Makalah Prinsip-Prinsip Dalam Syariat Islam Di Aceh - Studi Syariat Islam Di Aceh

A.    Pengertian Syariat Islam
Syari’at Islam merupakan aturan aturan yang ditetapkan Allah untuk kemaslahatan ummat manusia. Hukum atau peraturan dalam menjalankan dan mengamalkan agama Allah termasuk syari’at Islam. peraturan yang telah ditetapkan Allah kepada manusia, baik hubungannya terhadap Allah, maupun kekerabatan terhadap sesama manusia, alam dan kehidupan.
Dalam buku Fathurrahman Djamil dijelaskan syari’ah secara etimologis (bahasa) berarti “jalan daerah keluarnya air untuk minum’’. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus diturut. Sedangkan secara terminologis (istilah) syari’ah,menurut syaikh Mahmud syaltut, mengandung arti hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syari’ahkan bagi hambanya yang harus diikuti. Menurut Faruq Nabhan, secara istilah,syari’ah berakti “ segala sesuatu yang disyari’atkan Allah kepada hamba-hambanya. Sedangkan berdasarkan manna al-qathan, syari’ah berakti “segala ketentuan Allah yang disyari’ah bagi hamba-hambanya, baik menyakut akidah, ibadah, aklahlak maupun mu’malah. Istilah syari’ah erat kaitannya dengan istilah tasyri’. Syari’ah tertuju pada materi hukum, sedangkan tasyri’ merupakan penetapan materi syari’ah tersebut. Pengetahuan wacana taysri’ berakti pengetahuan wacana cara, proses, dasar, dan tujuan Allah memutuskan aturan - aturan tersebut.[1]
Hukum secara umum belum mutlak dinamakan Syari’at Islam dalam masa modern. Sebab aturan yang bersumber dari Allah (seperti Syari’at Islam) dinamakan aturan samawi, sedangkan aturan yang dibentuk oleh insan disebut aturan wadh’i. Syari’at Islam sebagai aturan samawi berlaku mutlak sedangkan aturan wadh’i sifatnya berlaku relatif hanya berdasarkan kepada kepentingan dan kebutuhan insan dalam masa-masa tertentu.
Sebagian ulama memperlihatkan pengertian syari’at secara etimologi, berarti al-thariqah al-sunnah; atau jalan dan juga sanggup diartikan sumber mata air yang hening bening. Sedangkan pengertian/ta’rif berdasarkan terminologi/istilah yang umumnya digunakan oleh para ulama salaf, dalam memperlihatkan batas pengertian syari’at Islam sebagai suatu pedoman hidup dan ketetapan aturan yang digariskan oleh Allah SWT Secara lengkap batasan tersebut ialah “Hukum yang disyari’atkan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang telah didatangkan para Nabi-Nabi baik berafiliasi dengan cara menyebutkannya, yang dinamai fa’riyah amaliyah, yang untuknya-lah didewakan ilmu fiqih maupun yang berafiliasi dengan itiqad yang dinamai ashliyah ‘itiqadiyah yang untuknya-lah didewakan ilmu kalam dan syara itu dinamai pula Addin dan Millah”
Syari’ah dinamakan Ad-Din mempunyai pengertian bahwa ketetapan peraturan Allah yang wajib ditaati. Ummat harus tunduk melaksanakan ad-Din (syari’at) sebagai wujud ketaatan kepada aturan Allah. Ad-Din dalam bahasa Arab berarti hukum. Syari’ah dinamakan Al Millah mempunyai makna bahwa agama bertujuan untuk mempersatukan para pemeluknya dalam suatu perikatan yang teguh. sanggup pula bermakna pembukuan atau kesatuan hukum-hukum agama.
Syari’ah sering juga disebut syara’, yaitu aturan yang dijalani manusia, atau suatu aturan agama yang wajib dijalani oleh insan untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun kelak diakhirat. Menurut kamus bahasa Indonesia pengertian syari’ah ialah “Hukum agama yang diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara yang bertalian dengan agama Islam, palu memalu, hakekat balas membalas perbuatan baik (jahat) dibalas dengan baik (jahat) “.
Ada juga yang menyampaikan Syari’at Islam secara etimologi bermakna jalan menuju air mata. Secara terminology syari’at Islam dipahami sebagai aturan tuhan yang bersifat sacral yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Syari’at Islam mengandung seperangkat aturan yang mengatur kekerabatan insan dengan sesama, dan kekerabatan insan dengan alam dan lingkungan. Fazlurrahman memahami syariat dalam arti jalan kehidupan yang baik, berupa nilai-nilai agama yang diungkapkan secar fungsional dalam makna kongkrit.[2]
Sebagian yang lain juga mengemukakan Syari’ah dalam islam lazim juga disebut aturan islam,dalam hal ini Muktahsin nyak Umar membaginya dalam tiga bidang: pertama, ahkam syariyyah  i’tiqadiyyah ( berafiliasi dengan dilema akidah) yang menjadi bahasan ilmu tahuid; kedua, ahkam syar’iyyah khuluqiyah (berhubungan dengan Akhlak) yang ditangani oleh ilmu tasawuf; dan ketiga, ahkam syar’iyyah amaliyyah (berhubungan dengan perbuatan) yang menjadi bidanng bahasan ilmu fiqh dan ushul al- fiqh[3]
Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam Syariat islam secara harfiah ialah jalan (ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun suruhan yang mencakup seluruh aspek manusia. Menurut Muhammad Yusuf Musa Syariat ( legislasi ) ialah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh ALLAH untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Qur’an maupun dengan sunnah Rasul.
Dalam makna yang sanngat luas, Syari’at ini identik dengan ad-din (agama). Namun, dalam kajian yang lebih spesifik, syari’at hanya dimaknai dengan aspek aturan semata. Artinya hanya ayat-ayat ahkamlah yang menjadi target kajian, terutama bidang filsafat aturan Islam. Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber aturan Islam ternyata memuat ketentuan yang bersifat definite. Ketentuan interprentable atau dalil zhanni merupakan lahan subur bagi para juris (fuqaha) untuk melaksanakan penalaran, sehingga sanggup menghasilkan aturan-aturan aturan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan dalam ketentuan aturan yang definite (dalil qath’i) para juris sangat terbatas peluangnya untuk melaksanakan kebijaksanaan sehat (ijtihad), lantaran tujuan makna dari dalil tersebut sangat terperinci dan makna itulah yang dimaksud dengan siyaq kalam.
Al-Qur’an sebagai sumber utama syari’at Islam, memuat seperangkat aturan yang mengatur kekerabatan insan dengan Allah, kekerabatan insan antar sesame dan kekerabatan insan dengan lingkungannya. Konsep holistic syari’at ini menempatkan insan titik sentral dalam membumikan  aliran tuhan melalui penerapan syari’at Islam. Posisi insan sebagai sentral point dalam bingkai penerapan syari’at Islam mempunyai dua dimensi yang tidak sanggup dipisahkan satu sama lain. Dimensi yang dimaksud ialah insan sebagai objek pengaturan syari’at.[4]

