah Muslim santri mengalami proses evolusi dari “massa” menjadi “umat” dan karenanya “warga negara”. Tentu saja, proses perubahan itu bukan masalah yang gampang dan tak jarang membawa sejumlah persoalan. Pada era XIX golongan santri memelopori perbaikan pendidikan di pedesaan. Selanjutnya, pada era XX, di tengah kemerosotan kesejahteraan rakyat pada umumnya, golongan santri mendirikan organisasi Sarekat Islam (SI) yang bertujuan mengatasi masalah kemiskinan dan menautkan masyarakat pribumi ke dalam perekonomian dunia. Meski demikian, bukan proses yang gampang saat kelas menengah Muslim santri mengalami transformasi menjadi “warga negara” di awal kemerdekaan Indonesia. Masih mengendapnya ketidakpercayaan kalangan priyayi dengan golongan santri telah ikut mempersulit proses itu. Apalagi mencuatnya sejumlah pemberontakan di kawasan sebab ketidakpuasan pada pemerintah pusat menjadi kerikil ujian loyalitas golongan santri kepada Republik. Di sini Kuntowijoyo telah menyoal ketegangan yang muncul antara masalah “kewarganegaraan” (citizenship) dengan segenap hak-hak politik yang menempel dengan keanggotaan sebagai “umat” (ummah) yang bersama-sama melampaui batas negara bangsa. Ini sebab menjadi belahan umat juga melibatkan proses subjektif-abstrak selain objektif-empiris.
Di samping menelaah secara historis keberadaan kelas menengah Muslim, Kuntowijoyo juga melaksanakan eksplorasi konseptual ihwal pertautan antara Islam dan kelas sosial. Islam mengakui adanya diferensiasi sosial maupun polarisasi sosial, namun juga mengusung impian ditegakkannya keadilan sosial dan egalitarianisme. Jika dalam marxisme* pembagian kelas berdasarkan pada ukuran pemilikan alat-alat produksi, maka dalam Islam pembelahan kelas berdasarkan pada ukuran keadilan. Oleh sebab itu, kelas sosial dalam Islam terbagi dua: kelas mustadh’afin (tertindas) dan kelas zalim (penindas). Ini berbeda dengan konsep kelas berdasarkan marxisme* yang membagi kelas sosial ke dalam kelas buruh (proletar) dan majikan (kapitalis). Dalam perspektif Islam, “kesadaran kelas”, bagi Kuntowijoyo yaitu kepada siapa kita secara etis dan akhlak harus memihak. Dengan kata lain, pemihakan kelas dalam Islam bertujuan hendak menegakkan keadilan dan bukan semata-mata penggulingan kelas sosial tertentu menyerupai dalam paham marxisme ortodoks.
Karenanya, keterlibatan Muslim dalam penegakan impian keadilan itu tak sekedar menjadi imperatif sosial, tetapi sanggup pula dipandang mempunyai bobot religiusitas yang tinggi sebab dihitung mempunyai nilai ibadah. Kendatipun Islam mengakui adanya ketimpangan sosial, tak berarti Islam menoleransinya, malahan justru mengecam terjadinya monopoli dan konsentrasi. Surah al-Hasyr [59] ayat 7 dengan terang-benderang menyerukan kekayaan—termasuk kekuasaan dan kehormatan—tak boleh beredar hanya di kalangan kaya. Dengan kata lain, bagi Kuntowijoyo, Islam tidak anti modal dan kepemilikan pribadi, tetapi menghendaki struktur yang menjamin faktor ekonomi yang penting terdistribusi secara adil.
Tak mengherankan, berdasarkan Kuntowijoyo, Islam akrab dengan gagasan partai sosialis-demokrat yang menghendaki perombakan modal secara sistematis dan demokratis. Dengan demikian, berbeda dengan pandangan marxisme ortodoks, gerakan kelas dalam Islam tidak berusaha mengantarkan kelas atau golongan yang lemah (mustadh’afin) menuju pada kediktatoran baru, melainkan melaksanakan transformasi demi terciptanya struktur-struktur yang adil. Dengan kata lain, sasaran utama proses transformasi sosial tidaklah sekedar menumbangkan mereka yang berkuasa, melainkan pada perombakan struktur.
Sumber
Budi Irawanto dalam Kuntowijoyo. 2017. Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Download
Baca Juga
Islam Sebagai Gerakan Sosial di Indonesia
Menurut Kuntowijoyo, kelas menengah Muslim di Indonesia sanggup dipilah ke dalam tiga golongan. Golongan pertama yang lazim disebut dengan santri merupakan Muslim yang berorientasi pada kebudayaan Islam. Golongan kedua terdiri dari Muslim yang berorientasi pada tradisi atau adat. Terakhir, golongan ketiga, yaitu Muslim yang berorientasi pada anutan sekuler Barat. Di antara ketiga golongan tersebut, berdasarkan Kuntowijoyo, golongan santri mempunyai sejarah yang panjang dan paling dinamis. Lazimnya golongan santri ini bermukim di akrab pusat kekuasaan (daerah ini di Jawa dikenal dengan sebutan “Kauman”) sekaligus menjadi tempat mereka menjalankan acara komersial dan perdagangan.
Secara historis, kelas menengah Muslim santri mengalami proses evolusi dari “massa” menjadi “umat” dan karenanya “warga negara”. Tentu saja, proses perubahan itu bukan masalah yang gampang dan tak jarang membawa sejumlah persoalan. Pada era XIX golongan santri memelopori perbaikan pendidikan di pedesaan. Selanjutnya, pada era XX, di tengah kemerosotan kesejahteraan rakyat pada umumnya, golongan santri mendirikan organisasi Sarekat Islam (SI) yang bertujuan mengatasi masalah kemiskinan dan menautkan masyarakat pribumi ke dalam perekonomian dunia. Meski demikian, bukan proses yang gampang saat kelas menengah Muslim santri mengalami transformasi menjadi “warga negara” di awal kemerdekaan Indonesia. Masih mengendapnya ketidakpercayaan kalangan priyayi dengan golongan santri telah ikut mempersulit proses itu. Apalagi mencuatnya sejumlah pemberontakan di kawasan sebab ketidakpuasan pada pemerintah pusat menjadi kerikil ujian loyalitas golongan santri kepada Republik. Di sini Kuntowijoyo telah menyoal ketegangan yang muncul antara masalah “kewarganegaraan” (citizenship) dengan segenap hak-hak politik yang menempel dengan keanggotaan sebagai “umat” (ummah) yang bersama-sama melampaui batas negara bangsa. Ini sebab menjadi belahan umat juga melibatkan proses subjektif-abstrak selain objektif-empiris.
Di samping menelaah secara historis keberadaan kelas menengah Muslim, Kuntowijoyo juga melaksanakan eksplorasi konseptual ihwal pertautan antara Islam dan kelas sosial. Islam mengakui adanya diferensiasi sosial maupun polarisasi sosial, namun juga mengusung impian ditegakkannya keadilan sosial dan egalitarianisme. Jika dalam marxisme* pembagian kelas berdasarkan pada ukuran pemilikan alat-alat produksi, maka dalam Islam pembelahan kelas berdasarkan pada ukuran keadilan. Oleh sebab itu, kelas sosial dalam Islam terbagi dua: kelas mustadh’afin (tertindas) dan kelas zalim (penindas). Ini berbeda dengan konsep kelas berdasarkan marxisme* yang membagi kelas sosial ke dalam kelas buruh (proletar) dan majikan (kapitalis). Dalam perspektif Islam, “kesadaran kelas”, bagi Kuntowijoyo yaitu kepada siapa kita secara etis dan akhlak harus memihak. Dengan kata lain, pemihakan kelas dalam Islam bertujuan hendak menegakkan keadilan dan bukan semata-mata penggulingan kelas sosial tertentu menyerupai dalam paham marxisme ortodoks.
Karenanya, keterlibatan Muslim dalam penegakan impian keadilan itu tak sekedar menjadi imperatif sosial, tetapi sanggup pula dipandang mempunyai bobot religiusitas yang tinggi sebab dihitung mempunyai nilai ibadah. Kendatipun Islam mengakui adanya ketimpangan sosial, tak berarti Islam menoleransinya, malahan justru mengecam terjadinya monopoli dan konsentrasi. Surah al-Hasyr [59] ayat 7 dengan terang-benderang menyerukan kekayaan—termasuk kekuasaan dan kehormatan—tak boleh beredar hanya di kalangan kaya. Dengan kata lain, bagi Kuntowijoyo, Islam tidak anti modal dan kepemilikan pribadi, tetapi menghendaki struktur yang menjamin faktor ekonomi yang penting terdistribusi secara adil.
Tak mengherankan, berdasarkan Kuntowijoyo, Islam akrab dengan gagasan partai sosialis-demokrat yang menghendaki perombakan modal secara sistematis dan demokratis. Dengan demikian, berbeda dengan pandangan marxisme ortodoks, gerakan kelas dalam Islam tidak berusaha mengantarkan kelas atau golongan yang lemah (mustadh’afin) menuju pada kediktatoran baru, melainkan melaksanakan transformasi demi terciptanya struktur-struktur yang adil. Dengan kata lain, sasaran utama proses transformasi sosial tidaklah sekedar menumbangkan mereka yang berkuasa, melainkan pada perombakan struktur.
Sumber
Budi Irawanto dalam Kuntowijoyo. 2017. Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Download
Baca Juga
Islam Sebagai Gerakan Sosial di Indonesia
Belum ada Komentar untuk "Persoalan Kelas Sosial Dalam Masyarakat Muslim Di Indonesia"
Posting Komentar