Hak-Hak Kaum Minoritas Dalam Masyarakat Multikultural

Runtuhnya Yugoslavia dan komunisme Soviet memberi hikmah. Suatu politik yang melancarkan homogenisasi atas keragaman sosial kultural di bawah penindasan sebuah ideologi dan kekerasan politis justru ‘menabung’ dendam kultural. Elemen-elemen kolektif yang ditekan itu pada gilirannya akan memberontak dan mendekonstruksi tatanan politis dan ideologis bersama itu. Gagalnya proyek komunisme dan balkanisasi yang mengikutinya menjadi titik tolak perubahan di Barat dalam memahami masyarakat modern. Masyarakat modern semakin disadari sebagai sebuah masyarakat ‘multikultural’, yakni sebuah masyarakat yang tersusun dari banyak sekali macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai atau—mengacu pada istilah Geertz*—sebuah ‘negeri’ dengan banyak ‘bangsa’.
Dengan bencana politik global itu yang menjadi lama tidak hanya cita-cita sosialistis perihal masyarakat tanpa kelas. Konsep “bangsa” yang dalam liberalisme tumbuh melalui Revolusi Prancis 1789 itu juga dipersoalkan. Liberalisme menganut asas kesamaan semua orang di hadapan aturan dan menjunjung hak-hak individu. Dengan cara ini berdasarkan para kritikus liberalisme ada satu hal yang diabaikan, yaitu aspirasi warganegara sebagai anggota suatu kelompok minoritas kultural tertentu di dalam masyarakat liberal itu. dalam kadar tertentu problem Balkan tidak ajaib di dalam masyarakat liberal, yaitu: bukan hanya problem dengan kaum imigran, dengan minoritas-minoritas bahasa, agama atau etnis, melainkan juga dengan kelompok-kelompok feminis, kaum cacat, homoseksual dan orientasi-orientasi nilai lainnya yang mencari legalisasi akan identitas kolektifnya dalam demokrasi liberal. Sejalan dengan pandangan Geertz* dapat ditarik analogi antara problem kelompok-kelompok etnis dan kelompok-kelompok sosial itu, alasannya ialah kedua macam kelompok itu dihukum atau dimarginalisasi dari problem lebih banyak didominasi semata-mata alasannya ialah ‘keberlainan’ mereka. Jadi, problem yang fundamental di sini ialah keadilan.

Diskursus perihal multikulturalisme muncul dalam konteks penanganan aspirasi minoritas kultural itu. Filsuf politik kelahiran Kanada, Charles Taylor, pernah menyulut sebuah kontroversi perihal multikulturalisme dalam konteks Kanada dan USA. Kumpulan goresan pena dalam kontroversi itu diterbitkan dengan judul Multiculturalism. Examining the Politics of Recognition. Masalah yang dihadapi cukup serius, yakni tuntutan-tuntutan dari kelompok-kelompok minoritas etnis, menyerupai kaum Afro-Amerika, Asia-Amerika, Indian, Feminis (kelompok-kelompok lain sanggup dideret di sini) untuk mendapat hak-hak mereka dalam ikut memilih pengambilan keputusan-keputusan publik, seperti: kebijakan sosial dan kurikulum pendidikan sekolah maupun akademi tinggi. Hak semacam itu bahwasanya sudah diandaikan dalam hak-hak warga negara, tetapi yang mereka tuntut lebih dari itu. di bawah istilah politics of recognition dipahami tuntutan mereka untuk memilih diri sebagai sebuah minoritas kultural. Hak sebagai warga negara tidak mengenal diferensiasi kultural, alasannya ialah dalam masyarakat liberal baik lebih banyak didominasi maupun minoritas tunduk di bawah aturan yang memperlakukan mereka secara sama. Hak untuk memilih diri sebagai anggota sebuah kelompok minoritas merupakan tuntutan untuk legalisasi atas identitas kolektif, atas kepentingan kelompok, atas orientasi nilai ataupun Weltanschauung kelompok. Taylor beropini bahwa tuntutan atas legalisasi publik itu tidak melanggar, melainkan justru berkaitan dengan prinsip kesamaan, yakni kesamaan dalam legalisasi akan identitasnya.

Di dalam “proseduralisme” dari liberalisme tentu saja tuntutan ini semenjak lama dipeti-es-kan sebagai ‘masalah-masalah privat’ perihal good life yang dibedakan dari ‘masalah-masalah publik’ perihal justice. Isolasi menyerupai inilah yang dipersoalkan dalam diskursus perihal multikulturalisme. Mengapa? Pertama, yang lebih bersifat epistemologis, ialah bahwa ‘pilihan nilai’ secara bebas dari individu dalam liberalisme itu tidak hanya membutuhkan susukan ke informasi, melainkan juga susukan ke kebudayaan kawasan beliau tumbuh. Artinya, dalam pilihannya individu liberal sudah selalu bergerak dalam horison tradisi kulturalnya yang spesifik, maka aspirasi yang timbul dari keanggotaannya ke dalam sebuah kelompok seharusnya dihitung sebagai persoalan publik. Kedua, yang lebih bersifat kritis praktis, ialah bahwa sebuah negara multikultural yang mengakui hak-hak universal individu bagi seluruh warganegaranya tanpa memandang keanggotaannya di dalam kelompok tertentu hanya sepertinya saja ‘netral’ di hadapan kepentingan-kepentingan kelompok. Dalam kenyataan negara ini secara sistematis menguntungkan kelompok mayoritas, misalnya, dalam hal bahasa di sekolah, pelayanan publik, hari-hari raya keagamaan, pengadilan, dst. Karena alasan-alasan ini politik multikulturalisme ingin mendorong interpretasi liberalisme yang memungkinkan legalisasi ganda, yakni: pertama, respek atas identitas-identitas unik setiap individu tanpa memandang gender, ras atau etnisitas, dan kedua, respek atas kegiatan-kegiatan, praktik-praktik dan cara-cara memandang dunia yang khususnya dinilai oleh, atau dihubungkan dengan para anggota kelompok-kelompok yang dirugikan, yakni minoritas-minoritas etnis dan agama, termasuk wanita dan kaum penyandang cacat.

Dalam mulicultural Citizenship Kymlicka melangkah lebih jauh lagi daripada kontroversi Taylor. Sementara kontroversi itu banyak bergerak di wilayah sosio-kultural yang mendasari persoalan multikulturalisme, Kymlicka menapak lebih aktual dan rinci ke dalam teori hak-hak (theory of rights) dengan menyarankan dimasukkannya hak-hak minoritas sebagai bab dari sistem hak-hak di dalam liberalisme. Politik multikulturalisme ialah politik perihal hak-hak minoritas, dan di sini Kymlicka menggariskan rumusan politis dalam diskursus perihal multikulturalisme. Dengan mencermati diskusi dalam bukunya, jelaslah bahwa politik mulitkulturalisme bangkit dalam tegangan antara hak untuk diperlakukan sama di hadapan aturan (pasal 7 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia) dan interpretasi atas hak bangsa-bangsa atas perkembangan dirinya (pasal 22 Piagam Banjul perihal Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak Bangsa-bangsa).

Politik multikulturalisme mendorong negara liberal untuk memperluas respek terhadap otonomi kultural bangsa lain di luar negeri ke dalam negerinya dalam bentuk legalisasi hak-hak kelompok-kelompok minoritas. Untuk mendasarkan teorinya perihal hak-hak minoritas, Kymlicka bertolak dari subjek hak. Tidak menyerupai lazimnya dalam teori-teori liberal perihal hak, subjek hak di sini bukan individu, melainkan subjek kolektif atau kelompok. Dan ini didiferensiasikan menjadi tiga, yakni di samping [1] “gerakan-gerakan sosial baru” (gerakan kaum homoseksual, kaum miskin kota, kaum catat atau feminisme), tercakup juga [2] “minoritas-minoritas nasional” (kelompok-kelompok masyarakat yang potensial sanggup memerintah sendiri, tetapi diintegrasikan ke dalam sebuah negara yang lebih luas, contohnya Puerto Rico dan Navaho di USA, orang Basque di Spanyol, penduduk berbahasa Prancis di Quebec di Kanada dll.) dan [3] “kelompok-kelompok etnis” (para imigran yang meninggalkan komunitas nasionalnya untuk masuk ke dalam masyarakat lain, contohnya orang Asia, Afrika, Yahudi, Islam dst. di USA atau orang Turki di Jerman). Ketiga subjek itu mempunyai masing-masing tiga macam hak kolektif, yakni hak-hak perwakilan khusus, hak-hak untuk memerintah sendiri dan hak-hak poli-etnis.

Sumber
Hardiman, Budi.F. 2001. Hak-Hak Asasi Manusia; Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta


Download

Belum ada Komentar untuk "Hak-Hak Kaum Minoritas Dalam Masyarakat Multikultural"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel