Augustinus. Aturan Yang Kuasa Dan Dinamika Batin Manusia
Untuk menerjemahkan cinta kepada Allah ke dalam perilaku dalam kehidupan sehari-hari, berdasarkan Augustinus kita harus memperhatikan Tatanan Cinta (ordo amoris). Tolok ukur cinta yaitu tatanan realitas di dunia dan di alam baka. Sikap kita yaitu betul apabila sesuai dengan nilai masing-masing unsur dalam tatanan itu. Seluruh realitas mencerminkan kehendak Allah sang Pencipta. Allah menghendaki biar perilaku yang kita ambil terhadap apa yang diciptakan-Nya itu sesuai dengan kehendak-Nya.
Menurut tatanan cinta, insan hendaknya mendahulukan apa yang lebih tinggi dalam tatanan itu. Cinta paling bawah yaitu cinta pada barang-barang dunia yang akan hancur. Lebih dari benda duniawi, insan hendaknya mengasihi diri sendiri dan sesamanya. Cinta yang paling luhur yaitu cinta kepada Allah. Dalam mengasihi Allah tidak ada ukuran lagi—seperti cinta kepada sesama hendaknya sama ukurannya dengan cinta kepada diri sendiri—maka Allah hendaknya dicintai tanpa ukuran sama sekali.
Menurut Augustinus, dibedakan antara hal-hal yang bernilai hanya sebagai sarana dan yang bernilai pada dirinya sendiri. Benda-benda materiil yang tidak bertahan lebih harus kita pakai (uti) daripada kita nikmati (frui). Semakin tinggi derajat pengada, semakin ia tidak lagi untuk dipakai, melainkan untuk dinikmati. Di sini Augustinus mengartikan nikmat bukan dalam arti indriawi semata-mata. Nikmat ini bukan suatu pasivitas, suatu keadaan kita tidak melaksanakan apa-apa, hanya membiarkan diri diisi dengan perasaan enak. Nikmat dalam arti yang bahwasanya berarti membuka diri terhadap objek demi objek itu sendiri, bukan sebagai sarana. Jadi, menikmati dibedakan dari memakai. Menikmati berarti mengakui nilai intrinsik objek yang dinikmati, berarti menyatunya kehendak dengan objeknya. Apabila kita menyatu dengan apa yang kita cintai, kita menikmatinya. Karena itu, kita boleh menikmati keindahan alam, kecanggihan hasil kerajinan manusia, keselarasan jasmani dan keagungan jiwa manusia. Yang penting, kita menggunakan serta menikmati ciptaan sesuai dengan derajat dalam tatanan cinta itu.
Menaati aturan awet dalam tatanan cinta itu bukan sesuatu yang dari luar dibebankan kepada kita, sesuatu yang heteronom dalam arti Kant*, seolah-olah kita taat kepada aturan awet sebab dari luar diperintahkan oleh Allah, melainkan: Karena Allah yaitu prinsip terakhir segala yang baik dan sebab kita tertarik secara kodrati kepada Allah, kita juga tertarik dari dalam hati sendiri untuk menaati aturan Allah dalam ciptaan. Hukum Moral, yaitu Hukum Abadi Ilahi, tertera dalam hati kita. Menaati aturan sopan santun yaitu dorongan hati kita sendiri sebab sama artinya dengan menanggapi nilai yang ada di dalamnya dengan semestinya.
