Makalah Aturan Keluarga Negara Aljazair

a. Sekilas Negara Aljazair
            Aljazair yang nama resminya al-Jumhuriyyah al-Jazairah ad-Dimukratiyyah ash-Sha’biyah (Arab) atau Republique Algeriance Democratique et Populaire (Perancis),[1] adalah sebuah negara terkemuka di Afrika Utara (wilayah Maghrib). Negara ini berbatasan dengan Laut Tengah di sebelah utara, Maroko di sebelah barat, Mauritania di barat daya, Mali  dan Burkina Fasoo (Afrika Barat) di sebelah  selatan serta Libya dan Tunisia di sebelah timur. Negara Aljazair berbentuk republik, mempunyai dua bahasa resmi  yaitu Arab dan Prancis. Dengan luas wilayah 2.381.741 km2, Aljazair didiami oleh 25.880.000 jiwa penduduk (berdasarkan sensus 1991). Islam sebagai agama resmi negara dianut oleh 99,1 % penduduknya, dan lebih banyak didominasi bermazhab Maliki, sedang selebihnya mengikuti aliran Ibadi.
            Dalam kurun waktu 1830 – 1848, Aljazair beralih dari kekuasaan Turki ke kekuasaan penjajah Perancis yang berlangsung secara bertahap. Tahapan tersebut dimulai pada 5 Juli 1830 ketika Perancis tiba menaklukkan Bey Husein, Gubernur di propinsi Oran, meskipun kedatangan Perancis pada awalnya untuk membebaskan para Misinaris Katolik yang ditangkap oleh penguasa Turki. Legitimasi terhadap kolonialisme Perancis ditandai dengan penandatangan suatu kapitulasi yang isi pokoknya yaitu jaminan terhadap rakyat Aljazair untuk menjalankan agamanya dan penghargaan atas tradisi rakyat Aljazair, terutama untuk tetap mempergunakan bahasa Arab dan Berber.
            Sejak awal penentangan terhadap kolonialisme ini Islam memainkan tugas yang menonjol. Hal ini sanggup dilihat dari usaha para tokoh Muslim lewat organisasi-organisasi sosial menentang Perancis.
            Perjuangan umat Islam yang terpatri pada sejarah dan merupakan komponen utama permulaan gerakan nasionalisme Aljazair yaitu gerakan kaum al-Ulama al-Muslimin. Asosiasi ini didirikan pada bulan Mei 1931 atas inisiatif sejumlah ulama Aljazair yang banyak dipengaruhi oleh gerakan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida di Mesir. Mereka berbagi keyakinan bahwa depotisme dari dalam dan penjajahan absurd dari luar yaitu dua penyakit utama yang diderita umat Islam. Syarat utama kebangkitan umat Islam yaitu melenyapkan praktik bid’ah dan menggalang persatuan di kalangan Muslimin. Sebagai hasil usaha yang mengantarkan Aljazair mencapai kemerdekaannya Ben Kadis selalu melontarkan slogannya yang amat populer, yaitu: “Aljazair negara kita, Arab bahasa kita, dan Islam agama kita”.

b. Sejarah Hukum Keluarga Muslim
            Perkembangan aturan Islam dibawah dampak Perancis di Aljazair dalam beberapa hal paralel dengan perkembangan aturan Islam dibawah dampak Inggris di India, tetapi karenanya sangat berbeda sekali. Di sebahagian besar wilayah Aljazair qadhi masalah-masalah yang biasanya berada dibawah wewenang mereka. Malahan pemerintahan Perancis memperluas penterapam aturan Islam terhadap sopan santun melampaui apa yang  pernah terjadi pada masa Aljazair dibawah kekuasaan Turki.[2] Peubahan aturan faktual jarang sekali terjadi di Aljazair. Hukum faktual di negeri tersebut hanya meliputi masalah-masalah yang bertalian dengan perwalian bagi anak-anak, perkawinan dan perceraian.
            Pada 4 Februari 1959 (dengan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam dekrit 17 September 1959) yang memutuskan bahwa perkawinan harus dilaksanakan atas persetujuan kedua mempelai, memutuskan batas umur minimum untuk kawin dan mendekritkan bahwa perceraian diputuskan kecuai oleh lantaran janjkematian hanya oleh keputusan pengadilan berdasarkan undangan suami atau isteri, atau atas undangan keduanya. Pengadilan banding selesai dilaksanakn melalui Muslim Appel Division dari pengadilan banding di Aljazair.
            Hukum Perancis juga merupakan faktor yang ikut memilih dan mempengaruhi bentuk aturan Islam yang berlaku di Aljazair.[3] Terutama sekali dampak dari pandangan-pandangan aturan para hakim Perancis di Aljazair, khususnya  Marcel Movand (meninggal 1932) yang mengepalai komisi penyusunan konsep aturan Islam Aljazair pada tahun 1906 yang karenanya diterbitkan pada tahun 1916. komisi tersebut mengadakan perubahan-perubahan aturan madzhab Maliki, dan mengambil ajaran-ajaran Madzhab Hanafi apa dirasa lebih sesuai dengan ide-ide modern. Code Morand ini memang tidak pernah menjadi aturan tetapi mempunyai  arti yang sangat penting.
            Dengan cara ini aturan Islam yang berlaku di Aljazair telah menjadi sistem aturan yang independen yang disebut: “Droit Musulman Algerien”. Tidak terdapat komperatif studi lainnya yang dilakukan untuk mempelajari perbedaan caranya teori aturan Inggeris dan Perancis mendekati masalah-masalh aturan Islam.
            Tiga tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, pemerintahan Aljazair megumumkan sebuah aturan yang ringkas yang disebut Marriage Ordinance 1959. tujuan lahirnya undang-undang ini yaitu untuk mengatur aspek-aspek tertentu dari perkawinan dan perceraian di kalangan umat Islam. Ordonansi ini memuat 12 ayat yang tujuan utamanya adalah:
1.      Mengatur tata cara pelaksanaan dan registerasi perkawinan.
2.      Meningkatkan usia nikah calon suami maupun isteri.
3.      Mengatur perceraian melalui peradilan dan ketentuan-ketentuan pasca perceraian.
Menindaklanjuti proklamasi kemerdekaan pada buan Juli 1963, Aljazair mempermaklumkan sebuah konstitusi yang menempatkan Islam sebagai agama negara.[4]
            Sebagai negara jajahan Perancis, sistem aturan Aljazair terpengaruh oleh sistem aturan Perancis dalam aturan sipil, pidana dan manajemen peradilan. Tetapi hal ini tidak menafikan aturan keluarga bermazdhab Maliki dan Ibadi yang khas lokal. Ketika negara ini dalam masa penajajahan, usaha-usaha priodik mensistemisasi dan mengkodifikasikan bagian-bagian aturan keluarga telah dilakukan dibawah panduan para mahir aturan Islam. Pada tahun 1906 spesialis aturan Perancis berjulukan Marcel Morand diberi wewenang untuk mempersiapkan rancangan aturan Islam, khususnya aturan keluarga sesuai dengan yang berlaku pada perdilan lokal. [5] Draft tersebut dipublikasikan 10 tahun kemudian dibawah titel: “Avant-Project de Code du Droit Musulman Algerien”. Sekalipun secara umum didasarkan pada mazhab Maliki, prinsip-prinsip aturan non-Maliki yang sebagaian besarnya mazdhab Hanafi ikut mewarnai rancangan undang-undang ini, lantaran pengikut mazdhab Hanafi menduduki urutan kedua sesudah Maliki. Hasil usaha Morand tersebut tidak pernah dijadikan aturan faktual lewat legislasi formal hukum, namun sanggup dicatat rancangan ini memberi dampak pada aplikasi dan manajemen aturan keluarga Islam di Aljazair.[6]
            Segera sesudah mencapai kemerdekaan Aljazair mengundangkan sebuah aturan untuk mengamandemen ordonansi 1959 dan mencabut ketentuan-ketentuan yang mengatur usia nikah. Di sampng itu, aturan gres tersebut juga mencabut aturan-aturan yang mengharuskan penganut Ibadi mengikuti ordonansi tersebut. Dengan amandemen ini berarti ketentuan aturan yang tetap berlaku sesudah tahun 1963 mengikat bagi keseluruhan warga negara.
            Setelah diundangkannya kostitusi tahun 1976, tuntutan kodifikasi aturan keluarga dan waris yang komfrehensif semakin meningkat. Untuk tujuan ini, pada  tahun 1980 telah diajukan sebuah rancangan aturan dimaksud kepada Dewan Nasional. Beberapa tahun kemudian, sesudah melewati perdebatan dan pertimbangan rancangan tersebut diterima dan ditetapkan pada tahun 1984. Aturan-aturan yang termaktub didalamnya diambil dari beberapa aliran fiqh, rancangan aturan keluarga Aljazair 1916 dan aturan keluarga yang berlaku di negra lain, khususnya Maroko.
c. Usia Nikah
            Pada pasal 7 aturan keluarga 1984 secara tegas ditetapkan usia calon mempelai pria 21 tahun dan calon mempelai permpuan 18 tahun. Usia nikah ini cukup tinggi dibandingkan dengan usia nikah yang terdapat dalam aturan keluarga di negra-negara Islam lain. Tercatat hanya Banglades yang menyamai batas mnimum usia nikah ini.
            Dapat diduga ketentuan usia nikah ini murni atas petimbangan yang lebih bersifat sosiologis, lantaran ketentuan ini tidak diambil dari pandangan mazdhab Maliki maupun mazdhab selinnya.
d. Poligami
            Hukum keluarga Aljazair membolehkan seorang pria memilki lebih dari seorang isteri dan maksimal empat, dengan syarat:
1.) ada dasar yang melatarbelakanginya;
2.) sanggup memenuhi keadilan;
3.)  memberitahukan bahwa ia akan berpoligami, baik pada isteri maupun kepada bakal calon isteri. Sementara itu seorang sanggup mengajukan agresi aturan melawan suaminya dan meminta cerai apabila perkawinan kedua berlangsung tanpa persetujuannya.
e. Persetujaun wali, saksi dan mahar
            Perkawinan hanya sanggup dilaksanakan atas persetujaun kedua belah pihak, dihadiri wali dan dua orang saksi dan harus memperlihatkan sejumlah mahar.
            Tidak dijelaskan lebih rinci ihwal wali, sehingga tidak pula diketahui bagaimana aturan keluarga Aljazair memandang kedudukan wali mujbir, suatu posisi yang diakui oleh empat imam mazhab. Demikian juga tidak ada klarifikasi ihwal jumlah mahar, berdasarkan kepantasan, kemampuan suami atau pertimbangan lainnya.
f. Perkawinan Beda Agama
            UU Aljazair secara ekplisit melarang perkawinan ibarat ini dan tidak menjelaskan perkawinan pria muslim dengan perempuan non muslim. Boleh jadi lantaran hal ini tidak dilarang, sanggup diduga bahwa perkawinan tersebut boleh dilakukan. Atau mungkin hal itu memang absurd, tidak ada perilaku konkrit pemerintah.
g. Perkawinan Beda Kewarganegaraan
            Perkawinan antar warga negara Aljazair dengan orang absurd diperbolehkan. Pasal 31 yang mengatur ketentuan ini menyampaikan bahwa warga negara Aljazair pria atau perempuan boleh menikah dengan orang absurd berdasarkan Undang-Undang.
h. Nafkah
            Seorang suami wajib memberi nafkah isteri sesuai dengan kapasitas ekonominya kecuali bila isteri telah mengabaikan kehidupan suami isteri. Suami yang mempunyai lebih dari seorang isteri harus berlaku adil dalam sumbangan semua bentuk materi. Ketentuan ini tercantum pada pasal 37 Hukum Keluarga Aljazair.
i. Masa Hamil
            Aljazair membatasi masa hamil minimal 6 bulan, sedang batas maksimal yaitu 10 bulan. Seorang anak dinasabkan kepada ayahnya, apabila lahir dalam jangka waktu 10 bulan pada kasus putusnya perkawinan, terhitung semenjak hari janjkematian suami atau hari terjadinya perceraian.
j. Perceraian dan Rujuk
            Pasal 49 mengatakan, perceraian hanya sanggup terjadi dengan putusan hakim yang didahului usaha tenang dan tidak berhasil dalam jangka waktu maksimal tiga bulan.
            Sedangkan ihwal rujuk, terdapat pada pasal 50 yaitu bila suami ingin kembali pada isteri selama berlangsungnya usaha damai, tidak perlu menciptakan janji baru. Namun bila ia kembali sesudah perceraian, hubungan mereka mesti dikukuhkan dengan janji baru.
k. Mut’ah (kompensasi)
            Bila hakim berkesimpulan bahwa suami telah menyalahgunakan hak talaknya, suami harus memberi uang kompensasi bagi isteri atas derita yang dialamimya. Demikian juga anaknya berhak menerima uang konpensasi berupa biaya. Adapun jumlah uang pemeliharaan anak dan komponsasi tersebut sesuai dengan kemampuan             Finansial suami. Hak ini hilang bila isteri kembali menikah atau dianggap bersalah lantaran tidak bermoral. [7]
l. Cerai Gugat dan Khulu’
            Isteri mempunyai dua jenis hak cerai, yaitu cerai gugat dan khulu’
1.      Cerai Gugat. Isteri sanggup mengajukan gugat cerai dengan alasan-alasan:
a.)    Suami tidak membeyar nafkah, kecuali ketika pelaksanaan perkawinan isteri sudah mengetahui ketidakmampuan suami.
b.)    Kelemahan-kelemahan suami yang menghakangi trealisasinya obtek-obyek perkawinan.
c.)    Penolakan suami untuk tinggal bersama isterinya selam lebih dari empat bulan.
d.)   Keyakinan suami yang sanggup dieksekusi dengan hilangnya hak-hak perdata selam tidak lebih dari satu tahun.
e.)    Ketidakhadiran suami selama lebih dari saatu tahun tanpa memberi nafkah.
f.)     Suatu kesalahan (pelanggaran) aturan khusunya yang berkenaan dengan pasal 8 (tentang poligami) dan 37 (pemberian nafkah).
g.)    Tindakan amoral yang patut dicela.[8]

2.      Khulu’
            Isteri diperkenankan memohon perpisahan dari suaminya melalui khulu’ atas persetujuan kedua belah pihak. Kalau antara suami isteri tidak sepakat, hakim boleh memutuskan perceraian dengan pertimbangan dan memberi kompensasi kepada suami yang jumlahnya tidak melebihi nilai mahar.[9]


BAB III
PENUTUP

            Perkembangan aturan Islam di negara Aljazair masih berkisar pada Hukum Keluarga, sedangkan hukum-hukum lainnya memakai hukum-hukum yang berasal dari negara penjajahnya, yakni Perancis.
            Dalam penyusunan hukumnya, Aljazair merujuk kepada dasar-dasar aturan yang terdapat pada fiqih Madzhab Maliki sebagai moyoritas madzhab masyarakat dan sebagian dari penganut Ibadi dan Hanafi.





















DAFTAR PUSTAKA

BritannicaEncyclopedia (USA, The University of Chicago, 1993),
Coulson, N.J,MA, Aljazair History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University, 1964
Mahmood, Tahir, Family Reform in the Muslim World, New Delhi: The Indian law Institute, 1972,
______________, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987, h.
Muzdhar, Prof. Dr. H. Atho’ (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press)
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, terj., Depag., 1985


Encyclopedia Britannica, (USA, The University of Chicago, 1993), h. 237, sebagaimana dikutip Fatahuddin Aziz Siregar dalam Hukum Keluarga Islam di Aljazair, dalam Prof. Dr. H. Atho’ Muzdhar (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press), 2003, h. 119
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, terj., Depag., 1985, h. 123.
Lihat juga: N.J Coulson,MA, Aljazair History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University, 1964, h. 171.
Tahir Mahmood, Family Reform in the Muslim World, New Delhi: The Indian law Institute, 1972, h. 129
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987, h. 15







[1] Encyclopedia Britannica, (USA, The University of Chicago, 1993), h. 237, sebagaimana dikutip Fatahuddin Aziz Siregar dalam Hukum Keluarga Islam di Aljazair, dalam Prof. Dr. H. Atho’ Muzdhar (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press), 2003, h. 119
[2] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, terj., Depag., 1985, h. 123.

[3] Lihat juga: N.J Coulson,MA, Aljazair History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University, 1964, h. 171.
[4] Tahir Mahmood, Family Reform in the Muslim World, New Delhi: The Indian law Institute, 1972, h. 129

[5] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987, h. 15

[6] Tahir Mahmood, Family Reform…, h. 129
[7] Lihat Pasal 51
[8] Pasal 57
[9] Pasal 51

Belum ada Komentar untuk "Makalah Aturan Keluarga Negara Aljazair"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel