Konsep Khilafah Dalam Islam

Negara Madinah dibangun dengan pembentukan Undang-undang Madinah (Dustur al-Madinah) pada 627, disepakati oleh semua kelompok masyarakat Madinah, dan ini mengakibatkan Muhammad sebagai kepala negara. Beberapa hal penting dalam konstitusi kemudian dihapus lantaran adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh orang Yahudi, khususnya Banu Quraizah dan Banu Qainuqa’, juga disebabkan oleh adanya wahyu yang berkelanjutan mengenai persoalan negara. Praktik negara kemudian diikuti oleh para sahabat Nabi yang disebut Khulafa’ ar-Rasyidun, mereka bukan hanya pemimpin agama tetapi juga kepala negara. Benar bahwa ada perbedaan antara Nabi dan Khalifah, lantaran yang pertama ialah wakil Allah di bumi, yang mempunyai otoritas dalam legislasi (membuat undang-undang), sedangkan yang kedua ialah sahabat Nabi yang mempunyai otoritas menafsirkan dan mengimplementasikan aturan-aturan Allah dan Nabi. Periode Rasyidun dianggap oleh kaum Muslim idealis sebagai sebuah kondisi ideal, meskipun tidak mempunyai standar sistem pemerintahan.

Praktik tersebut berarti negara disatukan dengan agama, dan oleh karenanya, Islam tidak memisahkan antara “gereja” dengan negara. Nabi, demikian juga Rasyidun, tidak mempunyai persoalan dalam menjalankan idealitas tersebut dalam bentuk “negara Madinah”. Meskipun sehabis periode Rasyidun integrasi tersebut tidak terealisasi secara penuh, secara formal bentuk tersebut dilanjutkan hingga abolisi ke-Khalifah-an masa Ustmaniyah. Relasi integrasi itu, diyakini oleh semua Muslim di dunia hingga tamat masa sembilan belas. Oleh lantaran itu, semua ulama yang memberikan teori-teori politik tidak mempertanyakan apakah Islam meliputi urusan negara atau tidak; dan apakah negara harus disatukan atau dipisahkan dengan agama. Karena kepercayaan Islam berisi ide-ide politik secara umum, terdapat majemuk pendapat ulama perihal teori-teori politik Islam, seperti: konsep negara, otoritas negara, institusi-institusi pemerintahan dan sebagainya. Teori-teori tersebut merupakan ijtihad mereka (interpretasi terhadap doktrin-doktrin Islam) menurut Qur’an, sunah dan praktik-praktik para Khalifah Islam. Di samping itu, ijtihad juga dicapai dengan mengadopsi filsafat Yunani juga Bizantium dan prinsip-prinsip dasar dari Persia.

Teori-teori politik yang penting dalam periode klasik dan pertengahan ialah konsep negara, otoritas (kekuasaan), institusi pemerintah, kepala negara, dan kekerabatan antara Muslim dengan non-Muslim. Semua setuju bahwa mendirikan sebuah negara ialah kewajiban bagi masyarakat Muslim, meskipun terdapat perbedaan antara mereka perihal sifat wajib tersebut, “kewajiban agama (wajib Syar’i) atau “kewajiban rasional” (wajib ‘Aqli) dan “kewajiban individual” (fard ‘Ain) atau “kewajiban kolektif” (fard Kifayah). Meskipun demikian, mereka melegitimasi “negara kerajaan” dan tidak mempertanyakannya, meskipun hal itu tidak sesuai dengan “negara republik” yang dikembangkan oleh Rasyidun. Tentu saja, beberapa di antara mereka juga memperkenalkan teori-teori politik menurut praktik-praktik Rasyidun, meskipun mereka bersama-sama terus mendukung sistem politik yang ada. Al-Mawardi, misalnya, memperkenalkan dua jenis suksesi, yaitu melalui pemilihan oleh “ahl Hal wal aqd” (orang yang berkompetensi dalam mempertahankan adat/melepaskan urusan publik), atau melalui penunjukan dari khalifah sebelumnya. Tetapi secara mudah ia mendukung metode suksesi yang kedua, lantaran sebagai seorang hakim yang dipilih oleh khalifah ia harus mendukung sistem politik yang ada.

Tema utama dalam teori-teori politik pada periode klasik dan pertengahan ialah konsep khilafah, meskipun beberapa ulama menyerupai Ibn Jama’ah dan Ibn Taimiyah tidak mendukung institusi ini. Institusi ini bersifat universal, artinya bahwa khalifah Islam tidak mempunyai batas negara tertentu, juga ras atau kelompok tertentu. Tentu saja, semua ulama setuju perihal keberadaan negara juga kepala negara yang disebut Imam, khalifah, shultan, atau malik yang mempunyai otoritas sentral dalam negara. Ibn Abi Rabi’, misalnya, mendeskripsikan lima kondisi yang harus dipenuhi oleh seorang raja yaitu: (1) keluarga kerajaan, (2) aspirasi yang besar, (3) fatwa yang kuat, (4) kesabaran menghadapi tantangan, (5) kekayaan yang banyak dan (6) pendukung yang loyal. Al-Mawardi dalam hal ini mendeskripsikan sepuluh kiprah publik yang harus dilaksanakan oleh kepala negara (Imam): (1) mempertahankan agama, (2) tetapkan hukum, (3) menjaga keamanan dan wilayah, (4) melakukan aturan legal, (5) melengkapi batas wilayah dengan suplai makanan dan pasukan, (6) melakukan jihad, (7) mengumpulkan fai dan shadaqah, (8) tetapkan pajak dan pembayaran denda, (9) mencari orang yang sanggup dipercaya, dan (10) mempelajari secara personal dan mempertimbangkan urusan-urusan secara personal dan tetapkan urusan tersebut dengan hati-hati.

Tugas-tugas di atas menawarkan posisi khalifah sebagai sahabat Nabi dalam mempertahankan agama dan mengatur hal-hal sekuler (khilafah an-nubuwah fi dirasah ad-din wa syasah an-diniyah). Dalam posisi ini secara prinsipil tidak ada persoalan untuk mengintegrasikan agama ke dalam negara, khususnya untuk mengimplementasikan doktrin-doktrin Islam dalam kehidupan negara. Dalam sejarah Islam, doktrin-doktrin Islam ini kebanyakan dipraktikkan dalam kehidupan personal, sosial dan politik semenjak periode Nabi hingga kedatangan kolonialisme Barat. Hukum Islam (Syari’ah) pernah menjadi aturan positif, dalam kekhalifahan, kesultanan dan kerajaan Islam, meskipun terdapat juga sejumlah penyimpangan dalam tataran praktis, khususnya lantaran intervensi pemerintah dalam praktik yudisial. Meskipun demikian, dalam periode klasik dan pertengahan, praktik negara dalam kekhalifahan Islam lebih baik dari pada praktik negara di tempat lain hingga munculnya periode pencerahan pada masa ke-17.

Sumber
Masykuri Abdillah. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta


Download

Belum ada Komentar untuk "Konsep Khilafah Dalam Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel