Hak Asasi Insan Dan Kebebasan Beragama

HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu konsep etika politik modem dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap insan dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral perihal bagaimana seharusnya insan memperlakukan sesamanya manusia. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan anutan inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad’afin) dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya tiba dari mereka yang berpengaruh dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep hak asasi insan ialah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengukuhan terhadap martabat insan sebagai makhluk termulia di muka bumi.
Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan insan sebagai titik sentral pembangunan (human centred development). Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap insan sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menempatkan insan sebagai subyek, bukan obyek dan memandang insan sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya.
Sebagai makhluk bermartabat, insan mempunyai sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, ibarat hak hidup, hak beropolitik, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan biar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan insan sehingga dilarang ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap insan dalam bentuk apa pun dan juga dilarang ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.
ISU KEBEBASAN BERAGAMA DALAM DOKUMEN HAM
Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM), ditemukan juga di dalam banyak sekali dokumen historis perihal HAM, ibarat dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). Pasal 2 DUHAM menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, ibarat ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”
Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya sanggup dinikmati bersama orang lain, ibarat hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik, antara lain mernuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi wanita dan pria untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada ketika penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak antara pria dan wanita untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh pria dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.
Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen HAM internasional tersebut secara terperinci disebutkan dalam pasal 18: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini meliputi kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bahu-membahu dengan orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.“
Hak kebebasan beragama dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini meliputi kebebasan untuk menganut atau mendapatkan suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bahu-membahu dengan orang lain, di kawasan umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau mendapatkan suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.
DUHAM menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi insan dasar), yaitu hak asasi insan yang paling mendasar dan dikategorikan sebagai hak yang paling penting untuk diprioritaskan di dalam banyak sekali aturan dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak asasi insan dasar itu ialah serangkaian hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material insan dalam rangka mewujudkan keberadaan kemanusiaan insan yang utuh, yaitu insan yang berharga dan bermartabat. Walaupun, secara eksplisit tidak dijumpai satu ketetapan atau klarifikasi yang merinci perihal hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human rights ini, namun, secara umum sanggup disebutkan hak-hak asasi dasar tersebut meliputi hak hidup, hak atas pangan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama. Hak-hak itu, dan juga secara keseluruhan hak asasi insan didasarkan pada satu asas yang fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Hak kebebasan beragama digolongkan dalam kategori hak asasi dasar manusia, bersifat mutlak dan berada di dalam lembaga internum yang merupakan wujud dari inner freedom (freedom to be). Hak ini tergolong sebagai hak yang non-derogable. Artinya, hak yang secara spesifik dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi insan sebagai hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi apa pun, termasuk selama dalam keadaan bahaya, ibarat perang sipil atau invasi militer. Hak yang non-derogable ini dipandang sebagai hak paling utama dari hak asasi manusia. Hak-hak non derogable ini harus dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara pihak dalam keadaan apapun dan dalam situasi yang bagaimanapun.
Akan tetapi, kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang, ibarat tindakan berdakwah atau membuatkan agama atau keyakinan dan mendirikan kawasan ibadah digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom to act). Kebebasan beragama dalam bentuk ini diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa diatur atau ditangguhkan pelaksanaannya. Namun, perlu dicatat, bahwa penundaan pelaksanaan, pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang. Adapun alasan yang dibenarkan untuk melaksanakan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu ialah semata-mata proteksi atas lima hal, yaitu: public safet; public order; public helth; public morals; dan protection of rights and freedom of others. Dengan demikian tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau pembatasan itu ialah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan insan atau hak milik mereka.
Prisip kebebasan beragama di dalam dokumen-dokumen hak asasi insan tidaklah berdiri sendiri melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lainnya, yaitu kebebasan pikiran dan hati nurani. Pada esensinya, kebebasan beragama atau berkeyakinan mengandung paling sedikit delapan komponen, yaitu: kebebasan internal, kebebasan eksternal, non-coercion, non-discrimination, hak orang renta dan wali, kebebasan kelembagaan dan status legal, batas yang diperbolehkan bagi kebebasan eksternal dan bersifat non-derogability.
Masalahnya kemudian, apakah yang dimaksud dengan agama dalam dokumen HAM tersebut? Menarik diketahui bahwa dokumen hak asasi insan tidak menawarkan definisi yang aktual perihal apa itu agama. Alasannya, sangat jelas. Untuk menghindari kontroversi filosofis dan ideologis serta polemik yang berkepanjangan. Sebab, definisi agama sangat bermacam-macam dan amat problematik menentukan satu definisi dalam rumusan legal. Hukum hak asasi insan internasional menemukan istilah yang sempurna untuk melindungi hak-hak itu di bawah judul yang disepakati yaitu: kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama. Pada prinsipnya, kebanyakan kaidah internasional yang dikembangkan mengarah pada upaya melindungi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan. Dengan ungkapan lain, yang dilindugi dan dihormati ialah hak dan kebebasan insan untuk menentukan atau tidak menentukan beragama dan berkeyakinan.
Mengapa agama tetap dibutuhkan manusia? Sebab, dalam menghadapi realitas hidup yang serba kompleks ini, insan secara fisik maupun psikis selalu terhadang oleh banyak sekali situasi krisis, terutama tiga bentuk situasi krisis yang abadi, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian, dan kelangkaan. Agama dengan wawasan supra-empirisnya dipandang sebagai satu-satunya solusi yang sanggup membantu insan mengikuti keadaan dengan situasi krisis eksistensial tersebut. Agama sanggup menawarkan kepada insan kebebasan untuk mencapai niai-nilai yang mentransendensikan tuntutan dari kehadiran sosial. Karena itu, agama ialah bersifat sungguh-sungguh pribadi dan sungguh-sungguh sosial. Dalam realitas sosiologis agama sering didefinisikan sebagai sebuah sistem keyakinan dan ritual yang mengacu kepada sesuatu yang dipercayai bersifat suci yang mengikat seseorang atau kelompok, sebagaimana dinyatakan oleh Durkheim (1912). Agama juga didefinisikan sebagai rangkaian balasan yang koheren pada dilema keberadaan manusia, berupa kelahiran, kesakitan, dan kematian, yang menciptakan dunia bermakna, ibarat diterangkan oleh Marx Weber (1939).
Berbeda dengan pendekatan sosiologis itu, praktik empiris yang terjadi di Indonesia ialah bahwa pemerintah Indonesia merumuskan pengertian sendiri perihal agama. Agama secara sepihak oleh pemerintah (sedikitnya sebagian pegawanegeri negara) dan sebagian kelompok masyarakat diperlakukan sebagai suatu sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, dan oleh lantaran itu mengandung anutan yang jelas, mempunyai nabi dan sudah barang tentu juga kitab suci. Itulah sebabnya seringkali terdengar pendapat yang salah kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah ialah agama-agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Lalu, semenjak simpulan 2006 termasuk Konghucu.
Pendekatan empiris di Indonesia itu mempunyai implikasi yang merugikan masyarakat penganut kepercayaan atau agama-agama lokal yang dalam pendekatan sosiologis termasuk dalam kategori agama. Kerugian tersebut, antara lain dalam wujud tiadanya proteksi negara terhadap hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Agama dan kepercayaan mereka tidak diakui sebagai agama yang sah dan oleh lantaran itu pengikutnya mendapat perlakuan yang bersifat diskriminatif, terutama dari institusi negara.
AGENDA INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA
Hal-hal apa saja bahwasanya yang ingin dilindungi melalui acara internasional proteksi hak kebebasan beragama? Sebelum menjawab pertanyaan penting ini, perlu terlebih dahulu menjelaskan makna kebebasan dalam perspektif HAM.
Menurut Groome, kebebasan adalah kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan penghalang atau hambatan; kekuasaan untuk memilih. Lebih jauh Groome membagi kebebasan dasar ke dalam dua kategori, yaitu hak-hak dan proteksi pribadi; dan hak-hak dan proteksi di dalam sistem keadilan. Kelompok hak dan proteksi pribadi mencakup: kebebasan beragama; kebebasan berfikir; kebebasan berekspresi; kebebasan pers; kebebasan berserikat; kebebasan bergerak; hak untuk kehidupan pribadi; hak untuk berkumpul; hak untuk berserikat; hak atas pendidikan; dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintah. Dari sini kemudian dikenal istilah four freedom (empat kebebasan) oleh F.D. Roosevelt, yaitu: kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan berkeinginan dan kebebasan dari perasaan ketakutan.
Esensi dari kebebasan beragama atau berkeyakinan tercakup dalam delapan komponen utama, sebagai berikut.
1. Kebebasan Internal: Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini meliputi kebebasan untuk menganut atau tetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya.
2. Kebebasan Eksternal: Setiap orang mempunyai kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya.
3. Tidak ada Paksaan: Tidak seorangpun sanggup menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk mempunyai atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak Diskriminatif: Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: orisinil atau pendatang, serta asal usulnya.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah, kalau ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal: Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi komunitas keagamaan ialah untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh lantaran itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang dijinkan pada Kebebasan Eksternal: Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya sanggup dibatasi oleh undang-undang, dan itupun semata-mata demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum, serta dalam rangka melindungi hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.
8. Non-Derogability: Negara dilarang mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun dan atas alasan apapun.
Bagaimana Seharusnya Bentuk Perlindungan Hak Kebebasan Beragama di Indonesia?
Prinsip kebebasan beragama di Indonesia di samping mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM, ibarat dipaparkan sebelumnya, juga harus mengacu kepada konstitusi dan sejumlah Undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM. Di antaranya, UU No. 7 Tahun 1984 perihal Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No. 9 Tahun 1999 perihal Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 perihal proteksi Anak, UU No. 23 Tahun 2004 perihal Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005 perihal pengesahan Kovenan Internasional perihal pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali.
Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari pengukuhan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu selanjutnya diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan menjalankan ibadah berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan disini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu. Dengan ungkapan lain, agama merupakan kasus individu dan bukan kasus negara. Negara cukup menjamin dan menfasilitasi biar warga negara sanggup menjalankan agama dan peribadatannya dengan nyaman dan aman, bukan tetapkan mana anutan agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga negara. Demikian pula, negara sama sekali tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama; negara juga tidak berhak tetapkan mana agama resmi dan tidak resmi; tidak berhak menentukan mana agama induk dan mana agama sempalan. Negara pun tidak berhak mengklaim kebenaran agama dari kelompok mayoritas dan mengabaikan kelompok minoritas. Bahkan, negara juga tidak berhak mendefinisikan apa itu agama. Penentuan agama atau bukan hendaknya diserahkan saja sepenuhnya kepada penganut agama bersangkutan. Bahkan, berdasarkan Agus Salim, salah satu tokoh penting the Founding Fathers Indonesia, Pancasila menjamin setiap warga negara memeluk agama apapun, bahkan juga menjamin setiap warga negara untuk menentukan tidak beragama sekalipun.
Kebebasan beragama, ialah prinsip yang sangat penting dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sehingga harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Oleh lantaran itu prinsip ini perlu diwujudkan ke dalam suatu UU yang memayungi kebebasan beragama. UU ini dibutuhkan untuk memproteksi warga dari tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis agama sekaligus juga membatasi otoritas negara sehingga tidak mengakibatkan campur tangan negara dalam hal aqidah (dasar-dasar kepercayaan), ibadah, dan syari’at agama (code) pada umumnya. Tujuan lain ialah menyadarkan seluruh warga negara akan hak-hak asasinya sebagai insan yang bermartabat dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama, serta potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut. UU semacam itu harus mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih operasional.
Apa saja yang harus dicakup dalam prinsip kebebasan beragama? Mengacu kepada dokumen HAM internasional, konstitusi dan sejumlah undang-undang tersebut, maka kebebasan beragama harus dimaknai sebagai berikut.
Pertama, kebebasan setiap warga negara untuk menentukan agama atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah berdasarkan agama dan keyakinan masing-masing.
Kedua, kebebasan dan kemerdekaan membuatkan agama, menjalankan misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung. Demikian pula tidak mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat insan sehingga tidak dibenarkan melaksanakan pemberian tunjangan apa pun, pembagian materi makanan, pemberian beasiswa atau dana kemanusiaan kepada belum dewasa dari keluarga miskin atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu.
Ketiga, kebebasan beragama seharusnya meliputi pula kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara berhak untuk menentukan agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya sanggup membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama hendaknya dipahami sebagai sebuah proses pencarian atau inovasi kesadaran gres dalam beragama.
Anehnya sikap umum pemerintah dan masyarakat terhadap orang-orang yang pindah agama tidak konsisten, dan cenderung diskriminatif. Sebab, kalau seseorang itu berpindah ke dalam agama yang kita anut, kita cenderung menerimanya dengan sukacita atau bahkan merayakannya. Sebaliknya, kalau seseorang itu berpindah dari agama kita ke agama lainnya (keluar dari agama kita), kita cenderung murka dan memandang pelakunya sebagai murtad, kafir, musyrik dan sebagainya. Hal ini sangat tidak adil. Bagaimana mungkin kita sanggup mendapatkan perpindahan seseorang ke dalam agama kita dan menolak hal yang sama. Sebab, orang yang pindah agama itu murtad dalam pandangan semua agama. Jika bisa mendapatkan orang lain masuk ke dalam agama kita, seharusnya gampang pula mendapatkan orang kita masuk ke agama lain. Mengapa dalam beragama ada semacam pikiran culas? Hanya mau untung tetapi takut rugi.
Keempat, kebebasan beragama hendaknya juga meliputi kebolehan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi. Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk tujuan perdagangan wanita dan anak wanita (trafficking in women and children) yang akhir-akhir ini menjadi warta global.
Yang penting dilindungi ialah hak warga negara untuk mencatatkan insiden penting tersebut, baik kepada lembaga pencatatan sipil maupun KUA. Negara berkewajiban mencatatkan insiden sipil warga, ibarat kelahiran, perkawinan, dan kematian, sebaliknya warga negara berhak mendapatkan pelayanan registrasi. Dalam hal ini negara tidak mencampuri urusan mekanisme ijab kabul berdasarkan ketentuan atau upacara agama apapun. Kedua calon mempelai berhak melangsungkan ijab kabul berdasarkan pilihan dan kesepakatan bersama. Otoritas agama boleh saja menciptakan fatwa atau keputusan yang mengharamkan perkawinan lintas agama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram ijab kabul antara pemeluk agama yang berbeda. Namun fatwa atau keputusan tersebut tidak mengikat negara dan masyarakat.
Kelima, kebebasan beragama hendaknya juga meliputi kebebasan mempelajari anutan agama manapun di lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk lembaga pendidikan milik pemerintah. Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak menentukan atau menentukan agama mana yang akan dipelajarinya. Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang dianut penerima didik. Demikian juga, kebebasan untuk menentukan tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan sanggup mewajibkan penerima didiknya untuk mengikuti pelajaran kebijaksanaan pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, lantaran pelajaran itu penting bagi pembentukan aksara warganegara yang baik.
Keenam, kebebasan beragama memungkinkan negara sanggup mendapatkan kehadiran sekte, paham, dan aliran keagamaan gres sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum dan tidak pula melaksanakan praktek-praktek yang melanggar hukum, ibarat sikap kekerasan, penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama.
Ketujuh, kebebasan beragama mendorong lahirnya organisasi-organisasi keagamaan untuk maksud meningkatkan kesalehan warga, meningkatkan kualitas kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan anutan agama tertentu selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu agama atau keyakinan sebagai syarat. Konsekuensinya, negara atau otoritas keagamaan apa pun dilarang menciptakan fatwa atau keputusan aturan lainnya yang menyatakan seseorang sebagai kafir, murtad atau berdosa. Atau memberi label terhadap suatu paham, sekte, aliran keagamaan atau kepercayaan tertentu sebagai paham sesat.
Kedelapan, kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara dilarang bersikap memihak terhadap kelompok keagamaan tertentu dan berbuat diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Dalam konteks ini seharusnya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, juga tidak ada istilah penganut agama samawi dan non-samawi. Demikian juga tidak perlu ada istilah agama induk dan agama sempalan. Jangan lagi ada istilah agama resmi dan tidak resmi atau diakui dan tidak diakui pemerintah. Setiap warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agamanya.
Pengaturan Hak Kebebasan Beragama Dalam RUU KUHP
Mengamati RUU KUHP, khususnya berkaitan dengan pasal-pasal yang memuat soal tindak pidana terhadap agama terkesan tiga hal.
Pertama, bahwa RUU ini sangat ambisius mengatur soal agama. Pada UU kitab undang-undang hukum pidana sebelumnya kasus agama hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 156 a perihal tindak pidana terhadap tindakan penodaan pada suatu agama yang dianut di Indonesia. RUU kini merumuskan soal agama dalam suatu potongan khusus yang dinamakan Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, terdiri dari dua bagian. Pertama, soal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama; dan kedua, soal tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah. Seluruhnya tercakup dalam 8 pasal, yakni pasal-pasal 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, dan 348.
Kedua, RUU ini sangat rinci mengatur soal kehidupan beragama. Mungkin tujuan semula dari para penyusun RUU tersebut ialah biar ketentuan dalam pasal-pasal Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama itu tidak menjadi pasal karet. Dapat ditafsirkan sesuai keinginan siapa saja sehingga menyulitkan bagi hakim atau pengambil keputusan untuk tetapkan keputusan yang adil dan diterima semua pihak. Akan tetapi, meskipun semakin rinci suara pasal-pasal tersebut tetap saja multi tafsir. Sebab, agama ialah hal yang sangat absurd lantaran berada di wilayah yang paling privat dalam kehidupan manusia. Sebaliknya, agama sangat terbuka untuk penafsiran, tergantung siapa yang menafsirkan dan motivasi apa yang bermain di balik penafsiran itu.
Ketiga, RUU ini sangat diskriminatif terhadap agama-agama di luar agama resmi atau kelompok minoritas sehingga sanggup menjadi pembenaran bagi munculnya kekerasan atas nama agama. Sebab, ada kesan mendalam bahwa pasal-pasal dalam RUU itu hanya melindungi agama, masyarakat, negara dalam konteks peraturan yang berlaku ketika ini di tanah air. Dengan demikian, proteksi dan proteksi yang dibangun dalam RUU ini hanya ditujukan kepada agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah melalui banyak sekali peraturan, yaitu 6 agama saja: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu . Tambahan lagi, yang diproteksi dan dilindungi itu pun terbatas pada kelompok mainstream dari masing-masing agama tadi. Jadi, Ahmadiyah, meskipun termasuk rumpun Islam, yakni agama yang diakui, tetaqp tidak berhak dilindungi lantaran menyempal dari mainstream. Demikian, pula sekte dan aliran agama lainnya yang bukan mainstream. Fatalnya nanti, RUU ini sanggup menjadi pembenaran bagi tindak kekerasan terhadap kelompok agama yang bukan dari 6 agama dimaksud atau terhadap kelompok minoritas atau kelompok sempalan dari keenam agama tersebut.
Berikut ini akan dipaparkan analisis kritis terhadap pasal-pasal dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana yang berbicara soal tindak pidana terhadap agama dari perspektif HAM.
Pertama, pasal 341: “Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melaksanakan perbuatan yang sifatnya penghinaan terhadap agama, dipidana dengan pidana penjara paling usang 2 tahun atau denda paling banyak Kategori III“. Pertanyaan penting dalam pasal ini ialah apa yang dimaksudkan dengan penghinaan terhadap agama? Pasal ini mengesankan bahwa yang dilindugi ialah agama, dan tentu saja yang dikehendaki ialah terbatas pada enam agama yang “diresmikan“ pemerintah. Ini menyalahi ketentuan HAM, lantaran yang harus dilindungi ialah insan yang menganut agama itu, bukan agama itu sendiri. Setiap insan harus dilindungi dari semua bentuk penghinaan. Agama tidak perlu diberikan perlindungann dan memang bukan subyek yang butuh perlindungan.
Kedua, pasal 342: “Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Apa yang dimaksud dengan menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya? Pasal inipun mengesankan hal yang sama dengan pasal sebelumnya, yakni perlindugan terhadap Tuhan, firman dan sifat-Nya. Menggelikan sekali mengapa Tuhan harus dilindungi, bukan sebaliknya. Justru Tuhan yang harus melindungi manusia, makhluk ciptaan-Nya sendiri. Prinsip HAM berakar dari penghormatan dan penghargaan kepada insan sebagai makhluk bermartabat, sehingga manusialah yang berhak mendapatkan perlindungan. Yang dibutuhkan dalam hal ini ialah proteksi terhadap hak manusia, pilihan manusia, dan kebebasan manusia. Terserah pada manusia, agama atau kepercayaan apa yang dipilihnya sepanjang hal itu dilakukan secara sukarela, bukan dipaksa, ditekan atau diintimidasi.
Ketiga, pasal 343: “Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, anutan agama atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Apa yang dimaksud mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, anutan agama atau ibadah keagamaan? Apakah melaksanakan kajian kritis, dalam bentuk kajian teologis, atau psikologis terhadap konsep agama, Rasul, Kitab Suci dan sebagainya juga termasuk dalam hal ini? Demikian pula, seirama dengan dua pasal sebelumnya, pasal inipun tidak relevan lantaran proteksi disediakan bagi agama Rasul, Nabi, Kitab Suci, anutan agama atau ibadah keagamaan, bukan terhadap insan yang menentukan keyakinan atau agama tersebut.
Keempat, pasal 344: (1) “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan goresan pena atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan, suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 341 atau pasal 343 dengan maksud biar isi tulisan, gambar atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV; (2) “Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 tahun semenjak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan aturan tetap lantaran melaksanakan tindak pidana yang sama, maka sanggup dijatuhi pidana embel-embel berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut.“ Pasal ini sangat berbahaya lantaran multi tafsir, bisa dimafaatkan oleh oknum tertentu untuk mencelakakan seseorang atau kelompok yang tidak sefaham dengannya.
Kelima, pasal 345: “Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling usang 4 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Pasal ini aneh sekali, lantaran tidak terperinci apa yang diinginkan dengan kata menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia. Sekilas pasal ini melarang upaya-upaya dakwah dan missionaris agama yang sering dianggap sebagai kegiatan menghasut penganut agama lain yang ujungnya akan meniadakan atau menukar agama seseorang. Dokumen HAM menjamin kebebasan setiap orang untuk menjalankan agamanya, membuatkan anutan agamanya sepanjang tidak melaksanakan upaya-upaya pembodohan secara nyata atau terselubung, tidak menggunakan pemaksaan, kekerasan dan intimidasi.
Keenam, pasal 346: (1) “Setiap orang yang menganggu, merintangi, atau dengan melawan aturan membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jemaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling usang 3 tahun atau denda paling banyak Kategori IV; (2) “Setiap orang yang menciptakan gaduh di akrab bangunan kawasan untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II“. Sekilas pasal 346 ini sangat menawarkan pengharapan terhadap pemeluk agama yang selama ini sudah stress berat dan frustasi lantaran tidak jelasnya sistem aturan yang berlangsung di negeri ini. Pasal ini secara aktual menawarkan proteksi dan proteksi terhadap siapa pun yang sedang menjalankan ibadahnya. Namun, dalam banyak kasus selama ini realisasinya, proteksi dan proteksi ialah monopoli kelompok agama mayoritas dan mainstream.
Ketujuh, pasal 347: “Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melaksanakan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling usang 2 tahun atau denda paling banyak Kategori III“. Sulit sekali melaksanakan kontrol atau memonitor sikap mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melaksanakan tugasnya. Sebab, sikap mengejek sulit diidentifikasi secara jelas, tergantung siapa yang mendefinisikannya.
Kedelapan, pasal 348: “Setiap orang yang menodai atau secara melawan aturan merusak atau mengkremasi bangunan kawasan beribadah atau benda yang digunakan untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Sepintas, pasal ini amat berkhasiat bagi penegakan hak kebebasan beragama di tanah air. Sebab, setiap orang yang melaksanakan penodaan dan keonaran akan dieksekusi sesuai peraturan yang berlaku. Namun, dalam implementasinya, pasal ini hanya ditujukan kepada kelompok penganut agama resmi dan kelompok mainstream. Mengapa? Karena logika yang umum digunakan pegawanegeri negara ialah bahwa penganut agama di luar agama resmi dan pengikut kelompok minoritas ialah orang-orang yang menyalahi aturan sehingga mereka tidak akan mendapatkan proteksi hukum, bahkan pantas dihukum.
Secara umum pasal-pasal yang bicara soal penghinaan terhadap agama (pasal 341, 342, 343, dan 344) dan yang mengungkap soal penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama (pasal 345), serta yang menyatakan perihal gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan (pasal 346-347-348) sangat jauh dari spirit proteksi hak kebebasan beragama ibarat ditegaskan dalam DUHAM, konstitusi, dan sejumlah UU nasional perihal HAM. Perlindungan hak kebebasan beragama dalam banyak sekali dokumen tersebut menekankan pada proteksi hak asasi manusia, yaitu hak untuk menganut dan tidak menganut agama atau keyakinan tertentu, hak untuk melaksanakan ibadah atau ritual sesuai keyakinan dan agama, dan hak untuk menyiarkan atau mengajarkan tanpa mengancam kebebasan orang lain. Jadi, yang dilindungi ialah manusia, bukan agama, bukan Rasul, bukan Tuhan sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal tersebut.
Kebebasan individu ialah prisip dasar proteksi manusia. Dalam konteks ini, harus dipastikan bahwa pemaksaan kehendak dan kekerasan apapun alasannya ialah penghinaan terhadap kebebasan individu dan lantaran itu harus diberangus atas dasar hak asasi manusia. Oleh lantaran itu, harus dicatat bahwa pementingan individu dalam hak asasi insan bukalah pementingan yang egoistik, melainkan selalu diikuti dengan tuntutan kewajiban-kewajiban sosial. Artinya, pemenuhan hak asasi insan selalu mempertimbangkan prasyarat-prasyarat sosial, dilarang diselenggarakan dengan cara-cara kekerasan apa pun alasannya. Kebebasan individu sealu berujung pada penghormatan kebebasan individu lain.
Dalam konteks proteksi terhadap hak kebebasan beragama ini, seharusya negara bersipat netral dan tidak memihak kepada siapa pun dan kepada golongan agama manapun. Negara harus menjamin penyeleggaraan agama atas alasan sosial, yaitu sebagai hak individu dan sebagai pilihan bebas individu. Negara tidak menjamin isi sebuah agama atau keyakinan, Negara hanya menjamin hak insan untuk beragama dan berkeyakinan secara bebas dan damai.
Mungkinkah Pembatasan Hak Kebebasan Beragama?
Hak kebebasan beragama tentulah bukan hak mutlak tanpa batas, melainkan dibatasi oleh kewajiban dan tanggung jawab seseorang untuk menghargai dan menghormati sesama manusia, apapun agamanya. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi pemerintah menawarkan kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan pembatasan-pembatasan dalam kehidupan keagamaan. Akan tetapi, harus diingat bahwa semua bentuk pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan dengan undang-undang. Alasan pembatasan tersebut harus terkait dengan upaya-upaya proteksi atas lima hal yang akan dijelaskan nanti.
Pembatasan kebebasan beragama hanya dibutuhkan kalau mengarah kepada pembatasan untuk mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan anutan agama atau keyakinan seseorang yang termasuk kebebasan bertindak (freedom to act). Jadi, pembatasan tidak meliputi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam pengertian freedom to be. Sebab, segaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kebebasan untuk mengimplementasikan anutan agama atau keyakinan bersifat derogable, boleh dibatasi, diatur, atau ditangguhkan pelaksanaannya. Dengan demikian tujuan utama pembatasan itu ialah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan orang (kehidupan, integritas, kesehatan mereka) atau kepemilikan mereka. Pembatasan itu semata-mata dimaksudkan untuk melindungi keselamatan seluruh masyarakat.
Oleh lantaran itu, regulasi negara dalam kehidupan beragama tetap diperlukan. Regulasi dimaksud dilakukan dalam rangka menawarkan proteksi kepada warga negara, bukan intervensi. Untuk tujuan-tujuan tersebut, negara perlu tetapkan rambu-rambu biar para pemeluk agama tidak mengajarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat dan kesehatan mereka, tidak mengajarkan kekerasan (violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun, dan tidak melaksanakan penghinaan terhadap pengikut agama lain.
Pertanyaannya, elemen-elemen apa saja yang sanggup dimuat di dalam pengaturan pembatasan tersebut? Pembatasan dimaksud sebagaimana terbaca dalam pasal 18, ayat (3): meliputi lima elemen berikut: keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order), kesehatan masyarakat (public health), etik dan moral masyarakat (morals public), dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundemental rights and freedom of others). Secara lebih rinci diuraikan di bawah ini.
1. Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi Keselamatan Masyarakat). Dibenarkan pembatasan dan larangan terhadap anutan agama yang membahayakan keselamatan pemeluknya. Contohnya, anutan agama yang ekstrim, contohnya menyuruh untuk bunuh diri, baik secara individu maupun secara massal. Atau anutan agama yang melarang penganutnya menggunakan helm pelindung kepala dalam berkendaraan.
2. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau masyarakat. Di antaranya, aturan perihal keharusan mendaftar ke tubuh aturan bagi organisasi keagamaan masyarakat; keharusan mendapatkan ijin untuk melaksanakan rapat umum; keharusan mendirikan kawasan ibadat hanya pada lokasi yang diperuntukkan untuk umum; dan aturan pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi nara pidana.
3. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan dengan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melaksanakan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melaksanakan vaksinasi, Pemerintah sanggup mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit berbahaya, ibarat TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada anutan agama tertentu yang melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan infus dan seterusnya. Demikian pula, contohnya larangan terhadap anutan agama yang mengharuskan penganutnya berpuasa sepanjang masa lantaran dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.
4. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Misalnya, melarang implementasi anutan agama yang menyuruh penganutnya bertelanjang bundar ketika melaksanakan ritual.
5. Restriction For The Protection of The Fundamental Rigths and Freedom of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan orang lain).
(1) Proselytism (Penyebaran Agama): Dengan adanya sanksi terhadap tindakan proselytism, pemerintah sanggup mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi biar kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau dikonversikan.
(2) Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak mendasar dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, hak kebebasan dari kekerasan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga eksploitasi hak-hak kaum minoritas.
Penutup dan Rekomendasi
Dokumen HAM internasional, konstitusi Indonesia dan sejumlah undang-undang secara tegas menyatakan kebebasan beragama merupakan hak asasi insan yang paling mendasar dan dilarang dikurangi sedikitpun (non-derogable). Negara menjamin pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan kebebasan beragama, baik sebagai hak asasi yang mendasar bagi setiap manusia, maupun sebagai hak sipil bagi setiap warga negara.
Upaya pemenuhan dan proteksi terhadap hak kebebasan beragama di Indonesia yang masyarakatnya dikenal sangat heterogen dalam hal agama dan keyakinan menjadi sangat relevan dan signifikan. Sebab, akan membawa kepada tumbuhnya rasa saling menghargai dan menghormati di antara warga negara yang berbeda agama, dan pada gilirannya membawa kepada timbulnya sikap toleransi dan cinta kasih di antara mereka. Toleransi beragama dan perasaan cinta kasih merupakan faktor secara umum dikuasai bagi terwujudnya keadilan sosial ibarat diamanatkan dalam Pancasila, dan terciptanya kerjasama kemanusiaan menuju perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam harapan kemerdekaan Republik Indonesia.
Cita-cita luhur dan ideal inilah yang mendasari para pendiri republik ini (the founding fathers) ketika merumuskan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 29 perihal kebebasan beragama. Spirit kebangsaan mereka hendaknya menjadi teladan dalam membangun peradaban bangsa ini ke depan sehingga tidak ada alasan untuk tidak mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana digariskan oleh para pendiri republik tercinta ini.
Akhirnya, sebagai rekomendasi untuk solusi ke depan, penulis mengajak seluruh elemen bangsa, seluruh unsur civil society: kelompok akademisi, korporasi, agamawan, dan budayawan biar membangun sinergi, bergandeng tangan, pundak membahu untuk menegakkan hak dan prinsip kebebasan beragama di negeri ini melalui upaya-upaya aktual sebagai berikut.
Pertama, melaksanakan upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Perlu sekali mengubah budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan bahagia kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, cinta tenang dan pluralis.
Kedua, merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak aman bagi terwujudnya kebebasan beragama di tanah air, ibarat RUU KUHP, khususnya potongan perihal Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama.
Ketiga, mengembangkan reinterpretasi anutan agama yang lebih aman bagi pemenuhan hak kebebasan beragama. Itulah anutan agama yang hakiki, anutan yang membebaskan insan dari belenggu tirani dan kebencian, anutan yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Wa Allah a’lam bi as-shawab.



PASAL YANG MENGATUR KEBEBASAN BERAGAMA:
1.      Pasal 2 DUHAM menyatakan:
2.       PBB tahun 1948
3.      dokumen HAM internasional tersebut secara terperinci disebutkan dalam pasal 18:
4.      UU No. 12 Tahun 2005.
Prisip kebebasan beragama di dalam dokumen-dokumen hak asasi insan tidaklah berdiri sendiri melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lainnya, yaitu kebebasan pikiran dan hati nurani. Pada esensinya, kebebasan beragama atau berkeyakinan mengandung paling sedikit delapan komponen, yaitu: kebebasan internal, kebebasan eksternal, non-coercion, non-discrimination, hak orang renta dan wali, kebebasan kelembagaan dan status legal, batas yang diperbolehkan bagi kebebasan eksternal dan bersifat non-derogability.
Hak dalam HAM
Hak seketika:
non-derogabl race: hak seketika dan dilarang ditunda ibarat hak bernafas, hak hidup dll. Sebenarnya hak pendidikan termasuk dalam hak tersebut namun pemerintah belum bisa merealisasikan.
Hak yang sanggup ditunda:

hak ekonomi, hak politik.

Belum ada Komentar untuk "Hak Asasi Insan Dan Kebebasan Beragama"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel