Download Makalah Asas-Asas Dalam Ruang Lingkup Berlakunya Peraturan Pidana Bab Ke-2
A. Asas-asas dalam ruang lingkup berlakunya peraturan pidana
Asas berlakunya undang-undang aturan pidana berdasarkan tempat sanggup dibedakan menjadi empat yaitu, asas teritorial ( territorialiteisbeginsel ), asas nasional aktif ( personaliteisbeginsel ), asas nasional pasif atau asas perlindungan, dan asas universal.
Menurut pompe yang mendasarkan sifat aturan pidana ialah melindungi, maka asas pertolongan menjadi sumber dari semua asas-asas, oleh lantaran itu keempat asas itu sanggup dipersatukan menjadi satu asas pertolongan untuk kepentingan dan kewibawaan dari setiap subjek aturan yang harus dilindungi.[3]
1. Asas teritorial
Bahwa aturan pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Dalam pepatah adab “Dimana ada minyak, maka disitulah dipadamkan”, artinya dimana delik dilakukan maka disitulah diadili berdasarkan atas aturan yang berlaku didaerah itu. Asas ini memperlihatkan bahwa siapapun yang melaksanakan delik diwilayah tempat berlakunya aturan pidana, maka ia tunduk pada aturan pidana itu.
Prinsip ini menganggap bahwa aturan pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah Republik Indonesia, siapapun yang melaksanakan tindak pidana. [4]Hal ini ditagaskan dalam pasal 2 kitab undang-undang hukum pidana bahwa ketentuan-ketentuan aturan pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melaksanakan tindak pidana di dalam wilayah Negara Indonesia. Dengan demikian orang abnormal yang berda dalam wilayah Indonesia takluk pada aturan pidana di Indonesia.
Berlakunya aturan pidana berdasarkan wilayah dibatasi oleh aturan internasional. Hal ini tercantum pada pasal 9 KUHP: berlakunya pasal 2, 3, 4, 5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam aturan internasional.[5]
Asas territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau orang asing. Asas territorial yang pada ketika ini banyak diikuti oleh Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini ialah masuk akal lantaran tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan aturan Negara dimana yang bersangkutan berada.
Prinsip teritorial dalam pasal 3 kitab undang-undang hukum pidana diperluas hingga kapal-kapal Indonesia, meskipun berada diluar wilayah Indonesia. Dengan demikian siapa saja baik itu orang abnormal dalam kapal bahari Indonesia meskipun sedang berada atau sedang berlayar dalam wilayah Negara lain, takluk pada aturan pidana Indonesia. Makara siapa saja yang melaksanakan tindak pidana di dalam atau diatas suatu kapal Indonesia, meskipun dalam bahari wilayah Negara lain, contohnya sedang berlabuh dalam suatu pelabuhan negara abnormal sanggup dituntut oleh jaksa dan dieksekusi oleh pengadilan Negara Indonesia. Tujuan dari pasal ini ialah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.
Hal ini juga tidak mengurangi kemungkinan bahwa berdasarkan peraturan aturan Negara abnormal tersebut, seseorang yang melaksanakan tindak pidana tadi sanggup pula dieksekusi oleh pengadilan dari Negara abnormal itu. apabila hal tersebut terjadi maka pelanggar aturan pidana tadi tidak akan diadili oleh aturan pidana di Indonesia lantaran berdasrkan asas ne bis in idem ( pasal 76 ayat 2 kitab undang-undang hukum pidana ). Hal ini sanggup diterima lantaran dalam perturan pasal 2 kitab undang-undang hukum pidana apabila seseorang abnormal didalam kapal abnormal dalam suatu pelabuhan Indonesia, malakukan tindak pidana, maka orang itu juga sanggup dieksekusi oleh pengadilan Negara Indonesia.
2. Asas personal ( nasional aktif )
Terkandung dalam pasal 5 kitab undang-undang hukum pidana sanggup dibagi atas tiga golongan masalah yaitu:
a. Pada ayat 1 ke-1 memilih beberapa perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan nasional bagi Indonesia, dan perbuatan-perbuatan itu tidak dibutuhkan dikenai pidana ataupun sungguh-sungguh untuk dituntut oleh undang-undang aturan pidana negara asing, oleh lantaran pembuat deliknya ialah warga negara Indonesia yang berada diluar wilayah Indonesia melaksanakan perbuatan pidana tertentu itu berlaku KUHP.
b. Ayat 1 ke-2 memperluas ketentuan golongan pertama, dengan syarat-syarat bahwa 1)perbuatan-perbuatan yang terjadi harus merupakan kejahatan berdasarkan ketentuan KUHP, dan 2) juga harus merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang aturan pidana negara abnormal dimana perbuatan itu terjadi. Dua syarat itu harus terpenuhi, lantaran apabila berdasarkan aturan pidana negara abnormal tidak diancam dengan pidana, maka kitab undang-undang hukum pidana tidak berlaku sekalipun sebagai kejahatan (diluar golongan pertama).
Jadi semua kejahatan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana praktisnya mengikuti warga negara Indonesia diluar negeri, dengan pengecualian terhadap perbuatan-perbuatan yang berdasarkan aturan pidana negara abnormal tidak sanggup dipidana sama sekali. Atau sanggup pula dikatakan bahwa ketentuan pasal 5 ayat 1 ke-1 mempunyai tujuan khusus, sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 mempunyai tujuan umum bersyarat, sehingga kedua-duanya tidak sanggup meniadakan yang lain. Teoritis akan timbul dilema apabila warga negara Indonesia melaksanakan kejahatn didaerah tak bertuan (laut bebas) didalam kapal abnormal atau kapal terbang, jawabannya akan terpecah menyerupai halnya mengenai pasal 3 dikaitkan dengan pasal 5 KYHP.
c. Pada ayat 2 untuk menghadapi kejahatan yang dilakukan dengan perhitungan yang masak dan biar tidak lolos dari tuntutan hukum, yaitu apabila orang abnormal diluar negeri melaksanakan kejahatan (golongan kedua) dan setelah itu melaksanakan naturalisasimenjadi warga negara Indonesia, maka penuntutan atas kejahatan pasal 5 ayat 1 ke-2 masih sanggup dilaksanakan.
Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum Pidana Indonesia mengikuti warganegaranya dimanapun ia berada. Inti asas tercantum dalam pasal 5 kitab undang-undang hukum pidana : ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga negara Indoneisa yang melaksanakan kejahatan di luar wilayah Indonesia. Pasal 5 ayat 1 ke 1 memilih sejumlah pasal yang kalau dilakukan orang Indonesia di Luar Negeri, maka berlakulah aturan pidana Indonesia. Kejahatan-kejahatan itu tercantum dalam Bab I dan II buku kedua KUHP.
Prinsip ini dinamakan nasional aktif lantaran bekerjasama dengan keaktifan berupa kejahatan dari seorang nasional atau warga Negara.
Golongan kesatu dari kejahatan-kejahatan ini ialah :
1. Dari titel 1 dan 2 buku II kitab undang-undang hukum pidana yang mencakup kejahatan-kejahatan terhadap keamanan Negara, menyerupai pemberontakan, makar, perjuangan membunuh kepala Negara, dan terhadap kedudukan kepala Negara menyerupai menghina kepala Negara, menyerang kepala Negara secara fisik.
2. Dari pasal 160 dan 161KUHP yang berupa penghasutan untuk melaksanakan tindak pidana.
3. Dari pasal 240 kitab undang-undang hukum pidana yang berupa tidak memenuhi kewajiban dalam bidang pertahanan kejahatan
4. Dari pasal 279 kitab undang-undang hukum pidana yang berupa tidak memenuhi kewajiban melebihi jumlah yang diperbolehkan.
5. Dari pasal 450-451 kitab undang-undang hukum pidana yang berupa turut serta, tanpa izin pemerintah Indonesia, dalam kapal dinas Negara abnormal yang melaksanakan pengambilan kapal-kapal lain.
Kejahatan-kejahatan ini sangat penting bagi Negara Indonesia. Tetapi apabila tidak termuat dalam aturan pidana Negara asing, sehingga pelakunya tidak akan dieksekusi apabila kejahatan tersebut dilakukan di Negara abnormal tersebut. [6]Namun apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh warga Negara Indonesia, orang tersebut dianggap pantas untuk dieksekusi juga meskipun kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara asing.
Lain halnya dengan golongan kejahatan yang tersebut dalam pasal 5 ayat 1 sub kedua. Kejahatan-kejahatan menyerupai ini dieksekusi juga berdasarkan aturan pidana Negara abnormal apabila dilakukan di Negara abnormal tersebut. Apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh warga Negara Indonesia dan orang tersebut ingin mendapatkan pertolongan aturan diwilayah Negara Indonesia, kemungkinan besar orang tersebut oleh pemerintah Indonesia tidak akan diserahkan kapada pemerintah Negara abnormal yang bersangkutan. Dengan demikilan orang tersebut akan bebas dari sanksi pidana. Hal ini dianggap tidak layak sehingga harus dibuka kemungkinan bahwa orang itu akan dieksekusi oleh pengadilan negeri Indonesia. Penentuan ini juga berlaku juga apabila seseorang pelaku kejahatan itu gres kemudian menjadi warga Negara Indonesia.
Akan tetapi terdapat sedikit pembatasan yang termuat dalam pasal 6 kitab undang-undang hukum pidana yang memilih bahwa sanksi mati dilarang dijatuhkan oleh pengadilan di Indonesia apabila kejahatan yang bersangkutan berdasarkan aturan pidana negra abnormal yang bersangkutan tidak diancam dengan pidana mati.
Asas ini merupakan kebalikan dari asas teritorial. Jika dalam asas teritorial yang dilindungi ialah siapa pun dalam wilayah Indonesia, dalam asas personalitas ini yang dilindungi ialah warga negara di mana pun ia berada. Namun pertolongan yang dimaksud bukan pertolongan atas warga negara atas ancaman kejahatan, akan tetapi pertolongan dalam bentuk pemberlakuan aturan pidana Indonesia bagi si warga negara.[7]
Di dalam praktik, penggunaan asas personalitas ini tidak semudah yang dibayangkan. Warga negara Indonesia yang melaksanakan tindak pidana di luar negeri sukar untuk dikembalikan ke dalam negeri lantaran salah satu sebabnya ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara tersebut. Asas ini mustahil lagi digunakan sepenuhnya apabila warga negara berada diwilayah negara lain yang berkedudukan gecoordinerd, artinya yang sama-sama berdaulat lantaran bertentangan dengan kedaulatan negara, apabila ada orang abnormal didalam daerahnya tidak diadili berdasarkan aturan negara itu.
Dengan demikian, sanggup disimpulkan bahwa perbedaan antara asas teritorial dengan asas personalitas. Jika asas teritorial menyatakan batas berlakunya aturan pidana bagi wilayah negara tanpa memperhatikan kewarganegaraan pelaku, maka asas personalitas sanggup diartikan bahwa keberlakuan aturan pidana Indonesia mengikuti keberadaan warga negara Indonesia kemana pun ia berada. Oleh lantaran itu, asas personalitas disebut juga dengan asas nasional aktif. Demikianlah, setiap warga negara Indonesia yang melaksanakan tindak pidana di mana pun berada, ia berhak diadili berdasarkan aturan pidana Indonesia hal mana dikenal dengan asas nasional aktif.[8]
3. Asas nasional pasif ( asas pertolongan )
Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya aturan pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Negara.
Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan aturan pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia berdasarkan atas kerugian nasional sangat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja termasuik orang abnormal yang melakukannya dimana saja, pantas untuk dieksekusi di pengadilan Indonesia. [9]
Hal diatas sanggup terlaksanan apabila pelaku dibawa di wilayah Indonesia. Prinsip nasional pasif ini termuat dalam pasal 4 ke 1, 2, dan 3 kitab undang-undang hukum pidana yang berbunyi sebagai berikut :
Ketentuan-ketentuan aturan pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang diluar wilayah Indonesia telah melaksanakan :
Ke-1: salah satu dari kejahatan-kejahatan yang termuat dalam pasal-pasal 104-108, 110, 111, bis sub 1, 127, 130-133
Ke-2 : suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas atau mengenai segel atau merek yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia
Ke-3 : suatu pemalsuan dalam surat-surat hutang ( scheldbrieven ) atas beban Indonesia atau kawasan dari Indonesia, atau pemalsuan dalam gejala deviden atau bunga dari surat-surat hutang itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat-surat yang dipalsukan itu.
Dalam pasal 4 kitab undang-undang hukum pidana ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional (universal). Pasal ini memilih berlakunya aturan pidana nasional bagi setiap orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar Indonesia melaksanakan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Dikatakan melindungi kepentingan nasional lantaran pasal 4 kitab undang-undang hukum pidana ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melaksanakan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :
a. Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wapres Republik Indonesia (pasal 4 ke-1)
b. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)
c. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3)
d. Kejahatan mengenai pembajakan kapal bahari Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4).
Hanya ada sedikit kejahatan yang dikenakan Prinsip nasional pasif ini, yang terberat saja dari titel 1 dan 2 buku II KUHP, kemudian pemalsuan uang Indonesia, pemalsuan segel dari Indonesia, dan pemalsuan surat-surat hutang atas beban Indonesia atau daerahnya.
4. Asas universal
Prinsip ini melihat pada suatu tata aturan internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua Negara di dunia. Apabila ada tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua Negara, maka hal ini sanggup dituntut dan dieksekusi oleh pengadilan setiap Negara, dengan tidak dipedulikan siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan.
Hukum pidana ini berlaku umum, melampaui negara yang bersangkutan. Perlindungan disini untuk kepentingan dunia. Makara tiap-tiap negara berkewajiban untuk ikut melaksanakan tata aturan sedunia, demikian berdasarkan V. Hattum. Asas ini dianut dalam Undang-undang Pidana kita, menyerupai yang terdapat antara lain dalam pasal 438 dan 444 kitab undang-undang hukum pidana yang mengancam dengan sanksi terhadap siapa saja yang telah bersalah melaksanakan pembajakan bahari dengan segala akhir yang mungkin timbul dengan kegiatan tersebut.
Berlakunya pasal 2-5 dan pasal 8 kitab undang-undang hukum pidana dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam aturan internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) ialah dilandasi anutan bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata aturan sedunia (hukum internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) lantaran rumusan pasal 4 ke-2 kitab undang-undang hukum pidana (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4 ke-4 kitab undang-undang hukum pidana (mengenai pembajakan kapal bahari dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal bahari dan pesawat terbang negara mana yan dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 kitab undang-undang hukum pidana menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal bahari atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 kitab undang-undang hukum pidana sanggup menyangkut kapal bahari Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin juga menyangkut kapal bahari atau pesawat terbang Negara asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, bahari atau pesawat terbang ialah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan ialah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal bahari atau pesawat terbang ialah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku ialah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).
Asas ini terdapat pada pasal 4 ayat 2 dan 4 kitab undang-undang hukum pidana sejauh kepentingan negara-negara lain yang dilindungi oleh kekuatan-kekuatan pidana tersebut. Pasal tersebut semula dibuat hanya untuk melindungi mata uang dan uang kertas yang telah dikeluarkan oleh bank sirkulasi. Namun semenjak tahun 1932 tidak hanya mata uang saja yang harus dilindungi. Tetapi juga hal-hal lain yang menjadikan adanya tindak pidana berskala internasional.
Dalam pasal 4 sub 4 kitab undang-undang hukum pidana yang memilih bahwa ketentuan-ketentuan aturan pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, termasuk orang-orang abnormal yang diluar wilayah Indonesia melaksanakan kejahatan-kejahatan, termaut dalam pasal-pasal 438, 444-446 sepanjang mengenai pembajakan laut, dan pasal 447 mengenai membawa suatu kapal ke bawah kekuasaan bajak laut.
Dewasa ini makin banyak perjanjian antara Indonesia dengan negara abnormal untuk menumpas suatu tindak pidana yang dalam sistem aturan negara lain juga dianggap sebagai tindak pidana, apalagi tindak pidana tersebut mempunyai karakteristik yang transnasional, umpamanya kejahatan narkotika, psikotropika, perdagangan orang, perompakan di bahari dan lain sebagainya.
Dewasa ini pula, asas universal banyak diterapkan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Seluruh dunia merasa berkepentingan dengan aksi-aksi terorisme, karenanya sebagian besar negara setuju bahwa terorisme ialah kejahatan universal yang dengan demikian menjadi universal pula kewenangan untuk menangani dan mengadilinya.
B. Asas be bis in idem
Dalam pasal 76 kitab undang-undang hukum pidana terdapat prinsip penting yaitu bahwa seseorang tidak sanggup dituntut sekali lagi atas perbuatan yang sama lantaran perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim telah berkekuatan aturan tetap.[10]
Dasar pikiran atau ratio dari asas ini ialah :
a. Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara)
b. Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah menerima keputusan.
Penuntutan terhadap seseorang sanggup hapus berdasar neb is in idem, apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Ada putusan yang berkekuatan aturan tetap
Keputusan hakim yang berkekuatan aturan tetap disini ialah keputusan hakim yang sanggup berupa :
1) Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP
2) Pelepasan dari segala tuntutan aturan (ontslag van allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2) KUHAP
3) Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP
Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum bekerjasama dengan pokok perkara, yang biasanya disebut “penetapan-penetapan” (beschikking), contohnya :
1. Tentang tidak berwenangnya hakim untuk menyidik masalah yang bersangkutan
2. Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa lantaran terdakwa tidak melaksanakan kejahatan
3. Tetang tidak diterimanya masalah lantaran penuntutan sudah daluwarsa.
Jadi Apabila contohnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan beliau dituntut secara perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam masalah pidananya. Makara dalam hal ini tidak ada neb is in idem.
b. Orang terhadap siapun putusan itu dijatuhkan ialah sama
c. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) ialah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Melihat pada asas tersebut (Ne Bis In Idem), terdakwa yang melaksanakan kejahatan tersebut tidak dieksekusi lagi di Indoneisa. Dan ayat kedua terhadap putusan asing: kalau putusan yang satu telah menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka penuntutan tidak sanggup dilakukan dan diadakan terhadap orang itu lantaran perbuatan yang sama.[11]
Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat aturan / upaya aturan (rechtsmiddel) yang sanggup digunakan untuk merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian terhadap azas ne bis in idem) bekerjsama tidak perlu. Makara berdasarkan pendapat ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang belum berkelanjutan dari tuntutan aturan yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan aturan yang kedua kali.
Prinsip ini tidak hanya mengenai hal bahwa seseorang yang telah dieksekusi dikarenakan telah melaksanakan tindak pidana, dilarang dituntut kembali atas perbuatan yang sama, walaupun dalam masalah pertama tersebut dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan ( ontslag van rechtsvervolging ), maka atas perbuatan yang sama tersebut dilarang dilakukan penuntutan kembali.
Jadi apabila pembebasan atas masalah tersebut disebabkan oleh suatu kekeliruan dalam penuntutannya, maka hal tersebut juga tidak sanggup dituntut kembali walaupun dengan maksud ingin memperbaiki kekeliruan tersebut. Karena Adanya prinsip ini ialah untuk kepentingan para anggota masyarakat akan adanya suatu kepastian dan ketentraman dalam hidupnya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kasus
Badan Narkotika Nasional (BNN) berhasil membekuk seorang wanita yang disebut sebagai ratu kurir narkoba, berinisial RW alias K, alias V di Perumahan Griya Nusantara Cibubur City Blok C nomor 11, Jakarta Timur, pada Kamis (27/6/2013).
V merupakan operator kurir penyelundupan narkoba ke Indonesia atau negara lainnya. Bersama sang suami yang ketika ini masih dalam pengejaran petugas, V mempunyai kiprah sentral dalam sindikat narkoba yang dikendalikan warga Nigeria. Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Irjen Pol Benny Mamoto, menyampaikan berdasar hasil penyelidikan V bersama suaminya yang berkewarganegaraan Nigeria mempunyai kiprah sentral dalam sindikat narkoba yang dikendalikan Warga Negara Nigeria di beberapa negara, menyerupai Indonesia, India, Filipina, Singapura, dan Malaysia.
Tugas V sebagai perekrut, sementara sang suami merupakan salah seorang pengendali jaringan narkoba yang selalu bekerjasama dengan jaringan narkoba lainnya asal Nigeria yang beroperasi di negara-negara tersebut."Keduanya ini sangat berpengaruh. Suaminya mengendalikan jaringan Nigeria di Malay, India, Indonesia dan negara lainnya yang selalu saling berhubungan. Barang-barang diselundupkan dari dan untuk negara yang membutuhkan. Tersangka V sendiri berperan sebagai operator kurir," kata Benny dalam konferensi pers di Lapangan Parkir BNN, Jalan MT Haryono, Jakarta Timur, Senin (1/7/2013) kemarin.[12]
Sidang Tuntutan WNA Narkoba Terdakwa warga negara abnormal (WNA) asal Inggris, Andrea Ruth Waldeck (kanan) mengikuti sidang dengan aktivitas tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jatim, Senin (16/12). Dalam sidang tersebut jaksa penuntut umum memperlihatkan tuntutan pada terdakwa dengan 16 tahun penjara denda Rp 2 milyar subsider enam bulan.[13]
Gugurnya Hak Menuntut (Dasar Penghapus Pidana) “Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 944/K/Pid/2006 a.n Terpidana Anastasia Kusmiati yang Didakwa dengan Kasus yang Sama pada Perkara 244/Pid .B/2009 /PN.Kbm” Riswan Suci Santo Puji Nisa Anastasia Kusmiati Pranoto diduga mengeluarkan surat utang (promissory note) palsu Rp 74 miliar di Bank Lippo Cabang Kebumen. Dia disangkakan telah menerbitkan surat utang palsu yang seperti dari kantor pusat Bank Lippo. Putusan Pengadilan Negeri Kebumen No. 122/Pid.B/2005/PN.Kbm. tanggal 31 Oktober 2005: Pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap berada dalam tahanan. Banding, Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang mengeluarkan putusan Nomor : 265/Pid/2005/PT.Smg. tanggal 17 Januari 2006, yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Kebumen. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp. 100.000.000,- subsidair 4 (empat) bulan kurungan. 2005 Kasasi, MA mengeluarkan putusan dengan Nomor 944 K/Pid/2006 yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melaksanakan tindak pidana “PENCUCIAN UANG” dan dijatuhi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan Menghukum Terdakwa dengan sanksi denda sebesar Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). KESIMPULAN Ne Bis in Idem ialah salah satu dasar penghapus pidana. Dalam masalah di atas, masalah yang kedua gugur lantaran adanya asas Ne Bis in Idem Analisa Kasus 1. Ne Bis in Idem 2. Dasar Hukum Pasal 76 kitab undang-undang hukum pidana 3. Telaah Kasus Perbuatannya sama Putusan (inkracht van gewijsde) Orangnya sama Pada tahun 2010 Jaksa Penuntut Umum mengajukan masalah 2644 /Pid.Sus/2010 dengan Terdakwa Anastasia Kusmiati (terdakwa yang telah menjalani sanksi berdasarkan putusan pengadilan Negeri yang telah diperkuat oleh putusan kasasi No. 944 K/Pid/2006), dengan dakwaan alternatif Kejahatan Perbankan dan Pemalsuan Surat. Putusan Pengadilan Negeri tanggal 25 Februari 2010 nomor :244/Pid .B/2009 /PN.Kbm ialah mengabulkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Banding, putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.185/Pid /2010 / PT.Smg. tanggal 20 Agustus 2010. Pengadilan mendapatkan permintaan banding dari penasihat aturan Berlin Pandiangan & Rekan untuk dan atas nama terdakwa Dra. Anastasia Kusmiati Pranoto alias Mei Hwa, bahwa masalah tersebut gugur demi aturan lantaran ne bis in idem. Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Akan tetapi, di tingkat kasasi dalam masalah No. 2644 K/Pid.Sus/2010, Mahkamah Agung justru memperkuat putusan banding yang menyatakan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum ialah benar ne bis in idem” 2010[14]
B. Analisis Kasus
Dari masalah di atas terdakwa masalah tindak pidana narkoba berjulukan Andrea Ruth Waldeck berkewarganegaraan Inggris. Namun, dilihat dari perjalanan masalah di atas asas yang cocok dengan masalah tersebut ialah asas teritorial dimana Andrea sudah dijatuhi tuntutan pada terdakwa dengan 16 tahun penjara dan denda 2 milyar subsider enam bulan. Asas teritorial sendiri ialah bahwa aturan pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Dalam pepatah adab “Dimana ada minyak, maka disitulah dipadamkan”, artinya dimana delik dilakukan maka disitulah diadili berdasarkan atas aturan yang berlaku didaerah itu. Asas ini memperlihatkan bahwa siapapun yang melaksanakan delik diwilayah tempat berlakunya aturan pidana, maka ia tunduk pada aturan pidana itu.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Asas berlakunya undang-undang aturan pidana berdasarkan tempat sanggup dibedakan menjadi empat yaitu, asas teritorial ( territorialiteisbeginsel ), asas nasional aktif ( personaliteisbeginsel ), asas nasional pasif atau asas perlindungan, dan asas universal.
Asas territorial menjelaskan Bahwa aturan pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Asas ini memperlihatkan bahwa siapapun yang melaksanakan delik diwilayah tempat berlakunya aturan pidana, maka ia tunduk pada aturan pidana itu.
Asas nasional aktif menjelaskna bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga negara Indoneisa yang melaksanakan kejahatan di luar wilayah Indonesia.
Asas Nasional Pasif yakni Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan aturan pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia berdasarkan atas kerugian nasional sangat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja termasuik orang abnormal yang melakukannya dimana saja, pantas untuk dieksekusi di pengadilan Indonesia.
Asas Universal menjelaskan bahwa Prinsip ini melihat pada suatu tata aturan internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua Negara di dunia. Apabila ada tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua Negara, maka hal ini sanggup dituntut dan dieksekusi oleh pengadilan setiap Negara, dengan tidak dipedulikan siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan.
Asas Nebis in Idem menyatakan bahwa bahwa seseorang tidak sanggup dituntut sekali lagi atas perbuatan yang sama lantaran perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim telah berkekuatan aturan tetap.
B. SARAN
Demikian makalah ini penulis susun, namun masih terdapat beberapa kekuarangan dalam penulisan makalah ini lantaran adanya keterbatasan tumpuan dari penulis. Untuk itu dibutuhkan bagi penulis selanjutnya biar sanggup mengkaji pembahasan yang sama dengan lebih baik legi dengan menambah beberapa tumpuan buku sehingga isu yang diberikan akan lebih baik dan lengkap.
[1] Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta : Rineka Cipta,2009 ), hal.1
[2]Andi Hmzah,Asas-Asas Hukum Pidana,( cet. IV, Jakarta : Rieneka Cipta, 2010), hal. 5
[3] (W.P.J. Pompe 1959: 507-508).
[4] Wirjono prodjodikoro, asas-asas aturan pidana di Indonesia, ( Bandung : PT Refika Aditama, 2008 ),51
[5] Saifullah, Konsep Dasar Hukum Pidana.
[12] http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/07/02/ratu-kurir-narkoba-diduga-sindikat-nigeria 18/12/2014 10:10
Belum ada Komentar untuk "Download Makalah Asas-Asas Dalam Ruang Lingkup Berlakunya Peraturan Pidana Bab Ke-2"
Posting Komentar