Download Makalah Gugurnya Hak Menuntut Pidana (Makalah Aturan Pidana)

DOWNLOAD FILE INI DISINI


A.      Konsep Gugurnya Hak Menuntut Pidana dalam Hukum Pidana
“Kehilangan Hak Menuntut dan Hak Menjalankan Hukuman“, demikianlah judul dari titel VIII Buku I KUHP. Dalam judul itu disebutkan hak menuntut dan hak menjalankan hukuman.
Berbicara ihwal hak menuntut, maka perhatian diarahkan kepada istilah subjectief strafrecht (jus puniendi) yang di dalamnya recht tidak berarti “hukum” tetapi “hak” , yaitu hak dari Negara, diwakili oleh alat-alatnya untuk menghukum seorang oknum yang melanggar aturan pidana.Disamping subjectief strafrecht ada objectief strafrecht yang berarti rangkaian peraturan yang merupakan aturan pidana. Jadi, recht dalam objectief strafrecht berarti “hukum”.
Dalam bahasa Belanda, kata recht memang mempunyai dua arti, yaitu hak dan aturan , sedangkan dalam bahasa Indonesia kata “hukum” tidak sanggup berarti “hak”. Berhubung dengan ini tidak ganjil apabila dalam Wetboek van Strafrecht ada suatu bagian, yaitu titel VIII Buku I yang dalam judulnya memakai kata recht dalam arti “hak”. Dengan diterjemahkannya Wetboek van Strafrecht menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tolong-menolong ganjil apabila ada titel VIII Buku I dari kitab undang-undang hukum pidana yang dalam judulnya memuat pengertian “hak” yang tidak diliputi perkataan “hukum”.[1]

B.       Sebab-sebab Gugurnya Hak Menuntut Pidana dalam Hukum Pidana
Gugurnya hak menuntut Pidana dalam Hukum Pidana mencakup :
1.    Perbuatan yang diputus dengan Putusan yang menjadi tetap
Pasal 76 kitab undang-undang hukum pidana mengandung prinsip penting, yaitu bahwa seseorang tidak sanggup dituntut sekali lagi lantaran perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim dengan putusan yang telah berkekuatan tetap (gewisjde atau res judicata). Prinsip ini juga dikenal sebagai ne bis in idem (tidak dua kali dalam hal yang sama), tidak hanya mengenai hal bahwa seseorang yang telah dieksekusi lantaran melaksanakan suatu tindakan pidana, tidak boleh dituntut lagi mengenai perbuatan itu lagi, tetapi juga jikalau orang dalam masalah pertama dibebaskan (vrijspraak) atau dilepaskan dari segala tuntutan (ontslag van rechtsvervolging), maka atas perbuatan yang sama itu tidak boleh dilakukan penuntutan lagi.[2]
Keputusan hakim (yang berkekuatan tetap) yaitu keputusan terhadap perbuatan atau masalah yang berupa[3] :
a.       Pembebasan (vrijspraak) – pasal 191 ayat (1) KUHAP;
b.      Pelepasan dari segala tuntutan aturan (ontslag van allerechtsvervolging)–pasal 191 ayat (2) KUHAP;
c.       Penjatuhan pidana – pasal 193 ayat (1) KUHAP.

2.    Sebab Meninggalnya pembuat/terdakwa/tersangka
Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan, maka berdasarkan pasal 77 kitab undang-undang hukum pidana hak menuntut itu gugur (vervallen).
Jika ini terjadi dalam taraf pengusutan (voor-onderzoek) , maka pengusutan itu dihentikan. Jika penuntutan telah dimajukan, maka penuntut umum harus oleh pengadilan dinyatakan tidak sanggup diterima dengan tuntutannya. Begitupun apabila pengadilan banding atau kasasi masih harus memutuskan perkaranya.
Apabila terdakwa meninggal dunia setelah kepadanya dijatuhi hukuman dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan tetap (gewisjde), maka berdasarkan pasal 83 kitab undang-undang hukum pidana gugurlah hak untuk menjalankan hukumannya, termasuk hukuman pelengkap menyerupai perampasan barang –barang , tetapi tidak termasuk perintah untuk merusakkan barang atau menjanjikan barang itu tidak sanggup digunakan lagi.[4]
Namun terdapat pengecualian dalam hal ini,yakni dalam konteks ini yang dimaksud pengecualian misalnya yaitu dalam tindak pidana korupsi ( UU No.31 Tahun 1999 ) pasa 32-34. Merujuk pada isi dari pasal-pasal tersebut, maka matinya si terdakwa dalam pelanggaran tersebut tidak menghapuskan tuntutan terhadapnya. Tuntutan tersebut sanggup dilakukan terhadap andal waris atau wakil dari orang yang sudah meninggal dunia itu, dan diselesaikan di hadapan Pengadilan Perdata.[5]
3.    Sebab telah lampau waktu / daluwarsa
Undang-undang memperlihatkan batasan hingga kapan jaksa sanggup melaksanakan kewenangannya melaksanakan penuntutan tersebut. kitab undang-undang hukum pidana memperlihatkan batasan kapan kewenangan itu berakhir yakni dalam pasal 78 , antara lain sebagai berikut :
Kewenangan menuntut pidana hapus lantaran daluwarsa :
a.    Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan setelah satu tahun.
b.    Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurangan , atau pidana penjara paling usang tiga tahun, setelah enam tahun.
c.    Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, setelah dua belas tahun.
d.   Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, setelah delapan belas tahun.
e.    Bagi orang yang pada ketika melaksanakan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun , masing- masing tenggang daluwarsa diatas dikurangi menjadi sepertiga.
Pasal 79 kitab undang-undang hukum pidana menyatakan, bahwa daluarsa mulai berlaku pada keesokan harinya setelah “ perbuatan “ dilakukan.
Prinsip lewatnya waktu ini juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap masalah perkara. Jika dilihat dari teori pembalasan, menjadi tidak penting lagi mengangkat suatu masalah yang sudah dilupakan oleh masyarakat.[6]
4.    Sebab penyelesaian di luar pengadilan
Pada dasarnya tidak semua masalah pidana hanya sanggup dilakukan melalui forum pengadilan, lantaran di forum pengadilan terjadi penumpukan masalah dan kinerja hakim dipertanyakan , lantaran semua masalah pidana yang ringan hingga yang berat harus ditangani oleh mereka. Hal ini agaknya tidak perlu terjadi lantaran kitab undang-undang hukum pidana telah memperlihatkan jalan berupa ketentuan dalam pasal 82 kitab undang-undang hukum pidana , bahwa penyelesaian masalah pidana oleh penuntut umum yang tentunya ditujukan kepada tindak pidana yang diancam dengan denda saja, dengan syarat :
a.         Jenis tindak pidana yaitu pelanggaran
b.        Pelanggaran atas tindak pidana ini oleh UU diancam dengan hukuman denda,
c.         Pelaku berkenan membayar denda maksimum dengan suka rela,
d.        Jika penuntutan telah dimulai biaya-biaya masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan penuntutan dibebankan kepada pelaku,
e.         Ancaman pidana pelengkap berupa perampasan barang tertentu jikalau dirumuskan dalam aturan undang-undang sanggup dilaksanakan penuntut umum atau sanggup dikonversi kedalam sejumlah uang dengan taksiran yang ditentukan oleh undang-undang.
f.         Pelaksanaan penyelesaian masalah pidana melalui forum ini sanggup diperhitungkan sebagai pemberatan bila terjadi pengulangan atau recidive.[7]
Pasal 83 kitab undang-undang hukum pidana membuka kemungkinan dalam hal pelanggaran yang hanya diancam dengan hukuman pokok berupa denda bahwa masalahnya sanggup diselesaikan diluar pengadilan , yaitu secara membayar kepada kejaksaan maksimum denda yang diancamkan ditambah dengan biaya masalah yang telah dikeluarkan oleh jaksa. Akan tetapi , hal ini hanya dengan izin seorang pegawai negeri yang untuk itu ditentukan dalam suatu undang-undang yang juga memilih tempo di dalamnya maksimum denda yang harus dibayar.
Aturan pasal ini tidak berlaku bagi orang yang umurnya belum dewasa, sebelum melaksanakan perbuatan itu, belum cukup enam belas tahun. Demikian suara ayat 4 dari pasal 82 KUHP. [8]
5.    Sebab Amnesti dan Abolisi
Hingga ketika ini , tumpuan ihwal amnesti dan penghapusan diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945.
Amnesti diartikan dengan hak prerogratif presiden sebagai kepala Negara untuk menghentikan proses peradilan pidana di semua tahapan, sehingga akhir aturan terhadap orang yang telah melaksanakan suatu tindak pidana menjadi dihapuskan. Oleh karenanya, dengan pertolongan amnesti, semua akhir aturan pidana terhadap orang yang telah melaksanakan suatu tindak pidana dihapuskan.
Sedangkan penghapusan sanggup diartikan sebagai hak prerogratif presiden sebagai kepala Negara untuk memerintahkan kepada penuntut umum semoga menghentikan tindakan penuntutan kepada seseorang. Dengan pertolongan abolisi, maka dihapuskan penuntutan terhadap mereka. Jadi, penghapusan hanya sanggup diberikan pada fase pra adjudikasi atau pada fase adjudikasi sebelum ada putusan hakim.
Merujuk pada ketentuan pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 ihwal Perubahan Pertama, maka syarat dalam pertolongan amnesti dan penghapusan yaitu sebagai berikut :
a.       Diberikan oleh presiden
b.      Dengan memperhatikan pertimbangan DPR.[9]


Contoh Kasus:
Sudi Ahmad, salah seorang terdakwa masalah penyuapan Mahkamah Agung yang ditahan di Polda Metro Jaya, meninggal dunia. Sebelumnya, beliau mengeluhkan sidang perkaranya yang terkatung-katung gara-gara hakimnya berseteru. Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi itu mengembuskan napas terakhir di RS Soekanto Bhayangkara, Kramat Jati, Jakarta Timur. Dia dilarikan ke rumah sakit itu Jumat (19/5) pukul 18.00 lantaran sakit hernia. Sejak ketika itu, staf Korpri unit MA tersebut dirawat secara intensif. Sebenarnya, terdakwa akan dioperasi, namun keburu meninggal dunia, kata Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. Suyati, istri Sudi Ahmad, mengungkapkan, semenjak Sabtu (20/5), perut suaminya membesar dan kembung. Penyakit suaminya itu sudah usang terjadi dan sering kambuh. Kami sanggup mendapatkan janjkematian Bapak. Ini sudah menjadi nasib Pak Sudi, ungkap ibu dari Farah Azri dan Dandi Akbar Darmawan itu sambil menangis. Jenazah Sudi diberangkatkan ke pemakaman Pondok Kelapa sekitar pukul 13.00 dari rumah abang laki-lakinya, Nazirin, di Jalan Gandria, RT 07, RW 07, Kemayoran. Sudi yaitu salah seorang di antara empat karyawan MA yang didakwa mendapatkan suap dari Harini Wijoso, penasihat aturan Probosutedjo. Uang itu disebut-sebut akan diberikan kepada Ketua MA Bagir Manan untuk membebaskan Probo dari hukuman korupsi dana reboisasi di tingkat kasasi. Kasusnya masih diproses di pengadilan. Kasus itu beberapa kali memicu pro-kontra mengenai investigasi Bagir Manan, ketua majelis hakim kasasi masalah Probo. Terakhir, tiga hakim yang mengadili Harini walk out untuk memprotes ketua majelis yang tidak mau menghadirkan Bagir sebagai saksi ke sidang. Dua sidang masalah penyuapan itu selanjutnya terkatung-katung hingga kini. Mestinya, Rabu (24/5) jaksa penuntut umum akan membacakan tuntutan terhadap Sudi. Karena beliau meninggal, KPK akan meminta majelis hakim yang mengadili perkaranya untuk menggugurkan tuntutan. Perkaranya gugur demi hukum. Sesuai pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK tidak berhak mengeluarkan surat penghentian penyidikan maupun penuntutan. Yang berhak yaitu majelis hakim lantaran masalah sudah bergulir ke pengadilan. (ein)
                                                                   Sumber: JawaPos, 23 Mei 2006.

Analisis:
Jadi berdasarkan kelompok kami, bahwa terdakwa Sudi Ahmad ihwal penyidikan kasus penyuapan gugur demi aturan lantaran Sudi sebagai terdakwa sudah meninggal dunia. Tetapi kalau masalah tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang maka prosesnya jalan terus, lantaran si terdakwa lainnya masih hidup, tetapi sebaliknya kalau semua terdakwa meninggal maka masalah tersebut ditutup lantaran batal demi hukum. Dengan gugurnya tuntutan tersebut Majelis Hakim harus membatalkan tuntutan dari jaksa penuntut dengan mengeluarkan NO (Niet Ontvankelijk Verklaard).
Apabila tersangka meninggal ketika proses penyidikan masih berlangsung, maka proses penyidikan tersebut batal, sesuai dengan pasal 77 kitab undang-undang hukum pidana yang berbunyi ”kewenangan menuntut pidana hapus, jikalau terdakwa meninggal dunia”.
Penyidikan akan tidak boleh demi aturan dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan kepada Penuntut Umum dan keluarga almarhum. Apabila janjkematian tersangka pada ketika masalah telah dilimpahkan oleh penyidik pada penuntut umum tapi belum dilimpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan atau belum dilakukan penuntutan ke pengadilan, maka jaksa penuntut umum akan ’menutup masalah demi hukum. Penutupan masalah akan dilakukan dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penutupan Perkara ke Penyidik dan keluarga almarhum.





BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.    Berbicara ihwal hak menuntut, maka perhatian diarahkan kepada istilah subjectief strafrecht (jus puniendi) yang di dalamnya recht tidak berarti “hukum” tetapi “hak” , yaitu hak dari Negara, diwakili oleh alat-alatnya untuk menghukum seorang oknum yang melanggar aturan pidana. Disamping subjectief strafrecht ada objectief strafrecht yang berarti rangkaian peraturan yang merupakan aturan pidana. Jadi, recht dalam objectief strafrecht berarti “hukum”.
2.    Gugurnya hak menuntut Pidana dalam Hukum Pidana mencakup :
1)        Perbuatan yang diputus dengan Putusan yang menjadi tetap
2)        Sebab Meninggalnya pembuat/terdakwa/tersangka
3)        Sebab telah lampau waktu / daluwarsa
4)        Sebab penyelesaian di luar pengadilan
5)        Sebab Amnesti dan Abolisi



DAFTAR PUSTAKA

Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama
Saifullah , Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana ( 2004 )
Zulfa Eva, Achjani, 2010. Gugurnya Hak Menuntut. Bogor: Ghalia Indonesia




[1] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia ( Bandung : Refika Aditama, 2008 ), 159
[2] Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, 159-160
[3] Eva Achjani Zulfa , Gugurnya Hak Menuntut ( Bogor : Ghalia Indonesia , 2010 ) , 15
[4] Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, 167
[5] Achjani Zulfa , Gugurnya Hak Menuntut, 24
[6] Saifullah , Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana ( 2004 ) , 48
[7] Achjani Zulfa , Gugurnya Hak Menuntut, 37
[8] Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, 171-172
[9] Achjani Zulfa , Gugurnya Hak Menuntut, 118-119

Belum ada Komentar untuk "Download Makalah Gugurnya Hak Menuntut Pidana (Makalah Aturan Pidana)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel