Mulla Shadra. Kebangkitan Jasmani

Sebagaimana Al-Ghazali*, yang mengakui adanya kebangkitan jasmani pada hari alam abadi nanti, begitu pula Mulla Shadra. Akan tetapi, terdapat prinsip yang berbeda dalam rasionalisasi kebangkitan jasmani tersebut meskipun secara substantif sama. Mulla Shadra mempunyai sepuluh hal yang merupakan dalil Shadra, khususnya, mengenai kehidupan fisik setelah mati. Berikut ini yakni ikhtisar prinsip penting filsafatnya dan konsekuensinya, sebagaimana disebutkan dalam goresan pena Fazlur Rahman, yaitu sebagai berikut.
1. Faktor dasar dalam realitas yakni wujud dan bukan esensi atau idea abstrak.
2. Perbedaan sesuatu dari lainnya, sebagai entitas individual, menurut wujudnya yang merupakan wujudnya sendiri; apa yang disebut “kualitas-kualitas dan aksiden-aksiden individual” wujud partikular, dan ditimpa pemindahan (sedang entitas individual terus berkembang dan berjalan).
3. Wujud, yang merupakan substansi sesuatu yang tunggal, berubah dan berkembang melalui dirinya. Perubahan ini terjadi dari yang kurang intern ke yang lebih intens, yakni wujud yakni “lebih atau kurang” wujud. Selama perubahan dan gerak ini, bagian-bagian gerak—saat atau “masa-masa”-nya, tidak mempunyai wujud sebenarnya, tetapi hanya wujud potensial (yaitu, hanya sebagai esensi, wujud mereka hanya ada dalam pikiran). Gerak sebagai suatu keseluruhan mempunyai wujud dan wujud ini yakni wujud keseluruhan yang merupakan “entitas” sesuatu yang menyatu.


4. Dan 5. Karena yang merupakan entitas sesuatu yakni keseluruhan gerak dan lantaran gerak berkembang (yakni, dari yang kurang intens ke yang lebih intens), entitas identik dengan bentuk simpulan sesuatu sebagai terminus ad quem (titik akhir). Istilah-istilah gerak sebelumnya, baik potensi maupun materialnya, bukan merupakan entitasnya. Oleh lantaran itu, dalam hal-hal yang tersusun dari genus dan diferensia, ia merupakan diferensia terakhir, bentuk positif yang merupakan entitas yang sebelumnya.
6. Entitas sesuatu yang menyatu bukanlah urutan yang sama. Karena derajat wujud berkembang, aneka macam kemungkinan gres pun terbuka. Misalnya, pada tingkat material, bagian-bagian saling ekslusif sehingga, hitam dan putih tidak sanggup menjadi satu dalam sesuatu yang material. Karena wujudnya berkembang, bentuk-bentuk yang meningkat lebih tinggi bisa mengandung pertentangan dan menyintesisnya dalam bentuk tunggal, hingga jiwa insan pada tingkat intelektual secara sewenang-wenang menjadi keseluruhan wacana realitas: “hakikat tunggal yakni segala sesuatu”.
7. Bahwa kesatuan tubuh disebabkan oleh jiwa yang merupakan bentuknya yang terakhir. Badan meskipun dalam gerak terus-menerus, ia tetap tubuh yang sama dalam suatu pengertian. Bahkan, ketika tubuh beralih menjadi imajinasi, ibarat dalam mimpi, ia tetap tubuh yang sama. Demikian juga, dalam kehidupan sehabis mati, tubuh memelihara identitasnya, meskipun ia berubah secara mendasar, lantaran misalnya, tidak lagi tubuh material. Jika diajukan pertanyaan mengenai tubuh A, apakah ia sama dengan tubuh A pada usia muda dan tua, dari sudut pandang tubuh sebagai materi, ia tentu tidak sama, tetapi dari sudut pandang badan, yang dianggap sebagai genus, ia tentu sama. Akan tetapi, ketika pertanyaan diangkat wacana kepribadian A, apakah sama ketika ia masih kanak-kanak, muda ataukah tua, jawabannya tentu “ya”. Oleh lantaran itu, tubuh dan kepribadian A dalam kehidupan sehabis mati secara identik sama dengan yang ada dalam kehidupan ini—dan sepanjang kehidupan ini.
8. 9. dan 10. Daya imajinasi, ibarat telah dibuktikan dalam teori pengetahuan, bukanlah fakultas yang ada dalam badan, contohnya otak. Ia tidak ada, lebih-lebih objek-objeknya, dalam dunia ruang ini. Oleh lantaran itu, ibarat telah dibuktikan sebelumnya, imajinasi—dan bentuk-bentuk kognitif secara umum—tidak dalam jiwa sebagai instrumen memersepsi. Sebaliknya, imajinasi hanya merupakan ciptaan jiwa secara gradual ibarat dalam perkara bentuk material dalam dunia fisik. Dalam kehidupan sehabis mati, imajinasi-imajinasi ini akan menjadi intens dan terus berlangsung lantaran jiwa bebas dari tubuh material. Oleh lantaran itu, nirwana dan neraka menjadi entitas-entitas yang terus berlangsung.

Kesimpulannya, Shadra menegaskan bahwa tubuh sebagaimana ia akan “dibangkitkan” (yakni, diciptakan oleh jiwa) secara identik yakni sama dengan tubuh ini, kecuali bahwa tubuh tersebut bukan material. Shadra pada titik ini menduduki posisi yang sama dengan Al-Ghazali*, dan mencela pandangannya wacana kebangkitan tubuh sebagai varian dari perpindahan jiwa.

Dalam karyanya, Syawahid, Shadra membicarakan kehidupan setelah mati sebagai “perpindahan (intiqal) jiwa dari tubuh ini ke tubuh eskatologis”, persis ibarat Al-Ghazali* wacana hakikat kenikmatan dan kesengsaraan setelah mati. Perbedaannya bahwa Shadra menyandarkan ajarannya pada prinsip gerak substantif (harakah jauhariyyah) dan teorinya mengenai dunia imajinasi. Meskipun demikian, akar-akarnya ada pada Al-Ghazali* dan Ibnu Sina*, dan Shadra dengan segala perbaikannya, intinya berutang akal kepada keduanya. Sedangkan gerak substantif, tentu, milik Mulla Shadra.

Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Mulla Shadra. Riwayat Hidup
2. Mulla Shadra. Karya Filsafat
3. Mulla Shadra. Pemikiran Filsafat
4. Kunci Filsafat Mulla Shadra 
5. Mulla Shadra. Pemikiran Teologis
6. Mulla Shadra. Dasar-Dasar Filsafat Hikmah

Belum ada Komentar untuk "Mulla Shadra. Kebangkitan Jasmani"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel