Download Makalah Gugurnya Hak Melakukan Pidana
Gugurnya hak melaksanakan pidana
1. Sebab meninggalnya terpidana
Pasal 83 kitab undang-undang hukum pidana memilih bahwa “kewenangan menjalanjalankan pidana hapus jikalau terpidana meninggal dunia”.
Sama dengan alasannya maut sebagai dasar peniadaan penuntutan pidana, pada maut sebagai dasar peniadaan pelaksanaan pidana berpijak pada sifat pribadi pertanggung jawab dalam aturan pidana dan pembalasan dari suatu pidana. Orang yang harus menanggung akhir aturan dari tindak pidana yang dibuatnya yakni yang berbuat sendiri dan tidak pada orang lain. Setelah yang berbuat yang harus memikul segala akhir aturan itu meninggal dunia, maka secara simpel pidana tidak sanggup dijalankan.
Jika ini terjadi dalam taraf pengusutan (voor-onderzoek), maka pengusutan ini dihentikan. Jika penuntutan telah dimajukan, maka penuntut umum oleh pengadilan harus dinyatakan tidak sanggup diterima dengan tuntutannya (niet-ontvankelijk verklaard). Begitupun apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masih harus memutuskan perkaranya.
Apabila terdakwa meninggal dunia setelah kepadanya dijatuhi sanksi dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan tetap (gewijsde), maka menuntut 83 kitab undang-undang hukum pidana gugurlah (vervalt) hak untuk menjalankan hukumannya, termasuk sanksi pemanis ibarat perampasan barang-barang, tetapi tidak termasuk perintah untuk merusakkan (vernietigen) barang atau menjanjikan barang itu tidak sanggup digunakan lagi (onbruikbaar maken) kerena tindakan-tindakan itu bukan hukuman, melainkan tindakan kepolisian untuk kepentingan keamanan.[1]
Menilik sifat dari macam-macam pidana yang ada (pasal 10), maka sebetulnya pidana denda (dari jenis pidana pokok) dan pidana perampasan (dari jenis pidana tambahan), atau diluar kitab undang-undang hukum pidana pidana “pembayaran uang pengganti” dalam kasus korupsi, masih juga sanggup dijalankan kepada terpidana yang meninggal dunia sebelum putusan dijalankan. Manfaatnya yakni pidana denda sebagai sumber pendapatan negara yang dihukum yakni berharga bagi negara, yang sanggup dibebankan kepada budel harta yang ditinggalkan. Demikian juga pidana perampasan barang tertentu sanggup ditetapkan untuk negara. Namun semua manfaat itu tidak sanggup menjadi kenyataan lantaran terbentur pada ketentuan pasal 83.
Latar belakang pada manfaat yang demikian ini, maka dalam tindak pidana ekonomi dikecualikan dari ketentuan pasal 83, dimana dalam pasal 13 ayat (1) UU No. 7 (drt) tahun 1955 ditegaskan bahwa “hak melaksanakan perampasan tidak lenyap lantaran meninggalnya si terhukum”. Dengan demikian juga pada tindak pidana korupsi, dalam hal pidana perampasan barang-barang yang telah disita tetap dilaksanakan walaupun terpidananya meninggal dunia. Ketentuan dalam aturan pidana khusus ini hanya perkecualian saja, selebihnya tetap tunduk pada ketentuan pasal 83.[2]
Berikut ini pola kasus gugurnya hak melaksanakan pidana lantaran meninggal
Seorang nara pidana kasus pembunuhan ditemukan tewas disel forum permasyarakatan sukamiskin, Bandung, Jawa barat, ahad (20/10/2013)malam. Penyebab maut belum sanggup dipastikan
Narapidana itu diketahui berjulukan Heriyadi alias Adi. Jasad adi ditemukan terbujur kaku di selnya, ketika dilakukan inspeksi mendadak. Sel asi berada di blok barat bawah forum permasyarakatan itu
“kami belum sanggup mengira kenapa meninggalnya, masih diselidiki tim medis. Kami sudah hubungi pihak keluarga,” kata kepala lapas sukamiskin giri purbadi ketika ditemui seusai inspeksi mendadak. Saat ditemukan, selnya tetap terkunci.
Dalam pantauan kompas.com, jasad adi ada di sel bernomer 40. Giri mengatakan, adi ditemukan dalam posisi telentang dan ada darah keluar darihidungnya. Selain itu, ada busa yang terlihat keluar dari mulutnya.
“mudah-mudahan meninggal (karena sebab) wajar,” ujar giri menepis bermacam-macam dugaan penyebab maut adi. Terakhir kali adi terlihat hidup ketika digelar apel malam di sel, ahad pukul 19.00 WIB.
kondisi adi ketika itu masih terlihat bugar. “setahu saya, yang bersangkutan tak ada riwayat sakit,” imbuh giri.[3]
2. Sebab kadaluarsa
Pasal 84 ayat (1) menyatakan bahwa “kewenangan menjalankan pidana hapus lantaran kadaluarsa”. Ketentuan ini juga berarti kewaiban terpidana untuk menjalani atau melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya menjadi hapus setelah lewatnya waktu tertentu, ketentuan lewatnya waktu tertentu yang mengakibatkan hapusnya kewenangan negara untuk menjalankan pidana ini berlatar belakang pada kepastian aturan baik bagi terpidana maupun bagi negara
Pidana yang telah dijatuhkan oleh negara, dalam waktu yang semakin usang tidak juga sanggup dilaksanakan, keadaan itu yakni kesalahan negara, maka keadaan ini tidak dibenarkan untuk berlangsung terus tanpa kepastian, yang menderitakan terpidana, pada waktu tertentu harus diakhiri. Melaksanakan pidana bagi terpidana yakni melaksanakan suatu penderitaan yang niscaya tidak diinginkan. Oleh lantaran itu merupakan ancaman ancaman bagi terpidana yang belum menjalaninya. Ancaman ini akan menciptakan penderitaan atin yang mengganggu ketenangan hidupnya, walaupun berdasarkan perasaaannya penderitaan itu lebih ringan daripada pendritaan jikalau pidana dijalankan kepadadirinya. Dengan lampaunya waktu, kepastian aturan mengenai ancaman ancaman pelaksanaan pidana sanggup diakhiri. Demikian juga bagi negara, dengan berakhirnya hak negara untuk menjalankan pidana, maka sanggup diakhiri pula kewajibannya untuk melaksanakan pidana terhadap terpidana yang sekian usang tidak sanggup dijalankan.
Mengenai berapa usang batas waktu tenggang untuk menjadi kadaluarsa hapusnya kewenangan negara menjalankan pidana tidaklah sama untuk semua tindak pidana. Pasal 84 ayat (2) memutuskan tenggang daluarsa sebagai berikut:
a. Mengenai semua pelanggaran lamanya yakni 2 (dua) tahun;
b. Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan memakai sarana percetakan lamanya yakni 5 (lima) tahun;
c. Mengenai kejahatan-kejahatan lainnya lamanya sama dengan tenggang daluarsa bagi hapusnya kewenangan dalam hal penuntutan pidana ditambah dengan sepertiganya. Kejahatan-kejahatan lainnya ini ialah:
1) Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling usang 3 (tiga) tahun, setelah 8 (delapan) tahun (6 tahun ditambah 1/3nya);
2) Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 (tiga) tahun, setelah 16 (enam belas) tahun (12 tahun ditambah 1/3nya).[4]
Menurut pasal 78 ayat (2), untuk orang yang sebelum melaksanakan tindak pidana umurnya belum cukup delapan belas tahun, tenggang-tenggang daluarsa tersebut dikurangi sehingga jadi 1/3nya.[5]
Sedangkan mengenai hak negara dalam menjalankan pidana mati tidak dibatasi oleh lampaunya waktu (pasal 84 ayat 4). Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa berlaku sepanjang terpidana masih hidup, tetapi jikalau telah secara niscaya dia meninggal, maka hak menjalankan pidana menjadi hapus.
Mengenai ketika mulai berlakunya tenggang daluarsa hapusnya hak negara menjalankan pidana, berdasarkan pasal 85 ada 3 (tiga) kemungkinan, yaitu:
a. Dalam hal keadaan biasa, mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim sanggup dijalankan;
b. Dalam hal terpidana sedang menjalani pidana, kemudian dia melarikan diri, maka pada esok harinya dari melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluarsa yang baru;
c. Dalam hal diberikan pelepasan bersyarat yang kemudian pelepasan bersyarat itu dicabut, maka keesokan harinya setelah pencabutan itu mulai berlaku tenggang daluarsa yang baru.
Berikut ini yakni pola kasus gugurnya hak melaksanakan pidana lantaran kadaluarsa
Mejelis hakim pengadilan negeri jember membebaskan para terdakwa dua kasus tindak pidana pemilu presiden 2009 lalu. Majelis hakim menyatakan tuntutan jaksa penuntut umum tidak sanggup diterima dan dilaksanakan.
Penetapan hasil pilpres 2009 oleh KPU sentra sudah dilakukan tanggal 25 juli 2009 lalu. “pengajuan kasus kedua kasus itu melampaui waktu, jadi kami tidak sanggup mengeksekusi atau menjatuhkan vonis,”kata elly suprapto, SH.
Putusan hakim itu secara otomatis membebaskan empat orang terdakwa dua kasus tindak pidana pilpres di kabupaten jember yang diajukan pengadilan. Keempat terdakwa itu yakni Ahmad Winarko, terdakwa pelaku pencontrengan dua kali. Kemudian para terdakwa pelaku pemalsuan identitas pemilih yang belum genap berusia 17 tahun untuk mencontreng di daerah pemungutan bunyi 13 kompleks pondok pesantren Al Qodiri pada pemilu presiden tanggal 18 juli 2009 kemudian yakni Syaiful Arifin dan Khofid Eksan, santri pondok pesantren Al qodiri kelurahan gebang kecamatan patrang Jember, serta shodik muhammad nur, ketua rukun tetangga (RT) 01 kelurahan gebang.
Sementara, jaksa penuntut umum, HariWibowo, SH dan Awaludin, SH mengaku tidak sanggup berbuat apa-apa lagi selain melepas kasus ini,”kata awaludin.
Hal yang sama diungkapkan panitia pengawas pemilu kabupaten jember, Agung Purwanto. Menurutnya, panwaslu sudah berusaha maksimal biar kedua kasus tersebut sanggup ditangani secara cepat.”dan rupanya hal itu tetap tidak bisa,” katanya singkat.[6]
3. Sebab pertolongan grasi
Hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana oleh alasannya pengampunan sanksi ditentukan oleh pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang rumusan lengkapnya (setelah amandemen) ialah “presiden memberi pengampunan sanksi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan mahkamah agung”.
Dalam hal pertolongan pengampunan sanksi presiden memutuskan:
a. Meniadakan pelaksanaan seluruh pidana yang dijatuhkan dalam putusan pengadilan;
b. Melaksanakan sebagian saja dari pidana yang dijatuhkan dalam putusan;
c. Mengubah jenis pidana (komutasi) yang telah dijatuhkan dalam putusan menjadi pidana yang lebih ringan baik dalam jenis pidana pokok yang sama (misalnya pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 10 tahun) maupun jenis pidana pokok yang berbeda (misalnya pidana mati diubah menjadi pidana 15 tahun)
Prinsip dasar pertolongan pengampunan sanksi ialah diberikan pada orang yang telah dipidana dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan aturan tetap. Dengan mengajukan pengampunan sanksi berarti dari sudut aturan pemohon telah dinyatakan bersalah, dan dengan mengajukan permohonan ampun (grasi) berarti dia telah mengakui akan kesalahannya, dia tidak perlu mengajukan grasi, tetapi dia sanggup mengajukan upaya aturan peninjauan kembali (PK). Pemberian pengampunan sanksi tidak membatalkan putusan pemidanaan hakim. Keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan aturan tetap, tidak sanggup dibatalkan dan diberikan putusan yang lain oleh kekuasaan pemerintahan. Pemberian pengampunan sanksi itu sifatnya yakni memperlihatkan pengampunan dan tidak sanggup menghilangkan atau meniadakan kesalahan terpidana. Sifat pertolongan pengampunan sanksi yakni sekedar mengoreksi substansi pertimbangan pidana yang dijatuhkan, tidak mengoreksi substansi pertimbangan pokok perkaranya.[7]
Undang-undang tidak secara eksplisit merinci alasan-alasan diberikannya grasi. ULTRECHT menyebutkan 4 alasan pertolongan grasi, yaitu:
a. Kepentingan keluarga dari terpidana
b. Terpidana pernah berjasa bagi masyarakat
c. Terpidana menderita penyakit yang tidak sanggup disembuhkan
d. Terpidana berkelakuan baik selama berada di forum permasyarakatan dan memperlihatkan keisyafan atas kesalahannya
Pada zaman hindia belanda dulu mengenai aturan program dalam hal pengampunan sanksi diatur dalam gratieregeling (stb. 1993 No. 2) dan setelah proklamasi dikeluarkan peraturan pemerintah republik indonesia nomer 67 tahun 1948 ihwal permohonan grasi, yang kedua-duanya kemudian dicabut oleh undang-undang pengampunan sanksi nomer 3 tahun 1950 (L.N. 1950 No. 40). Undang-undang pengampunan sanksi nomer 3 tahun 1950 semenjak tanggal 22 oktober 2002 tidak berlaku lagi, lantaran dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU pengampunan sanksi yang gres yakni UU No. 22 tahun 2002.
Hal-hal pokok yang ditentukan dan diatur didalam UU No. 22 tahun 2002 antara lain yakni sebagai berikut:
a. Bahwa pengampunan sanksi yakni pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau abolisi pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden (pasal 1 ayat 1);
b. Terpidana yang berhak mengajukan permohonan dan mendapatkan pengampunan oleh presiden yakni tepidana yang dipidana dengan pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Grasi hanya sanggup diajukan satu kali saja, kecuali dalam dua hal yakni sudah lewat waktu2 tahun semenjak tanggal penolakan grasinya dan bagi terpidana mati yang dikabulkan grasinya menjadi pidana seumur hidup dan lewat dua tahun semenjak keputusan pertolongan grasinya. (dalam UU No.3/1950 tidak ditentukan ihwal batas tersebut, dan oleh lantaran itu dahulu pengampunan sanksi sanggup diajukan berkali-kali.
c. Ditegaskan dalam pasal 3 bahwa permohonan pengampunan sanksi tidak menunda pelaksanaan putusan selain putusan pidana mati
d. Selain memperlihatkan pembatasan hak terpidana dalam mengajukan grasi, juga UU No 22/2022 prosedurnya sedikit lebih sederhana. Pasal 8 lebih rinci mengaturnya sebagai berikut:
1) Harus diajukan secara tertulis oleh terpidana sendiri atau kuasanya atau salah satu anggota keluarganya kepada presiden
2) Salinan dari permohonannya itu disampaikan kepada pengadilan tingkat pertama yang dahulu mengadili dan memutuskan untuk diteruskan kepada mahkamah agung
3) Permohonan pengampunan sanksi beserta salinannya tadi sanggup pula diajukan melalui forum permasyarakatan kemudian meneruskan kepada presiden. Sedangkan salinan dari permohonan itu disampaikan pula kepada ketua pengadilan tingkat pertama yang dahulu memutuskan paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung semenjak diterimanya permohonan grasi.
e. Mengenai mekanisme penyelesaian permohonan pengampunan sanksi yakni sebagai berikut:
1) Dalam jangka waktu 20 hari terhitung semenjak tanggal diterimanya salinan permohonan pengampunan sanksi oleh pengadilan tingkat pertama yang dahulu memutus, pengadilan ini harus mengirimkan salinan permohonan beserta berkas kelengkapannya kepada mahkamah agung (pasal 9)
2) Setelah mahkamah agung mendapatkan salinan permohonan, maka mahkamah agugng dalam waktu paling usang 3 bulan terhitung semenjak diterimanya sudah harus memberi pertimbangan tertulis kepada presiden (pasal 10)
3) Dalam waktu paling usang semenjak diterimanya pertimbangan mahkamah agung, dengan memperhatikan pertimbangan mahkamah agung, pesiden harus sudah mengeluarkan keputusan presiden ihwal ditolak atau dikabulkannya permohonan pengampunan sanksi (pasal 11 ayat 3)
4) Keputusan presiden yang berisi dikabulkannya atau ditolaknya permohonan pengampunan sanksi disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung semenjak ditetapkannya keputusan presiden, yang salinan keputusan itu disampaikan kepada mahkamah agung, pengadilan tingkat pertama yang dahulu memutus, kejaksaan negeri yang dahulu menunutut, dan forum permasyaratan (pasal 12)
f. Apabila permohonan pengampunan sanksi diajukan bersama dengan permohonan peninjauan kembali (PK) atau jangka waktu anatara keduanya tidak terlalu lama, maka permohonan PK harus diputuskan lebih dahulu (pasal 14 ayat 1). Sedangkan putusan permohonan pengampunan sanksi harus telah diberikan paling lambat 3 bulan terhitung semenjak diterimanya salinan putusan PK oleh presiden (pasal 14 ayat 2).
Dengan dikeluarkannya UU No. 2 taun 2002, sanggup dihindarinya penyelesaian permohonan pengampunan sanksi yang bertele-tele tanpa kepastian waktunya, yang sebelumnya sanggup bertahun-tahun menunggu tanpa ada kepastian. Dengan dikeluarkannya UU[8] No. 22 tahun 2002 maka hal tersebut sanggup terhindarkan.
Adapun pejabat atau instansi yang terlibat dalam proses pengajuan pengampunan sanksi yaitu:
a. Hakim pengadilan yang memutus pada tingkat pertama (pengadilan negeri), sifatnya imperatif
b. Jaksa penuntut umum pada kasus yang diputus oleh pengadilan tingkat pertama, sifatnya impiratif
c. Ketua mahkamah agung, sifatnya impiratif
d. Jaksa agung, sifatnya fakultif kecuali dalam hal putusan yang dimohonkan pengampunan sanksi yakni putusan dengan pidana mati
e. Menteri kehakiman yang sifatnya impiratif
f. Menteri-menteri yang diangap perlu, sifatnya fakultatif
g. Presiden sebagai kepala negara, sifatnya imperatif, lantaran beliaulah yang memutus
Berikut ini yakni pola kasus gugurnya hak melaksanakan pidana lantaran grasi
Pemerintah akan kembali memperlihatkan remisi dan pengampunan sanksi kepada para narapidana (napi) muslim pada Hari Raya Idul Fitri. Tak terkecuali bagi para napi koruptor ibarat yang terjadi pada HUT Ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus lalu. Pemerintah beralasan, remisi dan pengampunan sanksi merupakan hak napi sesuai mekanisme hukum.
Karena itu, Menkum dan HAM Patrialis Akbar membantah pertolongan remisi dan pengampunan sanksi tersebut merupakan kebijakan yang berlebihan. ''Saya tidak mengobral remisi dan grasi. Tapi, yang saya lakukan sesuai dengan mekanisme dan aturan yang berlaku,'' tegasnya di Rutan Cipinang kemarin (3/9).
Menurut dia, pertolongan remisi dan pengampunan sanksi tersebut sudah berdasar kajian serta rapat banyak sekali pihak yang bertugas di Ditjen Lapas. Keputusan dalam memperlihatkan remisi dan pengampunan sanksi tersebut juga sudah didukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). ''Presiden mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi. Kendati demikian, dia tidak ikut campur dalam persoalan hukum,'' ungkapnya.
Belum ada klarifikasi resmi siapa saja napi yang akan menerima dispensasi sanksi hingga pembebasan bersyarat itu. Termasuk, para napi koruptor yang sekarang tinggal di hotel prodeo tersebut. Yang jelas, pemerintah pernah menegaskan tidak akan memperlihatkan remisi dan pengampunan kepada para koruptor.
Namun, kenyataannya, 17 Agustus lalu, pemerintah memperlihatkan remisi dan pengampunan sanksi kepada puluhan koruptor kelas kakap, termasuk besan Presiden SBY, Aulia Pohan.
Menanggapi persoalan pemimpin Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo, Abu Bakar Ba'asyir yang dihentikan menjalankan ibadah, Patrialis membantah gosip tersebut. Sebab, tegas dia, ibadah merupakan hak bagi setiap warga Indonesia yang mempunyai keyakinan. ''Bukan hanya muslim yang mendapatkan hak ibadahnya, umat agama lain yang diakui di Indonesia pun mempunyai hak ibadah yang sama,'' tegasnya.
Karena itu, pada sepuluh hari terakhir bulan pahala ini, para napi muslim dipersilakan menjalankan salat iktikaf di masjid rutan. Jadi, mereka tidak hanya menjalankan puasa dan salat Tarawih.
Menurut Patrialis, bulan pahala merupakan momen yang sangat sempurna untuk mempererat kedekatan umat muslim di mana pun, termasuk warga binaan di rutan, terhadap Tuhannya. ''Warga binaan dipersilakan melaksanakan iktikaf di masjid,'' katanya.
Kendati demikian, menteri dari PAN itu meminta para napi tidak menyalahgunakan kesempatan tersebut. Terlebih hingga menciptakan onar. ''Saya berharap kesempatan itu sanggup dimanfaatkan sebaik mungkin untuk lebih bersahabat kepada Allah,'' ungkapnya.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak tegas pertolongan remisi khusus ketika Lebaran, terutama bagi koruptor. Peneliti aturan ICW Donal Fariz menilai, pertolongan remisi khusus pada Idulfitri menambah daftar panjang kesalahan yang dibentuk pemerintah.
''Kalau pemerintah ngotot memperlihatkan remisi khusus bagi koruptor, mereka benar-benar melaksanakan kesalahan besar,'' ujar Donal ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (3/9).
Donal menuturkan, pertolongan remisi tidak sempurna di tengah maraknya kasus kejahatan korupsi. Menurut dia, pemerintah semestinya melaksanakan tindakan yang represif, bukan justru mengurangi sanksi bagi koruptor. ''Pemberian remisi tersebut sanggup menyuburkan praktik-praktik korupsi,'' katanya.
Apalagi, lanjut dia, pertolongan remisi tidak hanya mempertimbangan aspek normatif. Pemerintah juga perlu melihat dampaknya dari perspektif lebih luas. Dia menilai aspek kemanusiaan yang sanggup dijadikan pertimbangan tidak mempunyai ukuran jelas. ''Ukurannya abnormal sehingga sering ditafsirkan sepihak oleh kelompok-kelompok tertentu. Yang jelas, remisi ini sama sekali tidak memperlihatkan dampak jera bagi tahanan koruptor,'' tegasnya[9]
Kesimpulan
sebab hilangnya hak melaksanakan pidana ada tiga yakni:
a. Meninggalnya terpidana
kematian sebagai dasar peniadaan penuntutan pidana, pada maut sebagai dasar peniadaan pelaksanaan pidana berpijak pada sifat pribadi pertanggung jawab dalam aturan pidana dan pembalasan dari suatu pidana. Orang yang harus menanggung akhir aturan dari tindak pidana yang dibuatnya yakni yang berbuat sendiri dan tidak pada orang lain. Setelah yang berbuat yang harus memikul segala akhir aturan itu meninggal dunia, maka secara simpel pidana tidak sanggup dijalankan.
b. Sebab kadaluarsa
Pasal 84 ayat (1) menyatakan bahwa “kewenangan menjalankan pidana hapus lantaran kadaluarsa”. Ketentuan ini juga berarti kewaiban terpidana untuk menjalani atau melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya menjadi hapus setelah lewatnya waktu tertentu, ketentuan lewatnya waktu tertentu yang mengakibatkan hapusnya kewenangan negara untuk menjalankan pidana ini berlatar belakang pada kepastian aturan baik bagi terpidana maupun bagi negara
c. Sebab pertolongan grasi
Hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana oleh alasannya pengampunan sanksi ditentukan oleh pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang rumusan lengkapnya (setelah amandemen) ialah “presiden memberi pengampunan sanksi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan mahkamah agung”.
Dalam hal pertolongan pengampunan sanksi presiden memutuskan:
a) Meniadakan pelaksanaan seluruh pidana yang dijatuhkan dalam putusan pengadilan;
b) Melaksanakan sebagian saja dari pidana yang dijatuhkan dalam putusan;
c) Mengubah jenis pidana (komutasi) yang telah dijatuhkan dalam putusan menjadi pidana yang lebih ringan baik dalam jenis pidana pokok yang sama (misalnya pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 10 tahun) maupun jenis pidana pokok yang berbeda (misalnya pidana mati diubah menjadi pidana 15 tahun)
Prinsip dasar pertolongan pengampunan sanksi ialah diberikan pada orang yang telah dipidana dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan aturan tetap. Dengan mengajukan pengampunan sanksi berarti dari sudut aturan pemohon telah dinyatakan bersalah, dan dengan mengajukan permohonan ampun (grasi) berarti dia telah mengakui akan kesalahannya, dia tidak perlu mengajukan grasi, tetapi dia sanggup mengajukan upaya aturan peninjauan kembali (PK).
Undang-undang tidak secara eksplisit merinci alasan-alasan diberikannya grasi. ULTRECHT menyebutkan 4 alasan pertolongan grasi, yaitu:
e. Kepentingan keluarga dari terpidana
f. Terpidana pernah berjasa bagi masyarakat
g. Terpidana menderita penyakit yang tidak sanggup disembuhkan
h. Terpidana berkelakuan baik selama berada di forum permasyarakatan dan memperlihatkan keisyafan atas kesalahannya
Daftar pustaka
Chamzawi, Adami. Pelajaran aturan pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Farid, Zainal Abidin. Hukum pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas aturan pidana di indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2008.
Jawa pos, edisi sabtu 4 september 2010
http//www.tempo.com/dinilai-kadaluarsa-terdakwa-kasus-pidana-pemilu-dibebaskan/, diakses 7 desember 2013
http//www.compas.com/napi-kasus-pembunuhan-tewas-di-lapas-sukamiskin/, diakses tanggal 07 desember 2013.
[1] Wirjono prodjodikoro, asas-asas aturan pidana di indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2008), hlm 167
[2] Adam chamzawi, pelajaran aturan pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm187
[3] Putra Prima Perdana,”Napi kasus pembunuhan tewas di lapas sukamiskin”, http//www.compas.com/napi-kasus-pembunuhan-tewas-di-lapas-sukamiskin/, diakses tanggal 07 desember 2013.
[4] Adam chamzawi, pelajaran aturan pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm191
[5] Wirjono prodjodikoro, asas-asas aturan pidana di indonesia, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2008), hlm 169
[6] Mahbub Djunaidi,”Dinilai Kadaluarsa,”Terdakwa Kasus Pidana Pemilu Dibebaskan”, http//www.tempo.com/dinilai-kadaluarsa-terdakwa-kasus-pidana-pemilu-dibebaskan/, diakses 7 desember 2013.
[7] Adam chamzawi, pelajaran aturan pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm192
[8] Adam chamzawi, pelajaran aturan pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm196
[9] Beri remisi dan pengampunan sanksi narapidana ketika idul fitri”, Jawa Pos, sabtu, 4 september 2010, hlm 16
Belum ada Komentar untuk "Download Makalah Gugurnya Hak Melakukan Pidana"
Posting Komentar