Pengertian Manusia, Harapan, Cita-Cita, Simpulan Hidup Dan Doa-Doa - Ilmu Budaya Dasar

A.    Pengertian Manusia
Dalam Al-Quran insan dipanggil dengan beberapa istilah, antara lain al-insaan, al-naas, al-abd, dan bani adam dan sebagainya. Al-insaan berarti suka, senang, jinak, ramah, atau makhluk yang sering lupa. Al-naas berarti insan (jama’). Al-abd berarti insan sebagai hamba Allah. Bani adam berarti belum dewasa Adam lantaran berasal dari keturunan nabi Adam. Namun dalam Al-Quran dan Al-Sunnah disebutkan bahwa insan yaitu makhluk yang paling mulia dan mempunyai banyak sekali potensi serta memperoleh petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.
Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah SWT. Dimana dalam melaksanakan sesuatu, insan mempunyai keterbatasan dan ketidaksanggupan. Manusia juga ciptaan Allah yang lemah. Oleh lantaran itu, insan tidak terlepaskan dari harapan-harapan dan doa semoga harapan tersebut terkabulkan. Dan begitu pula dengan kematian, insan selaku ciptaan Allah SWT yang bernyawa, maka kita tdak terlepas dari janjkematian dan kita tidak mengetahui kapan janjkematian itu akan menghampiri kita. Oleh alasannya yaitu itu, kita harus bersiap siab untuk mengantisipasi datangnya maut dengan memperbanyak berbuat kebajikan dimuka bumi ini.
B.     Pengertian Harapan
Harapan dalam kehidupan insan merupakan cita-cita, keinginan, penantian, kerinduan supaya sesuatu itu terjadi. Didalam menantikan adanya sesuatu yang terjadi dan diharapkan, insan melibatkan insan lain atau kekuatan lain diluar dirinya sesuatu terjadi, selain hasil usahanya yang telah dilakuka dan dinantikan hasilnya. Jadi, yang diharapakan itu yaitu hasil jerih payah dirinya dan pertolongan kekuatan lainnya. Bahkan harapan itu tidak bersifat egosentris berbeda dengan keinginan yang berdasarkan kodratnya bersifat egosentris, usahanya yaitu memiliki. Harapan tertuju kepada “Engkau” sedankan keinginan “aku”, harapan itu ditutunjukkan kepada orang lain atau kepada Tuhan. Keinginan itu untuk kepentingan dirinya meskipun pemenuhan keinginan itu melalui pemenuhan keingingan orang lain. Misalnya melaksanakan perbuatan sedeqah kepada orang lain: orang lain terpenuhi keinginan dan sekaligus orang yang bersedeqah juga terpenuhi keiinginannya, yaitu kebahagiaan sewaktu berbuat baik kepada orang lain.
Menurut macam-macamnya ada harapan yang optimis dan ada harapan yang pesimistis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya sesuatu yang akan terjadi itu sudah menunjukkan gejala yang sanggup dianalisis secara rasioal, bahwa sesuatu yang aka terjadi bakal muncul. Dalam harapan pesimistis ada gejala rasional tidak bakal terjadi.
Harapan itu ada lantaran insan itu hidup penuh dengan dinamikanya, penuh dengan keinginannya atau kemauannya. Harapan untuk setiap orang berbeda-beda kadarnya. Orang yang wawsan berfikir luas, harapannya pun akan luas. Demiian pula orang yang berwawasan pikiran sempit, maka akan sempit pula harapannya.
Besar kecilnya harapan bersama-sama tidak di tentukan oleh luas atau tidaknya wawasan berfikir seseorang, tetapi kepribadian seseorang sanggup memilih dan mengontrol jenis, macam, dan besar kecilnya harapan tersebut. Bila kepribadian seseorang kuat, jenis dan besarnya harapan akan berbeda dengan orang yang kepribadianya lemah. Kepribadian yang berpengaruh akan mengontrol harapan seefektif seefesien mungkin sehingga tidak merugikan bagi dirinya atau bagi orang lain, untuk masa kin atau untuk masa depan, bagi masa di dunia atau di masa alam abadi kelak.
Harapan seseorang juga ditentukan oleh kiprah perjuangan atau berkerja kerasnya seseorang.orang yang berkerja keras akan mempunyai harapan yang besar untuk memperoleh harapan yang besar, tetapi kemampuannya kurang, biasanya disertai dengan pertolongan unsur dalam, yaitu berdoa.
C.    Pengertian DOA
Orang yang berdoa bukan hanya sekedar sadar bahwa kekuatannya lemah, tetapi ada unsure keyakinan bahwa berdoa itu merupakan kewajiban.
“Dan berfirman Tuhan kamu: berdoalah kau kepadaKu, juga Aku akan mengabulkan doa mu” (QS. Al-mukminun 60,68)
“Maka wajib atas kau berdoa” H.R. Turmidzi
“Hal lain yang mengakibatkan harapan disertai doa ialah kesadaran bahwa mansia itu lemah” QS. An-Nisa, 28
Kelemahan insan itu, dilukiskan sebagai berikut:
1.      Manusia hidup kondisi ketidakpastian. Hal yang penting bagi keamanan dan kesajahteraan insan berada diluar jangkauannya dengan kata lain, insan ditandai oleh ketidak pastian.
2.      Terbatas kesanggupan insan untuk mengendalikan dan untuk mempe-ngaruhi kondisi hidupnya. Pada titik tertentu, kondisi insan ada dalam kaitan konflik antara keinginan dan impian dengan lingkugannya, yang ditandai oleh ketidakberdayanya.
3.      Manusia hidup bermasyarakat, yang ditandai dengan adanya alokasi teratur dari banyak sekali fungsi, fasilitas, pembagian kerja, produksi, dan ganjaran. Manusia membutuhkan kondisi imperatif (keterpaksaan), yakni adanya suatu tingkat superordinasi dan subordinasi atau banyak sekali hukum dalam korelasi manusia.
Kemudian masyarakat beraada ditengah tengah kondisi kelangkaan, yang mengakibatkan adanya perbedaan distribusi barang dan nilai. Dengan demikian timbullah deprivasi (perampasan) yang bersifat relatif.
Dalam konteks “ketidakpastian” insan ditunjukkan kenataan semua perjuangan insan bahwa, betapapun ia merencanakan dengan baik dan melaksanakannya dengan saksama, ia tetap tidak terlepas dari kekecewaan. Dalam usahanya, mansia melibatkan emosi yang tinggi sehingga kekecewaan ini akan membawa luka yang dalam. Dalam dnia tekologi modern pun, yang penuh dengan perhitungan kebe-runtungan tetap merupakan suatu berkat dari ketidakpastian. Dalam konteks “ketidakmugkinan” ditunjukan bahwa semua keinginan tidak sanggup terkabul. Kema-tian, penderitaan, kecelakaan, dan seterusnya, itu semua menandai eksistensi manu-sia. Pegalamam insan dalam konteks “ ketidakpastian” atau “ketidakmungkinan” membawanya keluar dari situasi prilaku social dan batasan kultural dan tujuan dan norma sehari hari. Resep-resep social dan kultural tidak memeiliki kelengkapan total sebagai penyediaan “mekanisme” penyusuaian. Kedua hal ini menghadapkan insan pada kondisi “titik kritis “dengan lingkungan prilaku sehari-hari yang terstruktur. Maka dari semua kejadian ini, yang ada hanya doa dan harapan.
Doa dan harapan pada hakikatnya merupakan proses hubgungan antara insan dengan Tuhannya dan atara insan dengan manusia. Proses korelasi ini lebih lanjut sanggup diartikan memohon pertolongan, mengingat, meminta perlin-dungan, mendekatkan diri (silaturrahmi dengan manusia, taqarrub dengan Tuhan).
D.    Pengertian Kematian dan Maut
Pembicaraan mengenai janjkematian atau maut ini meliputkan pembicaraan ten-tang arti kematian, proses kematian, fungsi janjkematian dan maknanya. Setiap ketika insan dikungkung oleh kematian, dan setiap hari kita berjumppa dengan iring-iringan jenazah. Penyebab janjkematian majemuk menyerupai kece-lakaan, perang, serangan penyakit, dan lain-lain.
Biasanya orang takut mati dan janjkematian itu mengejutkan, bahkan ada orang yang tidak mau melihat orang yang mati. Tetapi, ada juga orang yang erat dengan janjkematian lantaran orang tersebut mempunyai prinsip bahwa hidup ini menuju mati, mati yaitu sesuatu yang menarik dan menghibur serta penawar kesulitan. Pendapat ini cukup beralasan, tetapi lebih penting lagi mencari makna maut.
Semua makhluk hidup yang ada di muka bumi tidak kekal, pada suatu ketika nanti niscaya mengalami kematian. Karena insan sadar atau tidak sadar terhadap kematian, maka kmatian atau maut menjadikan duduk kasus bagi manusia. Misalnya, insan yang menyadari janjkematian dan berusaha sebaik-baiknya untuk menghadapi kematian. Sebab janjkematian merupakan kepingan dari proses kehidupan mansia sebagai makhluk tuhan. Manusia yang tidak menadari janjkematian sering terjerumus kedalam perilaku dan prilaku yang tidak sesuai dengan agama.
Manusia mengakhiri hidupnya didunia ini dengan kematian, semanya ini yaitu pengalaman. Kematian insan menjadikan problema besar. Mnusia merasa resah dan tercengan dalam menghadapi kematian. Sikap insan terhadap janjkematian beraneka ragam, ang bersifat budaya dan ada yang bersifat keagamaan, bahkan ada yang berusaha mengatasi kejadian janjkematian tersebut. Bagi kita yang masi hidup, janjkematian merupakan data empiris. Tetapi, dapatkah kita dengan data-data empiris ini mengambil kesimpulan yang menyeluruh? Jawabanya sangat sulit, alasannya yaitu janjkematian yaitu pengalaman. Kesimpulan perihal janjkematian sering diperoleh dari sumber-sumber agama atau kepercayaan, menyerupai dikaitkan dengan masalah surge dan neraka.
1.      Pengetian Mati
Kata mati berarti tidak ada gersang, tandus, kehilagan nalar dan hati nurani, kosong, berhenti, padam, buruk, lepasnya ruh dari jasad QS. AL-Baqarah 28, 164 Al-Ahzab 52 Al-An’am 95. Pengertian mati yang sering dijumpai dalam istilah sehari-hari :
a.       Kemusnahan dan kehilangan total ruh dari jasad.
b.      Terputusnya korelasi antara ruh dan badan.
c.       Terhentinya budi daya insan secara total.
Mengenai pengertian mati yang pertama dan kedua diatas, kalau dikaji dengan keterangan-keterangan yang bersumber dari agama (islam), maka janjkematian bukanlah kemusnahan atau terputusnya hubungan. Kematian hanya lah terhentinya budi daya insan pada alam pertama, yang menanti akan dilanjutkan kehidupannya pada alam kedua. Ajaran agama menggabarkan konsepsi adanya pertalian alam dunia dan alam abadi serta menggabarkan prinsip tanggup jawab insan selama hidup didunia. Hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW. Sebagai berikut:
“apabila anak adam telah mati, terputuslah dari padanya budidayanya kecuali  3 perkara: sedeqah jariyah, ilmu yang berguna, atau anak soleh yang mendoakan kebaikan bagi kedua orang tuanya”
Demikian pula difirmankan Allah SWT:
“Dan janganlah kau menyampaikan terhadap orang-orang yang gugur dijalan Allah (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kau tidak menyadarinya”. QS. Al-Baqarah 54
2.      Proses janjkematian (sakaratul maut).
Proses janjkematian seseorang beraneka ragam, mulai dari proses mati dengan hening hingga pada proses mati dengan terlebih dahulu mengalami kecelakaan dan sebagainya. Ini semua kejadian lahir. Demikian pula dalam perilaku batin, insan menghadapi janjkematian bermacam-macam. Menurut ukuran agama, misalnya, ada yang mati dalam keadaan kepercayaan atau sebaliknya. Kesemuanya mempunyai evaluasi atau penghargaan berdasarkan dimensi agama yang berbeda-beda. Seseorang yang mati syahid (membela agama) kedudukannya berbeda dengan seseorang yang mati bukan syahid.
Proses janjkematian insan tidak sanggup diketahui atau digambarkan dengan terang kerena menyangkut segi fisik dan segi rohani. Dari segi fisik sanggup diketahui secara klinis yaitu seseorang dikatakan mati apabila pernafasannya dan denyut jantungnya berhenti. Dari segi rohani ialah proses ruh insan melepaskan diri dari jasadnya. Proses janjkematian dari segi rohani ini sulit digambarkan secara indrawi, tetapi faktual terjadi.
Istilah untuk proses janjkematian yaitu sakaratul maut. Artinya bingung, ketakutan, dan kedahsyatan ketika sedang dicabut ruhnya dari tubuh perlahan-lahan. Menjadi beku, pertama kakinya hirau taacuh membeku, perlahan-lahan bergeser kepaha hingga kerongkongan, kemudia mata terbelalak keatas mengikuti lepas ruhnya.

3.      Fungsi janjkematian
Fungsi janjkematian ada apabila jawabannya bersumber dari ajaran-ajaran agama. Ajaran agama tidak memandang semata-mata janjkematian fisik, tetapi berfungsi roha-ninya. Yaitu menunjukkan pelepasan kepada insan sesuai dengan amal perbuatannya sewaktu hidup. Orang yang mengikuti pemikiran agama dengan bersama-sama dan sebaiknya-baiknya akan dijamin masuk nirwana dan sebaliknya, orang yang tidak mengikuti pemikiran agama akan masuk neraka. Kalau demikian, janjkematian itu sanggup merupakan tragedi atau nikmat. Fungsi janjkematian yaitu untuk menghentikan budidaya, prestasi, dan sumbanagn seluruh potensi kemanusiaannya. Maka janjkematian itu bukan akhir kesalahanya atau dosa kepada orang lain, atau tumbal, melainkan lantaran takdir.


4.      Sikap menghadapi kematian
Sikap menghadapi janjkematian yaitu kecendrungan perbuatan insan dalam meghadap janjkematian yang diyakininya bakal terjadi. Sikapnya bermacam-macam, sesuai dengan keyakinan dan kesadarannya.
a.       Orang yang menyiapkan dirinya dengan amal perbuatan yang baik lantaran menyadari bahwa janjkematian bakal dating dan mempunyai makna rohaniah.
b.      Orang yang mengabaikan kejadian kematian, yang mengganggap kemati-an sebagai kejadian alamiah yang tidak ada makna rohaniahnya.
c.       Orang yang merasa takut atau keberatan untuk mati lantaran terpukau oleh dunia materi.
d.      Orang yang ingin melarikan diri dari janjkematian lantaran menganggap bahwa janjkematian itu merupakan tragedi yang merugikan, mungkin lantaran banyak dosa hidup tanpa norma atau beratnya menghadapi keharusan menyiaplkan diri untuk mati.
Dari uraian diatas sanggup dikemukakan pokok-pokok pikiran perihal mati sebagai berikut:
a.       Mati yaitu berhentinya budi daya insan seara total.
b.      Proses janjkematian menyangkut segi fisik dan segi rohani.
c.       Sikap insan menghadapi janjkematian bermacam-macam.
d.      Kematian merupakan pengalaman tamat dari hidup seseorang.
e.       Kesimpulan, konsepsi, atau pengertian perihal janjkematian lebih banyak diperoleh dari sumber-sumber agama menyerupai wahyu atau pemikiran agama lainnya.
5.      Makna kematian
Menurut B.S.Mardiatmadja (1987), makna dibalik janjkematian itu yaitu maut sebagai putusnya segala relasi, sebagai kritik atas hidup, sebagai pelepas, sebagai awal hidup baru, dan hanya yang kuasa yang merupakan penguasa hidup dan maut.
Maut sebagai putusnya segala relasi, maut yaitu putusnya segala kekerabatan lantaran segala kekerabatan terputus dengannya. Mati merpuakan perpisahan, alasannya yaitu si mati tidak sanggup bertemu dengan kita, dan kita tidak sanggup bertemu dengan simati. Si mati tidak sanggup melaksanakan sesuatu yang tidak sempat dilakukannya, demikian pula yang hidup tidak sanggup mengerjakan sesuatu untuk simati, contohnya membalas kebaikan, memujinya dan sebagainya.
Maut sebagai kritik atas hidup, maut yaitu arah utama dari hidup. Segala macam dimensi pujian menjadi lenyap. Yang cantik, kekar, cerdas, dan sebagainya, menjadi layu dan lenyap. Tidak ada sedikitpun harta benda yang dimiliki terbawa kekuburan. Hanya watu nisan dan upacara penguburan antara sikaya dan simiskin. Si mati sama saja, baik orang terhormat ataupun gembel. Maut yaitu kesamarataan yang adil kepada semua manusia. Segala macam keangkuhan, tirani atau kekuasaan menjadi ciut dihadapan maut.
Maut sebagai pelapasan, pahit getirnya mengurangi kehidpuan di zaman modern, semakin sukarnya menghadi tuntutan zaman menyerupai sekolah, mencari nafkah, mencari kerja, tuntutan lingkungan dan sebagainya keadaan lingkungan yang kejam, penindasan, pemerasaan, bahkan memadu cintapun mungkin semakin terasa mengandung racun, semuanya itu dihayati sehingga hingga pada pemikiran bahwa maut merupakan pelepasan dari penderitaan hidup. Dalam kasus-kasus di kota besar, sering terjadi pelajar membunuh diri demi membebaskan diri dari penderitaan, dari kerasnya persaingan hidup, atau merasa terasing, tidak mencicipi cinta dan kasih saying orang tuanya.
Maut sebagai awal hidup baru, dalam suatu keyakinan agama, mati itu yaitu awal dari hidup. Bahkan dalam bahasa agama, orang yang mati dalam jalan membela agamanya, tidak dikatakan mati, tetapi mereka itu hidup QS. Al-Baqarah, 154. Jadi, mati dalam hal ini merupakan perahilan kehidupan baru. Tetapi, pernyataan ini hanya sebagai harapan manusia, alasannya yaitu menusia yang sudah mati tidak sanggup hidup kembali. Dalam suatu kepercayaan dikatakan bahwa janjkematian merupakan buah pekerjaan dan sukses hidup yang sejati sehingga orang yang sudah sanggup ditentukan daya tahan hidupnya berdasarkan ilmu kedokteran, sanggup dengan hening menghadapi maut. Dengan kesadaran semacam ini, janjkematian dianggap sebagai menyambut persatuan dengan orang yang tercintai. Kesadaran semacam ini merupakan “pengharapan”. Bila insan mau tabah menghadapi kematian, maka perlu kepastian perihal hidup. Hal ini penting alasannya yaitu janjkematian tetap akan sanggup menjemput manusia. Maka lebih bijaksana apabila insan menyambut dengan penuh kesadaran. Atau sama sekali jangan memikirkan kematian, alasannya yaitu janjkematian itu bukan urusan manusia.
Tuhan sebagai penguasa hidup dan mati, seseorang yang menganut agama atau suatu kepercayaan mengakui bahwa yang kuasa yaitu penguasa hidup dan mati. Keyakinan ini tidak berlaku bagi seorang yang berjulukan Nabi Isa a.s. Nabi Isa dengan membawa suatu tanda (mu’jizat), bisa meniupkan ruh sehingga burung menjadi hidup dan menghidupkan orang yang mati dengan seizin Allah (QS Ali-Imran, 49). Nabi Isa sanggup melaksanakan demikian, tetapi itu pun seizin tuhan. Dengan demikian, tetaplah hidup dan mati itu milik tuhan. Nabi isa pun kematiannya masih misterius. “Nabi Isa tidak mati; tetapi diangkat Allah kesisiNya(QS An-Nisaa 157). Kematian semua manusia, atau isa dengan mu’jizatNya sanggup menghidupkan orang yang mati dan ia sendiri tidak mati, yaitu atas kehendak tuhan.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Manusia yaitu makhluk ciptaan Allah yang lemah dan mempunyai keterbatasan dalam berbuat atau melaksanakan suatu tindakan. Oleh lantaran itu, insan tidak pernah terlepas dari doa dan harapan dan Allah memerintahkan kepada insan untuk berdoa kepadanya niscanya Allah akan mengabulakan doa mereka.
Manusia sebagai makhluk yang bernyawa, tidak pernah terlepas dari kema-tian. Kita tidak sanggup bersembunyi dari maut lantaran kesepakatan Allah itu benar adanya. Oleh lantaran itu, dalam menghadapi kematian, kita selaku insan hendaknya memperbanyak amal atau pahala. Karena denagn amal lah kita sanggup mendapat kehidupan yang hening di alam abadi kelak
B.     Saran
Hidup di dunia ini hanya sementara dan sudah kodratnya insan mengharapkan kehidupan yang layak dimuka bumi ini. Oleh lantaran itu jangan pernah berhenti berdoa kepadaNya lantaran hanya kepadaNyal lah kita bergantung dan berserah diri. Kemudian, perbanyaklah berbuat kebajikan di dunia untuk persiapan kita menghadapi janjkematian yang telah Allah janjikan kepada kita selaku makhluk yang bernyawa.








Daftar Pustaka
Soelaeman Munandar, Ilmu Budaya Dasar, ( Bandung: PT Refika Aditama, 2005)
Tri Prasetya Joko, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998)

https://aristasefree.wordpress.com/tag/pengertian-manusia-menurut-agama-islam/

Belum ada Komentar untuk "Pengertian Manusia, Harapan, Cita-Cita, Simpulan Hidup Dan Doa-Doa - Ilmu Budaya Dasar"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel