Ibnu Miskawaih. Filsafat Etika
Karya etika Miskawaih sangat berbeda dengan filsuf lainnya dan karya etika itu memperlihatkan bukti pemahamannya wacana kesulitan konseptual dalam bidang tersebut. Ada sejumlah karya penting di sini, yaitu Tahdzib Al-Akhlaq, namun dilarang dikacaukan dengan karya Yahya ibn ‘Adi yang berjudul sama, tetapi tidak semenarik karya Miskawaih. Karya Miskawaih ini mencoba memperlihatkan cara kita sanggup memperoleh tabiat yang lurus untuk menjalankan tindakan yang secara moral benar secara terorganisasi dan tersistem. Dasar argumentasinya yaitu tinjauannya wacana sifat dasar jiwa, yang diambil begitu saja dari Plato, sebagai entitas atau substansi yang bangun sendiri, yang berbeda dengan gagasan Aristotelian wacana jiwa. Menurutnya, jiwa sanggup dipandang sebagai sesuatu yang berbeda dengan tubuh lantaran beberapa alasan. Jiwa membedakan kita dari binatang, jiwa membedakan kita dari insan lainnya, jiwa memanfaatkan tubuh dan bagian-bagiannya, serta jiwa berusaha menjalin kekerabatan dengan alam-alam wujud yang lebih spiritual dan lebih tinggi. Jiwa tidak mungkin merupakan aksiden lantaran ia—dalam dirinya—memiliki kekuatan untuk membedakan antara aksiden dan konsep esensial.
Jiwa tidak dibatasi pada kesadaran akan hal-hal yang aksidental oleh indra, tetapi sanggup memahami banyak ragam entitas imaterial dan abstrak. Jika bukan suatu aksiden, jiwa tidak mungkin sanggup melaksanakan hal-hal tersebut dan ruang lingkupnya terbatas mirip aspek-aspek fisik badan. Jiwa tidak hanya aksiden, bahkan ketika kita ingin memusatkan perhatian pada duduk perkara abstrak, tubuh dengan aksidennya biasanya menjadi penghalang yang harus dihindari kalau hendak melaksanakan kontak dengan realitas inteligibel. Oleh lantaran itu, jiwa yaitu substansi independen yang mengendalikan tubuh dan bersifat kekal. Esensi jiwa berlawanan dengan esensi tubuh maka esensi jiwa tidak mati dan terlibat dalam gerak infinit dan sirkuler (terus-menerus), yang ditiru oleh struktur langit. Meskipun demikian, ada dua arah yang sanggup diambil oleh gerak ini, yaitu ke atas menuju nalar dan Akal Aktif atau ke bawah menuju materi. Kebahagiaan timbul melalui yang pertama dan kemalangan timbul melalui yang terakhir.
Ketika membahas sifat dasar kebajikan, Miskawaih menggabungkan gagasan Aristotelian dengan gagasan Platonik, sedangkan teorinya mempunyai keterkaitan dengan sufisme. Kebajikan muncul sebagai kesempurnaan aspek jiwa yang menggambarkan esensi kemanusiaan, yaitu nalar yang membedakannya dari bentuk-bentuk eksistensi yang lebih rendah. Kebaikan meningkat selama kita berbagi dan memperluas kemampuan kita untuk mengasah dan menerapkan nalar pada kehidupan kita. Cara melaksanakan hal ini harus sesuai dengan jalan tengah, titik terjauh dari dua titik ekstrem, dan keadilan muncul kalau kita berupaya mengelola hal itu. Miskawaih berbagi seperangkat kebajikan yang bekerjasama dengan kebijaksanaan, keberanian, dan kesederhanaan, dan keadilan yang menguraikan rentang perkembangan moral yang hendak kita tuju. Ia mengombinasikan pembagian kebajikan versi Plato* dengan pemahaman versi Aristoteles* wacana arti kebaikan dan menambahkan gagasan bahwa lebih baik kalau kebajikan-kebajikan ini sanggup diperlakukan sebagai kesatuan. Hal ini disebabkan ia mengidentikkan kesatuan dengan kesempurnaan dan keragaman dengan kemajemukan objek fisik tidak bermakna. Gagasan Pythagorean* semacam itu disukai lebih dari sekedar lantaran pesona estetis. Miskawaih dengan meyakinkan beropini bahwa gagasan wacana keadilan Ilahi atau keadilan tepat yaitu ilham tunggal yang hanya berurusan dengan prinsip-prinsip yang kekal dan imaterial. Sebaliknya, keadilan insan berubah-ubah dan bergantung pada abjad komunitas tertentu dan anggota-anggotanya. Hukum Ilahi memilih segala hal yang harus dilakukan di setiap kawasan pada setiap saat, sementara aturan negara mempertimbangkan akhlak kebiasaan yang sanggup berubah dan relatif (serba-mungkin) pada masanya.
Bagian utama etika Miskawaih dimulai dari cuilan ketiga kitab Tahzib. Pertama-tama, ia mengikuti Aristoteles*, sebagaimana dikomentari oleh Porphyry. Tampaknya ia sepenuhnya bergantung pada komentar Porphyry terhadap goresan pena Aristoteles* Nicomachean Ethics yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq ibn Hiinain dalam dua belas jilid. Akan tetapi, komentar ini hilang, baik yang berbahasa Yunani maupun yang berbahasa Arab. Sekalipun demikian, sanggup dikumpulkan sesuatu dari bentuknya dari kitabnya Tahzib Al-Akhlaq.
Miskawaih menyatakan bahwa kebaikan terletak pada segala yang menjadi tujuan. Definisi ini diperkirakan berasal dari Eudoxus (sekitar tahun 25 SM) yang disajikan di cuilan awal dari Nicomachean Ethics. Selanjutnya, Miskawaih menyampaikan bahwa hal-hal yang berkhasiat untuk mencapai tujuan yaitu baik, contohnya sarana dan tujuan. Akan tetapi, kebahagiaan atau kebaikan merupakan kebaikan yang relatif bagi pribadi. Itu hanyalah satu macam kebaikan yang tidak mempunyai hakikat tersendiri dan bangun sendiri.
Sebagaimana Aristoteles*, Miskawaih mengelompokkan kebahagiaan. Akan tetapi, ia menambahnya secara lebih terperinci. Menurutnya, kebahagiaan terdiri atas kesehatan, kekayaan, kemasyhuran dan kehormatan, keberhasilan, dan pemikiran yang baik.
Setelah menguraikan fatwa Aristoteles* wacana kebahagiaan, Miskawaih menawarkan pendapat Hypocrates, Pythagoras*, Plato*, kaum Stoa, dan beberapa dokter yang percaya bahwa tubuh yaitu cuilan dari insan dan bukan alat bagi insan maka kebahagiaan roh tidak akan lengkap kalau tidak disertai kebahagiaan tubuh. Menurut Miskawaih, kita harus menolak fatwa yang menyampaikan bahwa kebahagiaan hanya sanggup diperoleh sehabis mati. Ia menekankan bahwa kebahagiaan itu sanggup pula dicapai di dunia. Dengan kata lain, kebahagiaan tidak sanggup dicapai, kecuali dengan mengupayakan kebaikan di dunia dan darul abadi dengan mengutip Aristoteles* bahwa ada dua macam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan di dunia sekarang dan kebahagiaan di akhirat. Akan tetapi, tidak seorang pun memperoleh kebahagiaan kedua tanpa memperoleh kebahagiaan pertama. Hal ini dikarenakan, sebagaimana dikatakan Aristoteles*, kebahagiaan ukhrawi meskipun kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia, memerlukan kebahagiaan dunia. Jika tidak, kebahagiaan ukhrawi tidak akan diperoleh.
Pada cuilan lain ia membahas persahabatan dan cinta. Hal yang menarik pada kebahagiaan ini yaitu dua macam cinta, yaitu cinta insan kepada Tuhan dan cinta murid kepada guru. Cinta jenis pertama sulit dicapai oleh makhluk yang fana dan cinta ini hanya bagi sebagian kecil. Adapun untuk cinta jenis kedua, Miskawaih mempersamakan cinta anak kepada orang tuanya dengan cinta murid kepada gurunya. Ia beropini bahwa cinta yang terakhir ini lebih mulia dan lebih pemurah lantaran guru mengajar roh kita dan dengan petunjuk mereka kita memperoleh kebahagiaan sejati. Guru yaitu “bapak rohani dan orang yang dimuliakan; kebaikan yang diberikan kepada muridnya merupakan kebaikan ilahiah lantaran ia membawanya pada kearifan, mengisinya dengan kebijaksanaan yang tinggi, dan memperlihatkan kepada muridnya kehidupan dan keberkatan yang abadi”
Dalam goresan pena yang diedit oleh Sayyed Hosen Naser*, Miskawaih membahas bermacam-macam persahabatan yang apik memperlihatkan perbedaan antara banyak sekali kekerabatan yang intinya fana dan berubah-ubah, terutama kekerabatan yang didasarkan pada kesenangan dan kekerabatan yang didasarkan pada akal, yang juga menyenangkan, tapi tidak secara fisik. Jiwa bisa mengenali jiwa tepat yang serupa dan efek pengenalan semacam itu yaitu kebahagiaan intelektual yang intens. Hal ini berbeda dari kekerabatan biasa ketika seseorang melaksanakan kekerabatan satu dengan yang lain lantaran ingin mendapatkan sesuatu dari kekerabatan tersebut. Miskawaih menciptakan kategori tipe persahabatan yang luas, tetapi ia tidak menyebutkan bahwa hanya bentuk paling tinggi dan paling intelektual yang penting. Sebaliknya, mereka yang berhasil mencapai tingkat tertinggi persahabatan ini pun harus hidup dalam masyarakat dan ia harus mendapatkan bentuk-bentuk lain persahabatan kalau ingin mencapai kesempurnaan. Di sini kita, sekali lagi, menemukan dengan terang landasan Aristotelian yang mengklaim bahwa kesempurnaan dari kebajikan dan pemenuhan tuntutan yang bersifat lebih duniawi harus berjalan beriringan. Sekalipun demikian, Miskawaih juga menegaskan bahwa bentuk tertinggi dari kebahagiaan itu ada ketika kita berusaha melepaskan tuntutan dunia dan sanggup mendapatkan emanasi yang melimpah dari atas yang akan menyempurnakan intelek kita dan memungkinkan kita disinari (tercerahkan) oleh cahaya Ilahi. Di sini ada tingkatan kebahagiaan yang bahkan lebih tinggi, yaitu sesuatu yang mirip kesadaran mistis akan Tuhan, ketika kita menyingkirkan seluruh perangkap eksistensi jasmaniah kita dan memungkinkan jiwa kita mengambil cuilan dalam tujuan spiritual sepenuhnya.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Ibnu Miskawaih. Riwayat Hidup
2. Ibnu Miskawaih. Karya Filsafat
3. Ibnu Miskawaih. Pemikiran Filsafat
4. Ibnu Miskawaih. Filsafat Ketuhanan
5. Ibnu Miskawaih. Teori Evolusi dan Keabadian Roh
Ketika membahas sifat dasar kebajikan, Miskawaih menggabungkan gagasan Aristotelian dengan gagasan Platonik, sedangkan teorinya mempunyai keterkaitan dengan sufisme. Kebajikan muncul sebagai kesempurnaan aspek jiwa yang menggambarkan esensi kemanusiaan, yaitu nalar yang membedakannya dari bentuk-bentuk eksistensi yang lebih rendah. Kebaikan meningkat selama kita berbagi dan memperluas kemampuan kita untuk mengasah dan menerapkan nalar pada kehidupan kita. Cara melaksanakan hal ini harus sesuai dengan jalan tengah, titik terjauh dari dua titik ekstrem, dan keadilan muncul kalau kita berupaya mengelola hal itu. Miskawaih berbagi seperangkat kebajikan yang bekerjasama dengan kebijaksanaan, keberanian, dan kesederhanaan, dan keadilan yang menguraikan rentang perkembangan moral yang hendak kita tuju. Ia mengombinasikan pembagian kebajikan versi Plato* dengan pemahaman versi Aristoteles* wacana arti kebaikan dan menambahkan gagasan bahwa lebih baik kalau kebajikan-kebajikan ini sanggup diperlakukan sebagai kesatuan. Hal ini disebabkan ia mengidentikkan kesatuan dengan kesempurnaan dan keragaman dengan kemajemukan objek fisik tidak bermakna. Gagasan Pythagorean* semacam itu disukai lebih dari sekedar lantaran pesona estetis. Miskawaih dengan meyakinkan beropini bahwa gagasan wacana keadilan Ilahi atau keadilan tepat yaitu ilham tunggal yang hanya berurusan dengan prinsip-prinsip yang kekal dan imaterial. Sebaliknya, keadilan insan berubah-ubah dan bergantung pada abjad komunitas tertentu dan anggota-anggotanya. Hukum Ilahi memilih segala hal yang harus dilakukan di setiap kawasan pada setiap saat, sementara aturan negara mempertimbangkan akhlak kebiasaan yang sanggup berubah dan relatif (serba-mungkin) pada masanya.
Bagian utama etika Miskawaih dimulai dari cuilan ketiga kitab Tahzib. Pertama-tama, ia mengikuti Aristoteles*, sebagaimana dikomentari oleh Porphyry. Tampaknya ia sepenuhnya bergantung pada komentar Porphyry terhadap goresan pena Aristoteles* Nicomachean Ethics yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq ibn Hiinain dalam dua belas jilid. Akan tetapi, komentar ini hilang, baik yang berbahasa Yunani maupun yang berbahasa Arab. Sekalipun demikian, sanggup dikumpulkan sesuatu dari bentuknya dari kitabnya Tahzib Al-Akhlaq.
Miskawaih menyatakan bahwa kebaikan terletak pada segala yang menjadi tujuan. Definisi ini diperkirakan berasal dari Eudoxus (sekitar tahun 25 SM) yang disajikan di cuilan awal dari Nicomachean Ethics. Selanjutnya, Miskawaih menyampaikan bahwa hal-hal yang berkhasiat untuk mencapai tujuan yaitu baik, contohnya sarana dan tujuan. Akan tetapi, kebahagiaan atau kebaikan merupakan kebaikan yang relatif bagi pribadi. Itu hanyalah satu macam kebaikan yang tidak mempunyai hakikat tersendiri dan bangun sendiri.
Sebagaimana Aristoteles*, Miskawaih mengelompokkan kebahagiaan. Akan tetapi, ia menambahnya secara lebih terperinci. Menurutnya, kebahagiaan terdiri atas kesehatan, kekayaan, kemasyhuran dan kehormatan, keberhasilan, dan pemikiran yang baik.
Setelah menguraikan fatwa Aristoteles* wacana kebahagiaan, Miskawaih menawarkan pendapat Hypocrates, Pythagoras*, Plato*, kaum Stoa, dan beberapa dokter yang percaya bahwa tubuh yaitu cuilan dari insan dan bukan alat bagi insan maka kebahagiaan roh tidak akan lengkap kalau tidak disertai kebahagiaan tubuh. Menurut Miskawaih, kita harus menolak fatwa yang menyampaikan bahwa kebahagiaan hanya sanggup diperoleh sehabis mati. Ia menekankan bahwa kebahagiaan itu sanggup pula dicapai di dunia. Dengan kata lain, kebahagiaan tidak sanggup dicapai, kecuali dengan mengupayakan kebaikan di dunia dan darul abadi dengan mengutip Aristoteles* bahwa ada dua macam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan di dunia sekarang dan kebahagiaan di akhirat. Akan tetapi, tidak seorang pun memperoleh kebahagiaan kedua tanpa memperoleh kebahagiaan pertama. Hal ini dikarenakan, sebagaimana dikatakan Aristoteles*, kebahagiaan ukhrawi meskipun kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia, memerlukan kebahagiaan dunia. Jika tidak, kebahagiaan ukhrawi tidak akan diperoleh.
Pada cuilan lain ia membahas persahabatan dan cinta. Hal yang menarik pada kebahagiaan ini yaitu dua macam cinta, yaitu cinta insan kepada Tuhan dan cinta murid kepada guru. Cinta jenis pertama sulit dicapai oleh makhluk yang fana dan cinta ini hanya bagi sebagian kecil. Adapun untuk cinta jenis kedua, Miskawaih mempersamakan cinta anak kepada orang tuanya dengan cinta murid kepada gurunya. Ia beropini bahwa cinta yang terakhir ini lebih mulia dan lebih pemurah lantaran guru mengajar roh kita dan dengan petunjuk mereka kita memperoleh kebahagiaan sejati. Guru yaitu “bapak rohani dan orang yang dimuliakan; kebaikan yang diberikan kepada muridnya merupakan kebaikan ilahiah lantaran ia membawanya pada kearifan, mengisinya dengan kebijaksanaan yang tinggi, dan memperlihatkan kepada muridnya kehidupan dan keberkatan yang abadi”
Dalam goresan pena yang diedit oleh Sayyed Hosen Naser*, Miskawaih membahas bermacam-macam persahabatan yang apik memperlihatkan perbedaan antara banyak sekali kekerabatan yang intinya fana dan berubah-ubah, terutama kekerabatan yang didasarkan pada kesenangan dan kekerabatan yang didasarkan pada akal, yang juga menyenangkan, tapi tidak secara fisik. Jiwa bisa mengenali jiwa tepat yang serupa dan efek pengenalan semacam itu yaitu kebahagiaan intelektual yang intens. Hal ini berbeda dari kekerabatan biasa ketika seseorang melaksanakan kekerabatan satu dengan yang lain lantaran ingin mendapatkan sesuatu dari kekerabatan tersebut. Miskawaih menciptakan kategori tipe persahabatan yang luas, tetapi ia tidak menyebutkan bahwa hanya bentuk paling tinggi dan paling intelektual yang penting. Sebaliknya, mereka yang berhasil mencapai tingkat tertinggi persahabatan ini pun harus hidup dalam masyarakat dan ia harus mendapatkan bentuk-bentuk lain persahabatan kalau ingin mencapai kesempurnaan. Di sini kita, sekali lagi, menemukan dengan terang landasan Aristotelian yang mengklaim bahwa kesempurnaan dari kebajikan dan pemenuhan tuntutan yang bersifat lebih duniawi harus berjalan beriringan. Sekalipun demikian, Miskawaih juga menegaskan bahwa bentuk tertinggi dari kebahagiaan itu ada ketika kita berusaha melepaskan tuntutan dunia dan sanggup mendapatkan emanasi yang melimpah dari atas yang akan menyempurnakan intelek kita dan memungkinkan kita disinari (tercerahkan) oleh cahaya Ilahi. Di sini ada tingkatan kebahagiaan yang bahkan lebih tinggi, yaitu sesuatu yang mirip kesadaran mistis akan Tuhan, ketika kita menyingkirkan seluruh perangkap eksistensi jasmaniah kita dan memungkinkan jiwa kita mengambil cuilan dalam tujuan spiritual sepenuhnya.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Ibnu Miskawaih. Riwayat Hidup
2. Ibnu Miskawaih. Karya Filsafat
3. Ibnu Miskawaih. Pemikiran Filsafat
4. Ibnu Miskawaih. Filsafat Ketuhanan
5. Ibnu Miskawaih. Teori Evolusi dan Keabadian Roh
Belum ada Komentar untuk "Ibnu Miskawaih. Filsafat Etika"
Posting Komentar