Al-Farabi. Metafisika
Ajaran-ajaran metafisika Al-Farabi, dalam analisis Deborah L. Black menimbulkan kesulitan interpretatif tertentu bagi para sarjana modern, tidak hanya lantaran penisbahan karya-karya tersebut, yang kini umumnya diyakini mencerminkan aliran Avicennian (pemikiran Ibnu Sina*) kepadanya, tetapi juga lantaran ketidakjelasan perilaku yang ia ambil dalam karya-karya autentiknya terhadap metafisika Aristoteles* dan Neoplatonik. Para sarjana kontemporer telah menawarkan bahwa Al-Farabi secara sangat hati-hati mencoba untuk tidak menyebutkan metafisika emanasional Neoplatonik dalam uraiannya wacana filsafat Aristotelian, dan bahwa, dengan kekecualian Kitab al-Jam’ (Al-Farabi, 1960b), ia tidak pernah memperlakukan Theology of Aristotle palsu sebagai karya autentik.
Penafsiran metafisika Al-Farabi yang paling masuk nalar berdasarkan pengamatan-pengamatan ini ialah penafsiran yang diajukan Druart, bahwa Al-Farabi menganggap kosmologi emanasional ialah inti dari Neoplatonisme, meskipun ia mengakui bahwa kosmologi tersebut bukan Aristotelian. Emanasi, singkatnya, dipinjam untuk mengisi kekosongan yang berdasarkan Al-Farabi terjadi jawaban kegagalan Aristoteles merampungkan catatan wacana belahan metafisika yang berisi teologi atau ilmu wacana Tuhan, yang di dalamnya dinyatakan kekerabatan sebab-akibat antara wujud Ilahi dan alam (Druart, 1987a).
Dilihat dari perspektif ini, teori-teori emanasi Al-Farabi merupakan belahan integral dari sumbangannya bagi pembahasan wacana sifat dan ruang lingkup metafisika dalam filsafat Islam dan hubungannya dengan filsafat alam. Pengaruh Al-Farabi terhadap perkembangan berikutnya dalam bidang ini terbukti dalam suatu episode populer dari autobiografi Ibnu Sina*, dikala Ibnu Sina menceritakan bahwa ia telah membaca Metaphysics Aristoteles* empat puluh kali, tetapi tetap saja tidak memahami maksudnya. Setelah mendapat salinan karya Al-Farabi, Fi Aghrad Al-Hakim Fi Kitab Al-Huruf, kebingungannya sanggup dijelaskan. Meskipun tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana risalah pendek Al-Farabi mengatasi kebuntuan mentalnya, sepertinya Ibnu Sina* terkesan oleh catatan-catatan Al-Farabi berkenaan dengan kekerabatan antara Metaphysics Aristoteles* dan teologi atau “ilmu Ilahi” (al-‘ilm al-Illahi). Karena Al-Farabi membuka risalahnya dengan mengemukakan bahwa meskipun metafisika Aristotelian sering digambarkan sebagai “ilmu ilahi”, teks itu dipersembahkan untuk studi wacana wujud, prinsip-prinsip, dan sifat-sifatnya, bukan studi wacana substansi-substansi terpisah Ilahiah.
Hal itu dibuktikan oleh Al-Farabi dikala menjelaskan metafisika (ketuhanan), memakai pemikiran Aristoteles* dan Neoplatonisme. Ia beropini bahwa al-Maujud al-Awwal sebagai lantaran pertama bagi segala yang ada. Dalam pembuktian adanya Tuhan, Al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya terdiri atas dua kemungkinan dan tidak ada alternatif ketiga. Wajib al-Wujud adalah wujudnya dihentikan tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya ialah sama dan satu. Ia ialah wujud yang tepat selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jiwa wujud itu tidak ada, akan timbul kemustahilan, lantaran keberadaan wujud lain bergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Adapun Mumkin al-Wujud adalah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Mumkin al-Wujud tidak akan berkembang menjadi wujud kasatmata tanpa adanya wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, melainkan Wajib al-Wujud. Sekalipun demikian, tidak mungkin terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum) lantaran rentetan lantaran jawaban itu akan berakhir pada wajib al-wujud.
Pandangan Al-Farabi wacana sifat Tuhan sejalan dengan paham Mu’tazilah*, yaitu sifat Tuhan tidak berbeda dengan substansi-Nya. Asmaul Husna tidak menawarkan adanya bagian-bagian pada Dzat Tuhan atau sifat-sifat yang berbeda dari Dzat-Nya. Bagi Al-Farabi, Tuhan ialah ‘Aql murni. Ia ialah Esa sehingga objek pemikirannya hanya substansi-Nya. Tuhan ialah ‘Aql, ‘Aql, dan Ma’qul (Akal, substansi yang berpikir, dan substansi yang dipikirkan). Tuhan itu Mahatahu. Dia tidak membutuhkan sesuatu di luar Dzat-Nya untuk tahu dan memberitahukan untuk diketahui-Nya, cukup dengan substansi-Nya. Dengan demikian, Tuhan ialah ilmu, substansi yang mengetahui, dan substansi yang diketahui (‘ilm, ‘alim, dan ma’lum).
Tentang ilmu Tuhan, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh Arsitoteles* yang menyampaikan bahwa Tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan oleh Al-Farabi dengan menyampaikan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyah (partikular). Maksudnya, pengetahuan Tuhan wacana yang terperinci tidak sama dengan pengetahuan manusia. Tuhan sebagai ‘aql hanya sanggup menangkap yang kulli (universal), sedangkan untuk mengetahui yang juz’i hanya sanggup ditangkap dengan pancaindra. Oleh lantaran itu, pengetahuan-Nya wacana juz’i tidak secara langsung, tetapi sebagai lantaran bagi yang juz’i.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Al-Farabi. Riwayat Hidup
2. Al-Farabi. Karya Filsafat
3. Al-Farabi. Pemikiran Filsafat
4. Al-Farabi. Filsafat Kenegaraan
5. Al-Farabi. Filsafat Praktis
6. Al-Farabi. Logika dan Filsafat Bahasa
Dilihat dari perspektif ini, teori-teori emanasi Al-Farabi merupakan belahan integral dari sumbangannya bagi pembahasan wacana sifat dan ruang lingkup metafisika dalam filsafat Islam dan hubungannya dengan filsafat alam. Pengaruh Al-Farabi terhadap perkembangan berikutnya dalam bidang ini terbukti dalam suatu episode populer dari autobiografi Ibnu Sina*, dikala Ibnu Sina menceritakan bahwa ia telah membaca Metaphysics Aristoteles* empat puluh kali, tetapi tetap saja tidak memahami maksudnya. Setelah mendapat salinan karya Al-Farabi, Fi Aghrad Al-Hakim Fi Kitab Al-Huruf, kebingungannya sanggup dijelaskan. Meskipun tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana risalah pendek Al-Farabi mengatasi kebuntuan mentalnya, sepertinya Ibnu Sina* terkesan oleh catatan-catatan Al-Farabi berkenaan dengan kekerabatan antara Metaphysics Aristoteles* dan teologi atau “ilmu Ilahi” (al-‘ilm al-Illahi). Karena Al-Farabi membuka risalahnya dengan mengemukakan bahwa meskipun metafisika Aristotelian sering digambarkan sebagai “ilmu ilahi”, teks itu dipersembahkan untuk studi wacana wujud, prinsip-prinsip, dan sifat-sifatnya, bukan studi wacana substansi-substansi terpisah Ilahiah.
Hal itu dibuktikan oleh Al-Farabi dikala menjelaskan metafisika (ketuhanan), memakai pemikiran Aristoteles* dan Neoplatonisme. Ia beropini bahwa al-Maujud al-Awwal sebagai lantaran pertama bagi segala yang ada. Dalam pembuktian adanya Tuhan, Al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya terdiri atas dua kemungkinan dan tidak ada alternatif ketiga. Wajib al-Wujud adalah wujudnya dihentikan tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya ialah sama dan satu. Ia ialah wujud yang tepat selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jiwa wujud itu tidak ada, akan timbul kemustahilan, lantaran keberadaan wujud lain bergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Adapun Mumkin al-Wujud adalah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Mumkin al-Wujud tidak akan berkembang menjadi wujud kasatmata tanpa adanya wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, melainkan Wajib al-Wujud. Sekalipun demikian, tidak mungkin terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum) lantaran rentetan lantaran jawaban itu akan berakhir pada wajib al-wujud.
Pandangan Al-Farabi wacana sifat Tuhan sejalan dengan paham Mu’tazilah*, yaitu sifat Tuhan tidak berbeda dengan substansi-Nya. Asmaul Husna tidak menawarkan adanya bagian-bagian pada Dzat Tuhan atau sifat-sifat yang berbeda dari Dzat-Nya. Bagi Al-Farabi, Tuhan ialah ‘Aql murni. Ia ialah Esa sehingga objek pemikirannya hanya substansi-Nya. Tuhan ialah ‘Aql, ‘Aql, dan Ma’qul (Akal, substansi yang berpikir, dan substansi yang dipikirkan). Tuhan itu Mahatahu. Dia tidak membutuhkan sesuatu di luar Dzat-Nya untuk tahu dan memberitahukan untuk diketahui-Nya, cukup dengan substansi-Nya. Dengan demikian, Tuhan ialah ilmu, substansi yang mengetahui, dan substansi yang diketahui (‘ilm, ‘alim, dan ma’lum).
Tentang ilmu Tuhan, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh Arsitoteles* yang menyampaikan bahwa Tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan oleh Al-Farabi dengan menyampaikan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyah (partikular). Maksudnya, pengetahuan Tuhan wacana yang terperinci tidak sama dengan pengetahuan manusia. Tuhan sebagai ‘aql hanya sanggup menangkap yang kulli (universal), sedangkan untuk mengetahui yang juz’i hanya sanggup ditangkap dengan pancaindra. Oleh lantaran itu, pengetahuan-Nya wacana juz’i tidak secara langsung, tetapi sebagai lantaran bagi yang juz’i.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Al-Farabi. Riwayat Hidup
2. Al-Farabi. Karya Filsafat
3. Al-Farabi. Pemikiran Filsafat
4. Al-Farabi. Filsafat Kenegaraan
5. Al-Farabi. Filsafat Praktis
6. Al-Farabi. Logika dan Filsafat Bahasa
Belum ada Komentar untuk "Al-Farabi. Metafisika"
Posting Komentar