Batasan Kemampuan Rasio Dan Hubungan Antara Wahyu Dan Akal
Oliver Leaman menyatakan bahwa Ibnu Rusyd* secara tegas meyakini bahwa filsafat dan syari’ah merupakan dua contoh pemikiran yang berbeda dan berbeda pula (cara pengambilan) konklusinya. Meskipun demikian, menurutnya kedua contoh pemikiran tersebut menghantarkan pada suatu konklusi yang sama. Permasalahan tersebut dikaji Ibnu Rusyd secara eksklusif dalam Fasl al-Makal, dalam buku tersebut Ibnu Rusyd* mengedepankan permasalahan wacana hubungan antara Islam dan Filsafat. Ia berusaha menyajikan sebuah diskusi legal baik wacana kajian filsafat maupun logika (adalah sangat menarik, baginya menyerupai juga para filsuf lainnya, antara filsafat dan syari’ah berbeda interpretasinya) yang sanggup diterima oleh para jago aturan Islam.
Ibnu Rusyd* menjelaskan hubungan antara filsafat dan syari’at, yang pertama bersumberkan pada akal, sedangkan yang kedua bersumberkan pada wahyu. Ia menyatakan sebagai berikut, “Jika syari’at itu benar adanya serta ia mengajak kepada budi sehat yang akan menggiring ke arah pengetahuan kebenaran, maka kita tahu niscaya bahwa suatu budi sehat burhani tidak akan bertentangan sedikit pun dengan syari’at. Kebenaran yang satu terperinci tidak akan berlawanan dengan kebenaran lainnya, bahkan justru saling mendukung di samping masing-masing berada pada posisi yang kokoh”.
Bila demikian halnya, maka apabila budi sehat burhani berusaha memahami segala yang ada, maka hal itu mengindikasikan dua kemungkinan; di mana duduk kasus itu dibicarakan oleh syara’ atau tidak dibicarakannya. Apabila suatu duduk kasus tidak dibicarakan oleh syara’, maka hal itu tidak berarti bertentangan, alasannya yaitu kedudukannya sama dengan kedudukan suatu duduk kasus yang tidak dibicarakan oleh syara’. Menyikapi keadaan menyerupai ini dibutuhkan seorang mujtahid yang bisa menuntaskan permasalahan tersebut dengan qiyas syar’i. Begitu juga kalau sesuatu dibicarakan dalam syara’, hal itu mengandung dua kemungkinan juga: bersesuaian dengan logika burhani atau justru bertentangan. Jika terjadi pada yang kedua itu, maka pemahamannya dilakukan melalui metode takwil.
Terjadinya suatu ketidaksamaan antara filsafat dan syari’ah yang mengharuskan adanya takwil, berdasarkan Majid Fakhry ada implikasinya, sekalipun keserasian filsafat dengan kitab suci sebagai dasar-dasar kepercayaan itu penting, namun agama memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada filsafat. Sementara filsafat berurusan dengan duduk kasus “kebahagiaan intelektual sekelompok kecil manusia” (para filsuf), sedangkan agama berurusan dengan kebahagiaan semua pihak. Oleh alasannya yaitu itu ia kemudian mengemukakan tiga macam argumen: retorik, dialektika, dan demonstratif. Kendati berbeda, ketiga argumen itu tidaklah bertentangan. Hasil-hasil yang dicapai melalui metode demonstratif, pada hakikatnya tidaklah berbeda dengan hasil-hasil yang diperoleh melalui metode dialektis atau retorik, hanya bentuknyalah yang berbeda.
Selain itu, ada suatu wilayah yang secara keseluruhan berada di luar lingkup budi yang tidak sanggup dijelajahi oleh filsafat. Oleh alasannya yaitu itu al-Ghazali* benar saat menyampaikan bahwa “berkenaan dengan apa pun yang ada di luar pengetahuan manusia, maka haruslah ditempuh kemudian melalui jalan kitab suci”. Hal itu sepertinya tidak terlalu jauh dengan pernyataan Arkoun* yang mengutip dari Ihya Ulumi ad-Din, bahwa “Nalar tidak sanggup berkembang tanpa fatwa yang berdasarkan pendengaran, menyerupai juga fatwa yang berdasarkan indera pendengaran tidak sanggup berkembang tanpa nalar. Barang siapa mendorong untuk mendapatkan kepatuhan membuta kepada fatwa yang diberikan secara mutlak, berarti ia telah mengesampingkan logika dan berarti pula ia yaitu orang yang tidak memakai akalnya. Barang siapa puas dengan logika dan mengesampingkan pencerahan dari Al-Qur’an dan dari Sunnah, maka ia yaitu korban delusi belaka”.
Menurut Arkoun*, banyak sekali aliran selalu menuntut supaya ada keselarasan yang ditentukan sebelumnya di antara logika abadi dan fatwa yang diwahyukan. Hal itu tidak hanya berlaku di dalam aliran-aliran pemikiran Islam, tetapi ia juga berlaku di dalam aliran-aliran agama Yahudi dan Kristen. Keimanan di dalam fatwa yang diwahyukan menunjukkan rasa nyaman, menerangi dan memandu logika manusia. Akal insan berasal dari unsur ilahi yang menjamin kelembagaan ontologis dari banyak sekali acara nalar. Terkait dengan kasus-kasus tertentu, diakui sering kali budi insan memang benar-benar tidak sanggup mencapai bentuk pengetahuan yang sangat dibutuhkan manusia. Pada sisi lain beberapa masalah tidak bisa diselesaikan alasannya yaitu rintangan-rintangan yang inheren pada bahan pokok itu sendiri. Dalam masalah menyerupai itu wahyu sudah barang tentu merupakan komplemen yang sangat dibutuhkan oleh pengetahuan rasional.
Antara wahyu dan budi harus ada hubungan interaksi hierarkis, artinya wahyu sebagai kebenaran mutlak butuh kemampuan budi untuk menjabarkannya dalam tataran kehidupan manusia. Pada sisi lain kemampuan budi yang terbatas itu, memerlukan wahyu untuk meluruskannya kalau ternyata mengalami kebingungan. Sinergi dua sisi saling terkait antara wahyu dan akal, akan dicapai kebenaran secara maksimal, alasannya yaitu keduanya saling menyapa dan bekerja sama. Dengan demikian terperinci bahwa Islam menjunjung tinggi kemampuan akal, yang karenanya penemuan gres selalu muncul yang terangkum dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hubungan interaksi hierarkis antara wahyu dan akal, merupakan landasan utama bagi tercapainya aspek-aspek doktrinal-teologis di mana budi merupakan alat utama untuk menginterpretasikan iman tersebut. Perlu disadari bahwa hal di atas tidak akan mencapai suatu perkembangan inovatif tanpa adanya kolaborasi dengan aspek-aspek kultural-historis. Oleh alasannya yaitu itu untuk mencapai suatu kebenaran maksimal (bukan berarti final) sebagaimana di harapkan di atas, perlu adanya keterkaitan dan kolaborasi antara tiga pendekatan: doktrinal-teologis (agama), rasional-filosofis (filsafat), dan kultural-historis (empiris). Hubungan yang baik antara ketiganya yaitu hubungan yang bersifat sirkuler, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang dipakai untuk mencapai suatu kesempurnaan, harus sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan yang menempel pada diri masing-masing yang kemudian bersedia memperbaiki kekurangan dan kelemahan yang menempel pada diri sendiri.
Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, kesalahan yang menempel pada masing-masing metodologi sanggup dikurangi dan diperbaiki sehabis memperoleh masukan dan kritik dari jenis pendekatan dari luar dirinya, baik itu masukan dari pendekatan doktrinal-teologis, historis empiris maupun kritis-filosofis.
Sumber
Syukur, Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya Pada Pemikiran Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Download
Ibnu Rusyd* menjelaskan hubungan antara filsafat dan syari’at, yang pertama bersumberkan pada akal, sedangkan yang kedua bersumberkan pada wahyu. Ia menyatakan sebagai berikut, “Jika syari’at itu benar adanya serta ia mengajak kepada budi sehat yang akan menggiring ke arah pengetahuan kebenaran, maka kita tahu niscaya bahwa suatu budi sehat burhani tidak akan bertentangan sedikit pun dengan syari’at. Kebenaran yang satu terperinci tidak akan berlawanan dengan kebenaran lainnya, bahkan justru saling mendukung di samping masing-masing berada pada posisi yang kokoh”.
Bila demikian halnya, maka apabila budi sehat burhani berusaha memahami segala yang ada, maka hal itu mengindikasikan dua kemungkinan; di mana duduk kasus itu dibicarakan oleh syara’ atau tidak dibicarakannya. Apabila suatu duduk kasus tidak dibicarakan oleh syara’, maka hal itu tidak berarti bertentangan, alasannya yaitu kedudukannya sama dengan kedudukan suatu duduk kasus yang tidak dibicarakan oleh syara’. Menyikapi keadaan menyerupai ini dibutuhkan seorang mujtahid yang bisa menuntaskan permasalahan tersebut dengan qiyas syar’i. Begitu juga kalau sesuatu dibicarakan dalam syara’, hal itu mengandung dua kemungkinan juga: bersesuaian dengan logika burhani atau justru bertentangan. Jika terjadi pada yang kedua itu, maka pemahamannya dilakukan melalui metode takwil.
Terjadinya suatu ketidaksamaan antara filsafat dan syari’ah yang mengharuskan adanya takwil, berdasarkan Majid Fakhry ada implikasinya, sekalipun keserasian filsafat dengan kitab suci sebagai dasar-dasar kepercayaan itu penting, namun agama memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada filsafat. Sementara filsafat berurusan dengan duduk kasus “kebahagiaan intelektual sekelompok kecil manusia” (para filsuf), sedangkan agama berurusan dengan kebahagiaan semua pihak. Oleh alasannya yaitu itu ia kemudian mengemukakan tiga macam argumen: retorik, dialektika, dan demonstratif. Kendati berbeda, ketiga argumen itu tidaklah bertentangan. Hasil-hasil yang dicapai melalui metode demonstratif, pada hakikatnya tidaklah berbeda dengan hasil-hasil yang diperoleh melalui metode dialektis atau retorik, hanya bentuknyalah yang berbeda.
Selain itu, ada suatu wilayah yang secara keseluruhan berada di luar lingkup budi yang tidak sanggup dijelajahi oleh filsafat. Oleh alasannya yaitu itu al-Ghazali* benar saat menyampaikan bahwa “berkenaan dengan apa pun yang ada di luar pengetahuan manusia, maka haruslah ditempuh kemudian melalui jalan kitab suci”. Hal itu sepertinya tidak terlalu jauh dengan pernyataan Arkoun* yang mengutip dari Ihya Ulumi ad-Din, bahwa “Nalar tidak sanggup berkembang tanpa fatwa yang berdasarkan pendengaran, menyerupai juga fatwa yang berdasarkan indera pendengaran tidak sanggup berkembang tanpa nalar. Barang siapa mendorong untuk mendapatkan kepatuhan membuta kepada fatwa yang diberikan secara mutlak, berarti ia telah mengesampingkan logika dan berarti pula ia yaitu orang yang tidak memakai akalnya. Barang siapa puas dengan logika dan mengesampingkan pencerahan dari Al-Qur’an dan dari Sunnah, maka ia yaitu korban delusi belaka”.
Menurut Arkoun*, banyak sekali aliran selalu menuntut supaya ada keselarasan yang ditentukan sebelumnya di antara logika abadi dan fatwa yang diwahyukan. Hal itu tidak hanya berlaku di dalam aliran-aliran pemikiran Islam, tetapi ia juga berlaku di dalam aliran-aliran agama Yahudi dan Kristen. Keimanan di dalam fatwa yang diwahyukan menunjukkan rasa nyaman, menerangi dan memandu logika manusia. Akal insan berasal dari unsur ilahi yang menjamin kelembagaan ontologis dari banyak sekali acara nalar. Terkait dengan kasus-kasus tertentu, diakui sering kali budi insan memang benar-benar tidak sanggup mencapai bentuk pengetahuan yang sangat dibutuhkan manusia. Pada sisi lain beberapa masalah tidak bisa diselesaikan alasannya yaitu rintangan-rintangan yang inheren pada bahan pokok itu sendiri. Dalam masalah menyerupai itu wahyu sudah barang tentu merupakan komplemen yang sangat dibutuhkan oleh pengetahuan rasional.
Antara wahyu dan budi harus ada hubungan interaksi hierarkis, artinya wahyu sebagai kebenaran mutlak butuh kemampuan budi untuk menjabarkannya dalam tataran kehidupan manusia. Pada sisi lain kemampuan budi yang terbatas itu, memerlukan wahyu untuk meluruskannya kalau ternyata mengalami kebingungan. Sinergi dua sisi saling terkait antara wahyu dan akal, akan dicapai kebenaran secara maksimal, alasannya yaitu keduanya saling menyapa dan bekerja sama. Dengan demikian terperinci bahwa Islam menjunjung tinggi kemampuan akal, yang karenanya penemuan gres selalu muncul yang terangkum dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hubungan interaksi hierarkis antara wahyu dan akal, merupakan landasan utama bagi tercapainya aspek-aspek doktrinal-teologis di mana budi merupakan alat utama untuk menginterpretasikan iman tersebut. Perlu disadari bahwa hal di atas tidak akan mencapai suatu perkembangan inovatif tanpa adanya kolaborasi dengan aspek-aspek kultural-historis. Oleh alasannya yaitu itu untuk mencapai suatu kebenaran maksimal (bukan berarti final) sebagaimana di harapkan di atas, perlu adanya keterkaitan dan kolaborasi antara tiga pendekatan: doktrinal-teologis (agama), rasional-filosofis (filsafat), dan kultural-historis (empiris). Hubungan yang baik antara ketiganya yaitu hubungan yang bersifat sirkuler, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang dipakai untuk mencapai suatu kesempurnaan, harus sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan yang menempel pada diri masing-masing yang kemudian bersedia memperbaiki kekurangan dan kelemahan yang menempel pada diri sendiri.
Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, kesalahan yang menempel pada masing-masing metodologi sanggup dikurangi dan diperbaiki sehabis memperoleh masukan dan kritik dari jenis pendekatan dari luar dirinya, baik itu masukan dari pendekatan doktrinal-teologis, historis empiris maupun kritis-filosofis.
Sumber
Syukur, Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya Pada Pemikiran Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Download
Belum ada Komentar untuk "Batasan Kemampuan Rasio Dan Hubungan Antara Wahyu Dan Akal"
Posting Komentar