Makalah Pengertian Kebijakan Moneter Dalam Islam


Kebijakan Moneter yaitu kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Untuk mengatasi krisis ekonomi yang sampai kini masih terus berlangsung, disamping harus menata sektor riil, yang tidak kalah penting yaitu meluruskan kembali sejumlah kekeliruan pandangan di seputar kasus uang. Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga serpihan dunia lain, bekerjsama dipicu oleh dua lantaran utama, yang semuanya terkait dengan kasus uang.
a.       Pertamapersoalan mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara ketika ini niscaya terikat dengan mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap dolar AS), tidak pada dirinya sendiri sedemikian sehingga nilainya tidak pernah stabil lantaran kalau nilai mata uang tertentu bergejolak, niscaya akan menghipnotis kestabilan mata uang tersebut.
b.      Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik laba (interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang.[1]
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter sanggup digolongkan menjadi dua, yaitu:
Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada ketika perekonomian mengalami resesi atau depresi. Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)

Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada ketika perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)[2]
Berkenaan dengan mata uang, Islam mempunyai pandangan yang khas. Abdul QodimZallum mengatakan bahwa sistem moneter atau keuangan yaitu sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara. Yang paling penting dalam setiap sistem keuangan yaitu penentuan satuan dasar keuangan (al-wahdatu al-naqdiyatu alasasiyah) dimana kepada satuan itu dinisbahkan seluruh nilai-nilai banyak sekali mata uang lain. Apabila satuan dasar keuangan itu yaitu emas, maka sistem keuangan/moneternya dinamakan sistem uang emas. Apabila satuan dasarnya perak, dinamakan sistem uang perak. Bila satuan dasarnya terdiri dari dua satuan mata uang (emas dan perak), dinamakan sistem dua logam. Dan kalau nilai satuan mata uang tidak dihubungkan secara tetap dengan emas atau perak (baik terbuat dari logam lain menyerupai tembaga atau dibentuk dari kertas), sistem keuangannya disebut sistem fiat money. Dalam sistem dua logam, harus ditentukan suatu perbadingan yang sifatnya tetap dalam berat maupun kemurnian antara satuan mata uang emas dengan perak. Sehingga bisa diukur masing-masing nilai antara satu dengan lainnya, dan bisa diketahui nilai tukarnya. Misalnya, 1 dinar emas syar'i bertanya 4,25 gram emas dan 1 dirham perak syar'iy beratnya 2,975 gram perak.
Sistem uang dua logam inilah yang diadopsi oleh Rasulullah SAW. Ketika itu kendati memakai sistem uang dua logam, Rasulullah SAW memang tidak mencetak dinar dan dirham emas sendiri, tapi memakai dinar Romawi dan dirham Persia (ini juga memperlihatkan bahwa sistem uang dua logam tidak langsung hanya dilakukan oleh ummat Islam). Demikian seterusnya, sistem dua logam itu diterapkan oleh para khalifah sampai masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (79H). Baru di masa itulah dicetak dinar dan dirham khusus dengan corak Islam yang khas. Dengan cara itu, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku akan dijaga oleh nilai instrinsiknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu emas atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Maka, seberapapun contohnya dollar Amerika naik nilainya, mata uang dinar akan mengikuti senilai dollar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1 dinar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi dan non ekonomi yang memicunya ada) tidak akan terjadi. Sehingga gejolak ekonomi menyerupai kini ini Insya Allah juga tidak akan terjadi. Penurunan nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi. Yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas). Diantaranya akhir ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya, oleh lantaran inovasi emas besar-besaran biasanya memerlukan perjuangan eksplorasi dan eksploitasi yang disamping memakan investasi besar, juga waktu yang lama. Tapi, andaipun hal ini terjadi, emas temuan itu akan segera disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke pasaran. Secara demikian imbas inovasi emas terhadap penurunan nilai emas di pasaran bisa ditekan seminimal mungkin.Disinilah pentingnya ketentuan emas sebagai milik umum harus dikuasai oleh negara.
Secara syar'i pemanfaatan sistem mata uang dua logam juga selaras dengan sejumlah kasus dalam Islam yang menyangkut uang. Diantaranya wacana nisab zakat harta yang 20 dinar emas dan 200 dirham perak, larangan menimbun harta (kanzu al-mal,bukan idzkar atau saving) dimana harta yang dimaksud disitu yaitu emas dan perak, sebagaimanan disebut dalam Surah At Taubah 34. Juga berkaitan dengan ketetapan besarnya diyat dalam kasus pembunuhan (sebesar 1000 dinar) atau batas minimal pencurian (1/4 dinar) untuk sanggup dijatuhi eksekusi potong tangan. Itu semua memperlihatkan bahwa standar keuangan (monetary standard) dalam sistem keuangan Islam yaitu uang emas dan perak.
Untuk menuju sistem uang dua logam, Abdul Qodim Zallum menyarankan sejumlah hal. Diantaranya, menghentikan pencetakan uang kertas dan menggantinya dengan uang dua logam dan menghilangkan kendala dalam ekspor dan impor emas[3]. Pemanfaatan emas sebagai mata uang tentu akan mendorong eksplorasi dan eksploitasi emas (mungkin secara besar-besaran) untuk mencukupi kebutuhan transaksi yang semakin meningkat.

2.      Sejarah Kebijakan Moneter
Sistem moneter sepanjang zaman telah mengalami banyak perkembangan, sistem keuangan inilah yang paling banyak di lakukan studi empiris maupun historis kalau di bandingkan dengan disiplin ilmu ekonomi lainnya.sistem keuangan pada zaman Rosulullah di gunakan bimatalic standard yaitu emas dan perak (dirham dan dinar) lantaran keduanya merupakan alat pembayaran yang sah dan beredar di masyarakat. Nilai tukar emas dan perak pada masa Rosulallah ini relative stabil dengan nilai kurs dirham-dinar 1:10, namun demikian, setabilitas nilai kurs pernah mengalami gangguan lantaran adanya disequilibrium antara supply dan demand. Misalkan pada masa bani umayyah (41/662-132/750) rasio kurs antara dinar-dirham 1:12, sedangkan pada masa abbasiyah (132/750-656/1258) berada pada kisaran 1:15.
Pada masa yang lain nilai tukar dirham-dinar mengalami fluktuasi dengan nilai oaling rendah pada level 1:35-1:50. Instabilitas dalam nilai tukar yang ini akan menjadikan terjadinya bad coins out of circulations atau kualitas jelek akan menggantikan uang kualitas baik, dalam literature konvensional tragedi ini di sebut aturan Gresham. Seperi yang pernah terjadi pada masa pemerintahan bany mamluk (1263-1328), dimana mata uang yang beredar tersebut dari fulus (tembaga) mendesak keberadaan uang  logam emas dan perak . oleh ibnu taimiyah di katakana bahwa uang dengan kualitas rendah akan menendang keluar uang kualitas baik.
Perkembangan emas sebagai standar dari uang beredar mengalami tiga kali evolusi yaitu:
a.       The gold cins standard : di mana logam emas mulia sebagai uang yang aktif dalam peredaran
b.      The gold bullion standard : di mana logam emas sebagai para meter dalam memilih nilai tukar uang yang beredar.
c.       The gold exchange standard (bretton woods system): di mana otoritas moneter memilih nilai tukar domestic currency dengan foreign currency yang bisa di back-up secara penuh oleh cadangan emas yang di miliki. Dengan perkembangan sistem keuangan yang demikian pesat telah memunculkan uang fiducier (kredit money) yaitu uang yang keberadaannya tidak diback-up oleh emas dan perak
3.      Tujuan
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 wacana Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain yaitu kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, semenjak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut memakai instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga sanggup melaksanakan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah. [4]


Baca Juga

4.      Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter dalam Konvensional dan Syari’ah.
Ada tiga instrument utama yang dipakai untuk mengatur jumlah uang yang beredar:
a.       Operasi pasar terbuka (Open Market Operation)
Adalah pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara menjual atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah (government security)
b.      Fasilitas diskonto (Discounto Rate)
Yadyang dimaksud dengan tingkat bunga diskonto yaitu tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bak umum yang menjamin ke bank sentral.
c.       Rasio cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio)
Penetapan rasoio cadangan wajib juga sanggup mengubah jumlah uang yang beredar. Jika rasio cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank menyampaikan kredit akan lebih kecil disbanding sebelumnya.
d.      Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Dengan imbauan moral, otoritas moneter mencoba mengarahkan atau mengendalikan jumlah uang beredar. [5]
Secara prinsip, tujuan kebijakan moneter islam tidak berbeda dengan tujuan kebijakan moneter konvensional yaitu menjaga stabilitas dari mata uang (baik secara internal maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi yang merata yang diharapkandapat tercapai. Stabilitas dalam nilai uang tidak terlepas dari tujuan ketulusan dan keterbukaan dalam berafiliasi dengan manusia. Hal ini disebutkan AL Qur’an dalam QS.Al.An’am:152
…………وَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ…….
“……. Dan sempurnakanlah dosis dan timbangan dengan adil. …”
Mengenai stabilitas nilai uang juga ditegaskan oleh M. Umar Chapra (Al Alquran Menuju Sistem Moneter yang Adil), kerangka kebijakan moneter dalam perekonomian Islam yaitu stok uang, sasarannya haruslah menjamin bahwa pengembangan moneter yang tidak berlebihan melainkan cukup untuk sepenuhnya sanggup mengeksploitasi kapasitas perekonomian untuk menyampaikan barang dan jasa bagi kesejahteraan sosial umum.
Walaupun pencapaian tujuan hasilnya tidak berbeda, namun dalam pelaksanaannya secara prinsip, moneter syari’ah berbeda dengan yang konvensional terutama dalam pemilihan sasaran dan instrumennya. Perbedaan yang fundamental antara kedua jenis instrumen tersebut yaitu prinsip syariah tidak membolehkan adanya jaminan terhadap nilai nominal maupun rate return (suku bunga). Oleh lantaran itu, apabila dikaitkan dengan sasaran pelaksanaan kebijakan moneter maka secara otomatis pelaksanaan kebijakan moneter berbasis syariah tidak memungkinkan memutuskan suku bunga sebagai target/sasaran operasionalnya. [6]
Adapun instrumen moneter syariah yaitu aturan syariah. Hampir semua instrumen moneter pelaksanaan kebijakan moneter konvensional maupun surat berharga yang menjadiunderlying-nya mengandung unsur bunga. Oleh lantaran itu instrumen-instrumen konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates, discount rate, open market operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan didepan) tidak sanggup dipakai pada pelaksanaan kebijakan moneter berbasis Islam. Tetapi sejumlah instrument kebijakan moneter konvensional berdasarkan sejumlah pakar ekonomi Islam masih sanggup dipakai untuk mengontrol uang dan kredit, menyerupai Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and change in monetary base.
Dalam ekonomi Islam, tidak ada sistem bunga sehingga bank sentral tidak sanggup menerapkan kebijakan discount rate tersebut.  Bank Sentral Islam memerlukan instrumen yang bebas bunga untuk mengontrol kebijakan ekonomi moneter dalam ekonomi Islam. Dalam hal ini, terdapat beberapa instrumen bebas bunga yang sanggup dipakai oleh bank sentral untuk meningkatkan atau menurunkan uang beredar. Penghapusan sistem bunga, tidak menghambat untuk mengontrol jumlah uang beredar dalam ekonomi.
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain :[7]
a.        Reserve Ratio
Adalah suatu presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh banksentral, contohnya 5 %.  Jika bank sentral ingin mengontrol jumlah uang beredar, sanggup menaikkan RR contohnya dari 5 persen menjadi 20 %, yang dampaknya sisa uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih sedikit, begitu sebaliknya.
b.        Moral Suassion
Bank sentral sanggup membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan depresi.Dampaknya, kredit dikucurkan maka uang sanggup dipompa ke dalam ekonomi.
c.         Lending Ratio
Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah Lending (meminjamkan), lending ratio dalam hal ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).
d.        Refinance Ratio
Adalah sejumlah proporsi dari derma bebas bunga. Ketika refinance  ratio meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance
ratio turun, bank komersial harus hati-hati lantaran mereka tidak di dorong untuk menyampaikan pinjaman.
e.         Profit Sharing Ratio
Ratio bagi laba (profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis.  Bank sentral sanggup memakai profit sharing ratio sebagai instrumen moneter, dimana ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio laba untuk nasabah akan ditingkatkan.
f.         Islamic Sukuk
Adalah obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi, pemerintah akan mengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke bank sentral dan jumlah uang beredar akan tereduksi.  Jadi sukuk mempunyai kapasitas untuk menaikkan atau menurunkan jumlah uang beredar.
g.        Government Investment Certificate
Penjualan atau pembelian akta bank sentral dalam kerangka komersial, disebut sebagai Treasury Bills.  Instrumen ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan dijual oleh bank sentral kepada broker dalam jumlah besar, dalam jangka pendek dan berbunga meskipun kecil. Treasury Bills ini tidak bisa di terima dalam Islam, maka sebagai penggantinya diterbitkan pemerintah dengan sistem bebas bunga, yang disebut GIC: Government Instrument Certificate.
Beberapa mazhab instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain :
1.        Mazhab pertama (Iqtishaduna)
Pada masa awal islam tidak dibutuhkan suatu kebijakan moneter lantaran system perbankan hampir tidak ada dan penggunaan uang sangat minim. Jadi, tidak ada alasan yang memadai untuk melaksanakan perubahan-perubahan terhadap penawaran akan uang melalui diskresioner. Tambahan pula, kredit tidak mempunyai tugas dalam penciptaan uang lantaran kredit hanya dipakai diantara para pedagang. Selain itu, peraturan pemerintah wacana surat peminjaman (promissory notes) dan instrument perundingan (negotiable instruments) dirancang sedemikin sehingga tidak memungkinkan penciptaan uang.
Promissory notes atau bill exchange sanggup diterbitkan untuk membeli barang dan jasa atau mendapat sejumlah dana segar, namun tidak sanggup dimanfaatkan untuk tujuan kredit. Aturan-aturan tersebut menghipnotis keseimbangan antara pasar barang dan pasar uang berdasarkan transaksi tunai. Dalam nasi’a atau aturan transaksi lainnya, uang yang dibayarkan atau diterima bertujuan mendapat komoditas atau jasa.
Instrument lain yang pada ketika ini dipakai untuk mengatur jumlah peredaran uang serta mengatur tingkat suku bunga jangka pendek yaitu OMO (jual-beli surat berharga pemerintah) yang belum dikenal pada masa awal pemerintahan islam. Selain itu, tindakan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga bertentangan dengan fatwa islam yang melarang praktek riba.
2.        Mazhab Kedua (Mainstream)
Tujuan kebijakan moneter pemerintah yaitu maksimisasi alokasi sumber daya untuk acara ekonomi produktif. Alquran melarang praktek penumpukan uang (money hoarding) lantaran menciptakan uang tersebut tidak menyampaikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh lantaran itu, mazhab ini merancang sebuah instrument kebijakan yang ditujukan untuk menghipnotis besar kecilnya undangan akan uang (MD) biar sanggup dialikasikan pada peningkatan produktivitas perekonomian secara keseluruhan.
Permintaan dalam islam dikelompokkan dalam dua motif yaitu motif transaksi (transaction motive) dan motif berjaga-jaga (precautionary motive). Semakin banyak uang yang menganggur (iddle) berarti undangan akan uang untuk berjaga-jaga (MDprec)semakin besar, sedangkan semakin tinggi pajak yang dikenakan terhadap uang yang menganggur berbanding terbalik dengan permintaaan akan uang untuk berjaga-jaga. Dues of iddle fund adalah instrument kebijakan yang dikenakan pada semua asset produktif yang menganggur.
3.        Mazhab ketiga (alternative)
System kebijakan moneter yang dianjurkan oleh mazhab ini yaitu syuratiq process yaitu kebijakan yang diambil berdasarkan musyawarah bersama otoritas sector riil. Menurut pemikiran mazhab ini, kebijakan moneter adalah repeated games in game theory. Dalam hal ini, bentuk kurva penawaran dan undangan akan uang menyerupai tambang yang melilit dengan kemiringan (slope) positif akibat knowledge induced processI dan informant sharing yang baik. 
Menurut mazhab ini, keseimbangan di sector moneter yaitu derivasi keseimbangan di sector riil, sedangkan kebijakan sector moneter yaitu harmonisasi dengan kebijakan sector riil. 
Menurut Dr M.A. Choudhury, harmonisasi antara sector riil dan sector moneter menghasilkan kurva jangka panjang dari Mdan Myang berbentuk jalinan tambang, yang mendukung pertumbuhan nasional (Y).[8]












