Download Makalah Pengertian Ja'alah

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ja'alah
Menurut bahasa ja'alah berarti mengupah. secara syara' sebagaimana dikemukakan oleh sayyid sabiq dalam bukunya yang berjudul fiqh al-sunnah:[1]
عقد على منفعة يظن حصؤ له   
Artinya:"sebuah janji untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat sanggup diperoleh".
Dalam istilah lain, ja'alah selalu pula diartikan dengan "sayembara".[2]Secara istilah, berdasarkan madzhab malikiyyah, ja'alah yaitu janji sewa (ijarah) atas suatu manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terdapat probabilitas atas keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatu pekerjaan).[3]

B. Hukum Ja'alah                                              
Ja'alah termasuk salah satu jenis janji yang hukumnya jaiz (diperbolehkan) oleh sebagian ulama, tetapi sebagian lain ada pula yang tidak mengizinkan janji jenis ini. Perbedaan pandangan ini sanggup diterima, lantaran janji dalam lapangan ja'alah tidak sama dengan pelaksanaann janji ijarah yang murni merupakan upah tanpa ada unsur untung-untungan.[4]
Menurut ulama Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabalah, secara janji ja'alah diperbolehkan. [5]
Para ulama yang berpendirian bahwa transaksi ja'alah itu diperbolehkan berargumentasi bahwa secara historis Rasulullah memperbolehkan mendapatkan upah atas pengobatan kepada seseorang dengan mempergunakan ayat-ayat al-Qur'an, menyerupai dengan ayat-ayat dalam surat al-Fatihah. Namun yang perlu dicatat disini ialah bahwa kebolehan itu hanya berlaku bila diperlukan, dalam arti bahwa kebolehannya itu bukanlah mutlak sebagaimana kebolehan dalam lapangan ijarah. Alasan lain yang mereka pakai ialah firman Allah dalam surat Yusuf ayat 72 yang berbunyi:
ؤ لمن خاء به  حمل بعير ؤ ا نا به زعيم   
"Dan siapa yang sanggup mengembalikannya akan menperoleh materi masakan beban unta, dan saya menjamin terhadapnya".[6]
Menurut madzhab Hanafiyyah, janji ja'alah tidak diperbolehkan, lantaran mengandung unsur gharar  didalamnya. Yakni ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan.Hal ini ketika dianalogkan (qiyas) dengan janji ijarah yang mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun demikian, ada sebagian ulama hanafiyyah yang memperbolehkannya, dengan dasar istihsanan (karena ada nilai manfaat).[7]

C. Perbedaan antara ja'alah dan ijarah[8]
Akad ja'alah berbeda dengan janji ijarah, terutama terkait dengan kesepakatan yang terdapat didalamnya. Perbedaan tersebut sanggup dilihat dalam poin berikut:
Pemilik pekerjaan (ja'il) gres akan mencicipi manfaat, ketika pekerjaan telah usai dilaksanakan, menyerupai ditemukannya aset yang hilang, atau hilangnya penyakit yang diderita. Berbeda dengan ijarah, penyewa (musta'jir) sanggup nenerima manfaat, ketika ajur telah melaksanakan sebagian pekerjaannya. Konsekuensinya, pekerja dalam janji ja'alah tidak akan mendapatkan upah, jikalau pekerjaannya tidak selesai. Sedangkan dalam ijarah, 'amil (pekerja,ajir) berhak mendapatkan upah atas pekerjaan yang telah dikerjakan, walaupun belum tuntas.
akad ja'alah mengandung unsur gharar didalamnya, yakni ketidakjelasan jenis pekerjaan dan jangka waktu yang dibutuhkan, harus dijelaskan secara detail. Akad ijarah harus dibatasi dengan waktu, berbeda dengan ja'alah. Yang terpenting yaitu selesainya sebuah pekerjaan, tidak bergantung pada pembatasan waktu.
Dalam janji ja'alah tidak diperbolehkan mensyaratkan adanya pembayaran upah dibayar dimuka. Berbeda dengan janji ijarah, upah sanggup dipersyaratkan untuk dibayar dimuka.
Akad ja'alah bersifat jaiz gharar lazim (diperbolehkan dan tidak mengikat), sehingga boleh dibatalkan. Berbeda dengan janji ijarah bersifat lazim (mengikat), dan tidak sanggup dibatalkan sepihak.(zuhaili, 19989,IV,hal. 786)

D. Rukun Ja'alah[9]
Rukun ja'alah ada empat yaitu:
1. Pemberi Ja'alah
Ia harus mempunyai dua syarat kualitatif:
pertama, memiliku kebebasan berbuat dengan syarat semua tindakannya sah dengan apa yang dilakukannya sebagai upah baik beliau sebagai pemilik atau bukan, termasuk didalamnya wali dan tidak termasuk anak kecil, orang absurd dan idiot.
kedua, mempunyai pilihan, jikalau dipaksa, maka janji tidak sah.
2. Pekerja
Ia harus memenuhi beberapa syarat:
pertama, mempunyai izin untuk bekerja dari orang yang punya harta, jima ia bekerja tanpa ada izin darinya menyerupai ada harta yang hilang kemudian beliau menemukannya atau binatang yang tersesat kemudian beliau mengembalikan kepada pemiliknya, maka dalam hal ini beliau tidak berhak mendapat ja'alah lantaran beliau memperlihatkan pertolongan tanpa ada ikatan upah, maka beliau tidak berhak dengan upah itu, adapun jikalau diizinkan olehl si pemilik harta dan disyaratkan ada ja'alah-nya kemudian beliau bekerja, maka beliau berhak mendapatkan ja'alah, lantaran si pemilik harta mendapatkan manfaat dari usahanya dengan janji ja'alah, maka si pekerja pun berhak dengan ja'alah itu sama menyerupai orang yang disewa.
kedua, hendaklah si pekerja orang yang memang hebat dengan pekerjaan itu jikalau memang dijelaskan bentuknya, maka sah janji ja'alah dengan orang yang memang ahlinya walaupun masih anak-anak, absurd atau yang sedang dicabut haknya lantaran idiot berbeda dengan anak kecil yang tidak sanggup bekerja lantaran keuntungannya tidak ada dan memperlihatkan janji ja'alah kepadanya sama dengan menyewa orang yang buta untuk menjaga sesuatu.
Si pekerja boleh bukan orang tertentu menyerupai ucapannya: "Siapa yang sanggup mengembalikan hewanku yang hilang, maka beliau berhak mendapat begini," jikalau beliau mengembalikannya, maka beliau berhak mendapat ja'alah yaitu upah yang tidak didengar oleh orang yang mengembalikan dari verbal si pemberi ja'alah eksklusif namun beliau mendengarnya dari orang yang beliau yakini kejujurannya.
ketiga, si pekerja tidak berhak mendapatkan upah kecuali jikalau sudah selesai bekerja, jikalau disyaratkan untuk mengembalikan unta yang lari kemudian beliau mengembalikannya hingga ke pintu rumah kemudian lari lagi atau mati sebelum diterima oleh si pemberi ja'alah, maka beliau tidak berhak mendapatkan sesuatu dari ja'alah yang ada lantaran maksud dari janji yaitu mengembalikan, dan upah sebagai bayarannya dan disini tidak ada hasil.

3. Upah
upah dalam ja'alah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Pertama, berupa harta yang memang menjadi maksud untuk dimiliki, terhormat, atau hak khusus dan jikalau bukan yang menjadi tujuan dari mempunyai menyerupai darah dan lainnya, maka tidak boleh.
Kedua, harus diketahui lantaran beliau yaitu bayarab, maka harus ada pengetahuan tentangnya menyerupai upah dalam janji sewa, seandainya tidak diketahui menyerupai ucapannya siapa yang mengembalikan hartaku atau hewanku yang hilang, maka beliau mendapat baju atau saya beri beliau sesuatu, ini tidak sah lantaran janji ja'alah yaitu janji saling ganti dan dihentikan dengan ganti (upah) yang tidak terang sama dengan janji nikah.
Jika disyaratkan upah yang tidak niscaya kemudian beliau tetap bekerja, maka si pekerja berhak dengan upah standar kerja, lantaran setiap janji yang wajib memperlihatkan upah dalam janji yang sahnya, maka wajib dengan upah yang serupa untuk janji yang rusak, menyerupai jual beli dan nikah, lantaran janji ini diperbolehkan untuk keperluan, dan tidak ada keperluan terhadap sesuatu yang tidak diketahui berbeda dengan pekerjaan, lantaran tidak diketahuinya upah sanggup menghilangkan maksud dari akad, atau menciptakan orang tidak mau bekerja lantaran upahnya tidak jelas.
Istilah kenal atau tahu dengan upah sanggup melalui penglihatan eksklusif jikalau memang sudah ditentukan, atau dengan ciri jikalau masih ada dalam tanggungan, seandainya beliau berkata: "siapa yang mengembalikan hewanku yang hilang, maka beliau berhak mendapatkan apa yang dibawa oleh binatang tersebut," dan yang dibawa binatang itu memang diketahui menyerupai pelana, tali kekang atau sesuatu yang lain yang dibawa oleh binatang tersebut dan diketahui oleh si pekerja, maka hukumnya boleh jikalau beliau tahu dan kalau tidak, maka tidak boleh.
 Kesimpulannya bahwa disyaratkan dalam upah sama dengan apa yang disyaratkan dengan harga barang,  apa yang tidak sah untuk dijadikan ja'alah. Dan si pekerja berhak mendapatkan bayaran standar honor janji yang tidak diketahui bayaranny, dan najis yang dimaksud menyerupai arak, kulit bangkai, jikalau bukan yang termasuk tujuan dari pemilikan menyerupai darah, maka tidak ada upah bagi si pekerja.

4. Pekerjaan
pekerjaan dalam ja'alah harus memenuhi syarat berikut:
Pertama, pekerjaan yang ditawarkan mempunyai tingkat kesusahan, maka tidak ada upah bagi pekerjaan yang tidak ada beban menyerupai ucapannya siapa yang memperlihatkan harta saya, maka beliau menfapatkan begini, kemudian ditunjukkan hartanya yang ada ditangan orang lain lantaran apa yang dibebankan padanya tidak perlu ada bayarannya.
Kedua, pekerjaan yang ditawarkan kepadanya bukan satu pekerjaan yang wajib bagi si pekerja secara syar'i, jikalau ia wajib secara syar'i kemudian beliau mengembalikannya, maka beliau berhak mendapatkan upah, jikalau beliau menyampaikan siapa yang mengembalikan hartaku, maka beliau mendapatkan begini, kemudian dikembalikan oleh orang yang memang wajib untuk mengembalikannya lantaran beliau seorang perampas dan yang lainnya, maka beliau tidak berhak mendapatkan upah yang telah disebutkan lantaran sesuatu yang wajib baginya secara syar'i tidak ada upah jikalau dikerjakan.
Ketiga, hendaklah si pekerja menyerahkan barang yang akan dikembalikan kepada pemiliknya, seandainyaa ia rusak sebelum diserahkan walaupun sudah masuk rumah si pemilik namu. belum diserahkan, maka tidak ada ganti.
Tidak ada perbedaan dalam pekerjaan antara sudah diketahui atau tidak dan susah mengetahuinya lantaran mebutuhan menyerupai dalam janji bagi hasil bahkan lebih susah lagi, jik tidak susah mengetahuinya, maka perlu dirincikan, dalam hal membangum tembok perlu dijelaskan tempat, panjang, lebar dan ketinggian dan bahkan materialnya, dan untuk jahitan perlu dijelaskan coraknya, dan jenis kainnya sama menyerupai janji sewa.
Jika sudah diketahui, maka tidak ada keraguan lagi akan sahnya akad, menyerupai ucapannya: "Siapa yang sanggup mengembalikan kepadaku hewanku yang hilang dari daerah begini, maka baginya begini" dan inilah yang paling baik.
Ada yang mengatakan, bahwa setiap pekerjaan yang diketahui, terperinci dihentikan dibiarkan walaupun dengan janji sewa.
5. Sighat (Ucapan)
Ucapan ini tiba dari pihak pemberi ja'alah sedangkan dari pihak si pekerja, maka tidak disyaratkan ada ucapan dan dengan ada qabul darinya dengan ucapan walaupun barangnya sudah terang lantaran yang dinilai yaitu pekerjaannya sama dengan janji perwakilan, dan tidak batal seandainya beliau menjawab, ya seandainya ia menjawab kepadanya saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya mendapat bayaran satu dinar kemudian si pemberi ja'alah berkata ya atau menjawabnya, maka sudah dianggap cukup.
shighat (ucapan) dijadikan rukun lantaran janji ja'alah merupakan janji saling memberi dan penetapan syarat ucapan berarti tidak ada penentuan waktu seban penentuan waktu sanggup mengakibatkan hilangnya tujuan dari janji ja'alah, seandainya ia berkata siapa yang menhembalikan hewanku hingga bulan begini, maka janji tidak sah sam menyerupai janji qiradh. lantaran penentuan waktu sanggup merusakkan tujuan akad, sanggup jadi beliau tidak mendapatkannya sehinhga pekerjaannya sia-sia dan tidak mencapai hasil.

E. Syarat Ja’alah
Upah dalam ja’alah berupa harta yg diketahui jenis dan ukurannya lantaran upah yang tidak diketahui tidak sesuai dengan tujuan transaksi ja’alah.
F. Sebab-Sebab Gugurnya Akad Ja'alah[10]
Dari segi  wajib dan bolehnya, janji sanggup dibagi menjadi tiga bagian:
Pertama, wajib bagi kedua belah pihak yang berakad secara niscaya menyerupai janji jual beli, sewa, salam, damai, pemindahan utang, bagi hasil perkebunan, hibah selain anak sesudah diterima dan janji khuluk (meminta cerai).
Akad lain yang berkekuatan wajib bagi kedua belah pihak berdasarkan pendapat yang lebih kuat antara lain janji nikah.  Ia wajib bagi pihak perempuan secara niscaya dan juga dari pihak lelaki berdasarkan pendapat yang lebih kuat, dan kekuasaannya untuk menjatuhkan talak bukan sebagai fasakh.
Kedua, wajib bagi salah satu pihak dan boleh bagi pihak yang lain secara niscaya menyerupai janji gadai, hibah kepada anak sesudah menerima, janji jaminan dan asuransi.
Ketiga, boleh dari kedua pihak menyerupai janji syirkah (kongsi), perwakilan, peminjaman, penitipan, dan ja'alah sebelum pekerjaan selesai.
Dengan begitu boleh bagi siapa saja dari meraka berdua untuk membatalkan janji sebelum ia pekerjaan selesai lantaran janji ini bersifat boleh dari kedua belah pihak, adapun dari aspek ja'alah dikarenakan terkait dengan hak milika dengan syarat sehingga menyerupai dengan janji wasiat.
Dari aspek pekerja, lantaran pekerjaan yang ada tidak diketahui, jikalau keadaanya begitu, maka tidak menjadi wajib sama menyerupai janji qiradh, dan fasakh sanggup terjadi jikalau si pekerja dari awal jikalau pekerjaannya terang berbeda dengan lainnya, tidak sanggup dibayangkan ada fasakh kecuali sesudah beliau memulai bekerja.
Yang dimaksud dengan fasakh mengangkat janji dan mengembalikannya oleh salah satu pihakl yang berakad atau kedua-duanya dan dengan itu semua kesepakatan mereka berakhir, sedangkan jikalau fasakh terjadi sesudah bekerja, maka tidak ada imbas fasakh lantaran ja'alah sudah wajib dan menjadi miliknya.
Sebagaimana janji ja'alah sanggup berakhir dengan fasakh dari salah satu pihak yang berakad menyerupai yang sidah dijelaskan juga sanggup berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak uang berakad, atau lantaran absurd atau pingsan, seandainya pemilik harta meninggal sesudah pekerjaan dimulai kemudian beliau mengembalikannya kepada hebat warisnya, maka beliau berhak mendapatkan upah kerja selama si pemilik harta masih hidup.
Jika sipekerja meninggal kemudian diserahkan oleh hebat warisnya, maka mereka berhak mendapatkan upah yang sudah disepakati.
Jika si pekerja membatalkan janji sebelum ia memulai pekerjaan atau sesudah dimulai, maka tidak ada hak upah baginya seban beliau belum mengerjakan apa-apa dalam pola pertama dan beliau gres sanggup mendapatkan ja'alah pekerjaan selesai untuk pola yang kedua dan beliau mengakhirinya dengan pilihan sendiri.
Jika si pemilik harta membatalkan janji sesudah pekerjaan dimulai, mak beliau berhak mendapat upah standar harian lantaran usahanya lantaran bolehnya beliau memperlihatkan janji kepada si pekerja mengakibatkan beliau mempunyai kuasa untuk membatalkan akad, dan jikalau janji batal, maka upah yang sudah disepakati tidak wajib baginya sama dengan semua bentuk penghapusan namun pekerjaan si pekerja terjadi secara terhormat dengan begitu dihentikan dibatalkan dengan fasakh dari pihak lain, dengan begitu beliau berhak mendapat upah lain berupa upah standar harian sama menyerupai janji sewa jikalau dibatalkan dengan adanya malu dan inilah pendapat yang lebih kuat.
Ada yang mengatakan, si pekerja tidak mendapatkan apa-apa sama dengan jikalau beliau membatalkan janji sendiri. Tidak ada perbedaan antara pendapat ini dengam apa perbuatan si pekerja yang tidak sanggup meraih apa yang menjadi tujuan janji menyerupai mengembalikan binatang yang tersesat hingga setengah perjalanan atau hanya mendapat sebagiannya menyerupai seseorang yang berkata  kepada orang lain: "Jika kau mengajari anakku al-Qur'an maka kau mendapat begini," kemudian beliau melarangnya mengajar dan ini tidak bertentangan dengan apa yang sudah disebutkan dimana kita mengatakan: "Jika si pekerja atau pemilik meninggal dunia ketika pekerjaan sedang dilakukan, maka janji berakhir dan pekerja berhak mendapatkan pecahan upah dari hari yang sudah ditetapkan" lantaran orang yang memperlihatkan janji ja'alah telah menggugurkan upah yang sudah disepakati disini dengan adanya fasakh berbeda dengan duduk perkara yang diatas.
Namun apakah si pemilik harta berhak menambah atau mengurangi ja'alah yanv sudah disepakati? Ya, boleh baginya melaksanakan itu sebelum pekerjaan selesai baik sebelum memulai bekerja atau setelahnya menyerupai bolehnya dalam janji jual beli pada dikala khiyar bahkan yang ini lebih utama menyerupai beliau menyampaikan siapa yang mengembalikan hewanku yang hilang, maka beliau berhak mendapat sepuluh juneh mesir kemudian beliau berkata lagi, baginya lima atau sebaliknya, maka evaluasi memenangkan pendapat kedua dari dua ucapannya dan ini jikalau beliau si pekerja mendengar namun jikalau beliau tidak mendengar, atau sesudah pekerjaan dimulai, maka harus ada upah standar harian pecahan si pekerja yang menjadi tanggung jawab lantaran panggilan terakhir berupa fasakh untuk yang pertama dan fasakh dari pihak pemilik harta pada dikala pekerjaan berjalan berarti ada hak menukarnya dengan upah standar harian dan inilah pendapat yang rajih (unggul) berdasarkan Imam Ghazali. Sedangkan Imam Al-Mawardi Rauyani beliau berhak untuk mengambil upah yang pertama dan diakui oleh As-Subki dan Al-Balqini dan yang lainnya.
Si pekerja berhak mendapatkan upah standar harian jikalau beliau belum mendengar sesudah memulai kerja tidak bertentangan lantaran beliau mengerjakan sesuatu sesudah fasakh, maka ia tidak berhak mendapat upah. Sebab beliau mengerjakan sesuatu sesudah fasakh tanpa ada ganti berbeda dengan duduk perkara yang ini.
Perubahan pada barang yang terjadi sesudah pekerjaan selesai tidak berpengaruh, lantaran ja'alah sudah wajib baginya, wajibnya ja'alah tergantung dengan kesempurnaan pekerjaan, oleh lantaran itu Imam An-Nawawi berkata: "Seandainya binatang yang tersesat mati ditengah perjalanan atau lari, maka si pekerja tidak mendapat apa-apa walaupun sudah berada dirumah si pemilik sebelum diserahkan lantaran beliau belum mengembalikannya."
Dikecualikan dari hal ini seandainya beliau menyewa orang untuk menghajikannya kemudian ia melaksanakannya dengan sebagian amalan haji kemudian meninggal, maka beliau berhak mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaan yang sudah diselesaikannya.
Perbedaan antar keduanya, pertama, tujuan dari haji yaitu pahala dan beliau sudah mendapatkannya dengan sebagian amalan haji, dan disini beliau tidak mendapatkan tujuannya dan inilah perbedaan pertama.
Perbedaan kedua, janji sewa yaitu janji wajib yang dengannya beliau akan mendapatkan sesuatu sedikit sedangkan janji ja'alah janji boleh yang sanggup memutuskan satu hak kecuali dengan syarat dan disini tidak ada.

G. Aplikasi Ja’alah[11]
Aplikasi janji ja’alah pada perbankan syariah antara lain:
a. kartu atm
b. sms banking
c. pembayaran tagihan
d.  pembayaran honor elektronik

KESIMPULAN

ja'alah yaitu janji sewa (ijarah) atas suatu manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terdapat probabilitas atas keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatu pekerjaan). Ja'alah termasuk salah satu jenis janji yang hukumnya jaiz (diperbolehkan). Akad ja'alah berbeda dengan janji ijarah, terutama terkait dengan kesepakatan yang terdapat didalamnya. Rukun ja’alah diantaranya yaitu pemberi ja’alah, pekerja, upah, pekerjaan. Dan sighat, dan adapun syarat ja;alah yaitu harta yg diketahui jenis dan ukurannya. Sedangkan sebab-sebab yang sanggup menggugurkan janji ja’alah sanggup dilihat dari segi  wajib dan bolehnya.






















DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Abdul Ghozali dkk, 2010, fiqh muamalat,jakarta:kencana prenada media group.
Karim, Helmi, 1997, fiqh muamalal,jakarta:PT grafindo persada.
Djuawaini, Dimyaudin. 2008,  pengantar fiqh muamalah, yogyakarta:pustaka pelajar.
Mardani. 2012, fiqh ekonommi syariah  jakarta: kencana  prenada media group.
,Aziz,Abdul. 2008.  pengantar fiqh muamalat, Jakarta: Amzah.





                                         




[1] abdul rahman ghozali dkk,fiqh muamalat,(jakarta:kencana prenada media group,2010),cet1.hlm.141
[2] helmi karim,fiqh muamalal,(jakarta:PT grafindo persada,1997),cet2.hlm.45
[3] Dimyaudin, Djuawaini.pengantar fiqh muamalah,(yogyakarta:pustaka pelajar.2008),cet1.hlm.165
[4] helmi karim,fiqh muamalal,(jakarta:PT grafindo persada,1997),cet2.hlm.45
[5] Dimyaudin, Djuawaini.pengantar fiqh muamalah,(yogyakarta:pustaka pelajar.2008),cet1.hlm.165
[6] helmi karim. fiqh muamalah(jakarta:PT raja grafindo persada.1997). cet2. hlm.45-46
[7] Dimyaudin, Djuawaini.pengantar fiqh muamalah,(yogyakarta:pustaka pelajar.2008),cet1. hlm.166
[8] Ibid.hlm.167-168
[9] Abdul, Aziz. pengantar fiqh muamalat, (Jakarta: Amzah.2008), cet1. hlm.341-345


[10] Abdul, Aziz. pengantar fiqh muamalat, (Jakarta: Amzah.2008), cet1. hlm.341-345


[11] Mardani, fiqh ekonommi syariah ( jakarta: kencana  prenada media group, 2012), cet1. Hlm.315

Belum ada Komentar untuk "Download Makalah Pengertian Ja'alah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel