Download Makalah Sejarah Perkembangan Fiqh Dari Masa Kerajaan Hingga Masa Reformasi Di Indonesia


A.    Perkembangan Fiqh di Kerajaan-Kerajaan Islam Di Nusantara
Sebelum kemerdekaan, wilayah nusantara masih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan yang besar dan terkenal. Sebelum kedatangan Islam, kerajaan tersebut masih menganut kepercayaan hindu atau budha. Akan tetapi, sesudah kurun ke-13, Islam mulai masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh pedagang-pedagang yang berasal dari timur tengah dan berkembang begitu pesat[1].
Berikut perkembangan aturan islam di kerajaan-kerajaan islam di nusantara.
1.      Perkembangan aturan islam di sumatera
Pada pertengahan kurun ke-13, di Sumatera telah bangkit kerajaan Islam Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia, kerajaan ini terletak di pesisir timur bahari aceh yang kini merupakan wilayah Kabupaten Lhouksumawe. Samudera Pasai ialah sebuah kerajaan maritim, samudera pasai telah mengadakan kekerabatan dengan Sultan Delhi di India pada pelayaran kerajaan Samudra Pasai merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpulnya para ulama dari banyak sekali negara Islam[2].
a.       Kerajaan Samudera Pasai
Samudera pasai merupakan kerajaan islam pertama di indonesia, kerajaan ini di didirikan sekitar kurun pertengahan kurun ke-13 sebagai hasil proses islamisasi daerah-daerah pantai yang peernah disinggahi pedagang-pedagang muslim absurd semenjak kurun ke-7, ke-8 M, dan seterusnya. Lahirnya kerajaan samodera pasai merupakan tonggak sejarah, sekaligus cikal bakal di daerah-daerah lain di nusantara sehingga dimasa  berikutnya lahir kerajaan islam.
Mazhab aturan islam yang berkembang di kerajaan samudera pasai yaitu mazhab syafi’i. Dari pasai inilah tersebar mazhab syafi’inke kerajaanlainnya di di indonesia.
b.      Kerajaan Aceh
Setelah kerajaan samudera pasai ditaklukan oleh portugis sekitar tahun 1512, kerajaan itu berada di bawah efek kesultanan aceh yang berpusat di bandar aceh begawan. Sama halnya dengan pasai, aceh juga menjadi tempat yang strategis.
Mazhab aturan islam yang berkembang dikerajaan aceh ialah mazhab Syafi’i yang pada masa pemerintahan sultan iskandar muda mempunyai seorang mufti terkemuka berjulukan syekh abdul ra’uf singkel. Selain itu juga terdapat seorang ulama besar nuruddin arraini dengan karyanya sebuah kitab siratul musthaqim. Kitab tersebut di gunakan sebagai madia penyebaran islam dan sebagai fatwa bagi guru-guru agama. (Warkum sumitro 2004 : 18)
2.      Perkembangan aturan islam di jawa
Perkembangan di Jawa tidak bisa dipisahkan dari peranan wali, jumlah wali yang populer hingga kini ialah sembilan, yang dalam bahasa dikenal dengan sebutan wali songo[3]. Para wali yang termasuk dalam wali songo ialah sebagai berikut.
a.       Kerajaan Demak
Demak merupakan kerajaan islam pertama yang ada di jawa. Raja yang pertama berkuasa ialah Raden Patah. Peninggallan kerajaan demak yang hingga kini masih miliki nilai historisbagi agama islam yakni masjid demak. Selain sebagai narasumber aturan islam yang berkaitan dengan dengan masalah-masalah kehidupan dalam masyarakat. Di kerajaan demak juga terdapat jema’ah islam yang sangat besar pegaruhya dan sanggup mengadakan kekerabatan denaagn pusat-pusat islam internasional di luar negeri, ibarat di mekkah dan turki.
b.      Kerajaan Mataram
Lahirnya kerajaan mataram merupakan anugerah dari raja pajang yakni Sultan Adi Wijaya kepada kepada Ki Gede pamanahan dikarenakan telah berhasil menumpas pemberontakan aria panangsang.
Sebelum sultan agung berkuasa aturan islam tidak banyak besar lengan berkuasa dikalangan kerajaan. Pada masa sultan agung mulai hidup dan besar lengan berkuasa besar di kerajaan tersebut. Hal tersebut sanggup di buktikan denagn berubahnya tata aturan di mataram yang mengadili perkara-perkara yang membahayakan keselamatan kerajaan.
c.       Kerajaan Cirebon
Cirebon merupakan kerajaan islam pertama di jawa barat. Tome Peres menyebutkan bahwa islam sudah ada di cirebon sekitar tahun 1470-1475M orang yang berhasil meningkatkan status cirebon menjadi kerajaan yaitu Syarif Hidayat yang populer dengan sunan gunung jati dialah pendiri kerajaan cirebon.
Hukum  islam di kerajaan cirebon sanggup berkembang dengan baik, terutama hukum-hukum yang berafiliasi dengan problem kekeluargaan. Di bawah efek dan kepemimpinan fatahillah, seorang tokoh wali sanga, aturan islam di kerajaan cirebon mengalami perkembagan yang pesat. Pesatnya perkembanagn islam dan kuatnya efek aturan islam di sana, lapangan aturan terrtentu bisa menggeser aturan jawa kuno sebagai aturan orisinil penduduk setempat.
d.      Kerajaan Banten
Banten sudah menjadi kata penting semenjak sebelum islam tiba ke Indonesia, yaitu ketika banten berada dalam kekuasaan raja-raja sunda, bahkan mngkin sebelumnya. Dalam kisah parahyangan (tulisan sunda kuno) terdapat nama wahanten girang. Nama itu sanggup dihubungkan dengan nama banten,sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai utara jawa.
Pada masa pemerintahan dipegang oleh yusuf tercatat seorang ulama yang ikut didalam gerakan perlawanan terhadap pakuan. Orang itu berjulukan “ molana Judah” ( dari Jeddah arab) berkat jasa ulama dari Jeddah itulah hokum islam di banten sanggup berkembang dengan baik.
Perkembangan aturan islam yang baik di banten itu diteruskan oleh Muhammad sebagai penguasa kerajaan banten ketiga. Bahkan atas permintaan pangeran mas, Muhammad telah melaksanakan ekspedisi bersenjata kepalembang guna memperluas daerah islam. Keberhasilan politk dari kerajaan banten untuk penyebaran islam itu mekipun  berdasarkan certa dilakukan dengan kekerasan, ternyata mempunyai efek yang besar bagi ekspansi daerah raja-raja islam di jawa tengah dan jawa timur. Dengan demikian, di dalam sejarah tercatat sederetan kerajaan islam di jawa timur dan jawa tengah.

e.       Kerajaan Tuban
Tuban merukan kota yang terletak di utara jawa timur, lantaran keadaan geografisnya, kemudian di jadikan pelabuhan yang kurang penting kalau di bandingan dengan gresik. Meski demikian, diduga semenjak zaman dahulu tuban menjadi kedudukan penguasa-penguasa yang kuat. Oleh lantaran itu, tuban juga menjadi kota yang populer dan penting didaerah pantai utara jawa timur.
Para ulama yang muncl di tuban antara lain Raden Rahmat yang kemudian dikenal sebagai sunan khatib ngampel Surabaya. Sekitar abad  ke-17 dan ke-18 kota tuban dianggap tidak mempunyai arti  di bidang politik dan ekonomi. Namun demikian, kota tuban masih dikenal sebagai tempat bermukim para ulama besar, antara lain haji Ahmad Mustaqim dan kemudian terdokumentasi didalm goresan pena jawa yang dikenal dengan nama  “serat cabolek”.
3.      Perkembangan aturan islam di sulawesi
Masuknya islam di Sulawesi tidak terlepas dari peranan Sunan Giri di Gresik. Hal itu lantaran Sunan Giri menyelenggarakan pesantren yang banyak didatangi oleh santri dari luar Jawa, ibarat ternate dan hiu. Pada kurun ke-16 di sulsel telah bangkit kerajaan hindhu gowa dan tallo. Penduduknya banyak yang memeluk agama islam lantaran hubungannya dengan kesultanan Ternate[4].
4.      Perkembangan aturan islam di Kalimantan
Pada kurun ke-16, islam mulai memasuki kerajaan Sukadana. Dibagian selatan Kalimantan bangkit kerajaan islam banjar pada sekitar tahun 1526. Pangeran Suriansyah merupakan tokoh yang amat penting dalam sejarah islam di Kalimantan. Dalam usaha berbagi islam/ Syekh muhamad arsyad al-Banjari mendirikan pondok pesantren untuk menampung santri yang tiba dari banyak sekali pelosok Kalimantan. Pada masa berikutnya muncul seorang satria Kalimatan yang sangat berjasa dalam berbagi islam. Ia ialah sultan amirudin khalifatul mukminin. Yang lebih dikenal nama pangeran Antasar[5]i.
5.      Perkembangan aturan islam di Maluku dan Irian Jaya
Penyebaran islam di Maluku tidak lepas dari jasa para santri Sunan Drajat yang berasal dari Ternate dan Hitu. Di Maluku ada 4 kerajaan bersaudara yang berasal dari keturunan yang sama yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Raja Tidore masuk islam dan mengganti nama menjadi Sultan Jamalludin. Demikian juga raja Jailolo, ia masuk isalm dan mengganti nama menjadi Sultan Hassanudin. Peran kesultanan Ternate dalam penyebaran islam gres dimulai pada masa Sultan Zaenal Abidin. Ia juga berhasil mengambangkan islam ke Maluku dan Irian Jaya bahkan hingga ke Filipina.

B.     Hukum Islam Pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah aturan Islam di tempat nusantara berdasarkan sebagian jago sejarah dimulai pada kurun pertama hijriyah, atau pada sekitar kurun ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam tempat nusantara, tempat utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada kurun ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke banyak sekali wilayah nusantara kemudian mengakibatkan beberapa kerajaan Islam bangkit menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh bangkit Kesultanan Malaka, kemudian di pulau Jawa bangkit Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku bangkit Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian memutuskan aturan Islam sebagai aturan positif yang berlaku. Penetapan aturan Islam sebagai aturan positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar kurun 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda tiba ke tempat nusantara.

C.    Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap tempat nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC sanggup dikatakan mempunyai tugas yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan alasannya ialah Pemerintah Kerajaan Belanda memang mengakibatkan VOC sebagai perpanjang tangannya di tempat Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan memakai aturan Belanda yang mereka bawa[6].
Dalam kenyataannya, penggunaan aturan Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan lantaran penduduk pribumi berat mendapatkan hukum-hukum yang absurd bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan aturan Islam, sanggup dicatat beberapa negosiasi yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
·         Dalam Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa aturan kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
·         Adanya upaya kompilasi aturan kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
·         Adanya upaya kompilasi serupa di banyak sekali wilayah lain, ibarat di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini mempunyai kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah aturan pidana Islam.
Pengakuan terhadap aturan Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras untuk berkuasa di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akhir adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menuntaskan problem itu. Diantaranya dengan
1.      Menyebarkan agama Nasrani kepada rakyat pribumi,
2.      Membatasi keberlakuan aturan Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan aturan Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis ialah sebagai berikut :
1.      Pada pertengahan kurun 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan aturan di Indonesia dengan aturan Belanda.
2.      Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan aturan Islam di bawah subordinasi dari aturan Belanda.
3.      Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam menyidik kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh aturan sopan santun setempat).
4.      Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling  (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang pada dasarnya kasus perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam kalau hal itu telah diterima oleh aturan sopan santun dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
Lemahnya posisi aturan Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

D.    Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan mengalah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk tempat Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan banyak sekali peraturan. Salah satu diantaranya ialah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan gres ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan aturan Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melaksanakan banyak sekali kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1.      Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama lebih banyak didominasi penduduk pulau Jawa.
2.      Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3.      Mengizinkan berdirinya ormas Islam, ibarat Muhammadiyah dan NU.
4.      Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
5.      Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6.      Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta spesialis aturan adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk memberikan laporan ihwal hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi aturan Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman gres bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak mempunyai para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam ialah suatu kekuatan di Indonesia yang sanggup dimanfaatkan[7].
E.     Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memperlihatkan banyak pengalaman gres kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian menciptakan mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi pinjaman kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan kalau beberapa tubuh dan komite negara, ibarat Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah tubuh yang dibuat atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha semoga aggota tubuh ini cukup representatif mewakili banyak sekali golonga dalam masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang ihwal dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini mengakibatkan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sebetulnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akibatnya gagal ditetapkan ketika akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang memberikan keberatan golongan Nasrani di Indonesia Timur. Hatta menyampaikan ia menerima informasi tersebut dari seorang opsir angkatan bahari Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada ketika itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang memberikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu kemudian perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Nasrani dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu ketika sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status aturan Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada harapan umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun sesudah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai negosiasi dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akibatnya tidak usang sesudah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 penggalan negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri kalau ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi aturan Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi aturan Islam sebagaimana rancangan Undang-Undang Dasar 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun ketika negara penggalan RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara penggalan tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya setuju membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Akan tetapi, kalau dikaitkan dengan aturan Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh Undang-Undang Dasar Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang memperlihatkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ini ialah terbukanya peluang untuk merumuskan aturan Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 Undang-Undang Dasar sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam ketika mengajukan rancangan undang-undang ihwal Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akhir “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan sesudah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, lantaran konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti Undang-Undang Dasar Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti Undang-Undang Dasar Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk menentukan dan membentuk Majlis Konstituante pada simpulan tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas simpulan masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan aturan Islam dalam kejadian Dekrit ini ialah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai Undang-Undang Dasar 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi aturan Islam dalam UUD, bahkan berdasarkan Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik ialah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana kalau tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini ialah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal ialah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sebetulnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap daerahnya semakin merosot akhir aksi Belanda, terutama sesudah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, berdasarkan sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap taktik para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.

F.     Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru kalau dikatakan bahwa Orde Lama ialah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian mendapatkan Manipol Usdek-nya Soekarno. bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi dewan perwakilan rakyat Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya ialah ihwal upaya unifikasi aturan yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun aturan Islam ialah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan aturan Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu menciptakan hal ini semakin kabur. Dan tugas aturan Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya[8].
Menyusul gagalnya perebutan kekuasaan PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun aturan di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan kiprahnya sebagai pembela Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.


Meskipun kedudukan aturan Islam sebagai salah satu sumber aturan nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan pinjaman kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan aturan formil yang mengatur forum peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu tubuh peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya berdasarkan Hazairin, aturan Islam telah berlaku secara pribadi sebagai aturan yang bangkit sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya aturan Islam semakin terang ketika UU no. 14 Tahun 1989 ihwal peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan aturan Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil ketika pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden mendapatkan hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama[9].
G.    Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akibatnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya aturan Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 ihwal Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan aturan Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu sanggup mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum[10].
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan aturan Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang positif di era ini. Salah satu buktinya ialah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam ihwal Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem aturan Islam untuk memperkaya khazanah tradisi aturan di Indonesia. Kita sanggup melaksanakan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan aturan gres yang bersumber dan berlandaskan sistem aturan Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma aturan positif yang berlaku dalam aturan Nasional kita.













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Akar  sejarah  hukuIslam di kawasan  nusantara  menurusebagian ahli  sejarah  dimulai  pada  abad  pertama  hijriyah,  atau  pada  sekitar  abad ketujuh dan kedelapamasehi. Sebagai  gerbanmasuk ke dalam kawasan nusantara kawasan  utara  pulau   Sumatera-la yang  kemudian  dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu  di  pulau  Jawa  berdiri  Kesultanan   Demak Matara dan  Cirebon, kemudiadi Sulawesi dan Malukberdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore. Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke banyak sekali wilayah nusantara kemudian mengakibatkan beberapa kerajaan Islam bangkit menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh bangkit Kesultanan Malaka, kemudian di pulau Jawa bangkit Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku bangkit Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Pada masa ini aturan Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan tepat (syumul), meliputi problem mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam problem ibadah. Hukum Islam juga menjadi sistem aturan berdikari yang dipakai di kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, aturan islam menjadi aturan yang positif di nusantara.



B.  SARAN
Dalam menegakkan syariat islam, para pendahulu harus merintangi jalan berbatu dan berliku. Kita sebagai penerus harus dan sepatutnya mengikuti dan melanjutkan usaha mereka.
























DAFTAR PUSTAKA

Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum ihwal Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Kencana. 1999).
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007).
Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012).




[1] Hutabarat, Ramly. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. 2005. hlm 61 -62
[2] Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Kencana. 1999), hlm. 22.
[3] Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Kencana. 1999), hlm. 30.
[4] Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Kencana. 1999), hlm. 36.
[5] Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Kencana. 1999), hlm. 40.
[6] Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Kencana. 1999), hlm. 56.
[7] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. hlm 145
[8] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm 138
[9] Samsul Nizar,Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 345.

[10] Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum ihwal Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000. hlm 46

Belum ada Komentar untuk "Download Makalah Sejarah Perkembangan Fiqh Dari Masa Kerajaan Hingga Masa Reformasi Di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel