Download Makalah Pelestarian Lingkungan Dalam Islam
2.1 Konsep Pelestarian lingkungan dalam Islam
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan yaitu untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah menyampaikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan membuat hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai sahabat hidup manusia.
Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya menyampaikan sebuah amanat kepada insan untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini sanggup dilihat dalam QS. Al-A’raf : 56:
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاوَطَمَعاً إِنَّرَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَالْمُحْسِنِين
”Dan janganlah kau membuat kerusakan di muka bumi, sehabis (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan impian (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah amat bersahabat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Larangan pada ayat di atas yaitu larangan untuk berbuat kerusakan di atas bumi. Kerusakan yang dimaksud yaitu bekerjasama dengan banyak sekali bentuk kerusakan, ibarat pembunuhan, perusakan keturunan, akal, dan agama. Sedangkan yang dimaksud dengan kata ”Ba’da Islahiha” yaitu setelah Allah memperbaiki penciptaannya sesuai dengan peruntukkannya bagi kemanfaatan makhluk dan kemaslahatan orang-orang mukallaf.
Hal di atas senada dengan penafsiran yang disampaikan oleh Syihabuddin, bahwa Allah melarang banyak sekali bentuk kerusakan ibarat merusak jiwa (pembunuhan), harta, keturunan, kebijaksanaan dan agama setelah Allah memperbaiki semuanya dan menciptakannya untuk dimanfaatkan oleh makhluk serta untuk kemaslahatan orang-orang mukallaf dengan cara Allah mengutus seorang rasul di atas bumi dengan membawa syari’at dan hukum-hukum Allah.
Abu al-Fida yang ber’alam Kunyah ”Ibnu Katsir” mengatakan, firman Allah swt.
”.وَلاَ تُفْسِدُوا فِى اْلأَرْضِ إلخ” mengandung pengertian bahwa Allah swt. melarang kepada hambanya berbuat kerusakan di atas bumi dan berbuat apa yang sanggup merugikannya setelah adanya perbaikan. Karena sesungguhnya bila segala sesuatu berjalan di atas kebaikan, kemudian terjadi sebuah kerusakan maka akan menyebabkan sebuah kerugian bagi manusia.
Oleh lantaran itu, Allah melarang perbuatan tersebut dan memerintahkan hamba-Nya untuk menyembah, berdo’a, tawaddlu’ dan merendahkan diri kepada-Nya.Ketiga penafsir di atas menyampaikan interpretasi, bahwa kerusakan yang dikandung dalam ayat di atas yaitu banyak sekali kerusakan lingkungan.
Menurut Fuad Amsyari, lingkungan dikelompokkan menjadi tiga.
1. Lingkungan fisik, yakni segala ”benda mati” yang ada di sekitar kita, ibarat rumah, kendaraan, gunung, udara, air, sinar matahari, dan lain-lain.
2. Lingkungan biologis, yakni segala organisme yang hidup di sekitar manusia, baik berupa flora maupun binatang.
3. Lingkungan sosial, yakni manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya, tetangga, teman, atau orang lain yang belum dikenal.
Ketiga kategori lingkungan di atas disebut sebagai lingkungan hidup, yakni segala benda, kondisi, keadaan dan dampak yang terdapat dalam ruang yang kita tempati, dan mensugesti hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia. Dalam kenyataan era kini ini, seluruh kategori lingkungan tersebut benar-benar mengalami gangguan pencemaran yang dahsyat. Seakan-akan pencemaran yang terjadi semakin kompleks.
Bukan saja kerusakan alam, tapi sudah menjalar pada kerusakan lingkungan sosial. Sebab, antara lingkungan fisik dan sikap organisme saling mempengaruhi. Selain sebagai amanat, tindakan memelihara alam (tidak membuat kerusakan di bumi) merupakan manifestasi perintah syukur kepada Tuhan. Karena Islam yaitu agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai syukur, maka dari awal kelahirannya, sudah mengajarkan pentingnya memelihara alam.
Bahkan, ketika perang pun Islam masih mengagungkan titah itu. Tersebut dalam sejarah, para khalifah Islam, ibarat Abu Bakar dan Umar, setiap kali akan melepas laskar ke medan perang tak pernah lupa memperingatkan: ”Jangan tebas pohon atau rambah tanaman, kecuali bila akan dipergunakan atau dimakan, dan janganlah membunuh binatang kecuali untuk dimakan, hormati dan lindungi semua rumah ibadah manapun, serta jangan sekali-kali mengusik mereka yang sedang beribadah berdasarkan agama mereka masing-masing. Janganlah membunuh orang-orang yang tidak bersenjata (yang tidak terlibat eksklusif dalam peperangan).”
Terbukti, ketika haji, orang yang ihram dihentikan membunuh binatang, dan mencabut pohon. Bahkan, bila melanggar akan dikenakan sangsi. Lebih lanjut, Islam juga menyampaikan kabar besar hati bagi mereka yang mau melestarikan alam. Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits pernah besabada, ”Barangsiapa yang menanam sebuah pohon, dan pohon itu berbuah, Allah akan menyampaikan pahala kepada orang itu sebanyak buah yang tumbuh dari pohon tersebut”.
Nabi juga pernah bersabda, ”Memakan setiap binatang buas yang bertaring yaitu haram”. Hadits ini oleh Fuqaha (para jago fiqh) dijadikan dasar atas diharamkannya binatang yang bertaring dan bercakar, ibarat harimau, serigala, beruang, kucing, gajah, badak, macan tutul dan rajawali. Memang, pada mulanya, pelarangan tersebut bersifat tekstual-normatif, lantaran diambil berdasarkan sabda Nabi semata. Namun, pada perkembangan berikutnya, setelah dikontekskan dengan realitas kekinian, pengharaman itu membawa pesan tersirat yang begitu besar.
Binatang-binatang yang diharamkan tergolong spesies binatang yang langka yang dilindungi. Sebut saja contohnya rajawali. Semua jenis binatang ini, di belahan dunia manapun dilindungi. Bukti ini secara tidak eksklusif memperlihatkan bahwa Islam ternyata ikut andil dalam pelestarian binatang langka yang berperan aktif sebagai penjaga ekosistem alam.
Karena pengharaman tersebut didasari teks keagamaan, maka melaksanakannya yaitu sebuah kewajiban bagi setiap umatnya. Bahkan, bukan sekedar kewajiban, tapi kebutuhan manusiawi, sehingga ekosistem tetap terjaga. Pelestarian alam dalam Islam sifatnya konservatif, yang melindungi nilai-nilai yang telah ada. Baik kondisi alami, estetika maupun kekayaan alam yang telah terbentuk semenjak awalnya.Alam, sebagaimana disinggung dalam QS. Al-A’raf : 56, mengalami perubahan menuju pada ekosistem yang seimbang setelah mencapai ratusan bahkan jutaan tahun. Maka, mempertahankan alam yang telah menjalani proses tersebut yaitu sebuah keharusan dan kebutuhan manusia.
Mengingat pentingya pelestarian alam itulah, Islam semenjak zaman Nabi Muhammad saw. telah memperkenalkan daerah lindung (hima’), yakni suatu daerah yang khusus dilindungi pemerintah atas dasar syari’at guna melestarikan kehidupan liar di hutan. Nabi pernah mencagarkan daerah sekitar Madinah sebagai hima’ guna melindungilembah,padang rumput dan flora yang ada di dalamnya.
Lahan yang dia lindungi luasnya sekitar enam mil atau lebih dari 2049 hektar. Selain hima’, Islam juga memperkenalkan konsep ihya’ul mawat, yakni perjuangan mengelola lahan yang masih belum bermanfaat menjadi mempunyai kegunaan bagi manusia. Dua konsep di atas, memperlihatkan kepada kita bahwa Islam yaitu telah sedini mungkin ikut melestarikan alam, sebagaimana juga telah ikut aktif dalam memelihara keberlangsungan binatang langka melalui pelarangan konsumsi.
Inilah makna konsep Rabbil ’alamin (pemelihara seluruh alam), yakni sifat Tuhan yang direalisasikan pada kiprah kekhalifahan manusia. Artinya, segenap makna yang terkandung dalam kata itu harus tercermin dalam setiap tindakan dan sikap insan dengan alam, lantaran ia menempatinya dan bertanggung jawab terhadap eksistensinya.
2.2 Hubungan insan dan lingkungan/alam dalam Islam
Mustofa Abu Sway menggunakan dua kategori untuk membahas korelasi antara insan dan lingkungan, penguasa (khalifah) dan penundukan (taskhir). Kategori pertama memandang bahwa insan yaitu wakil Tuhan di muka bumi. Kekhalifahannya telah dinyatakan sebelum penciptaan insan pertama. Dengan kedudukan ini, insan dilimpahi tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga alam sekitarnya,
Yang juga diiringi dengan ganjaran dan hukuman. Pada posisi ini, kekhalifahan juga bisa menjadi ujian baginya bagaimana ia memerlakukan lingkungannya. Tugas lain insan selaku khalifah yaitu untuk mengamati alam semesta dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan untuk memelihara lingkungan.[1]
Hubungan insan dengan alam dalam Al-Qur’an di mana insan bekedudukan sebagai khalifah, harus juga dilihat dari segi penundukan dan kehambaan. Manusia selaku khalifah di bumi dilengkapi dengan kemampuan menyebarkan pengetahuan dan ditundukkannya alam semesta dan seisinya untuk manusia, Allah lah yang menundukkan langit, bumi dan seisinya, bukan manusia.
Oleh lantaran itu, meskipun insan sebagai khalifah diberi kuasa untuk mengelola dan mmelihara alam, kedudukan insan dengan alam semesta yaitu setara dihadapan Allah.
Sesungguhnya, ketika membahas insan dan alam (lingkungan), posisi Tuhan mustahil diabaikan. Ketika membahas kekerabatan insan dan alam, kiprah dan keberadaan Tuhan juga harus disinggung. Oleh lantaran itu, di samping kekerabatan antara insan dan alam semesta, ada dua kekerabatan yang lain, yaitu:relasi insan dengan Tuhan dan kekerabatan alam semestadengan Tuhan.
Masing-masing dari ketiga kekerabatan di atas mempunyai element penting yang membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan. Relasi antara alam semesta dan Tuhan dihubungkan dengan konsep penundukan, kekerabatan antara insan dan Tuhan dihubungkan dengan konsep kehambaan, kekerabatan antara insan dan alam semesta yaitu kekerabatan khalifah dan amanah.
Tiga kekerabatan di atas, yaitu sebuah sistem yang terstruktur, yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tiga kekerabatan di atas memperlihatkan betapa zat yang paling mempunyai kekuasaan yaitu Tuhan, sehingga semua ciptaannya akan tunduk terhadap-Nya, termasuk manusia. Inilah yang kemudian menjadi konsep kehambaan.
Apabila menggunakan konsep kehambaan (‘abd), maka hal itu bisa dijelaskan bahwa insan dianugerahi potensi sebagai khalifah dan dibekali dengan penundukan alam semesta baginya. Akan tetapi kemampuan dan penundukan tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab melalui elemen amanah dan ‘abd. Jika dilihat dalam kerangka pandangan agama dan lingkungan di atas, maka konsep ini akan lebih sesuai dengan konsep kekerabatan insan dengan semua makhluk.
2.3 Hak-hak masyarakat atas lingkungan yang sehat
Hak lingkungan yang sehat secara harfiyah yaitu keleluasaan masyarakat untuk memperoleh kenyamanan hidup di lingkungan sekitar dan mendapat pelayanan yang sehat, secara tidak eksklusif ketika kita membaca pengertian ibarat ini terlintas akan alam sekitar dan keadaannya,tapi bila dikaji lebih dalam lagi lingkungan yang sehat juga mencakup kebijakan politik mengenai keleluasaan masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini termasuk eksploitasi hutan pada dasarnya hal tersebut berasal dari lingkungan politik yang kurang sehat, termasuk hak atas lingkungan yang sehat.
Diperlukan penguat sebagai pendukung atau yang memfasilitasi terpenuhnya aspek secara output ibarat halnya tersedianya sarana kesehatan peraturan dan aturan mengenahi lingkungan yang sehat dinormakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara terang dalam pasal 28 ayat (1) “ setiap orang berhak hidup sejahtera lahir, batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesejahteraan” pengendali semua kebijakan dan pengatur ketertiban tidak lain dan tidak bukan pemerintah juga sebagai salah satu cuilan penting dalam terlaksanannya lingkungan sehat, setiap warga masyarakat selalu ingin mendapat pelayanan yang memuaskan dalam memperoleh kesehatan lingkungan.
Oleh lantaran itu, kebijakan pemerintah memang benar, namun untuk mengaplikasikannya kedalam suatu masalah masih belum maksimal, seharusnya pengintrolan dilapangan lebih diperketat.
2.4 Lingkungan dalam konstitusi negara-negara di dunia
Istilah Green Constitution atau Konstitusi Hijau belum banyak terkenal di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, alhasil banyak pula pakar aturan Indonesia yang menuliskan tema ihwal green constitution dalam jurnal-jurnal nasional atau artikel. Dalam bukunya, Prof Jimly asshidiqie pun menjelaskan bahwa sebenarnya, sebagai istilah, green constitution bukanlah suatu yang aneh.
Sejak tahun 1970-an, istilah tersebut sudah sering dipakai untuk menggambarkan keterkaitan sesuatu dengan ide pertolongan lingkungan hidup.[2] Dalam jurnal-jurnal atau artikel internasional di beberapa negara, istilah itu juga sudah dipakai semenjak lama.
Negara-negara didunia menyadari bahwa lingkungan saling berkaitan dan dibutuhkan oleh seluruh umat insan tanpa dibatasi oleh teritorial batas negara. Banyak perjanjian Internasioanl yang sudah dibentuk bahkan sudah diratifikasi oleh negara-negara di Dunia.
Beberapa negara memperlihatkan komitmennya dalam pertolongan lingkungan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Diantaranya yaitu negara Portugal, Spanyol, Polandia, Prancis, Ekuador. Bahkan, dalam amanedemen konstitusinya, negara tersebut memasukkan pasal-pasal ihwal pertolongan lingkungan dan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga sanggup efektif untuk kebijakan-kebijakan pemerintah dibawahnya terkait pembangunan negaranya yang berkelanjutan dan pro-lingkungan.
Tidak terkecuali Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai potensi alam yang sangat besar sebagai paru-paru dunia, maka Indonesia dalam Konstitusinya yaitu pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sudah mencerminkan sebagai konstitusi hijau dengan menyampaikan jaminan hak warga negaranya berupa lingkungan yang higienis dan sehat dengan melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Tuntutan reformasi pada tahun 1998 dengan salah satu agendanya yaitu amandemen hingga kepada perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, menghasilkan banyak rumusan pasal-pasal gres terutama terkait dengan Hak Asasai Manusia.
Isu lingkungan pun alhasil menjadi salah satu Hak Asasai Manusia yang tercantum dalam pasal 28H ayat (1) yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal tersebut tentu menyampaikan dampak positif yang secara tidak eksklusif negara berkewajiban untuk betul-betul melestarikan lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk memenuhi hak warga negaranya.[3]
Indonesia sebenarnya telah menerapkan konsep ecocracy yaitu kedaulatan lingkungan hidup atau ekosistem dimana suatu pemerintahan mendasarkan kepemerintahannya secara taat asas pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (ecologically sustainable development). Gagasan ecocracy ini merupakan upaya untuk mengutamakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam arus politik pembangunan nasional.
Namun, walaupun Indonesia dalam konstitusinya telah mengakui subjective right atau duty of the state tetapi pemuatan referensi dan arah pembangunan berkelanjutan belum ditempatkan pada pasal-pasal khusus melainkan ditumpangkan atau dicampurkan dengan hak-hak mendasar lainnya.[4]
Oleh lantaran itu, dengan teori hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ihwal Pembentukan Peraturan perundang-Undangan maka Pemerintah Indonesia wajib menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia biar menjadi peraturan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tata urutan Peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini yang diatur dalam pasal 7 yaitu sebagai berikut:[5]
(1) Undang-undang Dasar 1945
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(3) Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(4) Peraturan Pemerintah
(5) Peraturan Presiden
(6) Peraturan Daerah Provinsi
(7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Tanggal 8 september 2009 dewan perwakilan rakyat dan Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang pertolongan dan pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ihwal Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Terhadap Undang-Undang ini tentunya banyak perubahan. Dari segi judulnya, terang sudah berubah dengan ditambahkannya kalusul kata pertolongan selain kata pengelolaan. Dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk mencegah kerusakan lahan perlu dilakukan penegakkan peraturan perundangan-undangan untuk melindungi lingkungan hidup itu sendiri.[6]
Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang pertolongan dan pengelolaan Lingkungan (UUPPLH) Hidup tentunya masih banyak pembiasaan yang harus dilakukan.
Dalam pelaksanaan teknis Undang-undang tersebut dalam Peraturan pemerintah dan Peraturan presiden hendaknya juga diubahsuaikan dengan UUPPLH yang baru biar tidak terjadi benturan aturan lantaran masih mengacu pada UUPLH yang lama. Hal ini juga diatur pula dalam pasal 44 UUPPLH bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan pertolongan fungsi lingkungan hidup dan prinsip pertolongan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPPLH.
2.5 Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat Dalam Islam, Undang-Undang Dasar 1945, dan HAM
a. Dalam perspektif Islam
Dalam perspektif islam, HAM diletakkan sebagai hurumat (keilmuan, kelapangan, kehormatan). Dengan pengertian ini pada hakikatnya insan didudukkan sebagai makhluk yang dimuliakan tuhan. Manusia dalam kemuliannya ditandai dengan kewajiban untuk mengabdi kepada ilahi dan korelasi baik dengan sesamanya serta memelihara kewajiban tanggung jawab secara vertikal dan horizontal. Manusia dalam Islam bukanlah pemilik hak asasi melainkan yang dititipi hak asasi untuk ditegakkan tolong-menolong insan lainnya.
Fundamental HAM dalam Islam telah dirumuskan Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah. Nilai yang hidup dalam HAM versi Islam sebagaimana ditegaskan dalam Piagam Madinah tersebut adalah: Pengakuan adanya hak hidup, hak kemerdekaan, hak persamaan, hak keadilan, hak pertolongan hukum, hak pertolongan dari kezaliman penguasa, hak pertolongan dari penyiksaan, hak untuk berlindung, hak untuk melaksanakan kolaborasi dalam kehidupan sosial, hak minoritas, serta hak ekonomi.
Mayoritas negara-negara Islam yaitu tergolong keadaan barisan negara-negara dunia ketiga yang banyak mencicipi perlakuan ketidak adilan negara-negara barat atas nama HAM. Dalam pandangan negara-negara Isalam, HAM Barat tidak sesuai dengan pandangan pedoman Islam yang telah ditetapkan Allah SWT.
Maka negara-negara Islam yang tergabung dalam Organization of Islamic Comfrence (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluar deklarasi ihwal kemanusiaan sesuai syariat Islam. Konsep HAM hasil rumusan negara-negara OKI dikenal dengan sebutan DEKLARASI KAIRO ini berisi 24 pasal ihwal HAM berdasarkan Al- Alquran dan Sunnah yang dalam penerapannya dan relitasnya mempunyai beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak asasi insan (the Universal Declaration of Human Rights) yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948.
b. Dalam perspektif Undang-Undang Dasar 1945
Banyak terjadi kesenjangan sosial dan kasus-kasus sosial yang ada dirakyat Indonesia dimana kakayan alam dan sumber-sumber laianya serta keuntunganya yang didapat dari eksploitasi sumberdaya alam, yang hanya dinikmati oleh kelompok dan golongan tertentu saja sedangkan rakyat Indonesia selalu menuai dampak peristiwa dan bahkan nyawa menjadi taruhanya.
Bagi Indonesia pembangunan nasional yang diselenggarakan yaitu mengikuti referensi pembangunan berkelanjutan yang diakomodasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) ketentuan tersebut menyampaikan dasar aturan bagi peyelenggaraan pengelolan lingkungan hidup yang bertujuan melestarikan kemempuan lingkungan hidup biar sanggup tetap menunjang kesejahteraan dan mutu hidup generasi mendatang.
Bagian ’hukum lingkungan’ ini akan menguraikan struktur aturan pertolongan lingkungan dan mendiskusikan peraturan-peraturan yang menyampaikan kesempatan pada pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan penguatan pada:
1. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
2. peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
3. pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
4. prosedur aturan peyelesaian sengketa lingkungan.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, didalam UU N0.23 tahun 1997 ihwal pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 ayat (3) meyatakan pembangunaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yaitu upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam peroses pembangunaan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Untuk memungkinkan pembangunaan berkelanjutan ini diharapkan pokok-pokok kebijaksanaan sebagai beerikut :
1. pengelolan sumberdaya alam perlu direncanakaan sesuai dengan daya dukung lingkungan melalui planning tata ruang wilayah
2. proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melelui penerapan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
3. pengembangaan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan
4. pengendalian kerusakan lingkungan
5. pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan.
6. pengembangan peran-serta masyarakat kelembagaan dan ketenagaaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
7. pengelolaan pencemaran air, udara dan tanah.
8. pengembangan aturan lingkungan yang mendorong tubuh peradilan untuk meyelesaikan sengketa melalui penerapan aturan lingkungan
9. pengembangan kerjasama luar negeri.
Kontek hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat pada tingkat internasional, diatur secara ekspelisit dalam deklarasi Universal hak asasi insan (DUHAM) ini sudah terang sebenarnya lingkungan yang baik dan sehat yang merupakan hak asasi manusia, itu harus dijaga dan dipertahankan lantaran bersangkutan dengan perkembangan lingkungan tersebut biar tetap terjaga. Sehingga juga tergabung dalam rumpun hak ekonomi, sosial, dan budaya, (EKOSOBUD).
Justifikasi internasional menyangkut interaksi hak atas lingkungan sehingga ditafsirkan menjadi HAM dilihat antara lain ;
1. African charter on human and peopple rights, pasal 21 ayat 1
2. Kovenan internasional ihwal hak-hak ekonomi, social, dan budaya (kovenan hak ekosob) , pasal 1 ayat 2
3. Resolusi PBB 1803 (XVII) 12 Desember 1962
4. Resolusi PBB 3281 (XXIX) 12 Desember 1974
5. Agenda 21 KTT bumi Rio de Janeiro 1992.
Secara konsitusional, hak atas lingkungan dalam aturan nasional indonesia tercantum dalam beberapa aturan yaitu ;
1. Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan ”membentuk suatu pemerintah negara indonesia yang meindungi segenap bangsa indonesia ”.... serta dikaitkan pula dengan hak penguasaan kepada negara atas bumi, air dan kekayaan terkandung didalamya ntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
2. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat 1 meyebutkan ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanaan kesehatan
3. Piagam HAM dan merupakan cuilan tak terpisahkan dari TAP MPR NO XVII/MPR/1998 yang ditetapkan oleh sidang istimewa MPR tahun 1998. diantaranya mayatakan ”bahwa insan yaitu mahluk ilahi yang maha esa, yang berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan harmonis dalam bentuk ketaatan kepada NYA.
4. UU No.23 tahun 1997 pasal 5 ayat (1), ”setiap orang mampunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, pasal 8 ayat (1), ”sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakn untuk sebesar-besarya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturanya ditentukan oleh pemerintah,”
4. UU No.23 tahun 1997 pasal 5 ayat (1), ”setiap orang mampunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, pasal 8 ayat (1), ”sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakn untuk sebesar-besarya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturanya ditentukan oleh pemerintah,”
4. UU No.39 tahun 1999 tantang hak asasi insan (UU No.39 1999) pasal 3 meyatakan ”masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Secara eksklusif atau pun tidak langsung. Sudah banyak terjadi perusakan lingkungan yang ada di propinsi kepulauan bangka belitung. Baik yang dilakukan pemerintah dengan melalui kebijakanya ataupun rakyat sendiri yang melaksanakan perusakan tersebut.
1. baik dari pertambangan pertimahan yang legal, ilegel dan ilegal di legalkan, dan ketika ini diperparahkan lagi adanya pertambangan biji emas yang tentunya oleh rakyat, sehingga dengan sendirinya menembah perparah lingkungan yang ada di BABEL ini. kalau pemerintah daerah tidak meyikapiya dengan serius.
2. dari perkebunan, banyak pembukaan lahan besar-besaran ketika ini di bangka belitung dalam upaya pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, yang sendiriya akan memperburuk lingkungan BEBEL. Kalau perkebunan itu debuka dengan cara besar-besaran sehingga terjadi penggundulan hutan dan pencemaran aliran sungai akhir perkebunaan tersebut, kita ketahui air merupakan cuilan dari kehidupan masyarakat.
3. diperparah lagi ketika ini kerusakan lingkungan di bangka belitung bukan hanya didaerah daratan aja melaikan diperairan atau pesisir pantai yang diakibatkan banyakya pertambangan-pertambangan pertimahan baik kapal hisap maupun TI apung.
Secara aturan kiprah serta masyarakat tercantum didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 (2) wujud kekuatan kiprah serta masyarakat, berupa kedaulatan rakyat, diakui secara penuh dan dilaksanakan berdasarkan UUD. Dalam kontek aturan lingkungan , hak dan kewajiban berperan serta diyatakan dalam UU No.23/1997 pasal 5 (3). Dan pasal 34 PP No.27/1999 ihwal analisis dampak lingkungan (AMDAL) semangkin mempertegas posisi keikutsertaan masyarakat.
PBB meyelenggarakan konvensi internaional di Aarhus, denmark, berkenaan dengan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, pada tanggal 25 juni 1998 yang ditandatangani oleh 39 negara dan maeyarakat eropa (european community) dengan menghasilkan the aarhus convention yang berisikan 3 pilar yang menjamin hak-hak rakyat dalam kerangka pembangunaan berkelanjutaan yang berwawasaan ingkungan (to sustsinable and environmentally sound development) yakni :
1. Pilar pertama susukan terhadap informai (access to information) yang pada pada dasarnya yaitu setiap orang berhak mendapat informasiyang utuh, akurat dan mutahir yuntuk banyak sekali tujuan
2. Pilar ke dua kiprah serta dalam pengambilan keputusan (public participation in decision making) yaitu pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu pembuatan informasi dan pula jaminan bahwa partisipasi tersebut benar-benar dijalankan dalam realitanya atrau praktekya dan tidak sekedar diatas kerta dengan melalui susukan terhadap penegakan keadilan (access to justice).
3. Pilar ke tiga susukan terhadap penegak keadilaan (acces to justice) yaitu susukan untuk memaksakan dan memperkuat, baik hak susukan informai maupun hak partisipasi.
c. Dalam perspektif HAM
Hak atas lingkungan hidupsalah satu dari sekian banyak hak asasi yang dimiliki oleh insan ketika pertama ia dilahirkan kemuka bumu ini. Bahkan, janin yang masih di dalam rahim ibunya secara yuridis sudah dianggap sebagai subjek aturan ibarat yang terdapat dalam pasal 2 kitab undang-undanghukum perdata dan lantaran itu ia mempunyai hak asasi, yakni yaitu hak untuk hidup dan hak untuk dilahirkan.
Ketika janin itu keluar dari rahim ibunya. Maka bayi yang dilahirkan itu demi aturan merupakan cuilan dari subjek aturan lingkungan yang mempunyai hak untuk hidup, tinggal dan menetap di muka bumi serta bahkan untuk memanfaatkan kekayaan sumber alam demi kelangsungan hidup dan kesejahteraannya sebagai umat manusia.
Sebagaimana hak asasi lainnya, konsep hak atas lingkungan juga mambutuhkan kebijaksanaan sehat yang keritis, mendalam dan menyeluruh. Karena dalam pengaturan, penjabaran, dan aktualisasinya merujuk pada konsep korelasi (interaksi) antara insan dan alam sekitarnya.
Bagaimana insan melibat dirinya di tengah-tengah keberadaan alam dan dalam perjalanan kemanusiaan ratusan tahun ke masa depan, akan sangat memilih definisi hak asasi atas lingkungan hidup tersebut. Oleh lantaran insan yaitu cuilan dari lingkungan (alam). Maka keberadaan umat insan kapan pun dan dimanapun pesti terkait dan berinteraksi dengan lingkunganya.
Secara filosofis, perbedaan mengenai interaksi insan dengan alam sekitarnya bermuara pada dua pendapat yang salaing berbeda kutubnya yaitu:
1. Pendapat yang menempatkan insan sebagai pemilik dan pengambil manfaat utama atas bumi dan segenap kehidupan dibawah dan di atas permukaannya. Termasuk udara dan laut. Pendapat yang bersifat utilitarian dan antroposentris ini oleh sebagian pakar di anggap mengundang sikap insan yang cenderung merusak (destruktif) terhadap lingkungan dan otoriter terhadap makjluk hidup lainnya.
2. Pendapat yang menempatkan insan sebagai cuilan dari alam semesta atau cuilan dari salah satu dari jutaan makhluk yang hidup di bumi ini.
Oleh lantaran itulah dalam memanfaatkan sumber daya alam generasi kini mempunyai kewajiban moral kepada generasi mendatang untuk tidak mencemari lingkungan atau menghabiskan sumber daya alam tersebut, sehingga merugikan spesies insan (termasuk binatang dan tumbuhan) secara keseluruhan.
Karena pada hakikatnya semua itu. “ bumi tempat kita hidup dan mencari kehidupan ini sesungguhnya bukan merupakan warisan nenek moyang kita, melainkan titipan (amanat) dari anak cucu kita”
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Generasi kini di samping mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana ditentukan pada pasal 5 ayat 1 UU Nomer 23 Tahun 1997 ihwal pengelilahan lingkungan hidup, mereka juga harus mengkui dan melindungi hak asasi generasi yang akan tiba dengan kewajiban untuk melestarikan lingkungannya. Implementasi hak acara dan memperkirakan dampak dari kegiatannya di masa depan. Semakin tinggi kemampuan insan merencanakan masa depan akan semakin besar kemungkinan generasi yang akan tiba dihormati dan dilindungi haknya.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, didalam UU N0.23 tahun 1997 ihwal pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 ayat (3) meyatakan pembangunaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yaitu upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam peroses pembangunaan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan yaitu untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah menyampaikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan membuat hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai sahabat hidup manusia.
Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya menyampaikan sebuah amanat kepada insan untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini sanggup dilihat dalam QS. Al-A’raf : 56:
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاوَطَمَعاً إِنَّرَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَالْمُحْسِنِين
”Dan janganlah kau membuat kerusakan di muka bumi, sehabis (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan impian (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah amat bersahabat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad kokasih . HAM dalam prespektif islam . menyingkap persamaan dan perbedaan antara islam dan barat . Jakarta : Salemba Diniyah, 2003 .
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University Press, 2003, hlm. 7-21 dan Maurice Cranston, What are Human Rights? New York: Taplinger, 1973 dalam Rhona K. M. Smith, et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2008.
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Jakarta: Grafiti, 1994.
Syekh syaukat hussain . hak asasi insan dalam islam . Jakarta : gema insani press, 1996 .
[1] Mustofa Abu Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment (Fiqh al-Bi’ah fil Islam).http://homepages.iol.ie/%7Eafifi/ Articles/environment.htm, diakses pada 28 Desember 2005
[2]Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Pers.
[3]Pasal 28 H ayat (1) merupakan hasil Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 2000
[6]I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Penguatan Fungsi Lingkungan Hidup melalui Penegakan Hukum Lingkungan Sesuai Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Yustisia. Edisi Nomor 78 September-Desember 2009, Fakultas Hukum Universitas sebelas Maret Surakarta. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hingga ketika ini permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara di dunia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya konferensi PBB ihwal lingkungan hidup di Stokholm pada tanggal 5 Juni 1972. Konferensi ini kemudian dikenal dengan Konferensi Stokholm, dan pada hari dan tanggal itulah kemudian ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Namun sayangnya hingga ketika ini -lepas dari tiga dekade kemudian-walaupun jumlah forum dan pencetus environmentalism semakin bertambah dari tahun ke tahun, namun laju kerusakan lingkungan masih terus berlangsung. Kegagalan tersebut banyak diakui kalangan pencetus disebabkan lantaran kebijakan yang disusun tidak secara konsisten dilaksanakan
Di Indonesia, perhatian ihwal lingkungan hidup telah muncul di media massa semenjak tahun 1960-an. Suatu tonggak sejarah ihwal lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar pertama ihwal lingkungan hidup yang diadakan di Indonesia.( Otto Soemarwoto, 2001: 1) Selain itu pada awal Juli 1973, Sumarlin dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Dunia menyatakan adanya tiga prioritas dalam menanggulangi problematika lingkungan di negeri ini, antara lain: di lautan (pertambangan minyak di lepas pantai) dan di perkotaan (urbanisasi liar dan industrialisasi yang pincang).(A. Sonny Keraf, Kompa: 1973)
Indonesia sendiri, dalam beberapa dasawarsa terakhir, tidak henti-hentinya dirundung banyak sekali peristiwa banjir, tanah longsor, maupun polusi. Laporan UNEP memperkirakan kerugian Indonesia akhir peristiwa tsunami saja mencapai 675 juta dollar AS, atau setara dengan 6 triliun rupiah. Tak hanya itu, kerusakan lingkungan juga menjadi tanda-tanda umum hampir seluruh daerah di Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia, baik eksklusif maupun tidak eksklusif kemudian mendorong keterlibatan aktif kiprah ulama dan pemikir Islam semenjak satu tahun terakhir ini, dengan mengedepankan pesan tersirat perenial Islam, dalam upaya mengatasi dilema lingkungan yang selama ini didominasi oleh kalangan akademisi dan birokrat. Fiqh yang merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman yang sangat secara umum dikuasai dalam kehidupan umat Islam, sebenarnya telah memperlihatkan suatu kerangka pendekatan terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi, wacana lingkungan hidup tidak dibahas dan dikaji secara khusus dalam cuilan tersendiri, melainkan tersebar di beberapa cuilan dalam pokok-pokok bahasan ilmu fiqh itu. Secara substansi Fiqh lingkungan hidup (Fiqh Al-Biah) berupaya menyadarkan insan yang beriman supaya menginsyafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak sanggup dilepaskan dari tanggung jawab insan yang beriman dan amanat yang diembannya.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa saja Konsep Pelestarian lingkungan dalam Islam?
b. Bagaimana Hubungan insan dan lingkungan/alam dalam Islam?
c. Apa saja Hak-hak masyarakat atas lingkungan yang sehat?
d. Apa yang dimaksud dengan Lingkungan dalam konstitusi negara-negara di dunia?
e. Apa yang dimaksud Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehatDalam Islam, Undang-Undang Dasar 1945, dan HAM?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui ihwal konsep pelestarian hidup dan korelasi insan dalam islam.
b. Mengerti ihwal pengertian lingkungan dan hak-hak atas masyarakat yang sehat dalam lingkungan.
c. Memahami undang-undang yang melandasi adanya lingkungan yang baik dalam islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pelestarian lingkungan dalam Islam
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan yaitu untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah menyampaikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan membuat hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai sahabat hidup manusia.
Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya menyampaikan sebuah amanat kepada insan untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini sanggup dilihat dalam QS. Al-A’raf : 56:
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاوَطَمَعاً إِنَّرَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَالْمُحْسِنِين
”Dan janganlah kau membuat kerusakan di muka bumi, sehabis (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan impian (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah amat bersahabat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Larangan pada ayat di atas yaitu larangan untuk berbuat kerusakan di atas bumi. Kerusakan yang dimaksud yaitu bekerjasama dengan banyak sekali bentuk kerusakan, ibarat pembunuhan, perusakan keturunan, akal, dan agama. Sedangkan yang dimaksud dengan kata ”Ba’da Islahiha” yaitu setelah Allah memperbaiki penciptaannya sesuai dengan peruntukkannya bagi kemanfaatan makhluk dan kemaslahatan orang-orang mukallaf.
Hal di atas senada dengan penafsiran yang disampaikan oleh Syihabuddin, bahwa Allah melarang banyak sekali bentuk kerusakan ibarat merusak jiwa (pembunuhan), harta, keturunan, kebijaksanaan dan agama setelah Allah memperbaiki semuanya dan menciptakannya untuk dimanfaatkan oleh makhluk serta untuk kemaslahatan orang-orang mukallaf dengan cara Allah mengutus seorang rasul di atas bumi dengan membawa syari’at dan hukum-hukum Allah.
Abu al-Fida yang ber’alam Kunyah ”Ibnu Katsir” mengatakan, firman Allah swt.
”.وَلاَ تُفْسِدُوا فِى اْلأَرْضِ إلخ” mengandung pengertian bahwa Allah swt. melarang kepada hambanya berbuat kerusakan di atas bumi dan berbuat apa yang sanggup merugikannya setelah adanya perbaikan. Karena sesungguhnya bila segala sesuatu berjalan di atas kebaikan, kemudian terjadi sebuah kerusakan maka akan menyebabkan sebuah kerugian bagi manusia.
Oleh lantaran itu, Allah melarang perbuatan tersebut dan memerintahkan hamba-Nya untuk menyembah, berdo’a, tawaddlu’ dan merendahkan diri kepada-Nya.Ketiga penafsir di atas menyampaikan interpretasi, bahwa kerusakan yang dikandung dalam ayat di atas yaitu banyak sekali kerusakan lingkungan.
Menurut Fuad Amsyari, lingkungan dikelompokkan menjadi tiga.
1. Lingkungan fisik, yakni segala ”benda mati” yang ada di sekitar kita, ibarat rumah, kendaraan, gunung, udara, air, sinar matahari, dan lain-lain.
2. Lingkungan biologis, yakni segala organisme yang hidup di sekitar manusia, baik berupa flora maupun binatang.
3. Lingkungan sosial, yakni manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya, tetangga, teman, atau orang lain yang belum dikenal.
Ketiga kategori lingkungan di atas disebut sebagai lingkungan hidup, yakni segala benda, kondisi, keadaan dan dampak yang terdapat dalam ruang yang kita tempati, dan mensugesti hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia. Dalam kenyataan era kini ini, seluruh kategori lingkungan tersebut benar-benar mengalami gangguan pencemaran yang dahsyat. Seakan-akan pencemaran yang terjadi semakin kompleks.
Bukan saja kerusakan alam, tapi sudah menjalar pada kerusakan lingkungan sosial. Sebab, antara lingkungan fisik dan sikap organisme saling mempengaruhi. Selain sebagai amanat, tindakan memelihara alam (tidak membuat kerusakan di bumi) merupakan manifestasi perintah syukur kepada Tuhan. Karena Islam yaitu agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai syukur, maka dari awal kelahirannya, sudah mengajarkan pentingnya memelihara alam.
Bahkan, ketika perang pun Islam masih mengagungkan titah itu. Tersebut dalam sejarah, para khalifah Islam, ibarat Abu Bakar dan Umar, setiap kali akan melepas laskar ke medan perang tak pernah lupa memperingatkan: ”Jangan tebas pohon atau rambah tanaman, kecuali bila akan dipergunakan atau dimakan, dan janganlah membunuh binatang kecuali untuk dimakan, hormati dan lindungi semua rumah ibadah manapun, serta jangan sekali-kali mengusik mereka yang sedang beribadah berdasarkan agama mereka masing-masing. Janganlah membunuh orang-orang yang tidak bersenjata (yang tidak terlibat eksklusif dalam peperangan).”
Terbukti, ketika haji, orang yang ihram dihentikan membunuh binatang, dan mencabut pohon. Bahkan, bila melanggar akan dikenakan sangsi. Lebih lanjut, Islam juga menyampaikan kabar besar hati bagi mereka yang mau melestarikan alam. Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits pernah besabada, ”Barangsiapa yang menanam sebuah pohon, dan pohon itu berbuah, Allah akan menyampaikan pahala kepada orang itu sebanyak buah yang tumbuh dari pohon tersebut”.
Nabi juga pernah bersabda, ”Memakan setiap binatang buas yang bertaring yaitu haram”. Hadits ini oleh Fuqaha (para jago fiqh) dijadikan dasar atas diharamkannya binatang yang bertaring dan bercakar, ibarat harimau, serigala, beruang, kucing, gajah, badak, macan tutul dan rajawali. Memang, pada mulanya, pelarangan tersebut bersifat tekstual-normatif, lantaran diambil berdasarkan sabda Nabi semata. Namun, pada perkembangan berikutnya, setelah dikontekskan dengan realitas kekinian, pengharaman itu membawa pesan tersirat yang begitu besar.
Binatang-binatang yang diharamkan tergolong spesies binatang yang langka yang dilindungi. Sebut saja contohnya rajawali. Semua jenis binatang ini, di belahan dunia manapun dilindungi. Bukti ini secara tidak eksklusif memperlihatkan bahwa Islam ternyata ikut andil dalam pelestarian binatang langka yang berperan aktif sebagai penjaga ekosistem alam.
Karena pengharaman tersebut didasari teks keagamaan, maka melaksanakannya yaitu sebuah kewajiban bagi setiap umatnya. Bahkan, bukan sekedar kewajiban, tapi kebutuhan manusiawi, sehingga ekosistem tetap terjaga. Pelestarian alam dalam Islam sifatnya konservatif, yang melindungi nilai-nilai yang telah ada. Baik kondisi alami, estetika maupun kekayaan alam yang telah terbentuk semenjak awalnya.Alam, sebagaimana disinggung dalam QS. Al-A’raf : 56, mengalami perubahan menuju pada ekosistem yang seimbang setelah mencapai ratusan bahkan jutaan tahun. Maka, mempertahankan alam yang telah menjalani proses tersebut yaitu sebuah keharusan dan kebutuhan manusia.
Mengingat pentingya pelestarian alam itulah, Islam semenjak zaman Nabi Muhammad saw. telah memperkenalkan daerah lindung (hima’), yakni suatu daerah yang khusus dilindungi pemerintah atas dasar syari’at guna melestarikan kehidupan liar di hutan. Nabi pernah mencagarkan daerah sekitar Madinah sebagai hima’ guna melindungilembah,padang rumput dan flora yang ada di dalamnya.
Lahan yang dia lindungi luasnya sekitar enam mil atau lebih dari 2049 hektar. Selain hima’, Islam juga memperkenalkan konsep ihya’ul mawat, yakni perjuangan mengelola lahan yang masih belum bermanfaat menjadi mempunyai kegunaan bagi manusia. Dua konsep di atas, memperlihatkan kepada kita bahwa Islam yaitu telah sedini mungkin ikut melestarikan alam, sebagaimana juga telah ikut aktif dalam memelihara keberlangsungan binatang langka melalui pelarangan konsumsi.
Inilah makna konsep Rabbil ’alamin (pemelihara seluruh alam), yakni sifat Tuhan yang direalisasikan pada kiprah kekhalifahan manusia. Artinya, segenap makna yang terkandung dalam kata itu harus tercermin dalam setiap tindakan dan sikap insan dengan alam, lantaran ia menempatinya dan bertanggung jawab terhadap eksistensinya.
2.2 Hubungan insan dan lingkungan/alam dalam Islam
Mustofa Abu Sway menggunakan dua kategori untuk membahas korelasi antara insan dan lingkungan, penguasa (khalifah) dan penundukan (taskhir). Kategori pertama memandang bahwa insan yaitu wakil Tuhan di muka bumi. Kekhalifahannya telah dinyatakan sebelum penciptaan insan pertama. Dengan kedudukan ini, insan dilimpahi tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga alam sekitarnya,
Yang juga diiringi dengan ganjaran dan hukuman. Pada posisi ini, kekhalifahan juga bisa menjadi ujian baginya bagaimana ia memerlakukan lingkungannya. Tugas lain insan selaku khalifah yaitu untuk mengamati alam semesta dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan untuk memelihara lingkungan.[1]
Hubungan insan dengan alam dalam Al-Qur’an di mana insan bekedudukan sebagai khalifah, harus juga dilihat dari segi penundukan dan kehambaan. Manusia selaku khalifah di bumi dilengkapi dengan kemampuan menyebarkan pengetahuan dan ditundukkannya alam semesta dan seisinya untuk manusia, Allah lah yang menundukkan langit, bumi dan seisinya, bukan manusia.
Oleh lantaran itu, meskipun insan sebagai khalifah diberi kuasa untuk mengelola dan mmelihara alam, kedudukan insan dengan alam semesta yaitu setara dihadapan Allah.
Sesungguhnya, ketika membahas insan dan alam (lingkungan), posisi Tuhan mustahil diabaikan. Ketika membahas kekerabatan insan dan alam, kiprah dan keberadaan Tuhan juga harus disinggung. Oleh lantaran itu, di samping kekerabatan antara insan dan alam semesta, ada dua kekerabatan yang lain, yaitu:relasi insan dengan Tuhan dan kekerabatan alam semestadengan Tuhan.
Masing-masing dari ketiga kekerabatan di atas mempunyai element penting yang membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan. Relasi antara alam semesta dan Tuhan dihubungkan dengan konsep penundukan, kekerabatan antara insan dan Tuhan dihubungkan dengan konsep kehambaan, kekerabatan antara insan dan alam semesta yaitu kekerabatan khalifah dan amanah.
Tiga kekerabatan di atas, yaitu sebuah sistem yang terstruktur, yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tiga kekerabatan di atas memperlihatkan betapa zat yang paling mempunyai kekuasaan yaitu Tuhan, sehingga semua ciptaannya akan tunduk terhadap-Nya, termasuk manusia. Inilah yang kemudian menjadi konsep kehambaan.
Apabila menggunakan konsep kehambaan (‘abd), maka hal itu bisa dijelaskan bahwa insan dianugerahi potensi sebagai khalifah dan dibekali dengan penundukan alam semesta baginya. Akan tetapi kemampuan dan penundukan tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab melalui elemen amanah dan ‘abd. Jika dilihat dalam kerangka pandangan agama dan lingkungan di atas, maka konsep ini akan lebih sesuai dengan konsep kekerabatan insan dengan semua makhluk.
2.3 Hak-hak masyarakat atas lingkungan yang sehat
Hak lingkungan yang sehat secara harfiyah yaitu keleluasaan masyarakat untuk memperoleh kenyamanan hidup di lingkungan sekitar dan mendapat pelayanan yang sehat, secara tidak eksklusif ketika kita membaca pengertian ibarat ini terlintas akan alam sekitar dan keadaannya,tapi bila dikaji lebih dalam lagi lingkungan yang sehat juga mencakup kebijakan politik mengenai keleluasaan masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini termasuk eksploitasi hutan pada dasarnya hal tersebut berasal dari lingkungan politik yang kurang sehat, termasuk hak atas lingkungan yang sehat.
Diperlukan penguat sebagai pendukung atau yang memfasilitasi terpenuhnya aspek secara output ibarat halnya tersedianya sarana kesehatan peraturan dan aturan mengenahi lingkungan yang sehat dinormakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara terang dalam pasal 28 ayat (1) “ setiap orang berhak hidup sejahtera lahir, batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesejahteraan” pengendali semua kebijakan dan pengatur ketertiban tidak lain dan tidak bukan pemerintah juga sebagai salah satu cuilan penting dalam terlaksanannya lingkungan sehat, setiap warga masyarakat selalu ingin mendapat pelayanan yang memuaskan dalam memperoleh kesehatan lingkungan.
Oleh lantaran itu, kebijakan pemerintah memang benar, namun untuk mengaplikasikannya kedalam suatu masalah masih belum maksimal, seharusnya pengintrolan dilapangan lebih diperketat.
2.4 Lingkungan dalam konstitusi negara-negara di dunia
Istilah Green Constitution atau Konstitusi Hijau belum banyak terkenal di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, alhasil banyak pula pakar aturan Indonesia yang menuliskan tema ihwal green constitution dalam jurnal-jurnal nasional atau artikel. Dalam bukunya, Prof Jimly asshidiqie pun menjelaskan bahwa sebenarnya, sebagai istilah, green constitution bukanlah suatu yang aneh.
Sejak tahun 1970-an, istilah tersebut sudah sering dipakai untuk menggambarkan keterkaitan sesuatu dengan ide pertolongan lingkungan hidup.[2] Dalam jurnal-jurnal atau artikel internasional di beberapa negara, istilah itu juga sudah dipakai semenjak lama.
Negara-negara didunia menyadari bahwa lingkungan saling berkaitan dan dibutuhkan oleh seluruh umat insan tanpa dibatasi oleh teritorial batas negara. Banyak perjanjian Internasioanl yang sudah dibentuk bahkan sudah diratifikasi oleh negara-negara di Dunia.
Beberapa negara memperlihatkan komitmennya dalam pertolongan lingkungan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Diantaranya yaitu negara Portugal, Spanyol, Polandia, Prancis, Ekuador. Bahkan, dalam amanedemen konstitusinya, negara tersebut memasukkan pasal-pasal ihwal pertolongan lingkungan dan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga sanggup efektif untuk kebijakan-kebijakan pemerintah dibawahnya terkait pembangunan negaranya yang berkelanjutan dan pro-lingkungan.
Tidak terkecuali Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai potensi alam yang sangat besar sebagai paru-paru dunia, maka Indonesia dalam Konstitusinya yaitu pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sudah mencerminkan sebagai konstitusi hijau dengan menyampaikan jaminan hak warga negaranya berupa lingkungan yang higienis dan sehat dengan melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Tuntutan reformasi pada tahun 1998 dengan salah satu agendanya yaitu amandemen hingga kepada perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, menghasilkan banyak rumusan pasal-pasal gres terutama terkait dengan Hak Asasai Manusia.
Isu lingkungan pun alhasil menjadi salah satu Hak Asasai Manusia yang tercantum dalam pasal 28H ayat (1) yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal tersebut tentu menyampaikan dampak positif yang secara tidak eksklusif negara berkewajiban untuk betul-betul melestarikan lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk memenuhi hak warga negaranya.[3]
Indonesia sebenarnya telah menerapkan konsep ecocracy yaitu kedaulatan lingkungan hidup atau ekosistem dimana suatu pemerintahan mendasarkan kepemerintahannya secara taat asas pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (ecologically sustainable development). Gagasan ecocracy ini merupakan upaya untuk mengutamakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam arus politik pembangunan nasional.
Namun, walaupun Indonesia dalam konstitusinya telah mengakui subjective right atau duty of the state tetapi pemuatan referensi dan arah pembangunan berkelanjutan belum ditempatkan pada pasal-pasal khusus melainkan ditumpangkan atau dicampurkan dengan hak-hak mendasar lainnya.[4]
Oleh lantaran itu, dengan teori hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ihwal Pembentukan Peraturan perundang-Undangan maka Pemerintah Indonesia wajib menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia biar menjadi peraturan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tata urutan Peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini yang diatur dalam pasal 7 yaitu sebagai berikut:[5]
(1) Undang-undang Dasar 1945
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(3) Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(4) Peraturan Pemerintah
(5) Peraturan Presiden
(6) Peraturan Daerah Provinsi
(7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Tanggal 8 september 2009 dewan perwakilan rakyat dan Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang pertolongan dan pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ihwal Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Terhadap Undang-Undang ini tentunya banyak perubahan. Dari segi judulnya, terang sudah berubah dengan ditambahkannya kalusul kata pertolongan selain kata pengelolaan. Dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk mencegah kerusakan lahan perlu dilakukan penegakkan peraturan perundangan-undangan untuk melindungi lingkungan hidup itu sendiri.[6]
Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang pertolongan dan pengelolaan Lingkungan (UUPPLH) Hidup tentunya masih banyak pembiasaan yang harus dilakukan.
Dalam pelaksanaan teknis Undang-undang tersebut dalam Peraturan pemerintah dan Peraturan presiden hendaknya juga diubahsuaikan dengan UUPPLH yang baru biar tidak terjadi benturan aturan lantaran masih mengacu pada UUPLH yang lama. Hal ini juga diatur pula dalam pasal 44 UUPPLH bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan pertolongan fungsi lingkungan hidup dan prinsip pertolongan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPPLH.
2.5 Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat Dalam Islam, Undang-Undang Dasar 1945, dan HAM
a. Dalam perspektif Islam
Dalam perspektif islam, HAM diletakkan sebagai hurumat (keilmuan, kelapangan, kehormatan). Dengan pengertian ini pada hakikatnya insan didudukkan sebagai makhluk yang dimuliakan tuhan. Manusia dalam kemuliannya ditandai dengan kewajiban untuk mengabdi kepada ilahi dan korelasi baik dengan sesamanya serta memelihara kewajiban tanggung jawab secara vertikal dan horizontal. Manusia dalam Islam bukanlah pemilik hak asasi melainkan yang dititipi hak asasi untuk ditegakkan tolong-menolong insan lainnya.
Fundamental HAM dalam Islam telah dirumuskan Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah. Nilai yang hidup dalam HAM versi Islam sebagaimana ditegaskan dalam Piagam Madinah tersebut adalah: Pengakuan adanya hak hidup, hak kemerdekaan, hak persamaan, hak keadilan, hak pertolongan hukum, hak pertolongan dari kezaliman penguasa, hak pertolongan dari penyiksaan, hak untuk berlindung, hak untuk melaksanakan kolaborasi dalam kehidupan sosial, hak minoritas, serta hak ekonomi.
Mayoritas negara-negara Islam yaitu tergolong keadaan barisan negara-negara dunia ketiga yang banyak mencicipi perlakuan ketidak adilan negara-negara barat atas nama HAM. Dalam pandangan negara-negara Isalam, HAM Barat tidak sesuai dengan pandangan pedoman Islam yang telah ditetapkan Allah SWT.
Maka negara-negara Islam yang tergabung dalam Organization of Islamic Comfrence (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluar deklarasi ihwal kemanusiaan sesuai syariat Islam. Konsep HAM hasil rumusan negara-negara OKI dikenal dengan sebutan DEKLARASI KAIRO ini berisi 24 pasal ihwal HAM berdasarkan Al- Alquran dan Sunnah yang dalam penerapannya dan relitasnya mempunyai beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak asasi insan (the Universal Declaration of Human Rights) yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948.
b. Dalam perspektif Undang-Undang Dasar 1945
Banyak terjadi kesenjangan sosial dan kasus-kasus sosial yang ada dirakyat Indonesia dimana kakayan alam dan sumber-sumber laianya serta keuntunganya yang didapat dari eksploitasi sumberdaya alam, yang hanya dinikmati oleh kelompok dan golongan tertentu saja sedangkan rakyat Indonesia selalu menuai dampak peristiwa dan bahkan nyawa menjadi taruhanya.
Bagi Indonesia pembangunan nasional yang diselenggarakan yaitu mengikuti referensi pembangunan berkelanjutan yang diakomodasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) ketentuan tersebut menyampaikan dasar aturan bagi peyelenggaraan pengelolan lingkungan hidup yang bertujuan melestarikan kemempuan lingkungan hidup biar sanggup tetap menunjang kesejahteraan dan mutu hidup generasi mendatang.
Bagian ’hukum lingkungan’ ini akan menguraikan struktur aturan pertolongan lingkungan dan mendiskusikan peraturan-peraturan yang menyampaikan kesempatan pada pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan penguatan pada:
1. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
2. peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
3. pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
4. prosedur aturan peyelesaian sengketa lingkungan.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, didalam UU N0.23 tahun 1997 ihwal pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 ayat (3) meyatakan pembangunaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yaitu upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam peroses pembangunaan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Untuk memungkinkan pembangunaan berkelanjutan ini diharapkan pokok-pokok kebijaksanaan sebagai beerikut :
1. pengelolan sumberdaya alam perlu direncanakaan sesuai dengan daya dukung lingkungan melalui planning tata ruang wilayah
2. proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melelui penerapan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
3. pengembangaan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan
4. pengendalian kerusakan lingkungan
5. pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan.
6. pengembangan peran-serta masyarakat kelembagaan dan ketenagaaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
7. pengelolaan pencemaran air, udara dan tanah.
8. pengembangan aturan lingkungan yang mendorong tubuh peradilan untuk meyelesaikan sengketa melalui penerapan aturan lingkungan
9. pengembangan kerjasama luar negeri.
Kontek hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat pada tingkat internasional, diatur secara ekspelisit dalam deklarasi Universal hak asasi insan (DUHAM) ini sudah terang sebenarnya lingkungan yang baik dan sehat yang merupakan hak asasi manusia, itu harus dijaga dan dipertahankan lantaran bersangkutan dengan perkembangan lingkungan tersebut biar tetap terjaga. Sehingga juga tergabung dalam rumpun hak ekonomi, sosial, dan budaya, (EKOSOBUD).
Justifikasi internasional menyangkut interaksi hak atas lingkungan sehingga ditafsirkan menjadi HAM dilihat antara lain ;
1. African charter on human and peopple rights, pasal 21 ayat 1
2. Kovenan internasional ihwal hak-hak ekonomi, social, dan budaya (kovenan hak ekosob) , pasal 1 ayat 2
3. Resolusi PBB 1803 (XVII) 12 Desember 1962
4. Resolusi PBB 3281 (XXIX) 12 Desember 1974
5. Agenda 21 KTT bumi Rio de Janeiro 1992.
Secara konsitusional, hak atas lingkungan dalam aturan nasional indonesia tercantum dalam beberapa aturan yaitu ;
1. Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan ”membentuk suatu pemerintah negara indonesia yang meindungi segenap bangsa indonesia ”.... serta dikaitkan pula dengan hak penguasaan kepada negara atas bumi, air dan kekayaan terkandung didalamya ntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
2. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat 1 meyebutkan ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanaan kesehatan
3. Piagam HAM dan merupakan cuilan tak terpisahkan dari TAP MPR NO XVII/MPR/1998 yang ditetapkan oleh sidang istimewa MPR tahun 1998. diantaranya mayatakan ”bahwa insan yaitu mahluk ilahi yang maha esa, yang berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan harmonis dalam bentuk ketaatan kepada NYA.
4. UU No.23 tahun 1997 pasal 5 ayat (1), ”setiap orang mampunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, pasal 8 ayat (1), ”sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakn untuk sebesar-besarya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturanya ditentukan oleh pemerintah,”
4. UU No.23 tahun 1997 pasal 5 ayat (1), ”setiap orang mampunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, pasal 8 ayat (1), ”sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakn untuk sebesar-besarya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturanya ditentukan oleh pemerintah,”
4. UU No.39 tahun 1999 tantang hak asasi insan (UU No.39 1999) pasal 3 meyatakan ”masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Secara eksklusif atau pun tidak langsung. Sudah banyak terjadi perusakan lingkungan yang ada di propinsi kepulauan bangka belitung. Baik yang dilakukan pemerintah dengan melalui kebijakanya ataupun rakyat sendiri yang melaksanakan perusakan tersebut.
1. baik dari pertambangan pertimahan yang legal, ilegel dan ilegal di legalkan, dan ketika ini diperparahkan lagi adanya pertambangan biji emas yang tentunya oleh rakyat, sehingga dengan sendirinya menembah perparah lingkungan yang ada di BABEL ini. kalau pemerintah daerah tidak meyikapiya dengan serius.
2. dari perkebunan, banyak pembukaan lahan besar-besaran ketika ini di bangka belitung dalam upaya pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, yang sendiriya akan memperburuk lingkungan BEBEL. Kalau perkebunan itu debuka dengan cara besar-besaran sehingga terjadi penggundulan hutan dan pencemaran aliran sungai akhir perkebunaan tersebut, kita ketahui air merupakan cuilan dari kehidupan masyarakat.
3. diperparah lagi ketika ini kerusakan lingkungan di bangka belitung bukan hanya didaerah daratan aja melaikan diperairan atau pesisir pantai yang diakibatkan banyakya pertambangan-pertambangan pertimahan baik kapal hisap maupun TI apung.
Secara aturan kiprah serta masyarakat tercantum didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 (2) wujud kekuatan kiprah serta masyarakat, berupa kedaulatan rakyat, diakui secara penuh dan dilaksanakan berdasarkan UUD. Dalam kontek aturan lingkungan , hak dan kewajiban berperan serta diyatakan dalam UU No.23/1997 pasal 5 (3). Dan pasal 34 PP No.27/1999 ihwal analisis dampak lingkungan (AMDAL) semangkin mempertegas posisi keikutsertaan masyarakat.
PBB meyelenggarakan konvensi internaional di Aarhus, denmark, berkenaan dengan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, pada tanggal 25 juni 1998 yang ditandatangani oleh 39 negara dan maeyarakat eropa (european community) dengan menghasilkan the aarhus convention yang berisikan 3 pilar yang menjamin hak-hak rakyat dalam kerangka pembangunaan berkelanjutaan yang berwawasaan ingkungan (to sustsinable and environmentally sound development) yakni :
1. Pilar pertama susukan terhadap informai (access to information) yang pada pada dasarnya yaitu setiap orang berhak mendapat informasiyang utuh, akurat dan mutahir yuntuk banyak sekali tujuan
2. Pilar ke dua kiprah serta dalam pengambilan keputusan (public participation in decision making) yaitu pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu pembuatan informasi dan pula jaminan bahwa partisipasi tersebut benar-benar dijalankan dalam realitanya atrau praktekya dan tidak sekedar diatas kerta dengan melalui susukan terhadap penegakan keadilan (access to justice).
3. Pilar ke tiga susukan terhadap penegak keadilaan (acces to justice) yaitu susukan untuk memaksakan dan memperkuat, baik hak susukan informai maupun hak partisipasi.
c. Dalam perspektif HAM
Hak atas lingkungan hidupsalah satu dari sekian banyak hak asasi yang dimiliki oleh insan ketika pertama ia dilahirkan kemuka bumu ini. Bahkan, janin yang masih di dalam rahim ibunya secara yuridis sudah dianggap sebagai subjek aturan ibarat yang terdapat dalam pasal 2 kitab undang-undanghukum perdata dan lantaran itu ia mempunyai hak asasi, yakni yaitu hak untuk hidup dan hak untuk dilahirkan.
Ketika janin itu keluar dari rahim ibunya. Maka bayi yang dilahirkan itu demi aturan merupakan cuilan dari subjek aturan lingkungan yang mempunyai hak untuk hidup, tinggal dan menetap di muka bumi serta bahkan untuk memanfaatkan kekayaan sumber alam demi kelangsungan hidup dan kesejahteraannya sebagai umat manusia.
Sebagaimana hak asasi lainnya, konsep hak atas lingkungan juga mambutuhkan kebijaksanaan sehat yang keritis, mendalam dan menyeluruh. Karena dalam pengaturan, penjabaran, dan aktualisasinya merujuk pada konsep korelasi (interaksi) antara insan dan alam sekitarnya.
Bagaimana insan melibat dirinya di tengah-tengah keberadaan alam dan dalam perjalanan kemanusiaan ratusan tahun ke masa depan, akan sangat memilih definisi hak asasi atas lingkungan hidup tersebut. Oleh lantaran insan yaitu cuilan dari lingkungan (alam). Maka keberadaan umat insan kapan pun dan dimanapun pesti terkait dan berinteraksi dengan lingkunganya.
Secara filosofis, perbedaan mengenai interaksi insan dengan alam sekitarnya bermuara pada dua pendapat yang salaing berbeda kutubnya yaitu:
1. Pendapat yang menempatkan insan sebagai pemilik dan pengambil manfaat utama atas bumi dan segenap kehidupan dibawah dan di atas permukaannya. Termasuk udara dan laut. Pendapat yang bersifat utilitarian dan antroposentris ini oleh sebagian pakar di anggap mengundang sikap insan yang cenderung merusak (destruktif) terhadap lingkungan dan otoriter terhadap makjluk hidup lainnya.
2. Pendapat yang menempatkan insan sebagai cuilan dari alam semesta atau cuilan dari salah satu dari jutaan makhluk yang hidup di bumi ini.
Oleh lantaran itulah dalam memanfaatkan sumber daya alam generasi kini mempunyai kewajiban moral kepada generasi mendatang untuk tidak mencemari lingkungan atau menghabiskan sumber daya alam tersebut, sehingga merugikan spesies insan (termasuk binatang dan tumbuhan) secara keseluruhan.
Karena pada hakikatnya semua itu. “ bumi tempat kita hidup dan mencari kehidupan ini sesungguhnya bukan merupakan warisan nenek moyang kita, melainkan titipan (amanat) dari anak cucu kita”
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Generasi kini di samping mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana ditentukan pada pasal 5 ayat 1 UU Nomer 23 Tahun 1997 ihwal pengelilahan lingkungan hidup, mereka juga harus mengkui dan melindungi hak asasi generasi yang akan tiba dengan kewajiban untuk melestarikan lingkungannya. Implementasi hak acara dan memperkirakan dampak dari kegiatannya di masa depan. Semakin tinggi kemampuan insan merencanakan masa depan akan semakin besar kemungkinan generasi yang akan tiba dihormati dan dilindungi haknya.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, didalam UU N0.23 tahun 1997 ihwal pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 ayat (3) meyatakan pembangunaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yaitu upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam peroses pembangunaan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan yaitu untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah menyampaikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan membuat hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai sahabat hidup manusia.
Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya menyampaikan sebuah amanat kepada insan untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini sanggup dilihat dalam QS. Al-A’raf : 56:
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاوَطَمَعاً إِنَّرَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَالْمُحْسِنِين
”Dan janganlah kau membuat kerusakan di muka bumi, sehabis (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan impian (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah amat bersahabat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad kokasih . HAM dalam prespektif islam . menyingkap persamaan dan perbedaan antara islam dan barat . Jakarta : Salemba Diniyah, 2003 .
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University Press, 2003, hlm. 7-21 dan Maurice Cranston, What are Human Rights? New York: Taplinger, 1973 dalam Rhona K. M. Smith, et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2008.
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Jakarta: Grafiti, 1994.
Syekh syaukat hussain . hak asasi insan dalam islam . Jakarta : gema insani press, 1996 .
[1] Mustofa Abu Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment (Fiqh al-Bi’ah fil Islam).http://homepages.iol.ie/%7Eafifi/ Articles/environment.htm, diakses pada 28 Desember 2005
[2]Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Pers.
[3]Pasal 28 H ayat (1) merupakan hasil Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 2000
[6]I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Penguatan Fungsi Lingkungan Hidup melalui Penegakan Hukum Lingkungan Sesuai Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Yustisia. Edisi Nomor 78 September-Desember 2009, Fakultas Hukum Universitas sebelas Maret Surakarta. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hingga ketika ini permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara di dunia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya konferensi PBB ihwal lingkungan hidup di Stokholm pada tanggal 5 Juni 1972. Konferensi ini kemudian dikenal dengan Konferensi Stokholm, dan pada hari dan tanggal itulah kemudian ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Namun sayangnya hingga ketika ini -lepas dari tiga dekade kemudian-walaupun jumlah forum dan pencetus environmentalism semakin bertambah dari tahun ke tahun, namun laju kerusakan lingkungan masih terus berlangsung. Kegagalan tersebut banyak diakui kalangan pencetus disebabkan lantaran kebijakan yang disusun tidak secara konsisten dilaksanakan
Di Indonesia, perhatian ihwal lingkungan hidup telah muncul di media massa semenjak tahun 1960-an. Suatu tonggak sejarah ihwal lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar pertama ihwal lingkungan hidup yang diadakan di Indonesia.( Otto Soemarwoto, 2001: 1) Selain itu pada awal Juli 1973, Sumarlin dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Dunia menyatakan adanya tiga prioritas dalam menanggulangi problematika lingkungan di negeri ini, antara lain: di lautan (pertambangan minyak di lepas pantai) dan di perkotaan (urbanisasi liar dan industrialisasi yang pincang).(A. Sonny Keraf, Kompa: 1973)
Indonesia sendiri, dalam beberapa dasawarsa terakhir, tidak henti-hentinya dirundung banyak sekali peristiwa banjir, tanah longsor, maupun polusi. Laporan UNEP memperkirakan kerugian Indonesia akhir peristiwa tsunami saja mencapai 675 juta dollar AS, atau setara dengan 6 triliun rupiah. Tak hanya itu, kerusakan lingkungan juga menjadi tanda-tanda umum hampir seluruh daerah di Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia, baik eksklusif maupun tidak eksklusif kemudian mendorong keterlibatan aktif kiprah ulama dan pemikir Islam semenjak satu tahun terakhir ini, dengan mengedepankan pesan tersirat perenial Islam, dalam upaya mengatasi dilema lingkungan yang selama ini didominasi oleh kalangan akademisi dan birokrat. Fiqh yang merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman yang sangat secara umum dikuasai dalam kehidupan umat Islam, sebenarnya telah memperlihatkan suatu kerangka pendekatan terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi, wacana lingkungan hidup tidak dibahas dan dikaji secara khusus dalam cuilan tersendiri, melainkan tersebar di beberapa cuilan dalam pokok-pokok bahasan ilmu fiqh itu. Secara substansi Fiqh lingkungan hidup (Fiqh Al-Biah) berupaya menyadarkan insan yang beriman supaya menginsyafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak sanggup dilepaskan dari tanggung jawab insan yang beriman dan amanat yang diembannya.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa saja Konsep Pelestarian lingkungan dalam Islam?
b. Bagaimana Hubungan insan dan lingkungan/alam dalam Islam?
c. Apa saja Hak-hak masyarakat atas lingkungan yang sehat?
d. Apa yang dimaksud dengan Lingkungan dalam konstitusi negara-negara di dunia?
e. Apa yang dimaksud Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehatDalam Islam, Undang-Undang Dasar 1945, dan HAM?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui ihwal konsep pelestarian hidup dan korelasi insan dalam islam.
b. Mengerti ihwal pengertian lingkungan dan hak-hak atas masyarakat yang sehat dalam lingkungan.
c. Memahami undang-undang yang melandasi adanya lingkungan yang baik dalam islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pelestarian lingkungan dalam Islam
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan yaitu untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah menyampaikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan membuat hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai sahabat hidup manusia.
Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya menyampaikan sebuah amanat kepada insan untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini sanggup dilihat dalam QS. Al-A’raf : 56:
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاوَطَمَعاً إِنَّرَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَالْمُحْسِنِين
”Dan janganlah kau membuat kerusakan di muka bumi, sehabis (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan impian (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah amat bersahabat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Larangan pada ayat di atas yaitu larangan untuk berbuat kerusakan di atas bumi. Kerusakan yang dimaksud yaitu bekerjasama dengan banyak sekali bentuk kerusakan, ibarat pembunuhan, perusakan keturunan, akal, dan agama. Sedangkan yang dimaksud dengan kata ”Ba’da Islahiha” yaitu setelah Allah memperbaiki penciptaannya sesuai dengan peruntukkannya bagi kemanfaatan makhluk dan kemaslahatan orang-orang mukallaf.
Hal di atas senada dengan penafsiran yang disampaikan oleh Syihabuddin, bahwa Allah melarang banyak sekali bentuk kerusakan ibarat merusak jiwa (pembunuhan), harta, keturunan, kebijaksanaan dan agama setelah Allah memperbaiki semuanya dan menciptakannya untuk dimanfaatkan oleh makhluk serta untuk kemaslahatan orang-orang mukallaf dengan cara Allah mengutus seorang rasul di atas bumi dengan membawa syari’at dan hukum-hukum Allah.
Abu al-Fida yang ber’alam Kunyah ”Ibnu Katsir” mengatakan, firman Allah swt.
”.وَلاَ تُفْسِدُوا فِى اْلأَرْضِ إلخ” mengandung pengertian bahwa Allah swt. melarang kepada hambanya berbuat kerusakan di atas bumi dan berbuat apa yang sanggup merugikannya setelah adanya perbaikan. Karena sesungguhnya bila segala sesuatu berjalan di atas kebaikan, kemudian terjadi sebuah kerusakan maka akan menyebabkan sebuah kerugian bagi manusia.
Oleh lantaran itu, Allah melarang perbuatan tersebut dan memerintahkan hamba-Nya untuk menyembah, berdo’a, tawaddlu’ dan merendahkan diri kepada-Nya.Ketiga penafsir di atas menyampaikan interpretasi, bahwa kerusakan yang dikandung dalam ayat di atas yaitu banyak sekali kerusakan lingkungan.
Menurut Fuad Amsyari, lingkungan dikelompokkan menjadi tiga.
1. Lingkungan fisik, yakni segala ”benda mati” yang ada di sekitar kita, ibarat rumah, kendaraan, gunung, udara, air, sinar matahari, dan lain-lain.
2. Lingkungan biologis, yakni segala organisme yang hidup di sekitar manusia, baik berupa flora maupun binatang.
3. Lingkungan sosial, yakni manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya, tetangga, teman, atau orang lain yang belum dikenal.
Ketiga kategori lingkungan di atas disebut sebagai lingkungan hidup, yakni segala benda, kondisi, keadaan dan dampak yang terdapat dalam ruang yang kita tempati, dan mensugesti hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia. Dalam kenyataan era kini ini, seluruh kategori lingkungan tersebut benar-benar mengalami gangguan pencemaran yang dahsyat. Seakan-akan pencemaran yang terjadi semakin kompleks.
Bukan saja kerusakan alam, tapi sudah menjalar pada kerusakan lingkungan sosial. Sebab, antara lingkungan fisik dan sikap organisme saling mempengaruhi. Selain sebagai amanat, tindakan memelihara alam (tidak membuat kerusakan di bumi) merupakan manifestasi perintah syukur kepada Tuhan. Karena Islam yaitu agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai syukur, maka dari awal kelahirannya, sudah mengajarkan pentingnya memelihara alam.
Bahkan, ketika perang pun Islam masih mengagungkan titah itu. Tersebut dalam sejarah, para khalifah Islam, ibarat Abu Bakar dan Umar, setiap kali akan melepas laskar ke medan perang tak pernah lupa memperingatkan: ”Jangan tebas pohon atau rambah tanaman, kecuali bila akan dipergunakan atau dimakan, dan janganlah membunuh binatang kecuali untuk dimakan, hormati dan lindungi semua rumah ibadah manapun, serta jangan sekali-kali mengusik mereka yang sedang beribadah berdasarkan agama mereka masing-masing. Janganlah membunuh orang-orang yang tidak bersenjata (yang tidak terlibat eksklusif dalam peperangan).”
Terbukti, ketika haji, orang yang ihram dihentikan membunuh binatang, dan mencabut pohon. Bahkan, bila melanggar akan dikenakan sangsi. Lebih lanjut, Islam juga menyampaikan kabar besar hati bagi mereka yang mau melestarikan alam. Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits pernah besabada, ”Barangsiapa yang menanam sebuah pohon, dan pohon itu berbuah, Allah akan menyampaikan pahala kepada orang itu sebanyak buah yang tumbuh dari pohon tersebut”.
Nabi juga pernah bersabda, ”Memakan setiap binatang buas yang bertaring yaitu haram”. Hadits ini oleh Fuqaha (para jago fiqh) dijadikan dasar atas diharamkannya binatang yang bertaring dan bercakar, ibarat harimau, serigala, beruang, kucing, gajah, badak, macan tutul dan rajawali. Memang, pada mulanya, pelarangan tersebut bersifat tekstual-normatif, lantaran diambil berdasarkan sabda Nabi semata. Namun, pada perkembangan berikutnya, setelah dikontekskan dengan realitas kekinian, pengharaman itu membawa pesan tersirat yang begitu besar.
Binatang-binatang yang diharamkan tergolong spesies binatang yang langka yang dilindungi. Sebut saja contohnya rajawali. Semua jenis binatang ini, di belahan dunia manapun dilindungi. Bukti ini secara tidak eksklusif memperlihatkan bahwa Islam ternyata ikut andil dalam pelestarian binatang langka yang berperan aktif sebagai penjaga ekosistem alam.
Karena pengharaman tersebut didasari teks keagamaan, maka melaksanakannya yaitu sebuah kewajiban bagi setiap umatnya. Bahkan, bukan sekedar kewajiban, tapi kebutuhan manusiawi, sehingga ekosistem tetap terjaga. Pelestarian alam dalam Islam sifatnya konservatif, yang melindungi nilai-nilai yang telah ada. Baik kondisi alami, estetika maupun kekayaan alam yang telah terbentuk semenjak awalnya.Alam, sebagaimana disinggung dalam QS. Al-A’raf : 56, mengalami perubahan menuju pada ekosistem yang seimbang setelah mencapai ratusan bahkan jutaan tahun. Maka, mempertahankan alam yang telah menjalani proses tersebut yaitu sebuah keharusan dan kebutuhan manusia.
Mengingat pentingya pelestarian alam itulah, Islam semenjak zaman Nabi Muhammad saw. telah memperkenalkan daerah lindung (hima’), yakni suatu daerah yang khusus dilindungi pemerintah atas dasar syari’at guna melestarikan kehidupan liar di hutan. Nabi pernah mencagarkan daerah sekitar Madinah sebagai hima’ guna melindungilembah,padang rumput dan flora yang ada di dalamnya.
Lahan yang dia lindungi luasnya sekitar enam mil atau lebih dari 2049 hektar. Selain hima’, Islam juga memperkenalkan konsep ihya’ul mawat, yakni perjuangan mengelola lahan yang masih belum bermanfaat menjadi mempunyai kegunaan bagi manusia. Dua konsep di atas, memperlihatkan kepada kita bahwa Islam yaitu telah sedini mungkin ikut melestarikan alam, sebagaimana juga telah ikut aktif dalam memelihara keberlangsungan binatang langka melalui pelarangan konsumsi.
Inilah makna konsep Rabbil ’alamin (pemelihara seluruh alam), yakni sifat Tuhan yang direalisasikan pada kiprah kekhalifahan manusia. Artinya, segenap makna yang terkandung dalam kata itu harus tercermin dalam setiap tindakan dan sikap insan dengan alam, lantaran ia menempatinya dan bertanggung jawab terhadap eksistensinya.
2.2 Hubungan insan dan lingkungan/alam dalam Islam
Mustofa Abu Sway menggunakan dua kategori untuk membahas korelasi antara insan dan lingkungan, penguasa (khalifah) dan penundukan (taskhir). Kategori pertama memandang bahwa insan yaitu wakil Tuhan di muka bumi. Kekhalifahannya telah dinyatakan sebelum penciptaan insan pertama. Dengan kedudukan ini, insan dilimpahi tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga alam sekitarnya,
Yang juga diiringi dengan ganjaran dan hukuman. Pada posisi ini, kekhalifahan juga bisa menjadi ujian baginya bagaimana ia memerlakukan lingkungannya. Tugas lain insan selaku khalifah yaitu untuk mengamati alam semesta dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan untuk memelihara lingkungan.[1]
Hubungan insan dengan alam dalam Al-Qur’an di mana insan bekedudukan sebagai khalifah, harus juga dilihat dari segi penundukan dan kehambaan. Manusia selaku khalifah di bumi dilengkapi dengan kemampuan menyebarkan pengetahuan dan ditundukkannya alam semesta dan seisinya untuk manusia, Allah lah yang menundukkan langit, bumi dan seisinya, bukan manusia.
Oleh lantaran itu, meskipun insan sebagai khalifah diberi kuasa untuk mengelola dan mmelihara alam, kedudukan insan dengan alam semesta yaitu setara dihadapan Allah.
Sesungguhnya, ketika membahas insan dan alam (lingkungan), posisi Tuhan mustahil diabaikan. Ketika membahas kekerabatan insan dan alam, kiprah dan keberadaan Tuhan juga harus disinggung. Oleh lantaran itu, di samping kekerabatan antara insan dan alam semesta, ada dua kekerabatan yang lain, yaitu:relasi insan dengan Tuhan dan kekerabatan alam semestadengan Tuhan.
Masing-masing dari ketiga kekerabatan di atas mempunyai element penting yang membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan. Relasi antara alam semesta dan Tuhan dihubungkan dengan konsep penundukan, kekerabatan antara insan dan Tuhan dihubungkan dengan konsep kehambaan, kekerabatan antara insan dan alam semesta yaitu kekerabatan khalifah dan amanah.
Tiga kekerabatan di atas, yaitu sebuah sistem yang terstruktur, yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tiga kekerabatan di atas memperlihatkan betapa zat yang paling mempunyai kekuasaan yaitu Tuhan, sehingga semua ciptaannya akan tunduk terhadap-Nya, termasuk manusia. Inilah yang kemudian menjadi konsep kehambaan.
Apabila menggunakan konsep kehambaan (‘abd), maka hal itu bisa dijelaskan bahwa insan dianugerahi potensi sebagai khalifah dan dibekali dengan penundukan alam semesta baginya. Akan tetapi kemampuan dan penundukan tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab melalui elemen amanah dan ‘abd. Jika dilihat dalam kerangka pandangan agama dan lingkungan di atas, maka konsep ini akan lebih sesuai dengan konsep kekerabatan insan dengan semua makhluk.
2.3 Hak-hak masyarakat atas lingkungan yang sehat
Hak lingkungan yang sehat secara harfiyah yaitu keleluasaan masyarakat untuk memperoleh kenyamanan hidup di lingkungan sekitar dan mendapat pelayanan yang sehat, secara tidak eksklusif ketika kita membaca pengertian ibarat ini terlintas akan alam sekitar dan keadaannya,tapi bila dikaji lebih dalam lagi lingkungan yang sehat juga mencakup kebijakan politik mengenai keleluasaan masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini termasuk eksploitasi hutan pada dasarnya hal tersebut berasal dari lingkungan politik yang kurang sehat, termasuk hak atas lingkungan yang sehat.
Diperlukan penguat sebagai pendukung atau yang memfasilitasi terpenuhnya aspek secara output ibarat halnya tersedianya sarana kesehatan peraturan dan aturan mengenahi lingkungan yang sehat dinormakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara terang dalam pasal 28 ayat (1) “ setiap orang berhak hidup sejahtera lahir, batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesejahteraan” pengendali semua kebijakan dan pengatur ketertiban tidak lain dan tidak bukan pemerintah juga sebagai salah satu cuilan penting dalam terlaksanannya lingkungan sehat, setiap warga masyarakat selalu ingin mendapat pelayanan yang memuaskan dalam memperoleh kesehatan lingkungan.
Oleh lantaran itu, kebijakan pemerintah memang benar, namun untuk mengaplikasikannya kedalam suatu masalah masih belum maksimal, seharusnya pengintrolan dilapangan lebih diperketat.
2.4 Lingkungan dalam konstitusi negara-negara di dunia
Istilah Green Constitution atau Konstitusi Hijau belum banyak terkenal di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, alhasil banyak pula pakar aturan Indonesia yang menuliskan tema ihwal green constitution dalam jurnal-jurnal nasional atau artikel. Dalam bukunya, Prof Jimly asshidiqie pun menjelaskan bahwa sebenarnya, sebagai istilah, green constitution bukanlah suatu yang aneh.
Sejak tahun 1970-an, istilah tersebut sudah sering dipakai untuk menggambarkan keterkaitan sesuatu dengan ide pertolongan lingkungan hidup.[2] Dalam jurnal-jurnal atau artikel internasional di beberapa negara, istilah itu juga sudah dipakai semenjak lama.
Negara-negara didunia menyadari bahwa lingkungan saling berkaitan dan dibutuhkan oleh seluruh umat insan tanpa dibatasi oleh teritorial batas negara. Banyak perjanjian Internasioanl yang sudah dibentuk bahkan sudah diratifikasi oleh negara-negara di Dunia.
Beberapa negara memperlihatkan komitmennya dalam pertolongan lingkungan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Diantaranya yaitu negara Portugal, Spanyol, Polandia, Prancis, Ekuador. Bahkan, dalam amanedemen konstitusinya, negara tersebut memasukkan pasal-pasal ihwal pertolongan lingkungan dan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga sanggup efektif untuk kebijakan-kebijakan pemerintah dibawahnya terkait pembangunan negaranya yang berkelanjutan dan pro-lingkungan.
Tidak terkecuali Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai potensi alam yang sangat besar sebagai paru-paru dunia, maka Indonesia dalam Konstitusinya yaitu pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sudah mencerminkan sebagai konstitusi hijau dengan menyampaikan jaminan hak warga negaranya berupa lingkungan yang higienis dan sehat dengan melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Tuntutan reformasi pada tahun 1998 dengan salah satu agendanya yaitu amandemen hingga kepada perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, menghasilkan banyak rumusan pasal-pasal gres terutama terkait dengan Hak Asasai Manusia.
Isu lingkungan pun alhasil menjadi salah satu Hak Asasai Manusia yang tercantum dalam pasal 28H ayat (1) yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal tersebut tentu menyampaikan dampak positif yang secara tidak eksklusif negara berkewajiban untuk betul-betul melestarikan lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk memenuhi hak warga negaranya.[3]
Indonesia sebenarnya telah menerapkan konsep ecocracy yaitu kedaulatan lingkungan hidup atau ekosistem dimana suatu pemerintahan mendasarkan kepemerintahannya secara taat asas pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (ecologically sustainable development). Gagasan ecocracy ini merupakan upaya untuk mengutamakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam arus politik pembangunan nasional.
Namun, walaupun Indonesia dalam konstitusinya telah mengakui subjective right atau duty of the state tetapi pemuatan referensi dan arah pembangunan berkelanjutan belum ditempatkan pada pasal-pasal khusus melainkan ditumpangkan atau dicampurkan dengan hak-hak mendasar lainnya.[4]
Oleh lantaran itu, dengan teori hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ihwal Pembentukan Peraturan perundang-Undangan maka Pemerintah Indonesia wajib menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia biar menjadi peraturan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tata urutan Peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini yang diatur dalam pasal 7 yaitu sebagai berikut:[5]
(1) Undang-undang Dasar 1945
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(3) Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(4) Peraturan Pemerintah
(5) Peraturan Presiden
(6) Peraturan Daerah Provinsi
(7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Tanggal 8 september 2009 dewan perwakilan rakyat dan Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang pertolongan dan pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ihwal Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Terhadap Undang-Undang ini tentunya banyak perubahan. Dari segi judulnya, terang sudah berubah dengan ditambahkannya kalusul kata pertolongan selain kata pengelolaan. Dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk mencegah kerusakan lahan perlu dilakukan penegakkan peraturan perundangan-undangan untuk melindungi lingkungan hidup itu sendiri.[6]
Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang pertolongan dan pengelolaan Lingkungan (UUPPLH) Hidup tentunya masih banyak pembiasaan yang harus dilakukan.
Dalam pelaksanaan teknis Undang-undang tersebut dalam Peraturan pemerintah dan Peraturan presiden hendaknya juga diubahsuaikan dengan UUPPLH yang baru biar tidak terjadi benturan aturan lantaran masih mengacu pada UUPLH yang lama. Hal ini juga diatur pula dalam pasal 44 UUPPLH bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan pertolongan fungsi lingkungan hidup dan prinsip pertolongan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPPLH.
2.5 Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat Dalam Islam, Undang-Undang Dasar 1945, dan HAM
a. Dalam perspektif Islam
Dalam perspektif islam, HAM diletakkan sebagai hurumat (keilmuan, kelapangan, kehormatan). Dengan pengertian ini pada hakikatnya insan didudukkan sebagai makhluk yang dimuliakan tuhan. Manusia dalam kemuliannya ditandai dengan kewajiban untuk mengabdi kepada ilahi dan korelasi baik dengan sesamanya serta memelihara kewajiban tanggung jawab secara vertikal dan horizontal. Manusia dalam Islam bukanlah pemilik hak asasi melainkan yang dititipi hak asasi untuk ditegakkan tolong-menolong insan lainnya.
Fundamental HAM dalam Islam telah dirumuskan Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah. Nilai yang hidup dalam HAM versi Islam sebagaimana ditegaskan dalam Piagam Madinah tersebut adalah: Pengakuan adanya hak hidup, hak kemerdekaan, hak persamaan, hak keadilan, hak pertolongan hukum, hak pertolongan dari kezaliman penguasa, hak pertolongan dari penyiksaan, hak untuk berlindung, hak untuk melaksanakan kolaborasi dalam kehidupan sosial, hak minoritas, serta hak ekonomi.
Mayoritas negara-negara Islam yaitu tergolong keadaan barisan negara-negara dunia ketiga yang banyak mencicipi perlakuan ketidak adilan negara-negara barat atas nama HAM. Dalam pandangan negara-negara Isalam, HAM Barat tidak sesuai dengan pandangan pedoman Islam yang telah ditetapkan Allah SWT.
Maka negara-negara Islam yang tergabung dalam Organization of Islamic Comfrence (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluar deklarasi ihwal kemanusiaan sesuai syariat Islam. Konsep HAM hasil rumusan negara-negara OKI dikenal dengan sebutan DEKLARASI KAIRO ini berisi 24 pasal ihwal HAM berdasarkan Al- Alquran dan Sunnah yang dalam penerapannya dan relitasnya mempunyai beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak asasi insan (the Universal Declaration of Human Rights) yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948.
b. Dalam perspektif Undang-Undang Dasar 1945
Banyak terjadi kesenjangan sosial dan kasus-kasus sosial yang ada dirakyat Indonesia dimana kakayan alam dan sumber-sumber laianya serta keuntunganya yang didapat dari eksploitasi sumberdaya alam, yang hanya dinikmati oleh kelompok dan golongan tertentu saja sedangkan rakyat Indonesia selalu menuai dampak peristiwa dan bahkan nyawa menjadi taruhanya.
Bagi Indonesia pembangunan nasional yang diselenggarakan yaitu mengikuti referensi pembangunan berkelanjutan yang diakomodasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) ketentuan tersebut menyampaikan dasar aturan bagi peyelenggaraan pengelolan lingkungan hidup yang bertujuan melestarikan kemempuan lingkungan hidup biar sanggup tetap menunjang kesejahteraan dan mutu hidup generasi mendatang.
Bagian ’hukum lingkungan’ ini akan menguraikan struktur aturan pertolongan lingkungan dan mendiskusikan peraturan-peraturan yang menyampaikan kesempatan pada pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan penguatan pada:
1. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
2. peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
3. pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
4. prosedur aturan peyelesaian sengketa lingkungan.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, didalam UU N0.23 tahun 1997 ihwal pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 ayat (3) meyatakan pembangunaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yaitu upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam peroses pembangunaan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Untuk memungkinkan pembangunaan berkelanjutan ini diharapkan pokok-pokok kebijaksanaan sebagai beerikut :
1. pengelolan sumberdaya alam perlu direncanakaan sesuai dengan daya dukung lingkungan melalui planning tata ruang wilayah
2. proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melelui penerapan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
3. pengembangaan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan
4. pengendalian kerusakan lingkungan
5. pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan.
6. pengembangan peran-serta masyarakat kelembagaan dan ketenagaaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
7. pengelolaan pencemaran air, udara dan tanah.
8. pengembangan aturan lingkungan yang mendorong tubuh peradilan untuk meyelesaikan sengketa melalui penerapan aturan lingkungan
9. pengembangan kerjasama luar negeri.
Kontek hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat pada tingkat internasional, diatur secara ekspelisit dalam deklarasi Universal hak asasi insan (DUHAM) ini sudah terang sebenarnya lingkungan yang baik dan sehat yang merupakan hak asasi manusia, itu harus dijaga dan dipertahankan lantaran bersangkutan dengan perkembangan lingkungan tersebut biar tetap terjaga. Sehingga juga tergabung dalam rumpun hak ekonomi, sosial, dan budaya, (EKOSOBUD).
Justifikasi internasional menyangkut interaksi hak atas lingkungan sehingga ditafsirkan menjadi HAM dilihat antara lain ;
1. African charter on human and peopple rights, pasal 21 ayat 1
2. Kovenan internasional ihwal hak-hak ekonomi, social, dan budaya (kovenan hak ekosob) , pasal 1 ayat 2
3. Resolusi PBB 1803 (XVII) 12 Desember 1962
4. Resolusi PBB 3281 (XXIX) 12 Desember 1974
5. Agenda 21 KTT bumi Rio de Janeiro 1992.
Secara konsitusional, hak atas lingkungan dalam aturan nasional indonesia tercantum dalam beberapa aturan yaitu ;
1. Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan ”membentuk suatu pemerintah negara indonesia yang meindungi segenap bangsa indonesia ”.... serta dikaitkan pula dengan hak penguasaan kepada negara atas bumi, air dan kekayaan terkandung didalamya ntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
2. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat 1 meyebutkan ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanaan kesehatan
3. Piagam HAM dan merupakan cuilan tak terpisahkan dari TAP MPR NO XVII/MPR/1998 yang ditetapkan oleh sidang istimewa MPR tahun 1998. diantaranya mayatakan ”bahwa insan yaitu mahluk ilahi yang maha esa, yang berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan harmonis dalam bentuk ketaatan kepada NYA.
4. UU No.23 tahun 1997 pasal 5 ayat (1), ”setiap orang mampunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, pasal 8 ayat (1), ”sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakn untuk sebesar-besarya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturanya ditentukan oleh pemerintah,”
4. UU No.23 tahun 1997 pasal 5 ayat (1), ”setiap orang mampunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, pasal 8 ayat (1), ”sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakn untuk sebesar-besarya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturanya ditentukan oleh pemerintah,”
4. UU No.39 tahun 1999 tantang hak asasi insan (UU No.39 1999) pasal 3 meyatakan ”masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Secara eksklusif atau pun tidak langsung. Sudah banyak terjadi perusakan lingkungan yang ada di propinsi kepulauan bangka belitung. Baik yang dilakukan pemerintah dengan melalui kebijakanya ataupun rakyat sendiri yang melaksanakan perusakan tersebut.
1. baik dari pertambangan pertimahan yang legal, ilegel dan ilegal di legalkan, dan ketika ini diperparahkan lagi adanya pertambangan biji emas yang tentunya oleh rakyat, sehingga dengan sendirinya menembah perparah lingkungan yang ada di BABEL ini. kalau pemerintah daerah tidak meyikapiya dengan serius.
2. dari perkebunan, banyak pembukaan lahan besar-besaran ketika ini di bangka belitung dalam upaya pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, yang sendiriya akan memperburuk lingkungan BEBEL. Kalau perkebunan itu debuka dengan cara besar-besaran sehingga terjadi penggundulan hutan dan pencemaran aliran sungai akhir perkebunaan tersebut, kita ketahui air merupakan cuilan dari kehidupan masyarakat.
3. diperparah lagi ketika ini kerusakan lingkungan di bangka belitung bukan hanya didaerah daratan aja melaikan diperairan atau pesisir pantai yang diakibatkan banyakya pertambangan-pertambangan pertimahan baik kapal hisap maupun TI apung.
Secara aturan kiprah serta masyarakat tercantum didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 (2) wujud kekuatan kiprah serta masyarakat, berupa kedaulatan rakyat, diakui secara penuh dan dilaksanakan berdasarkan UUD. Dalam kontek aturan lingkungan , hak dan kewajiban berperan serta diyatakan dalam UU No.23/1997 pasal 5 (3). Dan pasal 34 PP No.27/1999 ihwal analisis dampak lingkungan (AMDAL) semangkin mempertegas posisi keikutsertaan masyarakat.
PBB meyelenggarakan konvensi internaional di Aarhus, denmark, berkenaan dengan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, pada tanggal 25 juni 1998 yang ditandatangani oleh 39 negara dan maeyarakat eropa (european community) dengan menghasilkan the aarhus convention yang berisikan 3 pilar yang menjamin hak-hak rakyat dalam kerangka pembangunaan berkelanjutaan yang berwawasaan ingkungan (to sustsinable and environmentally sound development) yakni :
1. Pilar pertama susukan terhadap informai (access to information) yang pada pada dasarnya yaitu setiap orang berhak mendapat informasiyang utuh, akurat dan mutahir yuntuk banyak sekali tujuan
2. Pilar ke dua kiprah serta dalam pengambilan keputusan (public participation in decision making) yaitu pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu pembuatan informasi dan pula jaminan bahwa partisipasi tersebut benar-benar dijalankan dalam realitanya atrau praktekya dan tidak sekedar diatas kerta dengan melalui susukan terhadap penegakan keadilan (access to justice).
3. Pilar ke tiga susukan terhadap penegak keadilaan (acces to justice) yaitu susukan untuk memaksakan dan memperkuat, baik hak susukan informai maupun hak partisipasi.
c. Dalam perspektif HAM
Hak atas lingkungan hidupsalah satu dari sekian banyak hak asasi yang dimiliki oleh insan ketika pertama ia dilahirkan kemuka bumu ini. Bahkan, janin yang masih di dalam rahim ibunya secara yuridis sudah dianggap sebagai subjek aturan ibarat yang terdapat dalam pasal 2 kitab undang-undanghukum perdata dan lantaran itu ia mempunyai hak asasi, yakni yaitu hak untuk hidup dan hak untuk dilahirkan.
Ketika janin itu keluar dari rahim ibunya. Maka bayi yang dilahirkan itu demi aturan merupakan cuilan dari subjek aturan lingkungan yang mempunyai hak untuk hidup, tinggal dan menetap di muka bumi serta bahkan untuk memanfaatkan kekayaan sumber alam demi kelangsungan hidup dan kesejahteraannya sebagai umat manusia.
Sebagaimana hak asasi lainnya, konsep hak atas lingkungan juga mambutuhkan kebijaksanaan sehat yang keritis, mendalam dan menyeluruh. Karena dalam pengaturan, penjabaran, dan aktualisasinya merujuk pada konsep korelasi (interaksi) antara insan dan alam sekitarnya.
Bagaimana insan melibat dirinya di tengah-tengah keberadaan alam dan dalam perjalanan kemanusiaan ratusan tahun ke masa depan, akan sangat memilih definisi hak asasi atas lingkungan hidup tersebut. Oleh lantaran insan yaitu cuilan dari lingkungan (alam). Maka keberadaan umat insan kapan pun dan dimanapun pesti terkait dan berinteraksi dengan lingkunganya.
Secara filosofis, perbedaan mengenai interaksi insan dengan alam sekitarnya bermuara pada dua pendapat yang salaing berbeda kutubnya yaitu:
1. Pendapat yang menempatkan insan sebagai pemilik dan pengambil manfaat utama atas bumi dan segenap kehidupan dibawah dan di atas permukaannya. Termasuk udara dan laut. Pendapat yang bersifat utilitarian dan antroposentris ini oleh sebagian pakar di anggap mengundang sikap insan yang cenderung merusak (destruktif) terhadap lingkungan dan otoriter terhadap makjluk hidup lainnya.
2. Pendapat yang menempatkan insan sebagai cuilan dari alam semesta atau cuilan dari salah satu dari jutaan makhluk yang hidup di bumi ini.
Oleh lantaran itulah dalam memanfaatkan sumber daya alam generasi kini mempunyai kewajiban moral kepada generasi mendatang untuk tidak mencemari lingkungan atau menghabiskan sumber daya alam tersebut, sehingga merugikan spesies insan (termasuk binatang dan tumbuhan) secara keseluruhan.
Karena pada hakikatnya semua itu. “ bumi tempat kita hidup dan mencari kehidupan ini sesungguhnya bukan merupakan warisan nenek moyang kita, melainkan titipan (amanat) dari anak cucu kita”
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Generasi kini di samping mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana ditentukan pada pasal 5 ayat 1 UU Nomer 23 Tahun 1997 ihwal pengelilahan lingkungan hidup, mereka juga harus mengkui dan melindungi hak asasi generasi yang akan tiba dengan kewajiban untuk melestarikan lingkungannya. Implementasi hak acara dan memperkirakan dampak dari kegiatannya di masa depan. Semakin tinggi kemampuan insan merencanakan masa depan akan semakin besar kemungkinan generasi yang akan tiba dihormati dan dilindungi haknya.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, didalam UU N0.23 tahun 1997 ihwal pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 ayat (3) meyatakan pembangunaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yaitu upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam peroses pembangunaan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan yaitu untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah menyampaikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan membuat hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai sahabat hidup manusia.
Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya menyampaikan sebuah amanat kepada insan untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini sanggup dilihat dalam QS. Al-A’raf : 56:
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاوَطَمَعاً إِنَّرَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَالْمُحْسِنِين
”Dan janganlah kau membuat kerusakan di muka bumi, sehabis (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan impian (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah amat bersahabat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad kokasih . HAM dalam prespektif islam . menyingkap persamaan dan perbedaan antara islam dan barat . Jakarta : Salemba Diniyah, 2003 .
https://rodaduniailmu.blogspot.com//search?q=14/pengertian-hak-asasi-manusia-dan-ciri-khasnya/">http://mlatiffauzi.wordpress.com/2010/05/14/pengertian-hak-asasi-manusia-dan-ciri-khasnya/
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University Press, 2003, hlm. 7-21 dan Maurice Cranston, What are Human Rights? New York: Taplinger, 1973 dalam Rhona K. M. Smith, et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2008.
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Jakarta: Grafiti, 1994.
Syekh syaukat hussain . hak asasi insan dalam islam . Jakarta : gema insani press, 1996 .
[1] Mustofa Abu Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment (Fiqh al-Bi’ah fil Islam).http://homepages.iol.ie/%7Eafifi/ Articles/environment.htm, diakses pada 28 Desember 2005
[2]Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Pers.
[3]Pasal 28 H ayat (1) merupakan hasil Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 2000
[6]I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Penguatan Fungsi Lingkungan Hidup melalui Penegakan Hukum Lingkungan Sesuai Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Yustisia. Edisi Nomor 78 September-Desember 2009, Fakultas Hukum Universitas sebelas Maret Surakarta.
Belum ada Komentar untuk "Download Makalah Pelestarian Lingkungan Dalam Islam"
Posting Komentar