Konsep Ilmu Berdasarkan Pandangan Islam

Bila kita menengok pendapat al-Ghazali* dan Descartes*, ilmu yang riil harus benar-benar sanggup memastikan jalan di hadapan semua keraguan. Berikut ucapan al-Ghazali*, “Ilmu yakin yaitu ilmu yang menyingkapkan sesuatu yang diketahui secara jelas, sehingga tiada ruang lagi untuk keraguan, kesalahan atau kekeliruan”.

Bila memerhatikan wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5), kita diingatkan bahwa semenjak semula Islam membawa semangat kembar: tauhid dan keilmuan. Semangat tauhid tampak pada penyandaran ontologis insan bahwa ia diciptakan dari segumpal darah, sementara semangat keilmuan tampak pada penyandaran etis bahwa Tuhan selain Pencipta juga Pemurah yang memperlihatkan ilmu kepada insan lewat hasil ukiran pena-Nya.


Semangat kembar di atas bahkan telah diberikan Allah semenjak penciptaan Adam. Semangat keilmuan tampak pada ayat-ayat: “Dan mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya” (QS. Al-Baqarah [2]: 31); dan “Kemudian Adam mendapatkan beberapa kalimat dari Tuhannya" (QS. Al-Baqarah [2]; 37). Adapun semangat tauhid tampak pada ayat: “Dan (ingatlah), dikala Tuhanmu mengeluarkan keturunan bawah umur Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya) berfirman: “Bukankah Aku ini TuhanmuMereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan demikian itu) semoga hari selesai zaman kau tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) yaitu orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al-A’raf [7]: 172).

Pernyataan yang muncul berikut yaitu mengapa keilmuan menjadi salah satu sisi dari dua semangat kembar yang dibawa Islam? S.M. Hossain, melalui deduksi dari al-Qur’an mencoba memberi jawaban, bahwa tidak seorang pun sanggup menangkap pesan-pesan wahyu, kecuali orang-orang yang mempunyai dan memakai akalnya (QS. Ali Imran [3]:7). Kurangnya ilmu pengetahuan yang benar, sanggup menggiring insan bahagia memaki-maki orang lain dan terutama Allah (QS. Al-An’am [6]: 108), bahkan menyembah Tuhan selain Dia (QS. Al-Hajj [22]:71). Barang siapa yang mendapatkan pesan yang tersirat (ilmu), sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak (QS. Al-Baqarah [2]: 269). Bahkan hanya orang-orang yang beriman dan bakir saja yang akan ditinggikan beberapa derajat (QS. Al-Mujadilah [58]: 11). Begitu juga hanya orang-orang yang bakir yang benar-benar takut kepada Allah dan (karenanya tetap) melangkah jalan kebajikan (QS. Fatir [35]: 28). Tak heran bila di antara doa-doanya, Rasulullah SAW memohon ditambah dan dikembangkan ilmunya (QS. Taha [20]: 114).

Do’a Rasulullah SAW serta pernyataan ia yang mengandung tawaran bahkan perintah, kemudian berubah menjadi satu etos. Pernyataan ia yang telah kita kenal, seperti, “mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”; “carilah ilmu semenjak dari buaian hingga ke liang lahat”; “carilah ilmu walau hingga ke negeri Cina”; “ilmu (pengetahuan) itu milik orang mukmin yang hilang, di mana saja ia mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya dari yang lain”; “Barang siapa mati dikala sedang menyebarkan ilmu untuk menghidupkan Islam, maka di nirwana ia sederajat di bawah para Nabi”; “Para ilmuwan itu pewaris (tugas) para Nabi”.

Etos ilmu itu telah menumbuhkan proses berguru mengajar yang pada gilirannya mengakibatkan perkembangan ilmu dalam banyak sekali cabangnya. Berbagai ilmu itu telah menjadi pendorong perubahan dan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, ilmu telah menjadi salah satu unsur kebudayaan, bahkan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat Muslim di masa lampau.

Bila fatwa Islam sudah sedemikian rupa sanggup menyebarkan etos keilmuan, maka bagaimanakah konsep ilmu dalam Islam. Kata ilmu merupakan serapan dari kata Arab ‘ilm yang secara terminologi berarti pengetahuan. Pemahaman kita wacana pengetahuan sanggup diartikan secara luas, meliputi segala hal yang kita ketahui wacana suatu objek tertentu. Pengetahuan yaitu terminologi generik yang meliputi segenap cabang pengetahuan yang kita miliki. Sementara ilmu lebih dikenal sebagai disiplin pengetahuan yang relatif lebih teratur dan terorganisasikan. Hal itu tercermin dari keharusannya yang didukung oleh bukti dan kesahihan (validitas) metode yang dipakai untuk memperolehnya.

Kata ‘ilm walaupun pada mulanya hanya sekedar bermakna pengetahuan biasa, melalui ayat-ayat al-Qur’an yang turun setahap demi setahap dan etos keilmuan yang dibentuknya, ia berproses dan membentuk makna dan pengertian tersendiri yang terstruktur.

Hal itu sanggup dipahami dari kesadaran ontologis dan kesadaran etis yang dipantulkan oleh wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Telah disinggung sebelumnya, bahwa pemilik khazanah pengetahuan yaitu Allah, dan khazanah tersebut dinamakan al-‘ilm. Oleh alasannya yaitu itu pula di dalam Islam salah satu nama lain Allah yaitu Al-’Alim, yang artinya “Yang Maha Mengetahui” (QS. Al-Maidah [5]: 97; al-Mulk [67]: 26). Pengetahuannya melampaui gejala, materi dan alam semesta, baik yang terlihat insan maupun yang tidak terlihat (QS. Al-Hasyr [59]: 22), yaitu seluruh penciptaan dan makhluk-Nya. Kemahaluasan khazanah pengetahuan Allah dilukiskan al-Qur’an dengan pernyataan: “Dan seandainya pohon-pohon yang ada di atas bumi ini menjadi pena dan bahari (menjadi tinta), kemudian sesudah kering ditambah tujuh bahari (tinta) lagi, pasti Kalimat (Ilmu) Allah itu tidak akan habis (ditulis dengannya). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Lukman [31]: 27).

Manusia yaitu makhluk yang dititipi pengolahan bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Agar sanggup melakukan amanah itu dengan baik, insan dituntut untuk memburu sebagian diam-diam khazanah pengetahuan yang disebut al-‘ilm. Khazanah itu terutama yang berkaitan dengan seluk beluk alam di sekitarnya, termasuk korelasi antarmanusia, korelasi antarmanusia dengan makhluk hidup yang lain, dan korelasi dengan lingkungan fisik, baik di darat, di laut, di dalam perut bumi, maupun di ruang angkasa. Semua itu dilakukan dalam rangka beribadah, penuh ketundukan kepada Allah di mana Dia menyediakan sarana dan sumbernya. Manusia dikala lahir tidak tahu apa-apa, Allah memberinya sarana untuk meraih pengetahuan, yaitu: indra dan penalaran (QS. An-Nahl [16]: 78). Allah pun menyediakan sumber pengetahuan yang di dalam al-Qur’an disebut ayat, yang berarti tanda atau fenomena. Bila dilakukan klasifikasi, fenomena-fenomena itu ada yang disebut qawliyyah berupa wahyu Allah yang tersurat dalam al-Qur’an (QS. Ali Imran [3]: 146), dan ada yang disebut kawniyyah yang terdapat dalam alam semesta dan diri insan (QS. Fussilat [41]:53). Kedua fenomena itu telah Allah berikan kepada insan semenjak Adam. Z.R. An-Najjar menafsirkan kata “nama-nama (benda)” pada QS. Al-Baqarah [2]: 31: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya” sebagai fenomena kawniyyah, dan menafsirkan kata “kalimat” pada QS. Al-Baqarah [2]: 37: “Kemudian Adam mendapatkan beberapa kalimat dari Tuhannya” sebagai fenomena qawliyyah.

Cara memperoleh pengetahuan, al-Qur’an kemudian menyebut tiga macam. Pertama, melalui nalar, dan tingkat kebenarannya ada pada taraf ‘ilm al-yaqin (QS. At-Takasur [102]: 5). Kebenaran pengetahuan logik/rasional ini bergantung kepada kebenaran asumsi-asumsi atau postulat-postulatnya ibarat pada deduksi, atau kepada probabilitas-probabilitas ibarat pada induksi. Kedua, melalui pengamatan, dan tingkat kebenarannya ada pada taraf ‘ayn al-yaqin (QS. At-Takasur [102]: 7). Pengetahuan sensual ini bergantung kepada pengetahuan faktual (observasi dan eksperimen). Ketiga melalui pengalaman batin, dan tingkat kebenarannya ada pada taraf haqq al-yaqin (QS. Al-Haqqah [69]: 51). Kebenaran pengetahuan transendental ini bergantung pada bimbingan ilahiah, baik dalam bentuk insting, ibarat lebah yang membangun sarangnya (QS. An-Nahl [16]: 86); intuisi, ibarat bisikan malaikat kepada orang-orang yang istiqamah (QS. Fussilat [41]: 30); inspirasi, ibarat tragedi ibu Musa dikala ia dengan damai melemparkan anaknya ke sungai (QS. Al-Qasas [28]: 7); maupun wahyu, ibarat kepada para Nabi utusan Tuhan (QS. An-Nisa’ [4]: 163-164). Dengan demikian, kebenaran pengetahuan ini bersifat mutlaq, dan alasannya yaitu itu berada pada taraf yang tertinggi.


Dua cara pertama, baik berdasarkan pengamatan maupun nalar, dipakai insan untuk memburu pengetahuan di balik fenomena kawniyyah, baik yang terdapat di alam semesta maupun di dalam dirinya. Interpretasinya terhadap fenomena kawniyyah dan kemudian disusun menjadi suatu bentuk yang berpola menghasilkan ilmu. Fenomena tersebut dalam terminologi klasik disebut al-‘ulum al-aqliyyah. Walaupun al-Ghazali* menyebutnya ‘ulum ghairu syar’iyyah, di mana Ibnu Khaldun* menyebutnya ‘ulum falsafiyah. Melalui cara ketiga, yaitu pengalaman batin, Nabi Muhammad SAW memperoleh pengetahuan qawliyyah yang tingkat kebenarannya pada taraf haqq al-yaqin. Pengikut Nabi Muhammad SAW kemudian mencoba menangkap makna (esensi) dari fenomena qawliyyah itu. Interpretasinya terhadap fenomena qawliyyah yang dikumpulkan dan kemudian disusun menjadi suatu bentuk yang berpola sanggup menghasilkan ilmu yang dalam terminologi klasik disebut sebagai ‘ulum naqliyyah, sedangkan al-Ghazali* menyebutnya sebagai ‘ulum Syar’iyyah.

Klasifikasi di atas sengaja dilakukan semoga tidak terkesan diplomatis, tetapi tetap dalam alur monokotomis, sesuai dengan prinsip tauhid. Selanjutnya perlu dipahami bahwa kebenaran mutlak (al-haqq) hanya pada Allah semata. Sedangkan yang sanggup dicapai oleh insan (dengan interpretasi kawniyyah maupun interpretasi qawliyyah) hanyalah merupakan kebenaran relatif.

Perlu dicatat di sini bahwa dalam pembagian terstruktur mengenai ilmu tidak dipakai terminologi klasik (aqliyyah dan naqliyyah) alasannya yaitu walaupun diakui bahwa al-Qur’an (dan sunnah) itu merupakan fenomena naqliyyah, tetapi interpretasi insan terhadapnya dalam rangka menangkap makna di balik ayat (fenomena), bagaimanapun melibatkan fakultas kebijaksanaan yang dimilikinya. Oleh alasannya yaitu itu, klasifikasi ilmu di sini memakai terminologi kawniyyah dan qawliyyah yang lebih merujuk kepada sumber ilmu masing-masing.

Sumber
Syukur, Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya Pada Pemikiran Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
 


Download

Baca Juga
1. Implikasi Konsep Ilmu dalam Pandangan Islam 
2. Ontologi Studi Islam
3. Epistemologi Studi Islam
4. Aksiologi Studi Islam

Belum ada Komentar untuk "Konsep Ilmu Berdasarkan Pandangan Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel