John Stuart Mill. Beberapa Catatan Kritis
Dalam Utilitarianism-nya John Stuart Mill berusaha untuk membantah aneka macam salam paham yang dikemukakan dalam kritik terhadap utilitarism Jeremy Bentham. Namun, berdasarkan kebanyakan penanggap perjuangan Mill itu tidak meyakinkan. Mill memang “memperbaiki” utilitarisme, namun sebagai tanggapan argumentasi Mill terkena oleh aneka macam inkonsistensi. Karena itu, utilitarisme Mill pun lebih banyak dikritik daripada disetujui.
Begitu contohnya Mill mengakui kenyataan bahwa ada orang yang menginginkan keutamaan demi dirinya sendiri, dan bukan hanya sebagai sarana untuk menjadi bahagia. Ia juga tidak membantah bahwa ada orang yang bersedia mengorbankan diri demi orang lain. Namun, bagaimana Mill menyesuaikan kenyataan-kenyataan ibarat itu dengan pengandaian dasar utilitarismenya sendiri, bahwa satu-satunya nilai primer bagi insan yakni kebahagiaan dan bahwa kebahagiaan terdiri atas pengalaman nikmat dan kebebasan dari perasaan sakit? Kalau memang nikmat nilai satu-satunya, apa yang sanggup menciptakan orang mau mengejar keutamaan atau mengorbankan diri bagi orang lain? Untuk menghindar dari kesulitan itu, Mill menggunakan klarifikasi asosiasi psikologis. Orang bersedia berkorban atau mengejar keutamaan lantaran ia tahu bahwa itu membahagiakan orang lain dan bahwa hal itu akan membahagiakan sendiri. Jadi, keutamaan itu sebagai sarana meskipun tentu ia juga tahu bahwa kebahagiaan orang-orang lain tidak senantiasa membahagiakannya sendiri. Namun, bagaimana harus kita bayangkan bahwa sarana itu lama-kelamaan dianggap menjadi kebahagiaannya sendiri? Apakah mungkin orang lama-lama “menikmati” suatu pengorbanan diri hanya lantaran ia mengetahui secara rasional bahwa pengorbanan itu mendukung kebahagiaan umum? Kalau orang mau berkorban, apakah lantaran seperti ia menikmati pengorbanan itu—itulah keterangan Mill—atau lantaran ia dalam situasi tertentu menilai bahwa pengorbanan diri lebih luhur daripada nikmatnya sendiri? Jadi, ia berkorban meskipun pengorbanan itu berat baginya. Bukankah keutamaan diminati lantaran dinilai sebagai apa yang paling baik, lebih baik daripada segenap nikmat, dan bukan lantaran ia lama-kelamaan tidak sanggup membedakan dari kebahagiaannya? Bukankah pengalaman menyampaikan bahwa orang memang meminati hal-hal yang lebih luhur daripada hanya nikmat dan kebebasan dari perasaan sakit?
Keberatan yang hampir sama sanggup juga diajukan terhadap perjuangan Mill untuk menunjukkan bahwa prinsip utilitarisme sanggup menampung tuntutan keadilan. Keadilan memang merupakan salah satu syarat kesejahteraan umum. Namun tidak selalu. Mungkin saja tindakan tertentu menghasilkan lebih banyak kegunaan bagi masyarakat seluruhnya daripada tindakan lain, tetapi sekaligus melanggar keadilan. Misalnya, kesejahteraan umum sanggup saja dimajukan dengan menembak mati semua pencopet dan pemeras di jalan. Namun, apakah itu adil? Bagaimana Mill mau, dalam kerangka teorinya, menjamin bahwa eksekusi terhadap para pengganggu kesejahteraan umum itu tidak berlebihan?
Kelihatan juga yang menciptakan posisi Mill tidak konsisten yakni identifikasi—yang memang khas bagi semua penganut hedonisme—antara kebahagiaan dan nikmat. Kalau kebahagiaan dipahami ibarat oleh Aristoteles*, sebagai penghayatan diri dalam keadaan “berhasil”, dalam keadaan baik dan beres, jelaslah bahwa orang selalu mencari kebahagiaan. Namun, kebahagiaan tidak diusahakan secara langsung, hal itu tidak mungkin. Kebahagiaan yakni keadaan yang kita rasakan apabila kita memenuhi tanggung jawab dan kewajiban kita, apabila kita hidup berdasarkan fatwa keutamaan, apabila kita menjadi orang baik. Mengorbankan diri dalam arti ini sanggup menciptakan kita bahagia. Namun, bila kebahagiaan disamakan dengan nikmat, semuanya itu tidak betul. Padahal, apakah kebahagiaan memang sanggup tercapai semata-mata melalui penjumlahan perasaan nikmat?
Identifikasi antara kebahagiaan dan nikmat itu juga yang menjadi alasannya mengapa perjuangan Mill untuk pertanda teori utilitarismenya menjadi rancu. Kalau kebahagiaan dipahami dalam arti Aristoteles*, gampang dimengerti bahwa, pertama, mengusahakan kebahagiaan sendiri sangat pantas, dan, kedua, orang yang terdorong untuk mengusahakan kebahagiaannya sendiri, juga terdorong untuk mengusahakan kebahagiaan orang lain.
Namun, lain halnya bila kebahagiaan disamakan dengan nikmat. Kalau setiap orang hanya memiliki satu impian dasar, yaitu mencapai nikmat dan menghindari rasa sakit, atas dasar apa ia dianggap sanggup mendorong untuk mengusahakan kebahagiaan semua orang sebagaimana menjadi prinsip kegunaan Mill? Bukankah mengusahakan nikmat orang lain sering bahwa kita sendiri tidak nikmat? Padahal berdasarkan Mill sendiri insan hanya mencari nikmat.
Argumentasi Mill sendiri terang cacat. Andaikata benar bahwa semua orang menginginkan nikmat, itu tidak pertanda bahwa nikmat pantas diinginkan. Andaikata semua orang ingin menghisap candu, apakah menghisap candu kemudian menjadi wajar? Mill di sini menciptakan kesalahan yang sudah ditegur tajam oleh David Hume*: dari suatu fakta (kalau memang fakta), yaitu bahwa setiap orang menginginkan perasaan nikmat, disimpulkan suatu keharusan, yaitu bahwa orang hendaknya selalu mengusahakan perasaan nikmat.
Begitu juga halnya bab kedua argumentasi Mill. Bahwa semua orang menginginkan kebahagiaan mereka masing-masing, tidak berarti bahwa orang juga menginginkan kebahagiaan semua orang. Nikmat orang lain sanggup saja berkonflik dengan nikmat saya sendiri. Karena itu, Mill memang menciptakan terang apa yang pada Bentham kabur, yaitu bahwa utilitarisme menuntut biar kebahagiaan semua orang diusahakan dan bukan hanya kebahagiaan si pelaku, jadi bahwa utilitarisme termasuk universalisme dan bukan egoisme etis. Namun, sekaligus argumentasi Mill menjadi tidak konsisten. Apabila nilai tertinggi bagi setiap orang yakni perasaan nikmat dan kebebasan dari perasaan sakit, mengusahakan nikmat dan kebebasan dari perasaan sakit bagi orang lain selalu akan kalah apabila berkonflik dengan nikmat sendiri. Dari hedonisme psikologis (nikmat yakni nilai tertinggi) hanya sanggup disimpulkan hedonisme egoistik (carilah nikmat bagi dirimu sendiri).
Begitu pula dengan akreditasi bahwa di antara aneka macam nikmat perdapat perbedaan kualitatif, Mill menggagalkan prinsip utilitarisme sendiri. Dengan mengakui bahwa ada nikmat-nikmat yang secara hakiki lebih luhur daripada yang semata-mata jasmani, Mill menerka bahwa ia sanggup mempertahankan dua hal sekaligus: prinsip utilitarisme bahwa pencarian nikmat merupakan tolok ukur moralitas, dan penolakan terhadap anggapan bahwa tujuan insan yakni nikmat jasmani.
Namun, dengan mendapatkan adanya aneka macam macam nikmat, Mill kehilangan kemungkinan untuk memastikan mana dari dua tindakan yang menghasilkan nikmat lebih banyak. Padahal berdasarkan utilitarisme itulah cara untuk mengetahui apa yang wajib kita lakukan. Kalau kualitas dua nikmat tidak sama, jumlah masing-masing tidak sanggup diperbandingkan lagi. Misalnya, ada seseorang ragu-ragu apa mau pergi ke rumah pelacuran untuk melepaskan dorongan seks mengingat istrinya yang sakit tidak sanggup melayani kebutuhannya, atau haruskah ia tetap setia kepada istrinya? Agar ia menentukan yang benar, berdasarkan utilitarisme ia harus mencek mana dari dua alternatif itu menghasilkan nikmat lebih banyak dan ketidakenakan lebih sedikit. Namun, bagaimana penderitaan batin istri sanggup diperbandingkan dengan penderitaan fisiknya sendiri? Yang satu menghasilkan nikmat jasmani, yang lain nikmat rohani. Yang satu menjadikan penderitaan hati pada istri, yang satunya penderitaan biologis bagi suami. Dua dimensi itu memang berbeda, kemudian bagaimana mau ditentukan mana yang lebih besar nikmatnya dan lebih sedikit penderitaannya?
Mill sendiri barangkali akan menegaskan bahwa yang harus dipilih yakni kesetiaan pada istri. Mengapa? Karena kesetiaan yakni nilai rohani dan nilai rohani lebih luhur daripada nilai jasmani. Namun, jalan keluar itu tidak terbuka bagi Mill lantaran dengan membedakan antara nikmat yang lebih luhur dan yang lebih rendah dan menyampaikan bahwa yang harus dipilih yakni yang pertama, ia telah meninggalkan tolok ukur utilitarisme, yang hanya mendapatkan kelebihan jumlah nikmat. Secara apriori, sebelum mempertimbangkan mana yang lebih banyak nikmatnya dan mana yang kurang, Mill sudah tetapkan bahwa yang rohani harus dipilih. Penilaian itu sendiri tidak utilitaristik. Problematika posisi Mill yakni bahwa ia sanggup menghindar dari tuduhan menyamaratakan semua nikmat, tapi biayanya tinggi: ia meninggalkan prinsipnya sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa argumentasi Mill dalam Utilitarianism jauh dari meyakinkan. Usahanya di satu pihak mempertahankan prinsip utilitarism hedonistik, di lain pihak menghindari kelemahan mencolok utilitarism Bentham. Usaha ini menciptakan garis pikirannya menjadi kacau dan tidak konsisten. Itu umumnya diakui oleh kalangan filsuf moral.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. John Stuart Mill
2. John Stuart Mill. Latar Belakang
3. Utilitarisme John Stuart Mill
4. John Stuart Mill. Pro dan Kontra Utilitarisme
Begitu contohnya Mill mengakui kenyataan bahwa ada orang yang menginginkan keutamaan demi dirinya sendiri, dan bukan hanya sebagai sarana untuk menjadi bahagia. Ia juga tidak membantah bahwa ada orang yang bersedia mengorbankan diri demi orang lain. Namun, bagaimana Mill menyesuaikan kenyataan-kenyataan ibarat itu dengan pengandaian dasar utilitarismenya sendiri, bahwa satu-satunya nilai primer bagi insan yakni kebahagiaan dan bahwa kebahagiaan terdiri atas pengalaman nikmat dan kebebasan dari perasaan sakit? Kalau memang nikmat nilai satu-satunya, apa yang sanggup menciptakan orang mau mengejar keutamaan atau mengorbankan diri bagi orang lain? Untuk menghindar dari kesulitan itu, Mill menggunakan klarifikasi asosiasi psikologis. Orang bersedia berkorban atau mengejar keutamaan lantaran ia tahu bahwa itu membahagiakan orang lain dan bahwa hal itu akan membahagiakan sendiri. Jadi, keutamaan itu sebagai sarana meskipun tentu ia juga tahu bahwa kebahagiaan orang-orang lain tidak senantiasa membahagiakannya sendiri. Namun, bagaimana harus kita bayangkan bahwa sarana itu lama-kelamaan dianggap menjadi kebahagiaannya sendiri? Apakah mungkin orang lama-lama “menikmati” suatu pengorbanan diri hanya lantaran ia mengetahui secara rasional bahwa pengorbanan itu mendukung kebahagiaan umum? Kalau orang mau berkorban, apakah lantaran seperti ia menikmati pengorbanan itu—itulah keterangan Mill—atau lantaran ia dalam situasi tertentu menilai bahwa pengorbanan diri lebih luhur daripada nikmatnya sendiri? Jadi, ia berkorban meskipun pengorbanan itu berat baginya. Bukankah keutamaan diminati lantaran dinilai sebagai apa yang paling baik, lebih baik daripada segenap nikmat, dan bukan lantaran ia lama-kelamaan tidak sanggup membedakan dari kebahagiaannya? Bukankah pengalaman menyampaikan bahwa orang memang meminati hal-hal yang lebih luhur daripada hanya nikmat dan kebebasan dari perasaan sakit?
Keberatan yang hampir sama sanggup juga diajukan terhadap perjuangan Mill untuk menunjukkan bahwa prinsip utilitarisme sanggup menampung tuntutan keadilan. Keadilan memang merupakan salah satu syarat kesejahteraan umum. Namun tidak selalu. Mungkin saja tindakan tertentu menghasilkan lebih banyak kegunaan bagi masyarakat seluruhnya daripada tindakan lain, tetapi sekaligus melanggar keadilan. Misalnya, kesejahteraan umum sanggup saja dimajukan dengan menembak mati semua pencopet dan pemeras di jalan. Namun, apakah itu adil? Bagaimana Mill mau, dalam kerangka teorinya, menjamin bahwa eksekusi terhadap para pengganggu kesejahteraan umum itu tidak berlebihan?
Kelihatan juga yang menciptakan posisi Mill tidak konsisten yakni identifikasi—yang memang khas bagi semua penganut hedonisme—antara kebahagiaan dan nikmat. Kalau kebahagiaan dipahami ibarat oleh Aristoteles*, sebagai penghayatan diri dalam keadaan “berhasil”, dalam keadaan baik dan beres, jelaslah bahwa orang selalu mencari kebahagiaan. Namun, kebahagiaan tidak diusahakan secara langsung, hal itu tidak mungkin. Kebahagiaan yakni keadaan yang kita rasakan apabila kita memenuhi tanggung jawab dan kewajiban kita, apabila kita hidup berdasarkan fatwa keutamaan, apabila kita menjadi orang baik. Mengorbankan diri dalam arti ini sanggup menciptakan kita bahagia. Namun, bila kebahagiaan disamakan dengan nikmat, semuanya itu tidak betul. Padahal, apakah kebahagiaan memang sanggup tercapai semata-mata melalui penjumlahan perasaan nikmat?
Identifikasi antara kebahagiaan dan nikmat itu juga yang menjadi alasannya mengapa perjuangan Mill untuk pertanda teori utilitarismenya menjadi rancu. Kalau kebahagiaan dipahami dalam arti Aristoteles*, gampang dimengerti bahwa, pertama, mengusahakan kebahagiaan sendiri sangat pantas, dan, kedua, orang yang terdorong untuk mengusahakan kebahagiaannya sendiri, juga terdorong untuk mengusahakan kebahagiaan orang lain.
Namun, lain halnya bila kebahagiaan disamakan dengan nikmat. Kalau setiap orang hanya memiliki satu impian dasar, yaitu mencapai nikmat dan menghindari rasa sakit, atas dasar apa ia dianggap sanggup mendorong untuk mengusahakan kebahagiaan semua orang sebagaimana menjadi prinsip kegunaan Mill? Bukankah mengusahakan nikmat orang lain sering bahwa kita sendiri tidak nikmat? Padahal berdasarkan Mill sendiri insan hanya mencari nikmat.
Argumentasi Mill sendiri terang cacat. Andaikata benar bahwa semua orang menginginkan nikmat, itu tidak pertanda bahwa nikmat pantas diinginkan. Andaikata semua orang ingin menghisap candu, apakah menghisap candu kemudian menjadi wajar? Mill di sini menciptakan kesalahan yang sudah ditegur tajam oleh David Hume*: dari suatu fakta (kalau memang fakta), yaitu bahwa setiap orang menginginkan perasaan nikmat, disimpulkan suatu keharusan, yaitu bahwa orang hendaknya selalu mengusahakan perasaan nikmat.
Begitu juga halnya bab kedua argumentasi Mill. Bahwa semua orang menginginkan kebahagiaan mereka masing-masing, tidak berarti bahwa orang juga menginginkan kebahagiaan semua orang. Nikmat orang lain sanggup saja berkonflik dengan nikmat saya sendiri. Karena itu, Mill memang menciptakan terang apa yang pada Bentham kabur, yaitu bahwa utilitarisme menuntut biar kebahagiaan semua orang diusahakan dan bukan hanya kebahagiaan si pelaku, jadi bahwa utilitarisme termasuk universalisme dan bukan egoisme etis. Namun, sekaligus argumentasi Mill menjadi tidak konsisten. Apabila nilai tertinggi bagi setiap orang yakni perasaan nikmat dan kebebasan dari perasaan sakit, mengusahakan nikmat dan kebebasan dari perasaan sakit bagi orang lain selalu akan kalah apabila berkonflik dengan nikmat sendiri. Dari hedonisme psikologis (nikmat yakni nilai tertinggi) hanya sanggup disimpulkan hedonisme egoistik (carilah nikmat bagi dirimu sendiri).
Begitu pula dengan akreditasi bahwa di antara aneka macam nikmat perdapat perbedaan kualitatif, Mill menggagalkan prinsip utilitarisme sendiri. Dengan mengakui bahwa ada nikmat-nikmat yang secara hakiki lebih luhur daripada yang semata-mata jasmani, Mill menerka bahwa ia sanggup mempertahankan dua hal sekaligus: prinsip utilitarisme bahwa pencarian nikmat merupakan tolok ukur moralitas, dan penolakan terhadap anggapan bahwa tujuan insan yakni nikmat jasmani.
Namun, dengan mendapatkan adanya aneka macam macam nikmat, Mill kehilangan kemungkinan untuk memastikan mana dari dua tindakan yang menghasilkan nikmat lebih banyak. Padahal berdasarkan utilitarisme itulah cara untuk mengetahui apa yang wajib kita lakukan. Kalau kualitas dua nikmat tidak sama, jumlah masing-masing tidak sanggup diperbandingkan lagi. Misalnya, ada seseorang ragu-ragu apa mau pergi ke rumah pelacuran untuk melepaskan dorongan seks mengingat istrinya yang sakit tidak sanggup melayani kebutuhannya, atau haruskah ia tetap setia kepada istrinya? Agar ia menentukan yang benar, berdasarkan utilitarisme ia harus mencek mana dari dua alternatif itu menghasilkan nikmat lebih banyak dan ketidakenakan lebih sedikit. Namun, bagaimana penderitaan batin istri sanggup diperbandingkan dengan penderitaan fisiknya sendiri? Yang satu menghasilkan nikmat jasmani, yang lain nikmat rohani. Yang satu menjadikan penderitaan hati pada istri, yang satunya penderitaan biologis bagi suami. Dua dimensi itu memang berbeda, kemudian bagaimana mau ditentukan mana yang lebih besar nikmatnya dan lebih sedikit penderitaannya?
Mill sendiri barangkali akan menegaskan bahwa yang harus dipilih yakni kesetiaan pada istri. Mengapa? Karena kesetiaan yakni nilai rohani dan nilai rohani lebih luhur daripada nilai jasmani. Namun, jalan keluar itu tidak terbuka bagi Mill lantaran dengan membedakan antara nikmat yang lebih luhur dan yang lebih rendah dan menyampaikan bahwa yang harus dipilih yakni yang pertama, ia telah meninggalkan tolok ukur utilitarisme, yang hanya mendapatkan kelebihan jumlah nikmat. Secara apriori, sebelum mempertimbangkan mana yang lebih banyak nikmatnya dan mana yang kurang, Mill sudah tetapkan bahwa yang rohani harus dipilih. Penilaian itu sendiri tidak utilitaristik. Problematika posisi Mill yakni bahwa ia sanggup menghindar dari tuduhan menyamaratakan semua nikmat, tapi biayanya tinggi: ia meninggalkan prinsipnya sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa argumentasi Mill dalam Utilitarianism jauh dari meyakinkan. Usahanya di satu pihak mempertahankan prinsip utilitarism hedonistik, di lain pihak menghindari kelemahan mencolok utilitarism Bentham. Usaha ini menciptakan garis pikirannya menjadi kacau dan tidak konsisten. Itu umumnya diakui oleh kalangan filsuf moral.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. John Stuart Mill
2. John Stuart Mill. Latar Belakang
3. Utilitarisme John Stuart Mill
4. John Stuart Mill. Pro dan Kontra Utilitarisme
Belum ada Komentar untuk "John Stuart Mill. Beberapa Catatan Kritis"
Posting Komentar