Menurut Augustinus, kita dengan sendirinya tertarik kepada yang baik. Ada suatu dinamika batin yang menarik kita untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma moral. Sebagaimana benda materiil dengan sendirinya menuju daerah yang tepat, contohnya api ke atas dan kerikil ke bawah, begitu pula hati tertarik kepada yang bernilai moral. Kesadaran itu lalu akan diangkat kembali oleh Pascal* sebagai “logika hati”, oleh Brentano dalam paham “hidup yang betul”, dan oleh Scheler* sebagai “apriori nilai”.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. Augustinus. Sekilas Biografi
2. Augustinus. Kebahagiaan dan Transendensi
3. Augustinus. Menyatunya Nilai Objektif dan Subjektif Tertinggi
4. Augustinus. Tekanan pada Kehendak
5. Augustinus. Keutamaan dan Rahmat
6. Augustinus. Komunitas Allah, Komunitas Dunia
Menurut tatanan cinta, insan hendaknya mendahulukan apa yang lebih tinggi dalam tatanan itu. Cinta paling bawah yaitu cinta pada barang-barang dunia yang akan hancur. Lebih dari benda duniawi, insan hendaknya mengasihi diri sendiri dan sesamanya. Cinta yang paling luhur yaitu cinta kepada Allah. Dalam mengasihi Allah tidak ada ukuran lagi—seperti cinta kepada sesama hendaknya sama ukurannya dengan cinta kepada diri sendiri—maka Allah hendaknya dicintai tanpa ukuran sama sekali.
Menurut Augustinus, dibedakan antara hal-hal yang bernilai hanya sebagai sarana dan yang bernilai pada dirinya sendiri. Benda-benda materiil yang tidak bertahan lebih harus kita pakai (uti) daripada kita nikmati (frui). Semakin tinggi derajat pengada, semakin ia tidak lagi untuk dipakai, melainkan untuk dinikmati. Di sini Augustinus mengartikan nikmat bukan dalam arti indriawi semata-mata. Nikmat ini bukan suatu pasivitas, suatu keadaan kita tidak melaksanakan apa-apa, hanya membiarkan diri diisi dengan perasaan enak. Nikmat dalam arti yang bahwasanya berarti membuka diri terhadap objek demi objek itu sendiri, bukan sebagai sarana. Jadi, menikmati dibedakan dari memakai. Menikmati berarti mengakui nilai intrinsik objek yang dinikmati, berarti menyatunya kehendak dengan objeknya. Apabila kita menyatu dengan apa yang kita cintai, kita menikmatinya. Karena itu, kita boleh menikmati keindahan alam, kecanggihan hasil kerajinan manusia, keselarasan jasmani dan keagungan jiwa manusia. Yang penting, kita menggunakan serta menikmati ciptaan sesuai dengan derajat dalam tatanan cinta itu.
Menaati aturan awet dalam tatanan cinta itu bukan sesuatu yang dari luar dibebankan kepada kita, sesuatu yang heteronom dalam arti Kant*, seolah-olah kita taat kepada aturan awet sebab dari luar diperintahkan oleh Allah, melainkan: Karena Allah yaitu prinsip terakhir segala yang baik dan sebab kita tertarik secara kodrati kepada Allah, kita juga tertarik dari dalam hati sendiri untuk menaati aturan Allah dalam ciptaan. Hukum Moral, yaitu Hukum Abadi Ilahi, tertera dalam hati kita. Menaati aturan sopan santun yaitu dorongan hati kita sendiri sebab sama artinya dengan menanggapi nilai yang ada di dalamnya dengan semestinya.
Menurut Augustinus, kita dengan sendirinya tertarik kepada yang baik. Ada suatu dinamika batin yang menarik kita untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma moral. Sebagaimana benda materiil dengan sendirinya menuju daerah yang tepat, contohnya api ke atas dan kerikil ke bawah, begitu pula hati tertarik kepada yang bernilai moral. Kesadaran itu lalu akan diangkat kembali oleh Pascal* sebagai “logika hati”, oleh Brentano dalam paham “hidup yang betul”, dan oleh Scheler* sebagai “apriori nilai”.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. Augustinus. Sekilas Biografi
2. Augustinus. Kebahagiaan dan Transendensi
3. Augustinus. Menyatunya Nilai Objektif dan Subjektif Tertinggi
4. Augustinus. Tekanan pada Kehendak
5. Augustinus. Keutamaan dan Rahmat
6. Augustinus. Komunitas Allah, Komunitas Dunia
Belum ada Komentar untuk "Augustinus. Aturan Yang Kuasa Dan Dinamika Batin Manusia"
Posting Komentar