PENUTUP
Kebijakan Moneter yaitu kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Kebijakan moneter sanggup digolongkan menjadi dua, yaitu: Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy)dan Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Perkembangan emas sebagai standar dari uang beredar mengalami tiga kali evolusi yaitu:
a.       The gold cins standard : di mana logam emas mulia sebagai uang yang aktif dalam peredaran
b.      The gold bullion standard : di mana logam emas sebagai para meter dalam memilih nilai tukar uang yang beredar.
The gold exchange standard (bretton woods system): di mana otoritas moneter memilih nilai tukar domestic currency dengan foreign currency yang bisa di back-up secara penuh oleh cadangan emas yang di miliki. Dengan perkembangan sistem keuangan yang demikian pesat telah memunculkan uang fiducier (kredit money) yaitu uang yang keberadaannya tidak diback-up oleh emas dan perak.
Ada tiga instrument utama yang dipakai untuk mengatur jumlah uang yang beredar: Operasi pasar terbuka (Open Market Operation), Fasilitas diskonto (Discounto Rate), Rasio cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio), Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 wacana Bank Indonesia.
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain : Reserve RatioMoral SuassionLending RatioRefinance Ratio,Profit Sharing RatioIslamic SukukGovernment Investment Certificate


REFERENSI

1.      Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam
2.      Anita Rahmawati, Ekonomi Makro Islam
3.      Muhammad M.Ag., Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami
4.      Paul A. Samuelson & William D.Nordhaus, Ekonomi edisi 12
5.      http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter




[1] Ir.Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, hal. 22
[2] Raharja Pratama, Pengantar Ekonomi, Mandala Manurung, Jakarta, 2005, hal 269
[3] Ir.Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, hal. 23.
[5]Pratama Rahardja, Log cit 269-271
[6] Paul A. Samuelson & William D.Nordhaus, Ekonomi edisi 12, hal. 34.
[7] Muhammad M.Ag., Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami, Hal. 67.

[8] Anita Rahmawati, Ekonomi Makro Islam, hal. 234-235
Diposkan 

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Makalah Pengertian Kebijakan Moneter Dalam Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel