Al-Farabi. Riwayat Hidup
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh Al-Farabi atau yang biasanya dikenal dengan Al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di Kota Farab, Provinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 890. Ia berasal dari keluarga aristokrat militer Turki. Ayahnya seorang jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Di kalangan orang-orang Latin Abad Tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunasher), sedangkan sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, kawasan ia dilahirkan. Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang secara umum dikuasai mengikuti Mazhab Syafi’iyah inilah Al-Farabi mendapatkan pendidikan dasarnya. Ia digambarkan “sejak dini mempunyai kecerdasan istimewa dan talenta besar untuk menguasai hampir setiap subjek yang dipelajari”. Pada masa awal pendidikannya, Al-Farabi mencar ilmu Al-Qur’an, tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir, dan ilmu hadits), dan aritmetika dasar. Ia mempunyai kecakapan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain yaitu bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Munawir Sjadzali, menyampaikan bahwa ia sanggup berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa, tetapi yang ia kuasai dengan aktif empat bahasa: Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.
Sosok dan anutan Al-Farabi sampai kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filsuf Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam sehingga sanggup dimengerti dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya kuat besar terhadap dunia Barat.
Pada waktu mudanya, Al-Farabi pernah mencar ilmu bahasa dan sastra Arab di Baghdad kepada Abu Bakar Al-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattius ibn Yunus, seorang Katolik Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan Yuhana ibn Hailam. Kemudian, ia pindah ke Harran, sentra kebudayaan Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhana ibn Jilad. Tidak beberapa lama, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di kota ini selama 20 tahun. Di kota ini juga ia menciptakan ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani dan mengajar. Di antara muridnya yang populer yaitu Yahya ibn ‘Adi, filsuf Kristen.
Pada usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945 M), Al-Farabi pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan pinjaman yang besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih menentukan hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham sehari untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya, sisa pinjaman jabatan yang diterimanya dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus.
Hal yang menggembirakan dari ditempatkannya Al-Farabi di Damaskus yaitu Al-Farabi bertemu dengan sastrawan, penyair, andal bahasa, andal fiqh, dan kaum cendekiawan lainnya. Lebih kurang 10 tahun, Al-Farabi tinggal di Aleppo dan Damaskus secara berpindah-pindah disebabkan korelasi penguasa kedua kota ini semakin memburuk sehingga Saif Al-Daulah menyerbu Kota Damaskus yang kemudian berhasil menguasainya. Dalam penyerbuan ini, Al-Farabi diikutsertakan. Pada bulan Desember 950 M (339 H), Al-Farabi meninggal dunia di Damaskus dalam usia 80 tahun.
Sepanjang hidupnya, Al-Farabi terbenam dalam dunia ilmu sehingga tidak akrab dengan para penguasa Abbasiyah pada waktu itu. begitu gemarnya Al-Farabi dengan dunia ilmu, ia sering membaca dan menulis di bawah sinar lampu penjaga malam.
Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar mempunyai keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan tepat sehingga filsuf yang tiba setelahnya, menyerupai Ibnu Sina* (370 H/980 M-428 H/1037 M) dan Ibnu Rusyd* (520 H/1126 M-595 H/1198 M) banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Pandangannya demikian luas mengenai filsafat, terbukti dengan usahanya untuk mengakhiri pertentangan antara anutan Plato* dan Aristoteles* melalui risalahnya Al-Jam’u Baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun wa Aristhu. Oemar Amin Husein menyatakan bahwa Ibnu Sina* yang membaca 40 kali buku metafisika karangan Aristoteles*, bahkan hafal hampir seluruh isi buku itu belum memahaminya. Ia gres memahami filsafat Aristoteles* sesudah membaca buku Al-Farabi, Tahqiq Ghardh Aristhu Fi Kitab Ma Ba’da At-Thabi’ah, yang menjelaskan tujuan dan maksud metafisika Aristoteles*. Pengetahuannya yang mendalam mengenai filsafat Yunani, terutama Plato* dan Aristoteles, membuatnya dijuluki Al-Mu’allim Al-Tsani (guru kedua), sedangkan Al-Mu’allim Al-Awwal (guru pertama) yaitu Aristoteles.
Pada Abad Pertengahan, Al-Farabi sangat dikenal sehingga orang-orang Yahudi banyak yang mempelajari karangan/risalahnya yang disalin dalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang, salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa.
Al-Farabi hidup pada zaman ketika situasi politik dan kekuasaan Abbasiyah diguncang oleh banyak sekali gejolak, pertentangan, dan pemberontakan. Al-Farabi lahir pada masa pemerintahan Al-Mu’taaddid (870-829 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Muti’. Suatu periode yang paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Pada waktu itu timbul banyak sekali macam tantangan, bahkan pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah dengan banyak sekali motif: agama, kesukuan, dan kebendaan. Banyak anak raja dan penguasa usang berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekuasaan nenek moyangnya, khususnya orang-orang Persia dan Turki.
Akibat situasi politik yang kisruh, Al-Farabi menjadi gemar berkhalwat, menyendiri, dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari rujukan kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal. Hidupnya yang tidak akrab dengan penguasa dan tidak menduduki salah satu jabatan pemerintah, pada satu pihak merupakan laba lantaran Al-Farabi mempunyai “kebebasan” dalam berpikir tanpa harus berusaha menyesuaikan gagasan dengan rujukan dan situasi politik dikala itu, tetapi pada pihak lain ia tidak mempunyai peluang untuk mencar ilmu dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan, dan menguji teori-teorinya dengan kenyataan politik yang hidup di tengah kehidupan bernegara pada zamannya.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Al-Farabi. Karya Filsafat
2. Al-Farabi. Pemikiran Filsafat
3. Al-Farabi. Metafisika
4. Al-Farabi. Filsafat Kenegaraan
5. Al-Farabi. Filsafat Praktis
6. Al-Farabi. Logika dan Filsafat Bahasa
Sosok dan anutan Al-Farabi sampai kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filsuf Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam sehingga sanggup dimengerti dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya kuat besar terhadap dunia Barat.
Pada waktu mudanya, Al-Farabi pernah mencar ilmu bahasa dan sastra Arab di Baghdad kepada Abu Bakar Al-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattius ibn Yunus, seorang Katolik Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan Yuhana ibn Hailam. Kemudian, ia pindah ke Harran, sentra kebudayaan Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhana ibn Jilad. Tidak beberapa lama, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di kota ini selama 20 tahun. Di kota ini juga ia menciptakan ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani dan mengajar. Di antara muridnya yang populer yaitu Yahya ibn ‘Adi, filsuf Kristen.
Pada usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945 M), Al-Farabi pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan pinjaman yang besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih menentukan hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham sehari untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya, sisa pinjaman jabatan yang diterimanya dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus.
Hal yang menggembirakan dari ditempatkannya Al-Farabi di Damaskus yaitu Al-Farabi bertemu dengan sastrawan, penyair, andal bahasa, andal fiqh, dan kaum cendekiawan lainnya. Lebih kurang 10 tahun, Al-Farabi tinggal di Aleppo dan Damaskus secara berpindah-pindah disebabkan korelasi penguasa kedua kota ini semakin memburuk sehingga Saif Al-Daulah menyerbu Kota Damaskus yang kemudian berhasil menguasainya. Dalam penyerbuan ini, Al-Farabi diikutsertakan. Pada bulan Desember 950 M (339 H), Al-Farabi meninggal dunia di Damaskus dalam usia 80 tahun.
Sepanjang hidupnya, Al-Farabi terbenam dalam dunia ilmu sehingga tidak akrab dengan para penguasa Abbasiyah pada waktu itu. begitu gemarnya Al-Farabi dengan dunia ilmu, ia sering membaca dan menulis di bawah sinar lampu penjaga malam.
Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar mempunyai keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan tepat sehingga filsuf yang tiba setelahnya, menyerupai Ibnu Sina* (370 H/980 M-428 H/1037 M) dan Ibnu Rusyd* (520 H/1126 M-595 H/1198 M) banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Pandangannya demikian luas mengenai filsafat, terbukti dengan usahanya untuk mengakhiri pertentangan antara anutan Plato* dan Aristoteles* melalui risalahnya Al-Jam’u Baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun wa Aristhu. Oemar Amin Husein menyatakan bahwa Ibnu Sina* yang membaca 40 kali buku metafisika karangan Aristoteles*, bahkan hafal hampir seluruh isi buku itu belum memahaminya. Ia gres memahami filsafat Aristoteles* sesudah membaca buku Al-Farabi, Tahqiq Ghardh Aristhu Fi Kitab Ma Ba’da At-Thabi’ah, yang menjelaskan tujuan dan maksud metafisika Aristoteles*. Pengetahuannya yang mendalam mengenai filsafat Yunani, terutama Plato* dan Aristoteles, membuatnya dijuluki Al-Mu’allim Al-Tsani (guru kedua), sedangkan Al-Mu’allim Al-Awwal (guru pertama) yaitu Aristoteles.
Pada Abad Pertengahan, Al-Farabi sangat dikenal sehingga orang-orang Yahudi banyak yang mempelajari karangan/risalahnya yang disalin dalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang, salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa.
Al-Farabi hidup pada zaman ketika situasi politik dan kekuasaan Abbasiyah diguncang oleh banyak sekali gejolak, pertentangan, dan pemberontakan. Al-Farabi lahir pada masa pemerintahan Al-Mu’taaddid (870-829 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Muti’. Suatu periode yang paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Pada waktu itu timbul banyak sekali macam tantangan, bahkan pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah dengan banyak sekali motif: agama, kesukuan, dan kebendaan. Banyak anak raja dan penguasa usang berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekuasaan nenek moyangnya, khususnya orang-orang Persia dan Turki.
Akibat situasi politik yang kisruh, Al-Farabi menjadi gemar berkhalwat, menyendiri, dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari rujukan kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal. Hidupnya yang tidak akrab dengan penguasa dan tidak menduduki salah satu jabatan pemerintah, pada satu pihak merupakan laba lantaran Al-Farabi mempunyai “kebebasan” dalam berpikir tanpa harus berusaha menyesuaikan gagasan dengan rujukan dan situasi politik dikala itu, tetapi pada pihak lain ia tidak mempunyai peluang untuk mencar ilmu dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan, dan menguji teori-teorinya dengan kenyataan politik yang hidup di tengah kehidupan bernegara pada zamannya.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Al-Farabi. Karya Filsafat
2. Al-Farabi. Pemikiran Filsafat
3. Al-Farabi. Metafisika
4. Al-Farabi. Filsafat Kenegaraan
5. Al-Farabi. Filsafat Praktis
6. Al-Farabi. Logika dan Filsafat Bahasa
Belum ada Komentar untuk "Al-Farabi. Riwayat Hidup"
Posting Komentar