Organisasi Kepanduan Di Kurun Kolonial
Initially, scouting was only made into an institution which accommo-dated sport activity in school. Then, the scouting organization started to be developed. Javguase Scouting Organization was the first scouting Organization which founded in Solo in 1916 of Mangkunegara VII initiative. While Neda Scouting Association which represented a scouting organization for European youth was founded in 1917.
Pada awalnya, kepanduan spesialuntuk dijadikan sebagai wadah yang menampung acara olah raga di sekolah. Kemudian, organisasi kepanduan mulai dikembangkan. JPO (Javaansche Padvinders Organisatie) ialah organisasi kepanduan pertama yang didirikan di Solo pada tahun 1916, atas prakarsa SP Mangkunegara VII. Sedangkan NIPV (Neda Indische Padvinders Vereeniging) didirikan pada tahun1917, yang ialah organisasi kepanduan bawah umur Eropa.
Javguase Scouting Organization and Neda Scouting Association were very cared by the colonial government because the organization was a place to meet, gather,wand birth place of anti-government youth. Since 1920, the scouting organization developed very rapidly.
Many other scouting organizations popped out, such as Islamic Union Scout, Hizbul Wathon, National Scout under the protection of Boedi Utomo, Javguase Youth Scout, Vational Islamic Scout, Indonesian Scout Organization under the Indonesian Youth, and Sumatran Youth Scout.
To unite all scout organizations, Brotherhood Among Indonesian Scouts was formed.But it could not accommodate the riation aspiration, so that the Indonesian Scout which was the fusion of several scout organizations was found.
JPO dan NIPV sangat diperhatikan oleh pemerintah kolonial alasannya yakni organisasi tersebut ialah daerah pertemuan, berkumpul, dan daerah lahirnya pemuda-pemuda antipemerintah. Sejak tahun 1920, organisasi kepanduan mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Banyak bermunculan organisasi kepanduan lainnya, menyerupai : SIAP (Sarekat Islam Afdeling Pandu), HW (Hizbul Wathon), NP (Nationale Padvinderij) dalam naungan BO (Boedi Oetomo), JJP (Jong Java Padvinderij), NATIPV (Nationale Islamitische Padvinderij), INPO (Indonesische Padvinderij Organisatie) di bawah Pemuda Indonesia, dan PPS (Pandu Pemuda Sumatera).
Untuk mempersatukan tiruana organisasi kepanduan tersebut, dibentuklah PAPI (Persaudaraan Antara Pandu Indonesia). Namun, PAPI tidak sanggup menampung aspirasi bangsa, sehingga dibentuklah kepanduan Indonesia yang ialah fusi dari beberapa organisasi kepanduan.
In the henceforth growth, the Indonesian People Scout emerged. The appearance of the Indonesian People Scout more and more made the government of the Dutch colonial worry. Finally the Indonesian People Scout was prohibited of doing activity, gathering, or meeting, because it was considered as political scout which had to be controlled.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncullah KRI (Kepanduan Rakyat Indonesia): Munculnya KRI semakin menjadikan kekhavvattran bagi pemerintah kolonial Belanda. Akhirnya KRI dihentikan melakukin kegiatan, berkumpul, atau rapat, alasannya yakni dianggap sebagai kepanduan politik yang harus diawasi.
Requirement and cooperation among scouting organization more and more increased. In 1938, the Central Botherhood Body of Indonesian Scout was founded and performed a camping together in Februari 1941. Petition of Sutarjo Petisi Sutarjo On July 5, 1936, Sutarjo made a tawaran to the government of the Dutch Indies in order to be performed the Netherlands kingdom conference which talked about the 'political status of the Dutch Indies in 10 years to come. Such political status was Autonomous Status, though there was still in the boundary of section 1 of Constitution of The Netherlands kingdom. Petition of Sutarjo was signed by I.J. Kasimo, Ratulangi, Datuk Tumenggung, and Kwo Kwat Tiong.
Pada tanggal 5 Juli 1936, Sutarjo mengajukan undangan kepada pemerintah Hindia Belanda biar diadakan konferensi kerajaan Belanda yang mengulas status politik Hindia Belanda dalam 10 tahun menhadir. Status politik yang dimaksud yakni Status Otonomi, meskipun masih ada dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda.
Petisi Sutarjo ditanhadirani oleh I.J. Kasimo, Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Kwo Kwat Tiong. Petition of the Sutarjo did not get respond of the Dutch, but this matter had motivated new spirit to Indonesian nation to look for another way in the national movement. In 1938, many meetings were carried out to support the petition.
Petisi Sutarjo tersebut tidak menerima jawaban dari Belanda, namun hal ini sudah mendorong semangat gres bagi bangsa Indonesia untuk mencari jalan lain dalam pergerakan nasional. Pada tahun 1938, banyak diselenggarakan rapat untuk mendukung petisi tersebut.
Sumber Pustaka: Yrama Widya
Belum ada Komentar untuk "Organisasi Kepanduan Di Kurun Kolonial"
Posting Komentar