B.Prinsip-Prisip Syari’at Islam
Syari’ah Islam mempunyai prinsip-prinsip yang secara keseluruhan merupakan kekhususan (spesifikasi) yang membedakan dengan peraturan-peraturan lainnya. Prinsip-prinsip dasar tersebut ada lima, yaitu[5] :
1.      Tidak Memberatkan
Hal ini berarti bahwa syari’ah Islam tidak membebani insan dengan kewajiban di luar kemampuannya, sehingga tidak berat untuk dilaksanakan. Firman Allah SWT antara lain :
 “...  dan Dia sekali-kali tidak mengakibatkan untuk kau dalam agama suatu kesempitan. “ (QS. Al Hajj: 78).
“... Allah menghendaki fasilitas bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ... “. (QS. Al Baqarah : 185).
 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia menerima pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia menerima siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa):”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau aturan kami kalau kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkau-lah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al Baqarah: 286).
Ayat-ayat yang bersifat umum tersebut telah dijadikan pokok dan dasar syariat. Berdasarkan ayat-ayat yang demikian itu, diadakan rukhshah, yakni aturan-aturan yang meringankan supaya jangan menempatkan orang Islam dalam keadaan yang sulit dan berat. Antara lain dalan Al Qur’an disebutkan :
1). Keringanan berbuka puasa bagi orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan :
 “... Maka barangsiapa diantara kau ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya ...” (QS. Al Baqarah: 184).
2). Keringanan bertayamum bagi orang yang dihentikan memakai air :
 “...dan kalau kau sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari daerah buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, kemudian kau tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi ia hendak membersihkan kau dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kau bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).
3). Keringanan membolehkan memakan bangkai atau masakan lainnya apabila dalam keadaan terpaksa :
 “Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).
2.      Menyedikitkan Beban
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang kalau diterangkan kepadamu akan menyusahkan kau dan kalau kau menanyakan di waktu Al Alquran itu diturunkan, pasti akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) wacana hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Maidah: 101).
Kandungan ayat tersebut memperlihatkan bahwa hal-hal yang tidak disebutkan dalam syari’at Islam tidak perlu dipertikaikan bagaimana ketentuan hukumnya, hal itu merupakan rahmat Allah SWT untuk tidak memperbanyak beban kepada umat manusia.
Sabda Rasulullah SAW :                                                   
“Rasulullah SAW.  telah ditanya wacana haji: Apakah haji itu harus dilakukan setiap tahun ? Rasulullah SAW menjawab : Jika saya katakan  ya, pasti akan menjadi wajib, maka biarkanlah apa yang saya tidak kerjakan bagimu, lantaran hancurnya orang-orang umat sebelum kau lantaran banyaknya pertanyaan mereka dan perbedaan pendapat mereka terhadap Nabi mereka.” (Al Hadits).
3.      Berangsur-angsur Dalam Menetapkan Hukum
Pada awal aliran Islam diturunkan,  Allah SWT belum memutuskan aturan secara tegas dan terperinci, lantaran bangsa Arab pada waktu itu telah memakai budpekerti kebiasaan mereka sebagai peraturan dalam kehidupan.    Pada ketika itu budpekerti mereka ada yang baik dan sanggup diteruskan, tetapi ada pula yang membahayakan dan tidak layak untuk diteruskan. Oleh lantaran itu  syari’ah secara berangsur-angsur memutuskan aturan supaya tidak mengejutkan bangsa yang gres mengenalnya, sehingga perubahan itu tidak terlalu dirasakan yang karenanya sampai  pada ketentuan aturan syari’ah yang tegas.
Tahapan-tahapan dalam memutuskan syari’ah Islam menempuh cara sebagai berikut :
1). Berdiam diri, yakni tidak memutuskan aturan kepada sesuatu, lantaran buat sementara masih perlu diperkenankan, yang kemudian akan diharamkan. Cara ini dilakukan antara lain dalam dilema warisan. Islam tidak segera membatalkan aturan warisan jahiliyah, tetapi karenanya diganti dengan aturan warisan Islam dan sekaligus membatalkan aturan warisan Jahiliyah tersebut.
2). Mengemukakan permasalahan secara mujmal, yakni dikemukakan secara terperinci. Hal ini sanggup dilihat antara lain dalam aturan peperangan, Firman Allah SWT :
 “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,” (QS. Al Hajj: 39).
3). Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, sebagaimana ditemui dalam cara mengharamkan khamar (arak). Rasulullah SAW. pernah ditanya wacana khamar dan maisir (Judi), yang sudah menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat Arab waktu itu. Firman Allah SWT :
“Mereka bertanya kepadamu wacana khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kau berfikir,” (QS. Al Baqarah: 219).
Dengan ayat tersebut, syari’ah belum memutuskan arak dan judi haram, tetapi dengan menyebut dosanya lebih besar, ada kesan melarangnya. Baru pada tahap berikutnya Allah mengharamkannya dengan perintah untuk meninggalkannya. Firman Allah :
 “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah ialah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu supaya kau menerima keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90).
4.      Memperhatikan kemaslahatan insan dalam memutuskan hukum
Allah dalam memutuskan aturan selalu memepertimbangkan kemaslahatan hidup umat manusia. Oleh lantaran itu dalam proses penetapan aturan senantiasa didasarkan pada tiga aspek :
1).  Hukum ditetapkan setelah masyarakat membutuhkan hukum-hukum tersebut.
2).  Hukum ditetapkan hanya berdasarkan kadar kebutuhan masyarakat.
3). Hukum hanya ditetapkan oleh forum pemerintah yang berhak memutuskan hukum
5. Keadilan yang merata
Menurut syariat Islam kedudukan semua orang ialah sama dihadapan Allah, yang membedakan ialah tingkatan taqwa mereka. Oleh lantaran itu orang yang kaya dengan orang yang miskin sama dihadapan Allah dalam hal pengadilannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al Maidah: 8.
 “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kau jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kau untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih erat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kau kerjakan”. (QS. Al Maidah: 8).[6]

C.    Tujuan Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh
Syari’at Islam sama sekali tidak bertujuan untuk menganiaya manusia, bahkan berdasarkan Islam hewan dan lingkungan pun dihentikan dizhalimi. Tujuan syari’at Islam ialah untuk memelihara hak-hak asasi insan dan member mereka derma serta keselamatan atau kedamaian. Karena itu merasa takut terhadap syari’at Islam, apalagi memusuhinya ialah perilaku dan tindakan tidak beralasan. Meskipun demikian ketentuan-ketentuan normatif semacam ini harus diwujudkan dalam aktualisasinya dan ini tentu saja merupakan salah satu pekerjaan rumah umat Islam untuk membuktikannya dalam kenyataan.[7]
Tujuan dari pelaksanaan syari’at Islam ada lima pokok yang menjadi landasan utama yang harus dipraktekkan dalam melaksanakannya, yaitu:
1.      Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)
Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang hendak merusak aqidah, ibadah dan moral umat. Ajaran Islam memperlihatkan kebebasan untuk menentukan agama, ibarat ayat Al-Quran:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Akan tetapi, untuk terpeliharanya aliran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin, maka Allah SWT telah menciptakan peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan murtad:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisaa [4]: 48).
2.      Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)
Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh lantaran itu, diberlakukanlah aturan qishash yang merupakan suatu bentuk aturan pembalasan. Seseorang yang telah membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melaksanakan kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan kalau si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan, atau daiat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini:
“Barangsiapa menerima pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani lantaran para calon pembunuh akan berpikir ulang untuk membunuh lantaran nyawanya sebagai taruhannya. Dengan begitu,  jiwa orang beriman akan terpelihara.
3.      Memelihara kebijaksanaan (Hifzh al-’aqli)
Kedudukan kebijaksanaan insan dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal insan dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah) menuju insan kamil. Salah satu cara yang paling utama dalam memelihara akan ialah dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Syariat Islam akan memelihara umat insan dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa perjudian.
4.      Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)
Islam secara terperinci mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat Islam telah terperinci ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang dihentikan dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:
“Dan janganlah kau nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun ia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kau untuk (menjalankan) agama Allah, kalau kau beriman
kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) sanksi mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan emosional (dengan disaksikan banyak orang) supaya para pezina bertaubat.
5.      Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)
Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman, lantaran Islam mengenal sanksi Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang tertulis di dalam Al-Quran:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan alasan yang sangat berpengaruh sebelum diputuskan. Makara bukan berarti orang mencuri dengan serta merta dieksekusi potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya serta kadarnya. Jika ia mencuri lantaran lapar dan hanya mengambil beberapa butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong tangan. Berbeda dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan menyalahgunakan jabatannya, tentunya sanksi berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi andalan dalam menjaga suasana tertib masyarakat terhadap banyak sekali tindak pencurian.
Jadi terperinci bahwa pelaksanaan syari’at tidak melanggar hak asasi manusia. Pada kenyataan yang kita lihat dengan adanya syari’at malah menjadi kenyaman dan kedamain dalam kehidupan, lantaran Islam tidak hanya dikhususkan bagi insan atau bagi orang-orang muslim saja. tetapi Islam ialah rahmatul lil alamin (rahmat bagi sekalian alam). Dan Islam juga lebih Rasional dari agama-agama lain. Dengan demikian sangat tidak mungkin peraturan-peraturan (syari’at-syari’at) Islam jauh dari logika. Hanya bagi orang-orang yang menutup hatinya dari kebenaran yang tidak masuk kebijaksanaan pikirannya.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pengertian syari’at secara etimologi, berarti al-thariqah al-sunnah; atau jalan dan juga sanggup diartikan sumber mata air yang hening bening. Sedangkan pengertian/ta’rif berdasarkan terminologi/istilah yang umumnya digunakan oleh para ulama salaf, dalam memperlihatkan batas pengertian syari’at Islam sebagai suatu pedoman hidup dan ketetapan aturan yang digariskan oleh Allah SWT.
2.      Prinsip-prinsip dalam melaksanakan syari’at ada lima yaitu:
a.       Tidak memberatkan.
b.      Menyedikitkan beban.
c.       Berangsur-angsur dalam memutuskan hukum.
d.      Memperhatikan kemaslahatan dalam memutuskan hukum.
e.       Keadilan yang merata.
3.      Tujuan pelaksanaan syari’at Islam ada lima yaitu:
a.       Memelihara kemaslahatan agama.
b.      Memelihara jiwa.
c.       Memelihara akal.
d.      Memelihara keturunan dan kehormatan.
e.       Memelihara harta benda.

B.     Saran-Saran
1.      Makalah Studi Syari’at Islam di Aceh ini dibutuhkan menjadi masukan dan materi suplemen dalam memahami perkara-perkara Syari’at Islam.  Penulis juga mengharapkan makalah ini sanggup dikembangkan oleh para pembaca.



DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Syahrizal Abbas, Syari’at Islam, Banda Aceh: Dinas syari’at Islam Provinsi Aceh, 2009.
Jabbar Sabil, Ridwansyah, dkk, Syari’at Islam di Aceh: Problematika Implementasi Syari’ah,           Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh, 2009
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003.
Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi Syari’at Islam di Aceh, Aceh: Pena, 2009.




[1]  Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999) hal, 7.
[2]  Syahrizal Abbas, Syari’at Islam, (Banda Aceh: Dinas syari’at Islam Provinsi Aceh, 2009) hal, 9.
[3]  Jabbar Sabil, Ridwansyah, dkk, Syari’at Islam di Aceh: Problematika Implementasi Syari’ah, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh, 2009) hal, 110.
[4]  Syahrizal Abbas, Syari’at Islam… hal, 12.
[5] [5]  Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,… hal, 66
[6]   Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam hal, 66-75
[7]  Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003) hal, 47

Belum ada Komentar untuk "Makalah Prinsip-Prinsip Dalam Syariat Islam Di Aceh - Studi Syariat Islam Di Aceh"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel